BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komunikasi Aliran Semiotika mengkaji Tanda
Komunikasi dan tanda tidak bisa dipisahkan. Theodorso dan Theodorsin
memberikan suatu definisi yang menekankan pada penggunaan tanda atau simbolsimbol dalam komunikasi, menurut mereka komunikasi adalah “Transisi dan
informasi, ide, perilaku atau emosi dari satu individu atau kelompok kepada
lainnya terutama melalui simbol" 7 .
Tanda adalah setiap “kesan bunyi” yang berfungsi sebagai ‘signifikasi’
sesuai yang ‘berarti’- suatu objek atau konsep dalam dunia pengalaman yang ingin
kita komunikasikan 8 . Jadi tanda merupakan suatu media untuk mengemas maksud
atau pesan dalam setiap peristiwa komunikasi di mana manusia saling melempar
tanda-tanda tertentu dan dari tanda-tanda itu terstrukturlah suatu makna tertentu
yang berhubungan dengan eksistensi masing-masing individu.
Pesan yang disampaikan kepada komunikan memiliki tanda-tanda. Setiap
tanda yang disampaikan dalam pesan memiliki makna. Dalam penjelasan
Umberto Eco, makna dari sebuah wahana tanda (sign-vechicle) adalah satuan
cultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan
7
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan
Skripsi Komunikasi, Mitra Wacana Media, Jakarta: 2013. Hal. 193
8
Dennis Mcquail, Teori Komunikasi Massa, Erlangga, Jakarta: 2006. Hal. 181
9
10
begitu secara semantik mempertunjukan pula ketidak-tergantungannya pada
wahana dan tanda yang sebelumnya 9 .
John Fiske merefleksikan kenyataan bahwa terdapat dua mazhab utama
dalam studi komunikasi. Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi
pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi
pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana
transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab pertama melihat
komunikasi sebagai transmisi pesan, komunikasi sebagai suatu proses yang
dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi
yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari atau lebih kecil daripada yang
diharapkan, mazhab ini cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi, dan ia
melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di mana kegagalan
tersebut terjadi 10 .
Mazhab kedua ia melihat Komunikasi sebagai produksi dan pertukaran
makna, ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan
orang-orang dalam rangka menghasilkan makna, yakni berkenaan dengan peran
teks dalam kebudayaan kita, menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan
(signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting
dari kegagalan komunikasi, hal itu mungkin akibat dari perbedaan budaya antara
pengirim dan penerima. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang
9
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi. Rosda Karya, Bandung, 2009, Hal. 255
John Fiske. Cultural and Communication Studies, Penerbit JalaSutra, Yogyakarta, 2007, Hal. 8
10
11
teks dan kebudayaan, metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang
tanda dan makna) 11 .
Semiotika komunikasi mengkaji tanda dalam konteks komunikasi yang
lebih luas, yang melibatkan pelbagai elemen komunikasi, seperti saluran
(channel), sinyal (signal), media, pesan, kode (bahkan juga noise). ‘Semiotika
komunikasi’ menekankan aspek ‘produksi tanda’ (sign production) di dalam
pelbagai rantai komunikasi, saluran, dan media, ketimbang ‘sistem tanda’ (sign
system). Di dalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan dalam rantai
komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam penyampaian
pesan 12 .
2.2
Komunikasi Semiotika
Teori tanda pertama yang sebenarnya diperkenalkan oleh Santo Agustinus
(354-430
M)
walau
ia
tidak
menggunakan
istilah
semiotika
untuk
mengidentifikasikannya. Ia mendefinisikan tanda alami sebagai tanda yang
ditemukan secara harfiah di alam. Gejala ragawi, pergesekan daun-daun, warna
tumbuhan, dan seterusnya, kesemuanya merupakan tanda alami, seperti juga
sinyal yang dikeluarkan binatang untuk merespon keadaan fisik dan emosional
tertentu. Ia membedakan tanda ini dengan tanda konvensional, yaitu tanda yang
dibuat manusia. Kata, isyarat, dan simbol adalah contoh tanda konvensional.
Dalam teori semiotika modern saat ini, tanda konvensional dibagi menjadi tanda
verbal dan nonverbal-kata dan struktur linguistik lainnya (ekspresi, frasa, dan lain11
12
Ibid, Hal. 9
Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra: Yogyakarta, 2012, Hal. xii
12
lain) adalah contoh tanda verbal; gambar dan isyarat adalah contoh tanda
nonverbal. 13
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda -tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika atau dalam istilah barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal – hal (things).
Memaknai (to signify) dalam ha ini tidak dapat di campuradukan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda 14 .
Tanda itu sendiri, dalam pandangan Saussure, merupakan manifestasi
konkret dari citra bunyi – dan sering diidentifikasi dengan citra bunyi itu sebagai
penanda, jadi penanda dan petanda merupakan unsur – unsur mentalistik. Dengan
kata lain, didalam tanda terungkap citra bunyi ataupu konsep sebagai dua
komponen yang tak terpisahkan. Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan
petanda bersifat arbritrer (bebas) 15 .
Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda
berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi
adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem
13
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, Jala Sutra, Yogyakarta, 2012, hal. 9-10
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, Rosda Karya: Bandung, 2009, Hal. 15
15
Ibid, Hal. 32
14
13
berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk
dapat memaknai tanda tersebut. Berbeda pendapat dengan Saussure, Roland
Barthes seorang pakar semiotika yang melihat ada dua unsur dari tanda.
Khususnya menurut dia tanda-tanda yang bersifat linguistic atau berhubungan
dengan kebahasaan. Dia menguraikan bahwa pada dasarnya setiap tanda linguistik
terdiri atas dua unsur, yakni : “Yang diartikan (Perancis : signnifie, Inggris :
Signifie = unsur makna)” dan “Yang mengartikan (Perancis : significant, Inggris :
Signifier = unsur bunyi). “Yang diartikan (signifie, signifier), sebenarnya adalah
“suatu hal” yang dimaksud oleh si pengguna Signe itu ketika menggunakan Signe
itu, sedangkan yang mengartikan (significant atau signifier) itu adalah tidak lain
dari
signe-signe
itu,
yang
terbentuk
dari
fonem-fonem
bahasa
yang
bersangkutan” 16 .
