Agency Theory

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Timbulnya manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori agensi. Jensen dan Meckling
(1976) menjelaskan hubungan keagenan di dalam teori agensi (agency theory) bahwa perusahaan
merupakan kumpulan kontrak antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer
(agent) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Manajer sebagai
pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di
masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban
memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik yang dapat dilakukan melalui
pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting
bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang
paling besar ketidakpastiannya. Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan memicu
munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (Rina, dkk, 2012).
Menurut Messier, dkk (2006: 11) dalam upaya mengatasi atau mengurangi masalah
keagenan ini menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang akan ditanggung baik oleh
prinsipal maupun agen. Biaya keagenan ini terdiri dari monitoring cost, bonding cost, dan
residual loss. Monitoring cost adalah biaya yang timbul dan ditanggung oleh prinsipal untuk
memonitor perilaku agen yaitu untuk mengukur, mengamati, dan mengontrol perilaku agen.
Bonding cost merupakan biaya yang ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi
mekanisme yang menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal.
Selanjutnya, residual loss merupakan pengorbanan yang berupa berkurangnya kemakmuran
prinsipal sebagai akibat dari perbedaan keputusan agen dan keputusan prinsipal.
Menurut Woods, dkk (2008: 81) penerapan manajemen risiko dapat menurunkan biaya
keagenan dan meningkatkan nilai perusahaan. Manajemen risiko perusahaan juga dapat
dijadikan mekanisme pengawasan dalam menurunkan informasi asimetri dan berkontribusi untuk
menghindari perilaku oportunis dari manajer. Dalam kaitannya dengan masalah keagenan ini,
positive accounting theory mengajukan tiga hipotesis yaitu bonus plan hypothesis, debt/equity
hypothesis, dan political cost hypothesis yang secara implisit mengakui tiga bentuk keagenan,
yaitu antara pemilik dengan manajemen, antara kreditor dengan manajemen, dan antara
pemerintah dengan manajemen, sehingga secara luas prinsipal bukan hanya sebagai pemilik
perusahaan, tetapi juga dapat sebagai pemegang saham, kreditur, maupun pemerintah.
Menurut Kaeown, dkk (2006: 72) aplikasi agency theory dapat terwujud dalam bentuk
kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan
tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat
aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return,
maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal
bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara
matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian
insentif atau imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari agency theory
atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan
prinsipal dan agen dalam hal terjadinya konflik kepentingan.
Menurut Kaeown, dkk (2006: 75) teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu:
1) Asumsi tentang sifat manusia, menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk
mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded
rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion).
2) Asumsi tentang keorganisasian, adalah adanya konflik antar anggota organisasi,
efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal
dan agen.
2) Asumsi tentang informasi, adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang
komoditi yang bisa diperjual beli.
2.1.2 Teori Legitimasi
Legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk
mempertahankan hidup (Sari, 2012). Menurut Hidayati dan Murni (2009), perusahaan
mengupayakan adanya pengakuan yang baik dari investor, kreditor, konsumen, pemerintah, dan
masyarakat sekitar, sehingga dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan cara
sebagai berikut:
1) Pengakuan dari investor didapatkan oleh perusahaan dengan cara meningkatkan return
saham.
2) Pengakuan dari kreditor didapatkan oleh perusahaan dengan cara meningkatkan
kemampuan perusahaan untuk mengembalikan hutang.
3) Pengakuan dari konsumen didapatkan oleh perusahaan dengan cara meningkatkan
mutu produk dan layanan.
4) Pengakuan dari pemerintah didapatkan oleh perusahaan dengan cara mematuhi
peraturan yang berlaku.
5) Pengakuan dari masyarakat didapatkan oleh perusahaan dengan cara melakukan
kegiatan tanggung jawab sosial.
