BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Sakit Umum Daerah Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat sesuai dengan Undang-undang Rumah Sakit (UU RI No. 44 tahun 2009). Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Indonesia adalah institusi perumahsakitan yang dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah atau pemerintah kota di era desentralisasi sesudah tahun 2003. Kabupaten Humbang Hasundutan merupakan kabupaten yang baru dimekarkan dari kabupaten induk yaitu Tapanuli Utara sejak tahun 2003, yang mengharuskan kabupaten ini memiliki sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat (rumah sakit) minimal tipe C. Syarat rumah sakit tipe C adalah bila memiliki 4 tenaga medis spesialis dasar yaitu bedah, kebidanan, penyakit dalam dan spesialis anak sesuai dengan peraturan pemerintah dalam UUD RI NO 44 THN 2009 Tentang Rumah Sakit. Dengan berkembangnya kabupaten ini seiring dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, pemerintah harus berbenah untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara meningkatkan sarana dan prasarana baik kuantitas maupun kualitasnya pelayanan Kesehatan. Sistem desentralisasi memberikan keluasan bagi pemerintah setempat melakukan kebijakan daerah di dalam pengelolaan rumah sakit sesuai dengan kondisi yang ada di daerah hal ini ditegaskan dengan SK Menkes RI NO. 004/MENKES/SK/I/2003. Dengan adanya desenteralisasi pihak pemerintah daerah tidak terikat kaku oleh peraturan pemerintah pusat selama mereka dapat mempertanggungkan kebijakan itu memberi manfaat pada masyarakat yang dilayani dan pada pemerintah daerah itu sendiri. Hal lain yang kurang dikehendaki sistem desentralisasi adalah bahwa di rumah sakit milik pemerintah daerah biasanya tidak memiliki kegiatan litbang (penelitian dan pengembangan) yang setara dengan R&D (Research and Development), (Soemartono, 2006). 2.2. Kepemimpinan 2.2.1. Teori Kepemimpinan dan Pemimpin Masa Depan 2.2.1.1. Teori Kepemimpinan Kepemimpinan sudah dimulai pada periode permulaan perang dunia ke-2, namun masih banyak terdapat perbedaan pendapat. Bahkan masalah-masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dimulainya sejarah manusia yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang yang mempunyai kemampuan lebih dari yang lain. Stogdill dalam Aditama (2000) dalam surveinya mengenai riset dan teori kepemimpinan mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari pada anggota kelompok. Jumlah batasan atau definisi yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan hampir sama banyaknya dengan jumlah orang yang mencoba memberikan batasan tentang konsep tersebut. Kweirich dan Koontz (1993) Sopiah (2008) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah seni atau proses untuk mempengaruhi orang lain sehingga mereka bersedia dengan kemampuan sendiri dan secara antusias bekerja untuk mencapai tujuan organisasi. Pendapat lain yang dikemukakan oleh John Pfiffer memberikan definisi bahwa kepemimpinan adalah seni untuk mengkordinasikan dan memberikan dorongan terhadap individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Winardi yang dikutip dari Aditama (2000) bahwa seorang pemimpin adalah seorang karena kecakapan pribadinya, dengan atau tanpa pengangkatan resmi, dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk mengarahkan upaya bersama kearah pencapaian sasaran atau tujuan bersama. Dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu sebagai pengaruh antar pribadi yang dilakukan dalam suatu situasi dan