Chapter I

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rumah Sakit Umum Daerah
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat
inap, rawat jalan, dan gawat darurat sesuai dengan Undang-undang Rumah Sakit (UU
RI No. 44 tahun 2009).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Indonesia adalah institusi perumahsakitan yang dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah atau pemerintah kota di era
desentralisasi sesudah tahun 2003.
Kabupaten
Humbang
Hasundutan
merupakan
kabupaten
yang
baru
dimekarkan dari kabupaten induk yaitu Tapanuli Utara sejak tahun 2003, yang
mengharuskan kabupaten ini memiliki sarana pelayanan kesehatan bagi masyarakat
(rumah sakit) minimal tipe C. Syarat rumah sakit tipe C adalah bila memiliki 4
tenaga medis spesialis dasar yaitu bedah, kebidanan, penyakit dalam dan spesialis
anak sesuai dengan peraturan pemerintah dalam UUD RI NO 44 THN 2009 Tentang
Rumah Sakit. Dengan berkembangnya kabupaten ini seiring dengan berkembangnya
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, pemerintah harus berbenah untuk
memenuhi kebutuhan tersebut dengan cara meningkatkan sarana dan prasarana baik
kuantitas maupun kualitasnya pelayanan Kesehatan.
Sistem desentralisasi
memberikan keluasan bagi pemerintah setempat
melakukan kebijakan daerah di dalam pengelolaan rumah sakit sesuai dengan kondisi
yang
ada
di
daerah
hal
ini
ditegaskan
dengan
SK
Menkes
RI
NO. 004/MENKES/SK/I/2003. Dengan adanya desenteralisasi pihak pemerintah
daerah tidak terikat kaku oleh peraturan pemerintah pusat selama mereka dapat
mempertanggungkan kebijakan itu memberi manfaat pada masyarakat yang dilayani
dan pada pemerintah daerah itu sendiri.
Hal lain yang kurang dikehendaki sistem desentralisasi adalah
bahwa di
rumah sakit milik pemerintah daerah biasanya tidak memiliki kegiatan litbang
(penelitian dan pengembangan) yang setara dengan R&D (Research and
Development), (Soemartono, 2006).
2.2. Kepemimpinan
2.2.1. Teori Kepemimpinan dan Pemimpin Masa Depan
2.2.1.1. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan sudah dimulai pada periode permulaan perang dunia ke-2,
namun masih banyak terdapat perbedaan pendapat. Bahkan masalah-masalah
kepemimpinan telah muncul
bersamaan dimulainya sejarah manusia yaitu sejak
manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Mereka membutuhkan seseorang yang mempunyai kemampuan lebih dari yang lain.
Stogdill dalam Aditama (2000) dalam surveinya mengenai riset dan teori
kepemimpinan mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses mengarahkan
dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari pada anggota
kelompok. Jumlah batasan atau definisi yang berbeda-beda mengenai kepemimpinan
hampir sama banyaknya dengan jumlah orang yang mencoba memberikan batasan
tentang konsep tersebut.
Kweirich
dan
Koontz
(1993)
Sopiah
(2008)
menyatakan
bahwa
kepemimpinan adalah seni atau proses untuk mempengaruhi orang lain sehingga
mereka bersedia dengan kemampuan sendiri dan secara antusias bekerja untuk
mencapai tujuan organisasi. Pendapat lain yang dikemukakan oleh John Pfiffer
memberikan definisi bahwa kepemimpinan adalah seni untuk mengkordinasikan dan
memberikan dorongan terhadap individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.
Menurut Winardi yang dikutip dari Aditama (2000) bahwa seorang pemimpin
adalah seorang karena kecakapan pribadinya, dengan atau tanpa pengangkatan resmi,
dapat mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya untuk mengarahkan upaya
bersama kearah pencapaian sasaran atau tujuan bersama. Dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan itu sebagai pengaruh antar pribadi yang dilakukan dalam suatu situasi
dan diarahkan, melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Definisi tersebut diatas tidak menyebutkan suatu jenis organisasi tertentu,
dalam situasi apapun dimana seseorang berusaha mempengaruhi perilaku orang lain
atau kelompok, maka sedang berlangsung kepemimpinan. Istilah pemimpin dan
pengikut bukanlah dalam arti sebagai atasan dan bawahan. Ketika seseorang berusaha
mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang itu adalah pemimpin potensial dan
orang yang dipengaruhinya adalah pengikut potensial, tidak jadi soal apakah orang itu
atasan, rekan sejawat, bawahan, kawan atau sanak saudara (Hersey, 1982).
