BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit atau gangguan metabolisme yang ditandai oleh hiperglikemia (kadar glukosa darah yang tinggi) kronis disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi sekresi insulin, aksi insulin, atau keduanya (WHO, 1999). Hiperglikemia kronis dari penyakit DM dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang dari berbagai organ, seperti, mata, ginjal, syaraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2012) sehingga merupakan faktor resiko utama kebutaan, gagal ginjal, neuropati, penyakit kardiovaskuler, dan amputasi anggota badan. Pasien DM juga mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya infeksi (IDF, 2014). Prevalensi DM untuk semua kelompok umur di seluruh dunia diperkirakan 2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun 2030, dengan jumlah penderita 171 juta pada tahun 2000 dan 366 juta pada tahun 2030. Indonesia merupakan negara ke-4 dengan jumlah penderita DM terbanyak di dunia. Pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 8,4 juta penderita DM dan akan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (Wild dkk., 2004). Dari semua kasus DM, sekitar 90-95% adalah DM tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang terjadi karena kombinasi kurangnya sekresi dan aksi insulin. Pengobatan DM tipe 2 lebih komplek terkait faktor yang terlibat dalam proses terjadinya penyakit, seperti resistensi insulin, hiperinsulinemia, sekresi insulin yang tidak mencukupi, 1 serta berkurangnya uptake dan pemanfaatan glukosa yang diperantarai insulin. Walaupun kasus DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) hanya sekitar 5-10%, akan tetapi angka kejadiannya meningkat dengan cepat pada beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2010 diperkirakan kejadian DM tipe 1 lebih besar 40% dibandingkan tahun 1997 (Tiwari dan Rao, 2002). Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi bila pengelolaannya tidak tepat dapat berakibat fatal. Berbagai protokol dikembangkan dalam penatalaksanaan terapi DM (Semenya dkk., 2012). Insulin dan obat hipoglikemik oral (OHO) merupakan terapi lini pertama dalam pengobatan DM untuk mengendalikan kadar glukosa darah pasien yang tidak bisa diatasi dengan pengaturan diet dan olahraga (Depkes RI, 2005; Patel dkk., 2012). Pengobatan DM dengan insulin dan OHO relatif mahal dan menimbulkan efek samping pada pasien. Hipoglikemia merupakan efek samping yang umum pada penggunaan insulin dan OHO. Metformin, suatu OHO golongan biguanida, mempunyai efek samping gangguan pencernaan (anoreksia, mual, muntah, dan diare) pada sekitar 20% pasien dan dapat menyebabkan asidosis laktat (Katzung dkk., 2012). Seiring meningkatnya keparahan DM, diperlukan kombinasi dua atau lebih OHO yang akan meningkatkan biaya pengobatan (Ramachandran dkk., 2010). Saat ini lebih dari 400 jenis tanaman yang dilaporkan digunakan secara tradisional untuk pengobatan DM (Modak dkk., 2007). Di Indonesia, Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f) Ness) dan mengkudu (Morinda citrifolia L.) secara tradisional digunakan untuk pengobatan DM. Beberapa penelitian 2 melaporkan aktivitas sambiloto dalam menurunkan kadar glukosa darah yang signifikan dibanding kontrol pada berbagai model tikus diabetes. Hossain dkk. (2007) dan Ravikumar dkk. (2010) menggunakan tikus yang diinduksi aloksan, Zang dan Tan (2000) menggunakan penginduksi streptozotosin, dan Nugroho dkk. (2012) menggunakan model tikus DM tipe 2 yang diberi diet tinggi lemak dan fruktosa. Sambiloto juga dilaporkan mempunyai aktivitas antioksidan (Dandu dan Inamdar, 2009; Zhang dan Tan, 2000). Penelitian Adnyana dkk. (2004) melaporkan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu menunjukkan aktivitas penurunan kadar glukosa darah yang bermakna pada mencit diabetes yang diinduksi aloksan. Pemberian ekstrak etanol buah mengkudu pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin menurunkan kadar glukosa darah (Jin, 2007; Rao dan Subramanian, 2009), hemoglobin terglikosilasi, urea darah, dan serum kreatinin (Rao dan Subramanian, 2009). Jus buah mengkudu juga bisa mempercepat penyembuhan luka pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin (Nayak dkk., 2007). Menurut Wagner (2006), penggunaan tanaman obat untuk pengobatan mempunyai keuntungan yaitu multidrug dan multitarget terapi dengan kandungan kimia dan mekanisme kerja yang beragam dalam pengobatan suatu penyakit. Penggunaan kombinasi tanaman obat dengan pendekatan terapi yang holistik dapat memberikan efek terapi maksimum dengan efek samping minimum sehingga terapi akan lebih efektif (Tiwari dan Rao, 2002). Sebagai contoh, prosianidin pada ekstrak Hypericum yang meningkatkan kelarutan hiperisin sehingga aktivitas farmakologi meningkat. Kandungan tertentu suatu tanaman 3 juga bisa mempunyai efek antagonis pada komponen toksik yang ada dan meningkatkan profil farmakologi ekstrak tanaman. Kombinasi sambiloto dan mengkudu diharapkan dapat memberikan aktivitas hipoglikemik yang lebih baik dibandingkan masing-masing ekstrak tunggalnya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah kombinasi ekstrak etanol herba sambiloto (EEHS) dan ekstrak etanol buah mengkudu (EEBM) mempunyai aktivitas penurunan kadar glukosa darah preprandial maupun postprandial pada tikus neonatal streptozotocin-induced type 2 diabetes mellitus yang lebih baik dari masingmasing ekstrak tunggalnya? 