2.3
Komunikasi Sebagai Proses Simbolik
Pada hakikatnya iklan adalah salah satu bentuk komunikasi, Kita dapat
melihat fungi dan tujuannya melalui proses simbolik didalamnya. Hal ini bisa kita
cermati dari definisi iklan yang dikemukakan oleh Arens, iklan adalah struktur
informasi dan susunan komunikasi nonpersonal yang biasanya dibiayai dan
bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa dan gagasan) oleh sponsor
yang teridentifikasi, melalui berbagai macam media 17 .
16
Roland Barthes. Petualangan Semiologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2007, Hal. 42-43
Ratna Noviani. Jalan Tengah Memahami Iklan Antara Realitas, Representasi dan Simulasi,
Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2002, Hal. 22-23
17
14
Di dalam iklan, tanda-tanda digunakan secara aktif dan dinamis, sehingga
orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan kebutuhan, melainkan
membeli makna-makna simbolik, yang menempatkan konsumer didalam struktur
komunikasi yang dikonstruksi secara sosial oleh sistem produksi/konsumsi
(produser, marketing, iklan) 18 .
Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari kata yunani “symballein”
yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan), dikaitkan dengan
suatu ide. Ada pula yang menyebutkan “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri
yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. 19
Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian
yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah
mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila
bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya
makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda seperti orang
Eskimo, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa 20 .
Alex Sobur dalam bukunya Semiotika Komunikasi mengatakan simbol
dibedakan menjadi 21 :
1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipis, misalnya
tidur sebagai lambang kematian.
2. Simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan
tertentu (misalnya keris dalam kebudayaan Jawa).
18
Yasraf Amir Piliang. Semiotika dan Hipersemiotika, Penerbit Matahari, Bandung: 2010, Hal.
331
19
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, Rosda Karya, Bandung: 2009, Hal. 155
20
Sumbo Tinaburko. Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra, Yogyakarta: 2008, Hal. 2
21
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, Rosda Karya, Bandung: 2009, Hal. 155
15
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks
keseluruhan karya sesorang pengarang.
Dalam wawasan Saussure, simbol merupakan diagram yang mampu
menampilkan gambaran suatu objek meskipun objek itu tidak dihadirkan. Peta
umpamanya, bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu
meskipun objek itu tidak dihadirkan 22 .
Semua makna simbol budaya diciptakan dengan menggunakan simbolsimbol. Simbol mengacu pendapat Spradely (1997:121) adalah objek atau
peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga
unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga,
hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi
keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang
dapat kita rasakan atau alami 23 .
2.4
Pesan Verbal dan Nonverbal
Pesan iklan dapat disalurkan melalui proses komunikasi bahasa verbal dan
nonverbal. Bahasa verbal dan nonverbal merupakan dua alat komunikasi yang
berbeda. Bahasa verbal adalah bahasa lisan dan bahasa tertulis yang disampaikan
melalui kata-kata. Sementara, bahasa nonverbal adalah bahasa yang disampaikan
tidak dengan kata-kata, melainkan intonasi, kualitas vokal, isyarat, gerakan
(tubuh), penampilan (fisik), ekspresi wajah dan sebagainya 24 .
22
Ibid, Hal. 157
Sumbo Tinaburko. Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra, Yogyakarta: 2008, Hal. 19
24
Alder,R., Rodman, G. Understanding Human Communication, Oxford University Press: New
York, 2002, Hal. 96
23
16
2.4.1
Pesan Verbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan
satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan bicara yang kita sadari termasuk
dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara
sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara verbal 25 .
Pesan verbal ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut 26 :
1. Disampaikan secara lisan/bicara atau tulisan
2. Proses komunikasi eksplisit dan cenderung dua arah
3. Kualitas proses komunikasi seringkali ditentukan oleh komunikasi
nonverbal
Dalam penelitian ini, terdapat pesan verbal yang meliputi frasa, klausa,
dan kalimat. Masing-masing pesan verbal tersebut merupakan komponen yang
terdapat dalam iklan cetak Axe Effect versi Mannequin ini.
1. Frasa
Frasa yang terdapat atau dipakai pada iklan yang akan dibahas ialah frasa
nomina. Frasa nomina adalah sekelompok kata dengan nomina sebagai intinya
yang sering diistilahkan sebagai headword dan kata-kata lain yang menyertainya
disebut sebagai penjelas atau modifier 27 .
Frasa nomina juga mempunyai fungsi sebagai subjek atau objek dalam
suatu kalimat.
Contoh :
25
My friend cooks with her mother.
I like the cars over there.
Two of my guests have arrived.
Hardjana. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal, Kansius: Yogyakarta, 2003, Hal. 34
Ibid, Hal. 35
27
Irham Ali Saifuddin, dkk, Buku Pintar TOEFL, DIVA Press, Yogyakarta, 2007, Hal. 85
26
17
2. Klausa
Pada hakikatnya klausa itu juga merupakan kelompok kata, hanya saja
salah satu unsur inti sebuah klausa berfungsi sebagai predikat 28 .
Dalam kalimat bahasa Inggris, klausa yang sering dipakai adalah klausa
nomina atau noun clause yang merupakan anak kalimat yang mengandung paling
tidak subjek dan predikat serta berfungsi sebagai nomina. Karena fungsi sebagai
nomina, maka klausa nomina dapat berfungsi sebagai subjek, komplemen, objek
dan lain-lain 29 .
Klausa dibagi menjadi dua bentuk, yaitu klausa bebas (Independent
Clause) dan klausa terikat (Dependent Clause).
a. Klausa Bebas (Independent Clause)
Klausa bebas adalah klausa yang memilki potensi untuk menjadi
sebuah kalimat. Klausa pada contoh berikut memiliki unsur-unsur penting
dalam kalimat, yaitu subjek dan predikat.
Contoh : A car was hit.
b. Klausa Terikat (Dependent Clause)
Klausa terikat adalah klausa yang tidak berpotensi menjadi kalimat.
Klausa terikat bergantung pada klausa lainnya yaitu klausa bebas. Kedua
klausa dapat menjadi sebuah kalimat bila menggunakan konjungsi sebagai
penghubung kedua klausa tersebut.
Contoh : You will not wake up lately if you sleep early.
Klausa bebas
klausa terikat
28
29
Suhardi, Sintaksis, UNY Press, Yogyakarta, 2013, Hal. 41
Irham Ali Saifuddin, dkk, Buku Pintar TOEFL, DIVA Press, Yogyakarta, 2007, Hal. 121
18
Klausa you will not wake up lately adalah klausa bebas, sedangkan klausa
if you sleep early adalah klausa terikat. Kedua klausa ini dihubungkan
dengan -if sebagai konjungsi subordinatif.