Upaya pengakuan yang baik oleh perusahaan juga bertujuan untuk menciptakan
keselarasan antara nilai-nilai sosial yang melekat pada kegiatan perusahaan dengan norma-norma
perilaku yang ada dalam sistem sosial masyarakat (Chariri, 2008). Menurut Tilling (2004),
legitimasi yang rendah dapat menyebabkan konsekuensi yang negatif bagi perusahaan karena
dapat mengarah pada hilangnya hak untuk beroperasi. Legitimasi yang rendah disebabkan
adanya perbedaan diantara nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan dengan nilai-nilai sosial
masyarakat, di mana perbedaan ini disebut dengan legitimacy gap. Menurut Warticl dan Mahon
(1994) dalam Chariri (2008), legitimacy gap dapat terjadi karena:
1) Adanya perubahan dalam kinerja perusahaan, tetapi harapan masyarakat terhadap
kinerja tidak berubah.
2) Kinerja perusahaan tidak berubah, tetapi harapan masyarakat terhadap kinerja
perusahaan telah berubah.
3) Kinerja perusahaan dan harapan masyarakat terhadap kinerja perusahaan berubah ke
arah yang berbeda atau ke arah yang sama dalam waktu yang berbeda.
Menurut Purwanto (2011) teori legitimasi menjelaskan bahwa sebuah organisasi dalam
melakukan kegiatan operasionalnya harus menunjukkan perilaku yang konsisten dengan nilai
sosial. Teori legitimasi juga menjelaskan praktik pengungkapan tanggung jawab perusahaan
yang harus dilaksanakan sedemikian rupa agar aktivitas dan kinerja perusahaan dapat diterima
oleh masyarakat. Menurut Rawi dan Munawar (2010) legitimasi dianggap sebagai asumsi bahwa
tindakan yang dilakukan suatu entitas merupakan tindakan yang diinginkan, pantas atau sesuai
dengan sistem, norma, nilai, dan kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial.
Legitimasi perusahaan dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada
perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Jika terjadi
ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan
dapat kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup
perusahaan (Lindblom, 1994 dalam Haniffa et al. 2005). Untuk mendapatkan legitimasi,
perusahaan dapat menunjukkan tanggung jawabnya melalui aktivitas dan pengungkapan
Corporate Social Responsibility (CSR).
2.1.3 Kepemilikan Manajerial
Struktur kepemilikan manajerial adalah tingkat kepemilikan saham oleh pihak manajemen
yang secara aktif terlibat di dalam pengambilan keputusan. Kepemilikan manajerial adalah
kondisi yang menunjukkan bahwa manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer
tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan (Rustiarini, 2011). Pengukurannya
dilihat dari besarnya proporsi saham yang dimiliki manajemen pada akhir tahun yang disajikan
dalam bentuk persentase (Yadnyana dan Wati dalam Bernandhi, 2013). Dugaan yang menarik
timbul dari adanya kepemilikan manajerial dalam sebuah perusahaan, bahwa peningkatan nilai
perusahaan terjadi sebagai akibat dari meningkatnya kepemilikan manajerial. Besarnya proporsi
saham yang dimiliki oleh manajemen akan efektif dalam memonitor setiap aktivitas yang
dilakukan perusahaan.
Berdasarkan teori keagenan, hubungan antara manajemen dengan pemegang saham rawan
untuk terjadinya masalah keagenan. Teori keagenan menyatakan bahwa salah satu mekanisme
untuk memperkecil adanya konflik agensi dalam perusahaan adalah dengan memaksimalkan
jumlah kepemilikan manajerial. Dengan menambah jumlah kepemilikan manajerial, maka
manajemen akan merasakan dampak langsung atas setiap keputusan yang mereka ambil karena
mereka menjadi pemilik perusahaan (Jensen and Meckling, 1976). Disamping itu, manajemen
juga akan semakin giat di dalam memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah
dirinya sendiri, sehingga masalah keagenan dapat diasumsikan akan berkurang dan kinerja
perusahaan menjadi meningkat (Wida, 2014). Peningkatan atas kepemilikan manajerial akan
membuat kekayaan manajemen secara pribadi semakin terikat dengan kekayaan perusahaan
sehingga manajemen akan berusaha mengurangi risiko kehilangan kekayaanya.