Sesuai beberapa definisi tentang kepemimpinan itu sendiri, bahwa untuk
menjadi seorang pemimpin yang handal harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan
antara lain :
1. Jujur, sifat jujur merupakan perpaduan keteguhan watak, sehat dalam prinsipprinsip moral, tabiat suka akan kebenaran, tulus hati dan berperasaan halus
mengenai etika keadilan dan kebenaran.
2. Berpengetahuan, yang merupakan totalitas kecerdasan dan pengertian luas
yang diperoleh dengan jalan belajar terus menerus.
3. Berani, merupakan suatu tingkatan mental yang mengakui adanya ketakutan
dan kekwatiran terhadap bahaya atau kemungkinan celaan.
4. Mampu mengambil keputusan, kecakapan untuk memecahkan persoalan
dengan cepat dan tepat.
5. Dapat dipercaya, merupakan kepastian pelaksanaan kewajiban dengan setepattepatnya.
Disamping sifat-sifat diatas hal yang sebaiknya dimiliki oleh seorang
pemimpin adalah berinisiatif, bijaksana, tegas, adil, menjadi tauladan, ulet, loyalitas,
tidak egois, antusias, rendah hati.
2.2.1.2. Pemimpin Masa Depan
Prinsip kepemimpinan adalah adanya hubungan antara pemimpin dan
pengikutnya. Tanpa pengikut tidak mungkin ada yang memimpin. Pemimpin yang
efektif menyadari dan mengelola dengan benar dinamika hubungan antara pemimpin
dan pengikutnya. Pemimpin adalah pusat sejumlah kekuatan yang masing-masing
mempunyai kekhasan tersendiri. Kekuatan ini menuntut pemimpin berperilaku
dengan cara mereka untuk berusaha mencapai tujuan yang diharapkan. Untuk
menanggapi tuntutan yang demikian banyaknya, pemimpin harus menyeimbangkan
antara energi yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil serta berapa banyaknya
energi yang dikeluarkan untuk suatu hubungan.
Pemimpin masa depan akan menghadapi tuntutan yang makin besar dan
makin kompleks. Ledakan teknologi, komunikasi dan kesadaran yang meningkat
bahwa manusia merupakan faktor utama efektifitas organisasi, hal ini meningkatkan
tantangan dalam mengelola ketegangan antara perkembangan dunia dengan
kebutuhan individu. Pemimpin perlu memperhatikan masalah sosial dan lingkungan
dan melayani kebutuhan yang selalu meningkat dari setiap individu.
Menurut Beckhard (1996) dalam Drucker (2000) tantangan utama
kepemimpinan masa depan adalah memimpin dan mengelola secara efektif hubungan
antara misi dan tujuan organisasi, interaksi antara kemitraan dengan lembaga dan
sektor lainya.
Pemimpin masa depan yang efektif adalah pemimpin yang memiliki
kepribadian yang baik yang ditentukan oleh nilai dan keyakinan yang kuat yang
tumbuh dalam setiap kemampuan individu. Mereka akan menjadi seorang pemimpin
yang visioner dan memiliki kepercayaan yang kuat bahwa mereka mampu dan harus
menciptakan masa depan yang lebih baik (Drucker, 1996).
2.2.2. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang dirancang untuk
mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu
tujuan. Gaya kepemimpinan adalah vital bagi organisasi.
Gaya pemimpin menurut Blanchard (1982) adalah pola pola perilaku yang
konsisten yang diterapkan pemimpin dalam bekerja dengan orang lain seperti yang
dipersepsikan oleh orang tersebut. Pola itu terlihat ketika orang lain memberi
tanggapan dengan cara yang sama dan kondisi yang tidak jauh berbeda (Drucker,
2000).
Drucker dkk sejak awal tahun 1990 banyak mengoleksi teori kepemimpinan
dari buku-buku klasik ataupun menulis risalah-risalah pengembangan sumber daya
manusia berdasarkan pengalaman para pakar kepemimpinan perusahaan multi
nasional di manca negara.