2. Berapakah dosis kombinasi EEHS dan EEBM yang paling optimal dalam penurunan kadar glukosa darah preprandial dan postprandial pada tikus neonatal streptozotocin-induced type 2 diabetes mellitus? 3. Bagaimana pengaruh kombinasi EEHS dan EEBM terhadap morfologi insulai Langerhans, jumlah sel β pankreas, dan ekspresi insulin pankreas pada tikus neonatal streptozotocin-induced type 2 diabetes mellitus? Apakah pengaruhnya lebih baik dibandingkan masing-masing ekstrak tunggalnya? C. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai aktivitas antidiabetes herba sambiloto dan buah mengkudu secara tunggal sudah banyak dilakukan. Ekstrak etanol herba 4 sambiloto yang diberikan dengan dosis 2 g/kgBB/hari secara peroral pada tikus diabetes yang diinduksi aloksan dapat menurunkan kadar glukosa darah sebesar 45,13% dibandingkan kontrol (Hossain dkk., 2007). Pemberian ekstrak etanol daun sambiloto secara peroral selama 30 hari dengan dosis 100 dan 200 mg/kgBB pada tikus diabetes yang diinduksi aloksan memberikan hasil penurunan kadar glukosa darah yang signifikan dibandingkan kelompok standar yang diberi glibenklamid (Ravikumar dkk., 2010). Ekstrak etanol buah mengkudu setelah pemberian ekstrak pada dosis 500 dan 1000 mg/kgBB pada mencit diabetes yang diinduksi aloksan memberikan penurunan kadar glukosa darah masing-masing sebesar 62,1% dan 74,1%, yang berbeda secara bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol (Adnyana dkk., 2004). Menurut penelitian Rao dan Subramanian (2009), kadar glukosa darah yang tinggi pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin juga turun mendekati level normal setelah diberi ekstrak etanol mengkudu secara peroral dengan dosis 300 mg/kgBB/hari selama 30 hari. Beberapa penelitian mengenai aktivitas antidiabetes kombinasi ekstrak sambiloto dengan obat atau herbal yang lain telah dilakukan. Syamsul dkk. (2011) melaporkan bahwa kombinasi ekstrak sambiloto terpurifikasi dengan metformin tidak meningkatkan potensi antidiabetes dibandingkan penggunaan tunggalnya. Kombinasi ekstrak terpurifikasi herba sambiloto dengan glibenklamid memberikan penurunan kadar glukosa darah, dan dapat memperbaiki kondisi histopatologi pankreas tikus DM tipe 2 defisiensi insulin dengan melalui regenerasi dan menghambat kerusakan sel beta pankreas sehingga kemampuan sekresi insulin meningkat (Setiawan, 2013). Pemberian kombinasi ekstrak larut 5 etanol herba sambiloto dan daun sambung nyawa memberikan daya hipoglikemik yang lebih memperbaiki baik dari ekstrak tunggalnya, dan secara morfologi kerusakan kualitatif dapat insulai Langerhans dan ekspesi insulin pankreas (Sari, 2014). Dari penelusuran pustaka, penelitian mengenai aktivitas antidiabetes kombinasi EEHS dan EEBM dengan parameter penurunan kadar glukosa darah, morfologi insulai Langerhans, jumlah sel β pankreas, dan ekspresi insulin pankreas pada tikus terinduksi streptozotosin belum pernah dilakukan. D. Urgensi Penelitian Penggunaan insulin dan OHO dalam terapi DM untuk jangka waktu yang lama meningkatkan resiko efek samping pada pasien. Komplikasi yang terjadi pada pasien DM memerlukan penanganan dan terapi tersendiri sehingga kemungkinan terjadi interaksi obat semakin besar. Obat bahan alam mempunyai kandungan kimia yang komplek dan bersifat multitarget terapi. Kombinasi obat bahan alam dapat meningkatkan aktivitas dan meminimalkan efek samping yang terjadi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan sebagai alternatif pengobatan DM yang lebih efektif. E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui aktivitas penurunan kadar glukosa darah preprandial maupun postprandial dari kombinasi EEHS dan EEBM pada tikus neonatal streptozotocin-induced type 2 diabetes mellitus dibandingkan masing-masing ekstrak tunggalnya. 6 2. Mengetahui dosis kombinasi EEHS dan EEBM yang paling optimal dalam penurunan kadar glukosa darah preprandial dan postprandial pada tikus neonatal streptozotocin-induced type 2 diabetes mellitus. 3. Mengetahui pengaruh kombinasi EEHS dan EEBM terhadap morfologi insulai Langerhans, jumlah sel β pankreas, dan ekspresi insulin pankreas pada tikus neonatal streptozotocin-induced type 2 diabetes mellitus dibandingkan masing-masing ekstrak tunggalnya. 7