2.1.4 Kepemilikan Institusional
Tarjo (2008) menerangkan kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham suatu
perusahaan oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi,
dan kepemilikan institusi lainnya. Kepemilikan institusional dapat mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal sehingga keberadaanya memiliki arti penting bagi pemonitoran
manajemen. Dengan adanya monitoring tersebut maka pemegang saham akan semakin terjamin
kemakmurannya, dikarenakan pengaruh kepemilikan institusional yang berperan sebagai agen
pengawas ditekan oleh investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal (Permanasari,
2010).
Pemegang saham memiliki pengaruh yang kuat pada setiap perilaku manajer, dimana
jumlah pemegang saham yang besar mampu mengurangi dan mencegah tindakan oportunistik
manajer. Peningkatan kepemilikan institusional menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap
kinerja manajemen sehingga secara otomatis manajemen akan menghindari perilaku yang
merugikan prinsipal. Peningkatan jumlah kepemilikan institusional ini juga ditujukan agar setiap
aktivitas yang dilakukan diarahkan pada pencapaian nilai perusahaan (Wida, 2014). Kuatnya
kendali pihak institusi terhadap perusahaan maka akan memprediksi perusahaan untuk
melakukan pengungkapan sosial yang lebih luas.
2.1.5 Leverage
Leverage merupakan tingkat kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
finansialnya baik dalam jangka waktu pendek maupun dalam jangka panjang, atau mengukur
seberapa jauh operasi perusahaan dibiayai oleh hutang. Menurut Riyanto (1997) dalam
Bernandhi (2013) menyebutkan bahwa definisi leverage adalah penggunaan dana atau aset di
mana perusahaan harus menutup biaya tetap atau membayar beban tetap untuk penggunaan dana
atau aset tersebut. Leverage tidak lain adalah sumber dana eksternal sebab kedudukan leverage
mewakili hutang yang dimiliki perusahaan.
Rasio leverage merupakan gambaran hubungan antara hutang perusahaan terhadap modal
maupun aset. Rasio ini digunakan untuk melihat seberapa jauh perusahaan dibiayai hutang pihak
luar dengan kemampuan perusahaan yang digambarkan oleh modal atau aset yang digunakan
untuk menjamin hutang tersebut. Menurut Van Horn (1997) dalam Rawi dan Munawar (2010)
financial leverage merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap, dengan
harapan akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban tetapnya,
sehingga keuntungan pemegang saham bertambah.
Keputusan manajemen untuk menjaga agar rasio leverage tidak bertambah tinggi mengacu
pada pecking order theory. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa perusahaan lebih menyukai
pendanaan internal. Ketika diperlukan pendanaan dari luar, maka perusahaan akan menerbitkan
sekuritas dari yang paling aman terlebih dahulu, seperti obligasi kemudian sekuritas dengan
karakteristik opsi (contohnya obligasi konversi) baru kemudian saham. Secara sederhana dapat
dinyatakan bahwa apabila kebutuhan sumber pendanaan internal masih dapat dipenuhi maka
sumber pendanaan eksternal tidak perlu diupayakan. Dengan adanya nilai rasio leverage yang
tinggi maka nilai perusahaan akan mengalami penurunan (Weston dan Copeland dalam
Hardiyanti, 2012).
2.1.6 Nilai Perusahaan
Menurut Nurlela dan Ishlahuddin (2008), nilai perusahaan didefinisikan sebagai nilai
pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau keuntungan bagi
pemegang saham secara maksimum jika harga saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi
harga saham maka makin tinggi keuntungan pemegang saham sehingga keadaan ini akan
diminati oleh investor karena dengan permintaan saham yang meningkat menyebabkan nilai
perusahaan juga akan meningkat. Nilai perusahaan dapat dicapai dengan maksimum jika para
pemegang saham menyerahkan urusan pengelolaan perusahaan kepada orang-orang yang
berkompeten dalam bidangnya seperti manajer maupun komisaris.