3. Kalimat
Kalimat dalam bahasa Inggris merupakan suatu konstruksi yang tersusun
dari kategori gramatikal yang menduduki fungsi subjek dan predikat yang
mempunyai arti. Maka, suatu kalimat mempunyai tiga konstituen yaitu (1)
kategori gramatik seperti nomina, verba, frase, klausa, (2) kategori-kategori
tersebut menduduki fungsi sintaksik seperti subjek, predikat, komplemen, objek,
keterangan dan lain-lain, dan (3) kategori dan fungsi sintaktik membawa arti 30 .
Kalimat berdasarkan jumlah klausanya dibagi menjadi dua, yaitu kalimat
tunggal (simple sentence) dan kalimat koordinatif (compound sentence) 31 .
a. Kalimat Tunggal (simple sentence)
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Jadi
unsur yang membentuknya bersifat predikat (dapat berupa satu verba) atau
nomina dan verba yang berfungsi masing-masing sebagai subjek dan
predikat.
Contoh : Man drinks water
30
31
Irham Ali Saifuddin, dkk, Buku Pintar TOEFL, DIVA Press, Yogyakarta, 2007, Hal. 81
Ibid, Hal. 82
19
b. Kalimat Koordinatif (compound sentence)
Kalimat koordinatif adalah kalimat yang terdiri atas beberapa
klausa bebas yang dihubungkan oleh konjungsi. Konjungsi
menggabungkan dua atau lebih klausa bebas yang memiliki kedudukan
setara dalam struktur kalimat.
Contoh : She forgot to turn off the lamp and locked the door.
(i)
Klausa pertama : She forgot to turn off the lamp.
(ii)
Klausa kedua : She locked the door.
c. Kalimat Subordinatif (Complex Sentence)
Kalimat majemuk subordinatif adalah kalimat majemuk yang
hubungan antara klausa-klausanya tidak setara atau sederajat. Kalimat
terdiri dari klausa bebas dan klausa terikat.
Contoh : I think you can do it if you are more diligent.
(i)
Klausa pertama : I think you can do it.
(ii)
Klausa kedua : if you are more diligent.
Kalimat berdasarkan struktur klausanya dibagi menjadi dua, yaitu kalimat
lengkap dan kalimat tidak lengkap.
a. Kalimat Lengkap
Kalimat lengkap adalah kalimat yang mengandung klausa lengkap, yaitu
sekurang-kurangnya memiliki unsur subjek dan predikat.
Contoh : He drives the car around our house.
20
b. Kalimat Tidak Lengkap
Kalimat yang unsur-unsur klausanya tidak lengkap. Kalimat di bawah ini
tidak memiliki unsur subjek.
Contoh : Turn on the light.
2.4.2 Pesan Nonverbal
Mark L. Knapp menjelaskan bahwa istilah nonverbal biasanya digunakan
untuk melukiskan semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan
tertulis. Pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan
perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian
ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat
nonverbal. Bidang non-verbal adalah suatu wilayah yang menekankan pentingnya
fenomena yang bersifat empiris, faktual atau kongkret, tanpa ujaran-ujaran
bahasa. Ini berarti bidang non-verbal berkaitan dengan benda kongkret, nyata dan
dapat dibuktikan melalui indera manusia 32 .
Tanda-tanda non-verbal dalam iklan dapat dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu :
1. Bahasa Tubuh
Bidang yang menelaah adalah kinesika (kinesics), suatu istilah yang
diciptakan seorang perintis studi bahasa non-verbal, Ray L.
Birthwhistell. Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman
dan pandangan mata), tangan, kepala, kaki, dan bahkan tubuh secara
32
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan
Skripsi Komunikasi, Mitra Wacana Media, Jakarta: 2013. Hal. 210
21
keseluruhan dapat digunakan sebagai syarat simbolik. Karena kita
hidup, semua anggota badan kita senantiasa bergerak 33 .
2. Pakaian
Pakaian sebagai tanda yang mewakili hal-hal seperti kepribadian,
status sosial, dan karakter keseluruhan si pemakai. Sekali lagi, metode
dasar pakar semiotika yaitu menyatakan apa, bagaimana, dan mengapa
sesuatu memilki makna yang kini dimilikinya, berlaku pula pada
pakaian 34 .
Pada level biologis, pakaian mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu meningkatkan kemampuan kita dalam bertahan hidup. Pakaian,
dalam level denotatif ini, adalah perluasan buatan manusia dari sumber
perlindungan tubuh; pakaian adalah tambahan bagi rambut dan
tetebalan kulit di tubuh kita yang berfungsi melindungi. Seperti yang
ditunjukkan dengan jitu oleh Werner Enninger (1992: 215), inilah
mengapa gaya pakaian bervariasi menurut geografis dan topografi:
“Distribusi jenis pakaian dalam kaitannya dengan zona iklim yang
berbeda-beda dan variasi pakaian yang dikenakan seiring perubahan
kondisi cuaca, menunjukkan fungsinya yang praktis dan sebagai
perlindungan”. Namun, seperti halnya semua sistem buatan manusia,
pakaian akan selalu memperoleh sekalipun konotasi dalam latar sosial.
Konotasi ini dibangun berdasarkan pelbagai kode pakaian (dress code-
33
Deddy Mulyana dan Rakhmat Jalaluddin, Komunikasi Antar Budaya, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung: 2005. Hal. 353
34
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, Jalasutra, Yogyakarta 2012. Hal. 205
22
dari bahasa Prancis lama dresser, “mengatur, mendirikan”) yang
memberitahu orang bagaimana mereka seharusnya berpakaian dalam
pelbagai situasi sosial 35 .
Memakai pakaian untuk alasan yang bersifat sosial merupakan ciri
universal dalam budaya manusia. Bahkan di daerah beriklim dingin,
sebagian orang tampaknya lebih tertarik menghiasi tubuh mereka
daripada melindunginya 36 .
Dengan demikian, hampir sejak awal sejarah, manusia mengenakan
pakaian bukan hanya untuk perlindungan, tetapi juga demi identifikasi
dan jati diri. Kini, supir bus, kurir pos, perawat, polisi, dan pendeta
mengenakan pakaian khusus agar mudah mengenali mereka. Baju juga
mengungkapkan kepercayaan, perasaan, dan cara menyikapi hidup
pada umumnya pada diri seseorang. Orang-orang yang percaya diri
sering menunjukkan sikap yang lebih bebas memilih gaya berpakaian
dibanding mereka yang pemalu atau tidak percaya diri 37 .