Seorang pemimpin dalam melaksanakan fungsi sebagai manajer dalam
mengarahkan dan mempengaruhi bawahanya harus memilih cara atau gaya
karakteristik tersendiri yang tepat untuk menjalankan fungsinya, sebelum menentukan
model kepemimpinan sebaiknya seorang manajer harus mempertimbangkan beberapa
hal yaitu kekuatan yang ada pada manajer itu sendiri, kekuatan yang ada pada
bawahan dan kekuatan yang ada dalam situasi. Manajer yang efektif adalah manajer
yang luwes dan mampu memilih perilaku kepemimpinan yang dibutuhkan dalam
waktu dan tempat tertentu. Seorang manajer dalam memimpin sangat dipengaruhi
oleh latar belakang, pengetahuan, nilai dan pengalamanya yang merupakan kekuatan
yang ada dalam dirinya. Kenyataan bahwa keperibadian atau pengalaman masa
lampau seseorang manajer membantu membentuk gaya kepemimpinan, namun gaya
tersebut dapat diubah bila tidak cocok dengan situasi dan kondisi organisasi.
2.2.3. Jenis – Jenis Gaya Kepemimpin
A. Gaya Kepemimpinan Menurut Ken Blanchard.
Ken Blanchart menampilkan model kepemimpinan seperti “Piramida
Terbalik” yang menempatkan pucuk pimpinan justru di titik paling bawah dari frame
work struktur organisasi. Tujuannya adalah lebih menekankan bahwa para pimpinan
supaya menyadari merekalah yang menjadi sumber daya bagi bawahan mereka. Para
bawahan yang selama ini dalam struktur organisasi klasik digambarkan pada lapisan
lebih rendah, sekarang harus berada di cabang-cabang atau ranting yang lebih tinggi.
Para pimpinan organisasi berorientasi pasar dan pegawai harus mendukung kegiatan
subordinat menjadi lebih efektif, berada di atas canopy organisasi untuk
meningkatkan penampilan organisasi di mata organisasi sendiri terutama di mata
organisasi pemakai jasa ataupun pesaing. Sanggupkah pemimpin berperilaku
demikian? ( Druckker, 1996).
B. Gaya Kepemimpinan Menurut Lewin (Teori Klasik)
Lewin membagi gaya kepemimpinan sebagai berikut:
a. Gaya Kepemimpinan Autocracy
Pada kondisi tertentu dimana organisasi berada dalam kondisi krisis
melakukan penyelamatan, sering menjadi efektif menyelamatkan organisasi dari
kehancuran yang tak dapat kembali (irreversible damage).
Di dalam tugas-tugas kemiliteran, organisasi dengan gaya kepemimpinan
autocracy kelihatannya sungguh bermafaat. Jenis kepemimpinan ini tidak mudah
untuk menerima atau mendengarkan pendapat orang lain. Bila cara ini dijalankan
dengan kaku maka akan banyak korban di pihak pelaksana, dan hal ini tidak
disenangi bila dilangsungkan dalam waktu yang lama dan berlarut-larut (Nelson dan
Quik, 2005).
Jenderal Dwight berkata, memimpin orang dengan kasar bukanlah
kepemimpinan melainkan penganiayaan.
b. Gaya Kepemimpinan Demokratis (democracy)
Gaya Kepemimpinan demokratis adalah gaya seorang pemimpin yang
menghargai karakteristik dan kemampuan seseorang. Pemimpin demokratis
menggunakan kekuatan pribadi dan jabatan untuk menarik gagasan daripada pegawai
dan memotivasi anggota kelompok kerja untuk menentukan tujuan mereka sendiri,
mengembangkan rencana mereka dan mengontrol praktik mereka sendiri.
Kepemimpinan yang seperti ini agak sulit dikendalikan karena selalu ada hiruk pikuk
perbedaan pendapat. Kepemimpinan ini lebih disukai staf karena ada kesempatan
untuk didengar pendapatnya (Nelson dan Quik, 2005).
c. Gaya Kepemimpinan Bebas (Laissec Faire)
Gaya kepemimpinan bebas adalah gaya yang membiarkan atau tidak
membatasi staf untuk berbuat apa saja. Ketiga jenis gaya ini disebut teori klasik dari
Lewin.
C. Gaya Kepemimpinan Menurut Paul Hersey
Paul Hersey mengembangkan gaya kepemimpinan situasional dengan
mengetengahkan bagaimana sebaiknya melakukan pendelegasian kewenangan serta
tugas-tugas yang bertingkat sesuai dengan kesulitannya pada personel yang ada di
suatu organisasi. Di dalam organisasi rumah sakit misalnya telah dipenuhi oleh aneka
ragam profesi dengan tingkat kemahiran masing-masing. Tidaklah mudah di alam
organisasi yang dmokratis untuk melakukan perubahan posisi tanpa suatu analisis
yang mendalam mencegah reaksi negatif dari lingkungan komunitas organisasi.