Nilai dari perusahaan bergantung tidak hanya pada kemampuan menghasilkan arus kas,
tetapi juga bergantung pada karakteristik operasional dan keuangan dari perusahaan yang
diambil alih. Nilai perusahaan sangat penting artinya bagi suatu perusahaan karena semakin
tinggi nilai perusahaan, maka semakin tinggi kemakmuran pemegang saham. Menurut Retno dan
Priantinah (2012), para pemodal menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para profesional,
yaitu manajer ataupun komisaris agar pencapaian nilai perusahaan dapat meningkat. Nilai
perusahaan yang meningkat akan memberikan sumbangan pertumbuhan jangka panjang bagi
perusahaan (Sukasih dan Susilawati, 2011). Menurut Kusumajaya (2011), terdapat variabelvariabel kuantitatif yang digunakan untuk memperkirakan nilai perusahaan, yaitu:
1) Nilai buku merupakan total ekuitas pemegang saham dibagi dengan jumlah saham
yang beredar.
2) Nilai pasar merupakan suatu pendekatan untuk memperkirakan nilai bersih dari
perusahaan. Apabila saham dari perusahaan diperdagangkan dalam bursa sekuritas,
maka nilai perusahaan dapat diukur berdasarkan nilai pasarnya.
3) Nilai apprasial, diperoleh dari perusahaan independent appraiser.
4) Nilai arus kas, digunakan ketika melakukan penilaian merger atau akuisis untuk
mengestimasi arus kas bersih.
Menurut Brealey (2008: 165) nilai buku mencatat berapa yang dibayar perusahaan untuk
asetnya, dikurangi pengurangan untuk penyusutan. Nilai likuiditas adalah berapa yang bisa di
jaring perusahaan dengan menjual asetnya dan melunasi utang-utangnya. Ini tidak meliputi nilai
perusahaan sebagai usaha yang terus berjalan. Sedangkan nilai pasar adalah jumlah yang
bersedia di bayar oleh investor untuk saham perusahaan. Ini tergantung pada kekuatan
menangguk laba dari aset saat ini serta perkiraan profitabilitas investasi masa depan.
Menurut Susanti (2010) dalam Mahendra (2011: 18) nilai perusahaan sangat penting
karena dengan nilai perusahaan yang tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang
saham. Semakin tinggi harga saham semakin tinggi pula nilai perusahaan. Nilai perusahaan yang
tinggi menjadi keinginan para pemilik perusahaan, sebab dengan nilai yang tinggi menunjukkan
kemakmuran pemegang saham juga tinggi. Kekayaan pemegang saham dan perusahaan
dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi
pendanaan (financing) dan manajemen aset.
2.1.7 Corporate Social Responsibility (CSR)
1) Pengertian Corporate Social Responsibility
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen berkelanjutan dari perusahaan
yang berjalan secara etis dan memiliki kontribusi terhadap pembangunan untuk meningkatkan
kualitas hidup tenaga kerja dan keluarga mereka, dan juga komunitas lokal serta masyarakat luas
(Hadi, 2011:46). Corporate social responsibility merupakan mekanisme bagi suatu organisasi
untuk sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya
dan interaksinya dengan stakeholders yang melebihi tanggung jawab organisasi dibidang hukum
(Anggraini, 2006). Dengan demikian, operasi bisnis yang dijalankan oleh perusahaan tidak lagi
hanya dihadapkan pada keuntungan secara finansial, tetapi juga didukung dengan komitmen
pada pembangunan sosial ekonomi secara keseluruhan dan berkelanjutan. Dapat disimpulkan
CSR merupakan suatu wujud tanggung jawab perusahaan atau organisasi atas dampak yang
muncul dari keputusan dan aktivitas yang telah diambil dan dilaksanakan oleh organisasi
tersebut, dimana dampak dari aktivitas tersebut pada akhirnya berimbas kepada pihak-pihak yang
terkait dengan masyarakat dan lingkungan.