diarahkan, melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Definisi tersebut diatas tidak menyebutkan suatu jenis organisasi tertentu, dalam situasi apapun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan. Istilah pemimpin dan pengikut bukanlah dalam arti sebagai atasan dan bawahan. Ketika seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang itu adalah pemimpin potensial dan orang yang dipengaruhinya adalah pengikut potensial, tidak jadi soal apakah orang itu atasan, rekan sejawat, bawahan, kawan atau sanak saudara (Hersey, 1982). Sesuai beberapa definisi tentang kepemimpinan itu sendiri, bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang handal harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan antara lain : 1. Jujur, sifat jujur merupakan perpaduan keteguhan watak, sehat dalam prinsipprinsip moral, tabiat suka akan kebenaran, tulus hati dan berperasaan halus mengenai etika keadilan dan kebenaran. 2. Berpengetahuan, yang merupakan totalitas kecerdasan dan pengertian luas yang diperoleh dengan jalan belajar terus menerus. 3. Berani, merupakan suatu tingkatan mental yang mengakui adanya ketakutan dan kekwatiran terhadap bahaya atau kemungkinan celaan. 4. Mampu mengambil keputusan, kecakapan untuk memecahkan persoalan dengan cepat dan tepat. 5. Dapat dipercaya, merupakan kepastian pelaksanaan kewajiban dengan setepattepatnya. Disamping sifat-sifat diatas hal yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pemimpin adalah berinisiatif, bijaksana, tegas, adil, menjadi tauladan, ulet, loyalitas, tidak egois, antusias, rendah hati. 2.2.1.2. Pemimpin Masa Depan Prinsip kepemimpinan adalah adanya hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Tanpa pengikut tidak mungkin ada yang memimpin. Pemimpin yang efektif menyadari dan mengelola dengan benar dinamika hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Pemimpin adalah pusat sejumlah kekuatan yang masing-masing mempunyai kekhasan tersendiri. Kekuatan ini menuntut pemimpin berperilaku dengan cara mereka untuk berusaha mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk menanggapi tuntutan yang demikian banyaknya, pemimpin harus menyeimbangkan antara energi yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil serta berapa banyaknya energi yang dikeluarkan untuk suatu hubungan. Pemimpin masa depan akan menghadapi tuntutan yang makin besar dan makin kompleks. Ledakan teknologi, komunikasi dan kesadaran yang meningkat bahwa manusia merupakan faktor utama efektifitas organisasi, hal ini meningkatkan tantangan dalam mengelola ketegangan antara perkembangan dunia dengan kebutuhan individu. Pemimpin perlu memperhatikan masalah sosial dan lingkungan dan melayani kebutuhan yang selalu meningkat dari setiap individu. Menurut Beckhard (1996) dalam Drucker (2000) tantangan utama kepemimpinan masa depan adalah memimpin dan mengelola secara efektif hubungan antara misi dan tujuan organisasi, interaksi antara kemitraan dengan lembaga dan sektor lainya. Pemimpin masa depan yang efektif adalah pemimpin yang memiliki kepribadian yang baik yang ditentukan oleh nilai dan keyakinan yang kuat yang tumbuh dalam setiap kemampuan individu. Mereka akan menjadi seorang pemimpin yang visioner dan memiliki kepercayaan yang kuat bahwa mereka mampu dan harus menciptakan masa depan yang lebih baik (Drucker, 1996). 2.2.2. Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan. Gaya kepemimpinan adalah vital bagi organisasi. Gaya pemimpin menurut Blanchard (1982) adalah pola pola perilaku yang konsisten yang diterapkan pemimpin dalam bekerja dengan orang lain seperti yang dipersepsikan oleh orang tersebut. Pola itu terlihat ketika orang lain memberi tanggapan dengan cara yang sama dan kondisi yang tidak jauh berbeda (Drucker, 2000). Drucker dkk sejak awal tahun 1990 banyak mengoleksi teori kepemimpinan dari buku-buku klasik ataupun menulis risalah-risalah pengembangan sumber daya manusia berdasarkan pengalaman para pakar kepemimpinan perusahaan multi nasional di manca negara. Seorang pemimpin dalam melaksanakan fungsi sebagai manajer dalam mengarahkan dan mempengaruhi bawahanya harus memilih cara atau gaya karakteristik tersendiri yang tepat untuk menjalankan fungsinya, sebelum menentukan model kepemimpinan sebaiknya seorang manajer harus mempertimbangkan beberapa hal yaitu kekuatan yang ada pada manajer itu sendiri, kekuatan yang ada pada bawahan dan kekuatan yang ada dalam situasi. Manajer yang efektif adalah manajer yang luwes dan mampu memilih perilaku kepemimpinan yang dibutuhkan dalam waktu dan tempat tertentu. Seorang manajer dalam memimpin sangat dipengaruhi oleh latar belakang, pengetahuan, nilai dan pengalamanya yang merupakan kekuatan yang ada dalam dirinya. Kenyataan bahwa keperibadian atau pengalaman masa lampau seseorang manajer membantu membentuk gaya kepemimpinan, namun gaya tersebut dapat diubah bila tidak cocok dengan situasi dan kondisi organisasi. 2.2.3. Jenis – Jenis Gaya Kepemimpin A. Gaya Kepemimpinan Menurut Ken Blanchard. Ken Blanchart menampilkan model kepemimpinan seperti “Piramida Terbalik” yang menempatkan pucuk pimpinan justru di titik paling bawah dari frame work struktur organisasi. Tujuannya adalah lebih menekankan bahwa para pimpinan supaya menyadari merekalah yang menjadi sumber daya bagi bawahan mereka. Para bawahan yang selama ini dalam struktur organisasi klasik digambarkan pada lapisan lebih rendah, sekarang harus berada di cabang-cabang atau ranting yang lebih tinggi. Para pimpinan organisasi berorientasi pasar dan pegawai harus mendukung kegiatan subordinat menjadi lebih efektif, berada di atas canopy organisasi untuk meningkatkan penampilan organisasi di mata organisasi sendiri terutama di mata organisasi pemakai jasa ataupun pesaing. Sanggupkah pemimpin berperilaku demikian? ( Druckker, 1996). B. Gaya Kepemimpinan Menurut Lewin (Teori Klasik) Lewin membagi gaya kepemimpinan sebagai berikut: a. Gaya Kepemimpinan Autocracy Pada kondisi tertentu dimana organisasi berada dalam kondisi krisis melakukan penyelamatan, sering menjadi efektif menyelamatkan organisasi dari kehancuran yang tak dapat kembali (irreversible damage). Di dalam tugas-tugas kemiliteran, organisasi dengan gaya kepemimpinan autocracy kelihatannya sungguh bermafaat. Jenis kepemimpinan ini tidak mudah untuk menerima atau mendengarkan pendapat orang lain. Bila cara ini dijalankan dengan kaku maka akan banyak korban di pihak pelaksana, dan hal ini tidak disenangi bila dilangsungkan dalam waktu yang lama dan berlarut-larut (Nelson dan Quik, 2005). Jenderal Dwight berkata, memimpin orang dengan kasar bukanlah kepemimpinan melainkan penganiayaan. b. Gaya Kepemimpinan Demokratis (democracy) Gaya Kepemimpinan demokratis adalah gaya seorang pemimpin yang menghargai karakteristik dan kemampuan seseorang. Pemimpin demokratis menggunakan kekuatan pribadi dan jabatan untuk menarik gagasan daripada pegawai dan memotivasi anggota kelompok kerja untuk menentukan tujuan mereka sendiri, mengembangkan rencana mereka dan mengontrol praktik mereka sendiri. Kepemimpinan yang seperti ini agak sulit dikendalikan karena selalu ada