Adakalanya ketersendatan pada kenaikan jabatan, karena tidak ada posisi
yang luang, dapat menjadikan kesan yang buruk pada kepemimpinan di rumah sakit.
Ada saja keluhan yang mengkritisi kebijakan pimpinan sementara pihak pimpinan
sendiri tidak melihat kesempatan kenaikan jabatan itu ada yang terbuka. Kondisi yang
tidak memuaskan pada mereka yang seharusnya menurut kronologis sudah boleh
pindah jabatan dapat mengakibatkan mereka mengajukan pengunduran diri,
sementara rumah sakit masih sangat membutuhkan jasa yang mampu diberikan oleh
pegawai.
Gambar 2.1. Model Kepemimpinan Situasional Mengaitkan Tingkat
Kematangan dari Pegawai dengan Kewenangan dan Jabatan
Paul Hersey dkk mengetengahkan suatu pedoman penempatan seseorang
individu dalam tatanan kepemimpinan di organisasi yang demokratis serta
menganjurkan strategi yang transparan diketahui oleh semua pegawai tentang
pengangkatan posisi seseorang dibuat berdasarkan kesempatan yang terbuka dan
menurut karakterisitik yang sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh setiap pegawai
pada masa sebelumnya.
Pada model kepemimpinan seperti ini sedikit banyak akan dapat mengendalikan opini
negatif tentang kepemimpinan yang tidak adil sedang berlangsung di suatu
organisasi. Masalah kepemimpinan situasional ini ada supaya para pemimpin di
rumah sakit selalu melakukan komunikasi yang transparan mengenai kebijakankebijakan kepegawaian di rumah sakit. Dengan adanya penerangan yang cukup
dilakukan oleh pihak pimpinan, dapat diharapkan gaya kepemimpinan tersebut
mampu mengurangi perasaan kecewa, yang potensial mengakibatkan berkurangnya
rasa kepuasan kerja (Hersey et.al., 1984).
D. Gaya Kepemimpinan Menurut Schein
Alasan mengapa begitu banyak teori tentang kepemimpinan yang berbeda
beda adalah para peneliti yang berbeda meneliti fokus yang berbeda pula .Pada satu
sisi semua teori itu benar adanya, karena mereka mengidentifikasi satu komponen
sentral dari situasi manusia yang kompleks yaitu kepemimpinan, mengamalisa
komponen itu secara rinci dan mengabaikan yang lainya. Fokus teori Schein adalah
bagaimana seorang pemimpin masa depan dapat tetap bertahan kuat dan kokoh dalam
bersaing ditengah perkembangan teknologi dan komunikasi yang hampir tak
terkendalikan.
Dengan menganggap bahwa organisasi itu merupakan suatu sistem siklus
yang dinamis dari kehidupan organisasi itu maka dapat diidentifikasi bahwa
tantangan yang unik dapat mempengaruhi implikasi perilaku kepemimpinan. Sesuai
dengan tantangan yang muncul dalam setiap siklus perkembangan dan situasi
organisasi maka seorang pemimpin harus menentukan pola atau cara yang tepat dan
yang sesuai untuk menggerakan dan mengarahkan bawahanya agar tujuan yang
dikehendaki dapat tercapai. Schein membagi corak atau gaya pemimpin menjadi 5
sesuai siklus perkembangan dan situasi organisasi.
a .Gaya Pemimpin yang Animator
Pemimpin yang animator mampu memberi energi membangkitkan motivasi
berprestasi pada bawahan mereka. Pada tahap awal terciptanya suatu organisasi, salah
satu fungsi yang unik dari pemimpin adalah mensuplai energi yang dibutuhkan untuk
mengangkat organisasi. Visi organisasi tidak luas dikaji tentang energi luar biasa
yang mereka tampilkan saat mereka mencoba satu pendekatan yang baru setelah
pendekatan lainya gagal, dalam upaya mereka mengawali suatu usaha. Pemimpin
yang mempunyai energi besar itu berhasil mengalihkan energi itu kepada bawahan
mereka, energi ini muncul dari keyakinan pribadi yang kuat, seolah memasukan udara
segar dalam organisasi.