Kegiatan tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan diungkapkan dalam laporan
tahunan atau sustainability report. Pengungkapan informasi mengenai tanggung jawab sosial
yang dilakukan perusahaan di Indonesia bersifat mandatory, di mana perusahaan diwajibkan
untuk mengungkapkan kegiatan tanggung jawab sosial yang telah dilaksanakan. Pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan
lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan terhadap masyarakat (Rustiarini, 2011).
Pengungkapan informasi tanggung jawab sosial perusahaan juga merupakan bagian dari etika
bisnis, di mana perusahaan tidak hanya memenuhi kewajiban-kewajiban ekonomi, namun juga
memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (Mutmainah,
2012). Menurut Murwaningsari (2009), ruang lingkup tanggung jawab sosial perusahaan
meliputi:
(1) Basic Responsibility, yaitu tanggung jawab sosial yang muncul karena keberadaan
perusahaan.
(2) Organizational Responsibility, yaitu tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi
kepentingan stakeholders.
(3) Societal Responsibility, yaitu tanggung jawab perusahaan ketika terjadi interaksi bisnis
dengan masyarakat sehingga perusahaan dapat tumbuh dan berkembang secara
berkesinambungan.
2) Pengungkapan corporate social responsibility
Pengungkapan mengandung arti bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi dan
penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha. (Chariri dalam Pancawati,
2008), informasi yang diungkapkan harus berguna dan tidak membingungkan pemakai laporan
keuangan dalam membantu pengambilan keputusan. Sumadi (2011) mengatakan melalui
informasi atas pengelolaan perusahaan oleh manajemen, pengguna laporan keuangan akan dapat
mengetahui kondisi keuangan maupun non keuangan.
Pengungkapan pertanggungjawaban sosial di Indonesia telah diatur dalam beberapa
peraturan seperti yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam pernyataan PSAK
No.1 ( Revisi 2009) merupakan suatu aturan yang dijadikan dasar oleh perusahaan dalam
menyajikan dan mengungkapkan informasi tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan
tahunan perusahaan terpisah dari laporan keuangan perusahaan. Peraturan tersebut diperkuat
dengan dikeluarkannya peraturan oleh BAPEPAM selaku lembaga yang mengatur dan
mengawasi pelaksanaan pasar modal dan lembaga keuangan di Indonesia. Peraturan BAPEPAM
No. VIII G.7 mengenai penyajian dan pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan
publik yang menyatakan bahwa emiten atau perusahaan publik dapat mengungkapkan informasi
tanggung jawab sosial pada laporan tahunan atau laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan
dengan laporan tahunan kepada BAPEPAM dan laporan keuangan, seperti laporan keberlanjutan
(sustainability report) atau laporan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility report).
Peraturan yang dikeluarkan IAI dan BAPEPAM sejalan dengan diberlakukannya UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Disebutkan bahwa perseroan yang
menjalankan usahanya berkaitan atau di bidang sumber daya alam wajib menjalankan tanggung
jawab sosial dan lingkungan (pasal 74 ayat 1) tanggung jawab sosial sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan
dan kewajaran. Namun menurut Pradipta dan Anna (2011), sampai saat ini belum ada pedoman
baku yang mengatur luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan serta item-item
pengungkapan tanggung jawab perusahaan masih merupakan informasi yang bersifat sukarela.
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Amelia Permana (2013).
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dalam penelitian ini dilihat melalui enam
kategori yaitu: economic performance indicators (EC), environmental performance indicators
(EN), labor practices and decent work performance indicators (LA), human rights performance
indicators (HR), society performance indicators (SO), dan product responsibility performance
indicators (PR). Sehingga peneliti menggunakan item pengungkapan pertanggungjawaban sosial
yang berjumlah 84 item.