Dalam sebuah masyarakat, bagian-bagian pakaian tertentu dan warna
yang digunakan memilki warna khusus. Misalnya orang yang tengah
berduka cita dapat mengenakan baju hitam. Mempelai wanita di
Amerika Serikat umumnya mengenakan gaun putih; namun orang-
35
Ibid, Hal. 208
Ibid, Hal. 211
37
Ibid, Hal. 211
36
23
orang India akan menafsirkan penggunaan warna ini sebagai tanda
berduka 38 .
2.5
Makna Konotasi dan Makna Denotasi
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluatif39 . Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan
denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Barthes menggunakan versi yang jauh
lebih sederhana saat membahas model ‘glossematic sign’ (tanda-tanda
glossematic). Mengabaikan dimensi dari bentuk dan substansi, Barthes
mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E)
sebuah ekspresi atau signifier dalam hubungannya (R) dengan content (atau
signified) (C): ERC 40 .
Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama
merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified (content) di dalam
sebuah tanda terdapat realitas eksternal. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi
yaitu makna paling nyata dari tanda (sign) 41 .
Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan
signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika
38
Ibid, Hal. 212
Gorys Keraf. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa , Percetakan Ikrar Mandiri,
Jakarta: 1994, Hal. 29
40
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan
Skripsi Komunikasi, Mitra Wacana Media, Jakarta: 2013. Hal. 213
41
Ibid, Hal. 21
39
24
tanda bertemu dengan perasaaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari
kebudayaannya 42 .
Konotasi
mempunyai
makna
yang
subjektif
atau
paling
tidak
intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda
terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara
menggambarkannya 43 .
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas
sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, misalnya mengenai
hidup dan mati, manusia dan dewa. Sedangkan mitos masa kini misalnya
mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan 44 .
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada
sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam suatu ujaran.
Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam
sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah pertanda 45 .
2.6
Imajinasi Simbolik
Simbol mewakili sumber acuannya dalam cara yang konvensional. Kata-
kata pada umumnya merupakan simbol. Tetapi penanda manapun –sebuah objek,
suara sosok, dan seterusnya– dapat bersifat simbolik. Penggunaan simbol yang
dapat menunjukkan sebuah makna tertentu, bukanlah sebuah proses interpretasi
42
Ibid, Hal. 213
Ibid, Hal. 22
44
John Fiske. Cultural and Communication Studies, Penerbit JalaSutra, Yogyakarta, 2007, Hal. 88
45
Arthur Asa Berger. Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara Wacana, Yogyakarta:
2000, Hal. 55
43
25
yang diadakan melalui sebuah persetujuan resmi, melainkan hasil dari proses
interaksi sosial. Makna-makna ini dibangun melalui kesepakatan sosial atau
melalui saluran berupa tradisi historis. Mode representasi ikonis, indeksikal dan
simbolis sering berbaur dalam penciptaan sebuah tanda atau teks 46 .
Fantasi atau imajinasi sebagaimana disadari orang adalah daya psikis
untuk membuat gambar-gambar yang tidak merepresentasikan pengalamanpengalaman. Itu tidak berarti bahwa apa yang dibayangkan itu tidak ada hubungan
dengan pengalaman. Hubungan ini memang ada, sebab suatu bayangan hanya
dapat timbul atas dasar pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dari pengalamanpengalaman itu manusia melalui fantasinya menimba bahan untuk membuat
bayangan-bayangan baru. Oleh sebab itu, gambar-gambar baru itu dapat disertai
emosi juga, seperti emosi dan ingatan 47 .
Imajinasi ada hubungannya dengan kehidupan manusia sebagai pribadi:
apa yang diinginkan dan dicita-citakan manusia nampak dalam bayanganbayangan yang muncul dalam batinnya. Di samping itu fantasi penting juga
sebagai daya kreatif di segala bidang kebudayaan. Dengan demikian fantasi itu
menjadi suatu sarana untuk membangun hidup yang sesuai dengan cita-cita
pribadi dan nilai-nilai kebudayaan 48 .
Jadi pengertian imajinasi simbolik adalah pemikiran manusia untuk
merepresentasikan situasi fisik dalam kehidupan nyata secara simbolis dengan
melibatkan imajinasi (dalam hal ini membayangkan sesuatu) di benak manusia.
46
Marcel Danesi. Pesam, Tanda, dan Makna, Jalasutra, Yogyakarta: 2012, Hal. 38
Theo Huijbers. Manusia Merenungkan Dirinya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1991. Hal. 173
48
Ibid, Hal. 174-175
47
26
2.7
Gender dalam Iklan
Gender seperti yang dikemukakan oleh Oakley (1972) dalam sex, Gender
and Society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan 49 .
Perbedaan biologis atau perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan,
karena itu secara permanen berbeda. Misalnya, bahwa manusia yang berjenis
kelamin laki-laki adalah manusia yang memproduksi sperma, sedangkan
perempuan memiliki reproduksi seperti rahim. Alat-alat tersebut secara biologis
melekat pada manusia laki-laki dan perempuan selamanya dan tidak bisa
dipetukarkan 50 .
Gender adalah suatu konsep pembedaan laki-laki dan perempuan
berdasarkan perspektif sosial-budaya, dan bukannya dari sudut pandang
perbedaan kodratnya. Oleh karena itu, konsep gender tersebut sebenarnya
’dilekatkan’ oleh budaya, dan bukannya ’dikodratkan’ oleh Tuhan. Pada dimensi
lain, karena konsepsi gender di masyarakat tersebut keberadaannya telah menjadi
nilai-nilai yang melekat kuat dan diyakini secara bersama, maka fenomena
konsepsi tersebut akhirnya telah menjadi konsep yang bersifat ideologis, sehingga
memperbincangkan konsepsi gender maknanya sama dengan membahas
’ideologi’ gender 51 .
Dalam dunia periklanan yang terjadi dewasa ini seringkali terjadi adanya
ketimpangan atau ketidakadilan dalam gender. Problematika konsep ideologi
49
Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar: Jakarta, 1996,
Hal.71
50
Ibid, Hal.7-8
51
Kasiyan. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, Penerbit Ombak: Yogyakarta,
2008, Hal. 27
27
gender yang telah terinternalisasi dalam akumulasi ruang dan waktu yang amat
panjang di masyarakat, kemudian telah menghasilkan semacam wacana
standarisasi pelabelan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial. Atau
dalam istilah lain, adanya sebuah konsep stereotip gender laki-laki dan
perempuan, secara sosial 52 .