hiruk pikuk perbedaan pendapat. Kepemimpinan ini lebih disukai staf karena ada kesempatan untuk didengar pendapatnya (Nelson dan Quik, 2005). c. Gaya Kepemimpinan Bebas (Laissec Faire) Gaya kepemimpinan bebas adalah gaya yang membiarkan atau tidak membatasi staf untuk berbuat apa saja. Ketiga jenis gaya ini disebut teori klasik dari Lewin. C. Gaya Kepemimpinan Menurut Paul Hersey Paul Hersey mengembangkan gaya kepemimpinan situasional dengan mengetengahkan bagaimana sebaiknya melakukan pendelegasian kewenangan serta tugas-tugas yang bertingkat sesuai dengan kesulitannya pada personel yang ada di suatu organisasi. Di dalam organisasi rumah sakit misalnya telah dipenuhi oleh aneka ragam profesi dengan tingkat kemahiran masing-masing. Tidaklah mudah di alam organisasi yang dmokratis untuk melakukan perubahan posisi tanpa suatu analisis yang mendalam mencegah reaksi negatif dari lingkungan komunitas organisasi. Adakalanya ketersendatan pada kenaikan jabatan, karena tidak ada posisi yang luang, dapat menjadikan kesan yang buruk pada kepemimpinan di rumah sakit. Ada saja keluhan yang mengkritisi kebijakan pimpinan sementara pihak pimpinan sendiri tidak melihat kesempatan kenaikan jabatan itu ada yang terbuka. Kondisi yang tidak memuaskan pada mereka yang seharusnya menurut kronologis sudah boleh pindah jabatan dapat mengakibatkan mereka mengajukan pengunduran diri, sementara rumah sakit masih sangat membutuhkan jasa yang mampu diberikan oleh pegawai. Gambar 2.1. Model Kepemimpinan Situasional Mengaitkan Tingkat Kematangan dari Pegawai dengan Kewenangan dan Jabatan Paul Hersey dkk mengetengahkan suatu pedoman penempatan seseorang individu dalam tatanan kepemimpinan di organisasi yang demokratis serta menganjurkan strategi yang transparan diketahui oleh semua pegawai tentang pengangkatan posisi seseorang dibuat berdasarkan kesempatan yang terbuka dan menurut karakterisitik yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh setiap pegawai pada masa sebelumnya. Pada model kepemimpinan seperti ini sedikit banyak akan dapat mengendalikan opini negatif tentang kepemimpinan yang tidak adil sedang berlangsung di suatu organisasi. Masalah kepemimpinan situasional ini ada supaya para pemimpin di rumah sakit selalu melakukan komunikasi yang transparan mengenai kebijakankebijakan kepegawaian di rumah sakit. Dengan adanya penerangan yang cukup dilakukan oleh pihak pimpinan, dapat diharapkan gaya kepemimpinan tersebut mampu mengurangi perasaan kecewa, yang potensial mengakibatkan berkurangnya rasa kepuasan kerja (Hersey et.al., 1984). D. Gaya Kepemimpinan Menurut Schein Alasan mengapa begitu banyak teori tentang kepemimpinan yang berbeda beda adalah para peneliti yang berbeda meneliti fokus yang berbeda pula .Pada satu sisi semua teori itu benar adanya, karena mereka mengidentifikasi satu komponen sentral dari situasi manusia yang kompleks yaitu kepemimpinan, mengamalisa komponen itu secara rinci dan mengabaikan yang lainya. Fokus teori Schein adalah bagaimana seorang pemimpin masa depan dapat tetap bertahan kuat dan kokoh dalam bersaing ditengah perkembangan teknologi dan komunikasi yang hampir tak terkendalikan. Dengan menganggap bahwa organisasi itu merupakan suatu sistem siklus yang dinamis dari kehidupan organisasi itu maka dapat diidentifikasi bahwa tantangan yang unik dapat mempengaruhi implikasi perilaku kepemimpinan. Sesuai dengan tantangan yang muncul dalam setiap siklus perkembangan dan situasi organisasi maka seorang pemimpin harus menentukan pola atau cara yang tepat dan yang sesuai untuk