3) Luas pengungkapan corporate social responsibility
Dalam Yuli (2014) praktek pengungkapan telah banyak dilakukan dengan tujuan
melindungi pemakai laporan keuangan (proactive), memberikan informasi yang dapat membantu
pengguna dalam mengambil keputusan (informative), serta ingin memberikan perlindungan bagi
pengguna laporan keuangan dengan memberikan informasi yang handal dan efisien dalam
melakukan pengambilan keputusan (differential). Pengungkapan yang dilakukan dapat dianggap
berkualitas apabila tingkat keluasan pengungkapan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan
pengguna. Sehingga semakin luas tingkat pengungkapan yang dilakukan maka semakin valid
informasi yang diberikan dan semakin tinggi kualitas informasi yang disajikan. Terdapat tiga
konsep pengungkapan yang umum dilakukan yaitu:
(1) Pengungkapan cukup (adequate disclosure), dalam konsep ini pengungkapan yang
dilakukan ialah pengungkapan minimum yang diisyaratkan oleh peraturan yang berlaku.
Angka-angka yang disajikan dapat diinterpretasikan dengan benar oleh investor.
(2) Pengungkapan wajar (fair disclosure), pada konsep ini pengungkapan yang dilakukan
ialah pengungkapan wajar. Pengungkapan ini secara tidak langsung memiliki tujuan etis
untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua pemakai laporan dengan
menyediakan informasi yang layak terhadap pembaca potensial.
(3) Pengungkapan penuh (full disclosure), mempergunakan pengungkapan penuh yang
menyangkut kelengkapan penyajian informasi yang diungkapkan secara relevan. Naim
dan Rachman (2000) menyatakan pengungkapan penuh memiliki kesan penyajian
informasi secara melimpah sehingga beberapa pihak menganggapnya tidak baik.
Konsep full disclosure jarang dipergunakan dikarenakan terdapat pertimbangan yang
dilakukan oleh manajemen yaitu :
(1) Dapat memunculkan informasi yang berlebihan.
(2) Memberikan interpretasi yang berbeda bagi pembaca.
(3) Mempengaruhi strategi perusahaan.
2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial pada Nilai Perusahaan
Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer memiliki saham
dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan
(Rustiarini, 2011). Pihak tersebut adalah mereka yang duduk di dewan komisaris dan dewan
direksi perusahaan. Kepemilikan manajerial adalah dimana manajemen memiliki proporsi saham
dari perusahaan yang mereka kelola. Dengan adanya sebagian proporsi saham perusahaan yang
dimiliki oleh manajemen, maka hal tersebut akan menjadikan pihak manajemen bisa merasakan
manfaat dari keputusan-keputusan yang diambilnya (Bernandhi, 2013). Begitu pun sebaliknya,
risiko-risiko akibat kesalahan pengambilan keputusan juga dapat secara langsung dirasakan
dampaknya.
Menurut Jensen dan Meckling mekanisme untuk mengatasi konflik keagenan antara lain
dengan meningkatkan kepemilikan insider (insider ownership), sehingga dapat mensejajarkan
kepentingan pemilik dengan manajer. Semakin bertambahnya saham yang dimiliki manajer,
melalui kepemilikan manajerial akan memotivasi kinerja manajemen karena mereka merasa
memiliki andil dalam perusahaan baik sebagai pengambil keputusan maupun dalam tanggung
jawab atas setiap keputusan yang diambil. Sehingga pada akhirnya kinerja manajemen akan
semakin baik dan berpengaruh pada peningkatan nilai perusahaan Adri, dkk (2014).
Penelitian Ari dan Ayu (2013) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Abdolkhani,
dan Reza (2013) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H1: Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada nilai perusahaan.