Adapun perbedaan gender adalah perbedaan sosial, yang berbasiskan
konsep femininitas dan maskulinitas. Dalam ungkapan lain, bahwa perbedaan seks
itu alami, tidak diadakan oleh masyarakat, dan kepentingannya berhubungan
dengan reproduksi, sedangkan gender merupakan istilah dari gramatikal yang
diambil alih oleh kaum feminis dan yang lain, untuk melukiskan struktur sosial
tertentu. Perbedaan gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, misalnya bahwa
perempuan itu dikenal lemah-lembut dan emosional, sementara laki-laki dianggap
kuat dan rasional 53 .
Stereotip femininitas dilekatkan pada kaum perempuan, menjelma dalam
bentuk serangkaian sifat negatif, diantaranya adalah: emosional, lemah, halus,
tergantung, tidak tegas, dan submisif. Sementara itu, stereotip maskulinitas
senantiasa dilekatkan pada kaum laki-laki, dalam bentuk konsepsi sifat-sifat yang
selalu bermakna positif, diantaranya: yakni rasional, tegar, kuat, mandiri, tegas
dan dominan.
52
53
Ibid, Hal. xxv
Ibid, Hal. 32
28
2.8
Periklanan
Periklanan dalam konteks desain komunikasi visual adalah fenomena
bisnis modern. Tidak ada perusahaan yang ingin maju dan memenangkan
kompetisi bisnis tanpa mengandalkan iklan. Demikian pentingnya peran iklan
dalam bisnis modern sehingga salah satu parameter bonafiditas perusahaan
terletak pada beberapa berapa dana yang dialokasikan oleh perusahaan untuk
iklan. Di samping itu, iklan merupakan jendela kamar sebuah perusahaan,
keberadaannya menghubungkan antara produsen dengan masyarakat, khususnya
konsumen 54 .
Periklanan merupakan suatu usaha untuk mempengaruhi kelompok atau
masyarakat terhadap suatu produk dengan menonjolkan kelebihannya untuk
proyeksi jangka panjang. Artinya bila produsen mengiklankan produk tertentu,
misalnya obat flu, maka diperlukan waktu yang cukup lama untuk meyakinkan
konsumen bahwa produk tersebut memang baik. Bila produk sudah dikenal, maka
diperlukan suatu masa atau periode tertentu untuk menjaga kepercayaan itu agar
tetap unggul dibandingkan dengan produk lain yang sejenis. Oleh karena itu, hasil
yang dipetik oleh produsen tidak langsung dapat dinikmati seketika, tetapi
memerlukan tempo waktu tertentu 55 .
2.8.1 Media Iklan
Iklan adalah berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada
khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan. Atau juga dapat
54
55
Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra: Yogyakarta, 2012, Hal. 2
Ibid, Hal. 3
29
bermakna sebagai pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau
jasa yang dijual dipasang di dalam berita media massa, seperti surat kabar dan
majalah. Iklan adalah penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak sasaran
tertentu 56 .
Media untuk beriklan biasanya dibagi kedalam dua media dalam
penggunaanya, yaitu iklan media cetak dan iklan media elektronik. Iklan cetak
yaitu iklan yang dibuat dan dipasang dengan menggunakan teknik cetak, baik
cetak dengan teknologi sederhana maupun teknologi tinggi. Media yang
digunakan dalam teknik cetak tersebut sangat beragam, mulai dari kertas, pelat,
kulit, plastik, dll. Iklan yang dibuat menggunakan teknik cetak ini, pada akhirnya
lebih popular disebut dengan nama sesuai dangan bentuk dan format media cetak.
Beberapa bentuk iklan cetak yaitu : iklan cetak surat kabar, iklan cetak majalah,
iklan cetak tabloid, iklan cetak poster, iklan leaflet, iklan spanduk, balon udara,
bus panel, dan berbagai iklan cetak lainnya 57 .
2.8.2 Iklan Media Cetak
Iklan media cetak adalah iklan-iklan yang muncul dihadapan khalayak
sasaran dalam suatu bentuk publikasi berupa barang cetakan, misalnya poster,
selebaran, brosur, katalog, direct mail, serta iklan-iklan pada surat kabar dan
majalah 58 .
56
Kasiyan. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan, Penerbit Ombak: Yogyakarta,
2008, Hal. xviii
57
Rendra Widyatama, Pengantar Periklanan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta: 2007, Hal.7980
58
Renald Kasali, Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Pustaka Utama
Grafiti: Jakarta, 2007, hal. 87
30
Dalam iklan media cetak, bahasa verbal dan nonverbal dapat dilihat
melalui komponen iklan media cetak. Morrisan menjelaskan komponen dasar
iklan cetak yang terdiri dari headline, body copy, elemen visual, dan layout 59 .
1. Judul (headline) adalah kata-kata yang berada pada posisi pertama dari
sebuah iklan, kata-kata tersebut haruslah menarik perhatian dan menarik
untuk dibaca. Headline memiliki tipografi lebih besar dan dipisahkan dari
body copy atau badan iklan.
2. Badan iklan (body copy) adalah teks yang memuat pesan yang ditujukan
kepada pembaca iklan. Penulisan body copy menjadi proses kreatif para
copywriter atau penulis naskah karena pesan iklan yang rumit harus
dikemas menjadi singkat, padat, dan menarik.
3. Elemen Visual adalah elemen yang mengkomunikasikan ilustrasi atau
gambar agar dapat serasi dengan headline dan body copy sehingga
menghasilkan informasi yang efektif pada sebuah iklan. Elemen visual
terdiri dari merk dagang, logo, warna, dan gambar ilustrasi produk yang
diiklankan.
4. Layout adalah pengaturan secara fisik dari bagian-bagian sebuah iklan,
termasuk pengaturan susunan headline, body copy, ilustrasi, gambar, dan
apapun yang diletakkan dalam sebuah iklan.
Headline dan body copy adalah bagian dari bahasa verbal iklan. Elemen
visual dan layout adalah bagian dari bahasa nonverbal iklan. Body copy iklan
cetak Axe Effect memiliki ragam bahasa dalam kalimat, klausa, frasa, dan kata.