menggerakan dan mengarahkan bawahanya agar tujuan yang dikehendaki dapat tercapai. Schein membagi corak atau gaya pemimpin menjadi 5 sesuai siklus perkembangan dan situasi organisasi. a .Gaya Pemimpin yang Animator Pemimpin yang animator mampu memberi energi membangkitkan motivasi berprestasi pada bawahan mereka. Pada tahap awal terciptanya suatu organisasi, salah satu fungsi yang unik dari pemimpin adalah mensuplai energi yang dibutuhkan untuk mengangkat organisasi. Visi organisasi tidak luas dikaji tentang energi luar biasa yang mereka tampilkan saat mereka mencoba satu pendekatan yang baru setelah pendekatan lainya gagal, dalam upaya mereka mengawali suatu usaha. Pemimpin yang mempunyai energi besar itu berhasil mengalihkan energi itu kepada bawahan mereka, energi ini muncul dari keyakinan pribadi yang kuat, seolah memasukan udara segar dalam organisasi. b. Gaya Pemimpin sebagai Pencipta Budaya Bila suatu organisasi memiliki potensi untuk hidup dan bertahan hidup, kepercayaan, nilai dan asumsi dasar pemimpin ditransfer ke model mental bawahanya. Proses membangun budaya organisasi harus melakukannya dalam 3 tahap: (1) Para pemimpin mempekerjakan dan mempertahankan bawahan yang berpikir dan merasa seperti diri mereka sendiri; (2) melakukan indoktrinasi dan sosialisasi apa yang mereka pikir dan rasakan secara efektif pada bawahan; (3) berperilaku senada dengan apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka indoktrinasikan pada bawahan. Bila semua rencana dan usaha merealisasikan buah pikiran itu memberi hasil, maka terciptalah suatu budaya yang ternyata mampu memberikan hasil positif pada organisasi. c Gaya Pemimpin sebagai Pemelihara Budaya Pemimpin harus mampu mempertahankan budaya organisasi yang ternyata mampu memberikan hasil positif untuk masa selanjutnya. Setiap organisasi yang sukses selalu menarik untuk ditiru. Kalau organisasi terus berhasil dan tumbuh dalam skala dan usia akan memaksa pemimpin untuk memperhitungkan bagaimana cara menumbuhkan proses yang tadinya dapat bekerja dalam skala kecil menjadi skala global dengan karyawan yang semakin matang. Kualitas penilaian dan kebajikan yang makin rumit merupakan hal yang paling penting bagi pemimpin pada taraf evolusi organisasi. d . Gaya Pemimpin sebagai Agen Perubahan Bila ada masalah ditengah budaya yang sedang berjalan, pemimpin harus mampu menjadi agen perubahan kepada suatu budaya baru yang bebas masalah. Untuk mampu memilih budaya yang baru seperti itu, pemimpin harus memiliki pengalaman yang cukup variatif supaya mampu menentukan arah perubahan. Di dalam melakukan perubahan, terutama terhadap budaya yang sudah ada adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah. Budaya tidak dapat dirubah sesuka hati, tetapi budaya harus ditumbuhkan dari titik kecambah sehingga menjadi setinggi pohon dewasa. Budaya tidak dapat dimanipulasi dengan hanya membuat pengumuman perubahan atau menerbitkan peraturan baru. Perubahan budaya memerlukan waktu yang cukup lama. Pemimpin harus dapat memberi toleransi yang cukup bila pada masa transisi selalu ada kejanggalan dalam pelaksanaannya. e. Gaya Pemimpin Visioner (Pandangan ke Masa Depan) Pemimpin harus mampu memandang masa depan. Pemimpin tidak hanya perlu memandang pada segi historis riwayat organisasi di masa lalu. Di dalam dunia bisnis tidak ada sesuatu yang kekal dan harus selalu dipertahankan menghadapi masa depan. Diperlukan suatu visi, keyakinan dan energi yang kuat. Diperlukan suatu sistem penilaian, kebajikan, keterampilan untuk menjadi bahan pertimbangan