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional pada Nilai Perusahaan
Kepemilikan institusional mempunyai arti penting dalam memonitor manajemen dalam
mengelola perusahaan. Menurut Sofyaningsih dan Pancawati (2011) meningkatkan kepemilikan
institusional menjadikan fungsi pengawasan akan berjalan secara efektif dan menjadikan
manajemen semakin berhati-hati dalam memperoleh dan mengelola pinjaman (hutang), karena
jumlah hutang yang semakin meningkat akan menimbulkan financial distress. Oleh karena itu,
dengan adanya hal tersebut maka dapat meningkatkan nilai perusahaan karena mencegah
pemborosan oleh manajemen.
Bukti empiris mengenai pengaruh kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan
ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Mokhtari dan Khosro (2013) menemukan
bahwa kepemilikan institusional memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap nilai
perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Thanatawee (2014) yang
membuktikan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif secara signifikan terhadap
nilai perusahaan. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan
aktiva perusahaan dan diharapkan juga dapat bertindak sebagai pencegahan terhadap
pemborosan dan manipulasi laba yang dilakukan oleh manajemen sehingga akan meningkatkan
nilai perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H2: Kepemilikan institusional berpengaruh positif pada nilai perusahaan.
2.2.3 Pengaruh Leverage pada Nilai Perusahaan
Hutang merupakan salah satu sumber pembiayaan eksternal yang digunakan oleh
perusahaan untuk membiayai kebutuhan dananya. Berdasarkan balancing theory yang
dikemukakan oleh Myers (1977) penggunaan hutang yang semakin besar akan meningkatkan
keuntungan perusahaan dari penggunaan hutang tersebut, namun semakin besar pula biaya
kebangkrutan dan biaya keagenan. Teori struktur modal juga menyatakan hal yang sama, adanya
ketidaksempurnaan
pasar
modal
menyebabkan
pemilik
perusahaan
keberatan
untuk
menggunakan leverage yang ekstrim karena akan menurunkan nilai perusahaan (Suad Husnan,
1998 dalam Anonim 2014). Dalam pengambilan keputusan akan penggunaan hutang ini harus
mempertimbangkan besarnya biaya tetap yang muncul dari hutang berupa bunga yang akan
menyebabkan semakin meningkatnya leverage keuangan dan semakin tidak pastinya tingkat
pengembalian bagi para pemegang saham biasa. Oleh sebab itu, perusahaan akan cenderung
untuk menjaga komposisi hutang mereka.
Semakin besar rasio leverage suatu perusahaan, maka perusahaan akan menahan laba
operasional perusahaannya untuk digunakan melunasi hutang perusahaan. Rasio leverage yang
tinggi tentu akan mempengaruhi penilaian pemegang saham pada saat akan menanamkan modal
mereka, mereka tidak akan menanamkan modal pada perusahaan yang tidak memiliki
kemampuan untuk melunasi seluruh kewajibannya. Perusahaan juga akan kesulitan untuk
memperoleh dana pinjaman dari pihak dari luar lagi (Bernandhi, 2013).
Penelitian Mahendra (2011) menemukan bahwa leverage berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap nilai perusahaan. Selanjutnya Purnama dan Abundanti (2013) menemukan
bahwa leverage berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Hal ini disebabkan
karena hutang akan menambah beban tetap tanpa memperdulikan besarnya pendapatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H3: Leverage berpengaruh negatif pada nilai perusahaan
2.2.4 Hubungan CSR, Kepemilikan Manajerial, dan Nilai Perusahaan
Kepemilikan manajemen adalah persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh direksi,
manajer dan dewan komisaris (Yuli, 2014). Struktur kepemilikan manajerial memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Semakin
banyak investor manajerial dalam berpartisipasi pada kepemilikan perusahaan, akan mendorong
mereka untuk berpartisipasi lebih aktif dalam pemantauan dan menyelaraskan manajemen dan
mendorong mereka untuk mengubah cara-cara yang lebih baik dalam mencapai standar kinerja
sosial perusahaan yang lebih tinggi (Uwalomwa, 2011). Mathiesen (2004) menemukan jika suatu
perusahaan memiliki kepemilikan manajerial yang tinggi, maka manajer akan bersikap jauh lebih
peduli tentang kepentingan pemegang saham dan opsi saham untuk kontribusi perusahaan.