59
Morissan. Periklanan : Komunikasi Pemasaran Terpadu, Prenada Media Group: Jakarta, 2012,
Hal. 359-363
31
Ragam bahasa ini menyampaikan pesan bahasa verbal mengenai perempuan yang
ditampilkan dalam iklan tersebut. Selanjutnya, bahasa nonverbal iklan ini dapat
dilihat melalui elemen visual yang melibatkan ilustrasi atau foto model
perempuan dan laki-laki dalam iklan. Penelitian ini akan memfokuskan bahasa
nonverbal melalui wajah, kontak mata, postur dan cara berpakaian model
perempuan dalam iklan.
Dari semua komponen yang terdapat dalam iklan media cetak di atas.
Iklan media cetak memiliki sejumlah komponen atau bagian utama (basic
component) yang mencakup kepala atau judul iklan (headline), badan iklan (body
copy), visual atau ilustrasi dan tata letak atau susunan (layout) iklan 60 .
2.8.3 Elemen Iklan Cetak
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata dalam buku Ayo Bikin Iklan :
memahami teori dan praktek iklan media lini bawah, mengatakan elemen-elemen
yang terdapat dalam iklan cetak terbagi pada ilustrasi, warna, typography, dan
layout 61 .
Elemen-elemen iklan cetak yaitu :
1. Ilustrasi
Ilustrasi menurut definisinya adalah seni gambar yang dimanfaatkan untuk
60
Ibid, Hal. 359
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata. Ayo Bikin Iklan : memahami teori dan praktek iklan
media lini bawah, PT.Elex Media Komputindo, Jakarta: 2010, hal. 14
61
32
memberi penjelasan atau suatu maksud atau tujuan secara visual 62 . Dalam
sebuah iklan, ilustrasi berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan kepada
audiens dengan menampilkan gambar-gambar yang menarik perhatian.
Ilustrasi yang didapat dalam sebuah iklan dapat menggunakan teknik
fotografi, drawing (gambar manual), ataupun kombinasi antara keduannya.
Fungsi khusus ilustrasi antara lain 63 :
a. Memberikan bayangan setiap karakter di dalam cerita.
b. Memberikan bayangan bentuk alat-alat yang digunakan di dalam
tulisan ilmiah.
c. Memberikan bayangan langkah kerja.
d. Mengkomunikasikan cerita.
e. Menghubungkan tulisan dengan kreativitas dan individualitas manusia.
f. Memberikan humor-humor tertentu untuk mengurangi rasa bosan.
g. Dapat menerangkan konsep yang disampaikan.
Berdasarkan fungsi ilustrasi di atas terdapat kaitan dalam sebuah iklan
khususnya iklan cetak adalah ilustrasi dari segi desain grafis dapat
menerangkan cerita yang terdapat dalam iklan dan juga dapat mewakili
konsep kreatif dari pesan yang ingin disampaikan melalui iklan tersebut.
62
Adi Kusrianto. Pengantar Desain Komunikasi Visual, Penerbit Andi. Yogyakarta: 2007,
Hal.140
63
http://id.wikipedia.org/wiki/Ilustrasi
33
2. Warna
Dari segi semiotik, istilah warna adalah penanda verbal yang mendorong
orang untuk cenderung memperhatikan terutama rona-rona yang
disandikan penanda tersebut. Ini strategi yang praktis; jika tidak, jutaan
istilah harus diciptakan untuk mengklasifikasi spektrum dengan akurat.
Namun, kisah semiotik tentang warna tidak berhenti sampai di situ. Di
seluruh dunia, warna-warna digunakan untuk tujuan konotatif. Catatan
arkeologis dengan kuat menyiratkan bahwa pada kenyataannya, makna
inderawi dan emosional yang dilekatkan pada warna mungkin bahkan
merupakan asal istilah-istilah warna itu sendiri (Wescott, 1980) 64 .
Penggunaan istilah warna secara konotatif tersebar lebih luas dibanding
yang mungkin kita kira pada awalnya. Dalam tiap masyarakat, warna
memainkan fungsi yang sangat penting dalam wilayah simbolisme 65 .
Setiap orang pasti memiliki warna favorit. Dan biasanya warna tersebut
mempengaruhi suasana hati (mood), berikut adalah uraian suasana hati
yang diapresiasikan dengan warna sebagaimana diungkapkan oleh barker
(1954) dalam Mulyana 66 .
64
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, Jalasutra, Yogyakarta 2012. Hal. 84
Ibid, Hal. 85
66
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan
Skripsi Komunikasi, Mitra Wacana Media, Jakarta: 2013. Hal. 211
65
34
Tabel 2.1
Pembagian suasana hati yang diasosiasikan dengan warna
Suasana Hati
Menggairahkan, merangsang
Aman, nyaman
Tertekan, terganggu, bingung
Lembut, menenangkan
Melindungi, mempertahankan
Sangat sedih, patah hati, tidak bahagia
Kalem, damai, tenteram
Berwibawa, agung
Menyenangkan, riang, gembira
Menantang, melawan memusuhi
Berkuasa, kuat, bagus sekali
Warna
Merah
Biru
Oranye
Biru
Merah, coklat, hitam
Hitam, coklat
Biru, hijau
Ungu
Kuning
Merah, oranye
Hitam
Sumber : Mulyana, 2007. Hal 429-430
3. Typography (Tipografi)
Tipografi adalah ilmu dalam memilih dan menata huruf dengan pengaturan
penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia, untuk menciptakan kesan
tertentu, sehingga dapat menolong pembaca mendapatkan kenyamanan
membaca semaksimal mungkin. Huruf atau yang biasa disebut dengan
istilah “ Font ” atau “Typeface” adalah satu elemen terpenting dalam
desain grafis karena huruf merupakan bentuk yang universal untuk
mengantarkan bentuk visual menjadi sebuah bentuk bahasa. Selain gambar,
huruf adalah cara manusia berkomunikasi secara visual 67 .
Huruf dan tipografi dalam perkembangannya menjadi ujung tombak guna
menyampaikan pesan verbal dan pesan visual kepada seseorang,
sekumpulan orang, bahkan masyarakat luas yang dijadikan tujuan akhir
67
Dendy Triadi dan Addy Sukma Bharata. Ayo Bikin Iklan : memahami teori dan praktek iklan
media lini bawah, PT.Elex Media Komputindo, Jakarta: 2010, hal. 21
35
proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan atau
target sasaran 68 . Dalam hubungannya dengan desain komunikasi visual,
huruf dan tipografi adalah elemen penting yang sangat diperlukan guna
mendukung proses penyampaian pesan verbal maupun visual 69 .