menyongsong masa depan. Diperlukan suatu kemampuan pembelajaran serta kelenturan pribadi untuk menumbuhkan dan mengubah organisasi. Pemimpin masa depan menurut Schein memerlukan karakteristik sebagai berikut : (1) Tingkat persepsi dan wawasan yang luar biasa terhadap realita dunia dan terhadap diri sendiri; (2) Tingkat motivasi yang kuat mengatasi pahitnya pembelajaran dan perubahan yang tidak dapat dihindari. Kekuatan emosional (3) Kemampuan mengendalikan kekuatan emosional mengatasi kecemasan karena suatu perubahan; (4) Keterampilan baru menganalisis asumsi kultural; (5) Tingkat kemauan dan kemampuan melibatkan orang lain dalam tugas-tugas yang semakin kompleks dan informasi yang semakin luas dan (6) Kemauan dan kemampuan membagi kekuasaan dan kontrol pengendalian bersama orang lain. Beri kesempatan pada seluruh masyarakat pegawai untuk mempertumbuhkan keterampilan kepemimpinan di bidang masing-masing (Drucker, 1996). 2.2.4. Kepemimpinan yang Sukses Penampilan suatu organisasi erat hubungannya dengan mutu kepemimpinan. Kepemimpinan yang kuat dapat membawa organisasi pada kesuksesan dan kegemilangan yang berkesinambungan. Kate mengemukakan 3 bagian kecakapan pemimpin sebagai berikut: konsepsional, kemanusiaan, dan teknis. Kecakapan konsepsional dimiliki oleh pimpinan tingkat atas (top management level). Kecakapan kemanusiaan dimiliki oleh middle management sedang kecakapan teknis dimiliki oleh lower managament level (Hersey, 1982). Teori path goal (Yukl, 1980) menyatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi bawahannya agar percaya bahwa hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan usaha yang lebih sungguh-sungguh. Kepemimpinan yang berlaku universal menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Para pemimpin memerlukan waktu untuk memahami kekuatan dan kelemahan dari tingkah lakunya sendiri. Daniel Goleman (1998) dalam Aditama (2000) dalam bukunya yang berjudul “Working With Emotional Intelligence”, menyatakan bahwa emotional intelligence mencakup pengertian, kemampuan pengendalian diri, inisiatif, empati, inspirasi, dan kemampuan bekerjasama. Dari berbagai pengamatan, Goleman menyatakan bahwa IQ ternyata hanya berperan sekitar 25% dalam menentukan kesuksesan seseorang, dan dengan makin rumitnya dunia bisnis sekarang ini maka emotional intelligence akan jauh lebih penting perannya dari pada IQ, demikian juga bila jabatan yang disandang semakin tinggi. Kepemimpinan suatu organisasi ditentukan oleh kualitas dari sumber daya manusia serta sikap perilaku dari pemimpinnya. Menurut Covey (1991) dalam Aditama (2000) bahwa kepemimpinan yang sukses yang dikenal dengan seven habits of highly effective people adalah suatu kepemimpinan yang mempunyai ciri sebagai berikut: (1) Tidak menerima begitu saja suatu keputusan artinya, diantara rangsang dan respon terdapat suatu ruang kebebasan. Orang bisa memilih respon sesuai nilai yang diamati. (2) Mempunyai tujuan yang jelas, kebiasaan ini penting karena menjadi petunjuk bagi semua tindakan dibelakangnya. Disini bisa dibuat misi, misi ini harus menjadi acuan dalam menentukan apa saja yang harus dilakukan (3) Mendahulukan yang utama (prioritas) (4) Berpikir menang–menang atau tidak sama sekali tujuannya mencari manfaat bersama dan bukan bersaing. Berpikir menang-menang itu tidak berarti harus mengalah (5) Berusaha untuk mengerti baru dimengerti, artinya sebelum mengungkapkan pendapat sendiri, dengarkan dulu pendapat orang lain (6) Mewujudkan sinergi. Sinergi bukanlah kompromi, melainkan menghargai perbedaan yang ada pada orang lain dan mencari alternatif ketiga (7) Mengasah kemampuan. Kemampuan dalam hal ini fisik, mental, spiritual, maupun sosial. 