Dengan demikian, struktur modal dengan kepemilikan manajerial yang tinggi menurunkan biaya
keagenan dan meningkatkan pengungkapan informasi sosial dalam rangka untuk meningkatkan
image perusahaan (Yuli, 2014).
Menurut Anggraini (2006) semakin besar kepemilikan manajerial di dalam perusahaan
maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan, dengan kata
lain biaya kontrak dan pengawasan menjadi lebih rendah. Manajer perusahaan akan berusaha
mengungkapkan informasi mengenai tanggung jawab lingkungan dan sosial dalam rangka
meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengorbankan sumber daya untuk aktivitas
tersebut (Gray, et al. 1998). Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini
adalah:
H4: CSR mampu memperlemah pengaruh kepemilikan manajerial pada nilai perusahaan.
2.2.5 Hubungan CSR, Kepemilikan Institusional, dan Nilai Perusahaan
Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi menimbulkan usaha pengawasan yang lebih
besar untuk menghalangi perilaku opportunistic manajer. Kepemilikan institusional menurut
Soliman et al. (2012) menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh institusi juga akan
berpengaruh positif terhadap luas pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan merupakan salah satu aktivitas yang dimonitor
oleh investor institusi karena dianggap sebagai aktivitas positif yang digunakan untuk
memperoleh legitimasi masyarakat. Investor institusional umumnya merupakan pemegang
saham yang cukup besar karena memiliki pendanaan yang tinggi.
Hasil ini diperkuat dari penelitian yang dilakukan oleh Yong Oh, dkk (2011) yang
menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara CSR dan kepemilikan institusional. Soliman
(2012) dalam Yuliani (2014) yang mana menemukan adanya hubungan yang positif antara
kepemilikan saham institusional dengan pengungkapan corporate social responsibility. Artinya
semakin besar kepemilikan institusional semakin kuat kendali yang dilakukan pihak eksternal
terhadap perusahaan. Hal ini terjadi karena adanya hubungan timbal balik yang kuat antara
tanggung jawab perusahaan dengan pihak luar (masyarakat). Berdasarkan uraian di atas, maka
hipotesis pada penelitian ini adalah:
H5: CSR mampu memperkuat pengaruh kepemilikan institusional pada nilai perusahaan.
2.2.6 Hubungan CSR, Leverage, dan Nilai Perusahaan
Menurut Riyanto (1997) dalam Bernandhi (2013) menyebutkan bahwa definisi leverage
adalah penggunaan dana atau aset di mana perusahaan harus menutup biaya tetap atau membayar
beban tetap untuk penggunaan dana atau aset tersebut. Tingkat leverage adalah untuk melihat
kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan semua kewajibannya kepada pihak lain.
Perusahaan yang mempunyai proporsi utang lebih banyak dalam struktur permodalannya akan
menanggung biaya yang lebih besar. Namun, apabila perusahaan dapat mengelola hutang dengan
baik guna meningkatkan keuntungan maka akan memberikan respon positif bagi investor.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sari (2012), Dewi dan Keni (2012),
dan Chuzairi (2013) yang menemukan bahwa leverage dengan menggunakan pengukuran Debt
to Equity (DER) menunjukkan hasil bahwa leverage tidak berpengaruh terhadap pengungkapan
CSR. Sedangkan penelitian lainnya menunjukkan hasil yang tidak konsisten yang dilakukan oleh
Novrianto (2012) menunjukkan hasil positif dan signifikan terhadap pengungkapan CSR.
Dengan harapan perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk
melakukan pengungkapan informasi yang lebih luas (termasuk didalamnya penggungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan) dibanding perusahaan dengan tingkat leverage rendah.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:
H6: CSR mampu memperlemah pengaruh leverage pada nilai perusahaan.
Download