Dalam perkembangannya, ada lebih dari seribu macam huruf Romawi atau
Latin yang telah diakui oleh masyarakat dunia. Tetapi huruf-huruf tersebut
sejatinya merupakan hasil perkawinan silang dari lima jenis huruf berikut
ini 70 :
1. Huruf Romein. Garis hurufnya memperlihatkan perbedaan
antara tebal-tipis dan mempunyai kaki atau kait yang lancip
pada setiap batang hurufnya.
2. Huruf Egyptian. Garis hurufnya memiliki ukuran yang sama
tebal pada setiap sisinya. Kaki atau kaitnya berbentuk lurus
atau kaku.
3. Huruf Sans Serif. Garis hurufnya sama tebal dan tidak
mempunyai kaki atau kait.
4. Huruf Miscellaneous. Jenis huruf ini lebih mementingkan nilai
hiasnya daripada nilai komunikasinya. Bentuknya senantiasa
mengedepankan aspek dekoratif dan ornamental.
5. Huruf Script. Jenis huruf ini menyerupai tulisan tangan dan
bersifat spontan.
68
Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra: Yogyakarta, 2012, Hal. 24
Ibid, Hal. 25
70
Ibid, Hal. 26
69
36
Keberadaan tipografi dalam rancangan desain iklan khususnya dalam iklan
cetak sangatlah penting. Sebab, pemilihan jenis tipografi yang tepat, baik
ukuran, warna, maupun bentuk, diyakini mampu menguatkan isi pesan
verbal iklan tersebut.
4. Layout
Layout atau tata letak adalah pengaturan huruf dan visual pada suatu desain
komunikasi visual. Tata letak meliputi berbagai penerapan berbagai
komponen headline, sub headline, body copy. Ilustrasi yang akan disusun
dan ditempatkan pada suatu iklan cetak. Layout sendiri yang merupakan
bagian dari desain grafis maka harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar
desain grafis 71 , yaitu :
a. Kesatuan (Unity) : kesatuan merupakan salah satu prinsip dasar
desain grafis yang sangat penting. Tidak adanya kesatuan dalam
sebuah karya desain akan membuat karya tersebut terlihat cerai-berai
atau kacau-balau, yang mengakibatkan karya tersebut tidak nyaman
dipandang.
b. Keseimbangan (Balance) : karya desain harus memiliki kesimbangan
agar nyaman dipandang dan tidak membuat gelisah. Seperti halnya
jika kita melihat pohon atau bangunan yang akan roboh, kita merasa
tidak nyaman dan cenderung gelisah.
c. Proporsi (Proportion) : Proporsi termasuk prinsip dasar desain untuk
71
Ibnu Teguh Wibowo. Belajar Desain Grafis, Buku Pintar, Yogyakarta: 2013, hal.106-108
37
memperoleh keserasian sebuah karya diperlukan perbandingan yang
tepat. Pada dasarnya, proporsi adalah perbandingan matematis dalam
sebuah bidang.
d. Irama (Rhythm) : Irama adalah pengulangan gerak yang teratur dan
terus menerus. Dalam bentuk-bentuk alam bisa kita ambil contoh
pengulangan gerak pada ombak laut, barisan semut, gerak dedaunan,
dan lain-lain.
e. Dominasi (Domination) : Dominasi merupakan salah satu prinsip
dasar tatarupa yang harus ada dalam karya seni dan desain. Dominasi
berasal dari kata Dominance yang berarti keunggulan. Sifat unggul
dan istimewa ini menjadikan suatu unsur sebagai penarik dan pusat
perhatian.
2.9
Semiotika
Secara epitemologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion
yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas
dasar konvesi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili
sesuatu yang lain dan dalam batas-batas tertentu 72 .
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode untuk mengkaji tanda. Tandatanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di
dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama–sama manusia. Menurut Roland
Barthes semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
72
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009, Hal. 12
38
(humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signifty) dalam hal ini tidak
dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai
berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi
sistem terstruktur tanda 73 .
Dalam kaitannya dengan semiotik, Preminger memberi batasan yang jelas,
semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena
sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan konvensi-konvensi yang memungkinkan
tanda-tanda tersebut mempunyai arti 74 .
Sebagai seluruh cabang keilmuan Semiotika memperlihatkan pengaruh
yang semakin kuat dan luas, signifikansi semiotika tidak saja sebagai metode
kajian (decoding), akan tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding).
Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai
bidang seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, media studies,
dan cultural studies. Sebagai metode penciptaan semiotika mempunyai pengaruh
pula pada bidang-bidang desain produk, arsitektur, komunikasi visual, seni tari,
seni rupa dan juga seni film 75 .
Tokoh semiotika yang terkenal ada dua tokoh yakni, Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charless Sander Pierce (1839-1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu
73
Ibid, Hal. 15
Ibid, Hal. 16
75
Sumbo Tinarbuko. Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra: Yogyakarta, 2009, Hal. ix
74
39
sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang
keilmuan Saussure adalah Lingustik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure
menyebut
ilmu
yang
dikembangkannya
semiologi,
sedangkan
Pierce
menyebutnya semiotika.
Semiologi menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama
perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi
sebagai tanda, di belakangnya harus ada sistem pembedaan dan konvensi yang
memungkinkan makna itu. Dimana ada tanda, disana ada sistem 76 .
2.9.1 Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes yang dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis
yang getol mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussure. Barthes lahir
tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan
di Bayonne, kota kecil dekat pantai atlantik di sebelah barat daya Prancis 77 .
Karena
Barthes
adalah
tokoh
semiotika
yang
meneruskan
dan
mengembangkan pemikiran de Saussure maka metode pemaknaan tanda-tanda
Barthes disebut semiologi Barthes. Istilah semiologi makin lama makin
ditinggalkan. Ada kecenderungan orang-orang lebih memilih kata semiotika
daripada semiologi, sehingga kata semiotika lebih populer daripada semiologi.
Pemikiran Barthes tentang semiotika dipengaruhi Saussure. Kalau
Saussure mengintrodusir istilah signifier dan signified berkenaan dengan
76
77
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009, Hal. 44
Parwito. Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS: Yogyakarta, 2008, Hal. 163
40
lambang-lambang atau teks dalam suatu paket pesan maka Barthes menggunakan
istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-tingkatan makna. Maka
denotasi adalah makna tingkat pertama yang bersifat objektif (first order) yang
dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara
langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk. Kemudian
makna konotasi adalah makna-makna yang dapat diberikan pada lambanglambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanya berada pada
tingkatan kedua (second order) 78 .