2.3. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction) 2.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja Robins dan Coulters (1999) berpendapat kepuasan kerja adalah suatu sikap umum (general attitude) dari pegawai terhadap pekerjaan yang dikerjakan. Ketika membicarakan tentang sikap pegawai (employee attitude), hal-hal yang dibicarakan biasanya merujuk pada kepuasan kerja artinya bahwa kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja adalah corak sikap dari pegawai terhadap pekerjaan yang ia kerjakan . Di dalam mengulas job satisfaction Robins dan Coulter mengikutkan istilah attitudes (sikap) menjadi titel subparagraf. Dikatakan bahwa sikap adalah status yang dapat dirasakan – apakah menyenangkan atau kurang menyenangkan – tentang sesuatu sasaran, orang ataupun kejadian yang dihadapi. Sikap mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu tersebut. Ketika seseorang mengatakan:” Saya suka dengan pekerjaan saya,” ia sebenarnya menyatakan sikapnya terhadap pekerjaan tersebut. Untuk dapat mengerti lebih jauh tentang konsep sikap, kita harus melihat sikap sebagai hasil dari proses pembentukan 3 komponen kognisi (cognition), tanggapan (affect) dan perilaku (behavior) (Robins dan coulters, 1999). Di dalam ilmu komunikasi ketiga komponen tersebut dinyatakan sebagai langkah-langkah yang datang berturutan sebagai pengaruh dari komunikasi. Pengaruh terhadap nilai kognisi (pengetahuan) tidak selalu langsung menghasilkan nilai sikap dari penerima pesan. Nilai kognisi hanya akan disikapi ketika nilai kognisi itu cukup menarik untuk disikapi. Nilai sikap yang dihasilkan tidak selalu serupa pada orang lain ataupun diri sendiri karena pembentukan sikap hanya akan efektif bila ada unsur penguat berupa pengalaman atau rujukan kognisi lain dari referensi yang dimiliki. Nilai sikap ini sering disebut sebagai nilai affect yang berada dalam bank emosi seseorang yang memilikinya. Pada kesempatan berikut bila sikap tersebut memiliki peluang untuk dicetuskan sikap tersebut sama saja sebagai motivasi yang mampu mencetuskan energi untuk melakukan tindakan tertentu terhadap nilai kognisi. Apabila tindakan terhadap nilai kognisi yang ada, terekam dan kemudian memberi energi pada motivasi untuk melakukan sesuatu. Bila tindakan itu tersebut dibuat sebagai kebiasaan, tindakan-tindakan tersebut disebut perilaku (Effendi, 1986). Dari ulasan di atas dapat dimengerti, bahwa sikap terhadap pekerjaan yang dapat digambarkan sebagai bentuk job satisfaction, sesungguhnya dapat terekspresi dalam aneka ragam bentuk kinerja pelayanan. 2.3.2. Kepuasan Kerja dan Prestasi Pada umumnya orang berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara kepuasan kerja dan prestasi. Namun penelitian membuktikan bahwa seorang karyawan yang puas, tidak dengan sendirinya merupakan karyawan yang berprestasi tinggi, melainkan sering hanya berprestasi biasa-biasa saja. Jika demikian halnya, dapat pula dikatakan bahwa kepuasan kerja tidak selalu menjadi faktor motivasional yang kuat untuk berprestasi. Seorang karyawan yang puas belum tentu terdorong untuk berprestasi karena kepuasannya tidak terletak pada motivasi, akan tetapi terletak pada faktor-faktor lain, misalnya pada imbalan yang diterimanya. Bisa saja seseorang merasa puas dalam pekerjaannya karena yang bersangkutan menyadari bahwa apa yang dicapainya sudah maksimal (Siagian, 2011). Selain itu menurut Adam (1963) dalam Gibson (1996) mengatakan bahwa karyawan atau individu akan merasa puas terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan mereka. Jika aspek-aspek yang sebenarnya atau sesungguhnya dia terima sesuai dengan yang seharusnya dia terima sehingga karyawan akan semakin meningkatkan prestasi mereka untuk memperoleh aspek-aspek yang dapat memuaskan mereka. 2.3.3. Kepuasan Kerja dan Usia Dalam pemeliharaan hubungan yang sesuai antara organisasi dengan para anggotanya, kaitan antara usia karyawan dengan kepuasan kerja perlu mendapat perkataan kecenderungan yang sering dilihat adalah bahwa semakin lanjut usia karyawan tingkat kepuasan kerja biasanya semakin tinggi (Siagian, 2011). 2.3.4. Kepuasaan Kerja dan Tingkat Jabatan Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam suatu organisasi, pada umumnya tingkat kepuasannya pun cenderung lebih tinggi. Hal ini menyangkut promosi jabatan. Seorang yang sudah menduduki jabatan tertentu apalagi sudah berada pada tingkat managerial melihat bahwa masih terdapat prospek yang cerah untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi lagi, kepuasan kerjanya akan cenderung lebih besar (Siagian, 2011). Gilmer dalam Sopiah (2008) menyatakan bahwa aspek-aspek kerja yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah promosi, keamanan kerja, gaji, perusahaan dan manajemen, pengawasan, faktor-faktor intrinsik pekerjaan, kondisi kerja aspek sosial dalam pekerjaan, komunikasi, dan rekan kerja. Gilmer menempatkan “promosi” pada urutan yang pertama sebagai aspek kerja yang memberikan kepuasan kerja (Sopiah, 2008). 2.3.5. Kepuasan Kerja dan Besar Kecilnya Organisasi Besar kecilnya organisasi turut berpengaruh pada kepuasan kerja, artinya jika karena besarnya organisasi pada karyawan “terbenam” dalam masa pekerja yang jumlahnya besar sebagai jati diri dan identitasnya menjadi kabur karena misalnya, hanya dikenal dengan nomor pegawai, hal tersebut dapat mempunyai dampak negatif pada kepuasan kerja (Siagian, 2011). 2.4. Landasan Teori Penelitian dilakukan dengan framework (kerangka) yang ditetapkan dari teoriteori yang telah dikembangkan dan dituliskan penulis manajemen organisasi. Schein (1996) dalam Drucker (2000) mengemukakan pendapat dalam bukunya yang berjudul The Leader of the Future Kepemimpinan dan Budaya Organisasi, terdiri dari 5 garis besar ciri-ciri (karakteristik = gaya) yang perlu dimiliki oleh setiap manajer di masa depan. Buku tersebut ditulis di tahun 1996, jadi adalah syahih bila pada tahun sekarang dapat dianggap sebagai masa yang tepat dari apa yang dinyatakan oleh penulisnya sebagai masa depan. Karakteristik sendiri berarti ciri-ciri, sementara gaya itu juga adalah ciri-ciri yang dapat diamati dan dipersepsi, maka pada penelitian ini dipakai karakteristik kepemimpinan yang dikatakan Schein sebagai gaya. Ada pengkayaan lain pada karakteristik pemimpin masa depan . Pengkayaan tersebut dapat dicermati pada buku Kepemimpinan Situasional (Hersey dkk, 1984) tentang bagaimana pemimpin harus menempatkan posisi kepemimpinan sesuai dengan kemampuan leadership tertentu. Dapat dilihat bila masalah kepemimpinan dibuat transparan maka ada harapan dan kepuasan yang boleh tumbuh dalam motivasi para pegawai. 2.5. Kerangka Konsep Pemimpin Animator Pemimpin Pembangun Budaya Pemimpin Mempertahan kan Budaya Kepuasan Kerja Pemimpin sebagai Agen Perubahan Pemimpin Visioner Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Menempatkan 5 Karakteristik (Gaya) Kepemimpinan yang Diprediksi Memiliki Pengaruh terhadap Kepuasan Kerja Staf RSUD Dolok Sanggul