Yang menarik berkenaan dengan semiotika Roland Barthes adalah
digunakannya istilah mitos (myth), yakni rujukan bersifat kultural (bersumber dari
budaya yang ada) yang digunakan untuk menjelaskan gejala atau realitas yang
ditunjuk dengan lambang-lambang penjelasan mana yang notabene adalah makna
konotatif dari lambang-lambang yang ada dengan mengacu sejarah (di samping
budaya). Dengan kata lain, mitos berfungsi sebagai deformasi dari lambanglambang yang kemudian menghadirkan makna-makna tertentu dengan berpijak
pada nilai-nilai sejarah dan budaya masyarakat 79 .
Bagi Barthes, teks merupakan konstruksi lambang-lambang atau pesan
yang pemaknaannya tidak cukup hanya dengan mengaitkan signifier dengan
signified semata sebagaimana disarankan oleh Saussure, namun juga harus
dilakukan dengan memerhatikan susunan (construction) dan isi (content) dari
lambang. Karena hal ini maka pemaknaan terhadap lambang-lambang, bagi
78
79
Ibid, Hal. 163
Ibid, Hal. 163
41
Barthes,
selayaknya
dilakukan
dengan
merekonstruksi
lambang-lambang
bersangkuan. Dalam upaya rekonstruksi ini, deformasi rupanya tak terelakkan:
banyak hal di luar (atau tepatnya di balik) lambang (atau mungkin bahasa) harus
dicari untuk dapat memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang, dan
inilah yang disebut mitos 80 .
Barthes menekankan bahwa semiologi hendaknya mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal dalam kehidupan sosial manusia.
Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda 81 .
Barthes menciptakan sebuah peta tentang bagaimana tanda bekerja.
Gambar 2.1
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes
1. Signifier
(penanda)
2. Signified
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Connotative signifier
5. Connotative signified
(penanada konotatif)
(Petanda konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
Sumber : Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009,
hal. 69
80
81
Ibid, Hal. 164
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009, Hal. 15
42
Dari peta Roland Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4).
Untuk menganalisis iklan dapat menggunakan model Roland Barthes,
yaitu dilakukan dengan mengkaji pesan yang dikandungnya. Metode ini
sebenarnya diterapkan dalam film namun dapat digunakan dalam iklan.
Menganalisis iklan berdasarkan pesan yang dikandungnya yaitu:
1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam iklan)
2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklanyang hanya berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas
dalam masyarakat)
3. Pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan) 82
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu 83 .
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan
tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai
82
83
Ibid, Hal. 118
Ibid, Hal. 71
43
pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga
suatu sistem pemaknaan tataran kedua 84 .
Mitos menurut Barthes terletak pada tingkatan kedua penandaan. Setelah
terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda
baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian
berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos.
Gambar 2.2
Signifikansi dua tahap Roland Barthes
Sumber: John Fiske. Cultural and Communication Studies: Sebuah pengantar Paling
Komperhensif, Jalasutra: Yogyakarta, 2004, hal. 122
Model barthes ini adalah model matematis yang sering disebut sebagai
signifikansi dua tahap Barthes. Tahapan pertama adalah pemaknaan tanda yang
84
Ibid, Hal. 71
44
berdasarkan atas realita dari tanda dan tahapan kedua adalah tahapan penandaan
yang didasarkan atas kultur atau budaya yang ada di dalam masyarakat. Dari
kedua tahapan penandaan ini kemudian muncullah istilah denotasi, konotasi, dan
mitos. Keterangan lebih detail tentang signifikansi penandaan. Barthes adalah
sebagai berikut :
1. Denotasi
Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan
antara tanda dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut
tatanan ini sebagai denotasi. 85
2. Konotasi
Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk
menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan
kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda
bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai
kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda
dalam tatanan pertama. Penanda tatanan pertama merupakan tanda
konotasi. 86
3. Mitos
Cara kedua dari tiga cara Barthes mengenai cara bekerjanya tanda dalam
tatanan kedua adalah melalui mitos. Bagi Barthes, mitos merupakan cara
berpikir
85
dari
suatu
kebudayaan
tentang
sesuatu,
cara
untuk
John Fiske. Cultural and Communication Studies: Sebuah pengantar Paling Komperhensif,
Jalasutra: Yogyakarta, 2004, Hal. 118
86
Ibid, Hal. 118-119
45
mengkonseptualisasikan
atau
memahami
sesuatu.
Bila
konotasi
merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan
tatanan kedua dari petanda. 87
Aspek lain dari mitos yang ditekankan Barthes adalah dinamismenya.
Mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna
memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai cultural dimana mitos itu
sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. 88
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan
signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya
sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai
makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata kadang
merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan
“memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan
tanda
terhadap
sebuah
objek,
sedangkan
konotasi
adalah
bagaimana
menggambarkannya.
Pada signifikasi tahap ke dua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja
melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau
memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan
87
88
Ibid, Hal. 119
Ibid, Hal. 125
46
produk kelas sosial yang sudah memiliki suatu dominasi. Mitos primitif misalnya,
mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa dan sebagainya. Sedangkan mitos
masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan
kesuksesan.
Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
Petanda lebih miskin dari penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah
pemunculan konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
Mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi
dalam wujud pelbagai bentuk tersebut. 89
Barthes mengartikan mitos sebagai cara berpikir kebudayaan tentang
sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasi atau memahami sesuatu hal. Barthes
menyebut mitos sebagai rangkaian konsep yang saling berkaitan. Mitos adalah
sistem komunikasi, sebab ia membawakan pesan. Maka itu, mitos bukanlah objek.
Mitos bukan pula konsep ataupun suatu gagasan, melainkan suatu cara
signifikansi, suatu bentuk. Lebih jauh lagi, mitos tidak ditentukan oleh objek
ataupun materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara mitos
disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk
verbal (kata-kata lisan ataupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain
atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film,
lukisan, fotografi, iklan, dan komik. Semuanya dapat digunakan untuk
menyampaikan pesan. 90
89
90
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009, Hal. 71
Ibid, Hal. 224
47
Jadi disini mitos menurut Barthes mempunyai makna yang berbeda
dengan konsep mitos dalam artian umum. Yaitu mitos yang dimengerti sebagai
percobaan manusia untuk mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tentang alam semesta, termasuk dirinya sendiri seperti termaktub dalam mitologi
yunani 91 .
91
Ibid, Hal. 222
Download