b. Gaya Pemimpin sebagai Pencipta Budaya
Bila suatu organisasi memiliki potensi untuk hidup dan bertahan hidup,
kepercayaan, nilai dan asumsi dasar pemimpin ditransfer ke model mental
bawahanya. Proses membangun budaya organisasi harus melakukannya dalam 3
tahap: (1) Para pemimpin mempekerjakan dan mempertahankan bawahan yang
berpikir dan merasa seperti diri mereka sendiri; (2) melakukan indoktrinasi dan
sosialisasi apa yang mereka pikir dan rasakan secara efektif pada bawahan; (3)
berperilaku senada dengan apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka
indoktrinasikan pada bawahan. Bila semua rencana dan usaha merealisasikan buah
pikiran itu memberi hasil, maka terciptalah suatu budaya yang ternyata mampu
memberikan hasil positif pada organisasi.
c Gaya Pemimpin sebagai Pemelihara Budaya
Pemimpin harus mampu mempertahankan budaya organisasi yang ternyata
mampu memberikan hasil positif untuk masa selanjutnya. Setiap organisasi yang
sukses selalu menarik untuk ditiru. Kalau organisasi terus berhasil dan tumbuh dalam
skala dan usia akan memaksa pemimpin untuk memperhitungkan bagaimana cara
menumbuhkan proses yang tadinya dapat bekerja dalam skala kecil menjadi skala
global dengan karyawan yang semakin matang. Kualitas penilaian dan kebajikan
yang makin rumit merupakan hal yang paling penting bagi pemimpin pada taraf
evolusi organisasi.
d . Gaya Pemimpin sebagai Agen Perubahan
Bila ada masalah ditengah budaya yang sedang berjalan, pemimpin harus
mampu menjadi agen perubahan kepada suatu budaya baru yang bebas masalah.
Untuk mampu memilih budaya yang baru seperti itu, pemimpin harus memiliki
pengalaman yang cukup variatif supaya mampu menentukan arah perubahan. Di
dalam melakukan perubahan, terutama terhadap budaya yang sudah ada adalah suatu
pekerjaan yang tidak mudah. Budaya tidak dapat dirubah sesuka hati, tetapi budaya
harus ditumbuhkan dari titik kecambah sehingga menjadi setinggi pohon dewasa.
Budaya tidak dapat dimanipulasi dengan hanya membuat pengumuman perubahan
atau menerbitkan peraturan baru. Perubahan budaya memerlukan waktu yang cukup
lama. Pemimpin harus dapat memberi toleransi yang cukup bila pada masa transisi
selalu ada kejanggalan dalam pelaksanaannya.
e. Gaya Pemimpin Visioner (Pandangan ke Masa Depan)
Pemimpin harus mampu memandang masa depan. Pemimpin tidak hanya
perlu memandang pada segi historis riwayat organisasi di masa lalu. Di dalam dunia
bisnis tidak ada sesuatu yang kekal dan harus selalu dipertahankan menghadapi masa
depan. Diperlukan suatu visi, keyakinan dan energi yang kuat. Diperlukan suatu
sistem penilaian, kebajikan, keterampilan untuk menjadi bahan pertimbangan
menyongsong masa depan. Diperlukan suatu kemampuan pembelajaran serta
kelenturan pribadi untuk menumbuhkan dan mengubah organisasi.
Pemimpin masa depan menurut Schein memerlukan karakteristik sebagai
berikut : (1) Tingkat persepsi dan wawasan yang luar biasa terhadap realita dunia dan
terhadap diri sendiri; (2) Tingkat motivasi yang kuat mengatasi pahitnya
pembelajaran dan perubahan yang tidak dapat dihindari. Kekuatan emosional (3)
Kemampuan mengendalikan kekuatan emosional mengatasi kecemasan karena suatu
perubahan; (4) Keterampilan baru menganalisis asumsi kultural; (5) Tingkat kemauan
dan kemampuan melibatkan orang lain dalam tugas-tugas yang semakin kompleks
dan informasi yang semakin luas dan (6) Kemauan dan kemampuan membagi
kekuasaan dan kontrol pengendalian bersama orang lain. Beri kesempatan pada
seluruh masyarakat pegawai untuk mempertumbuhkan keterampilan kepemimpinan
di bidang masing-masing (Drucker, 1996).
2.2.4. Kepemimpinan yang Sukses
Penampilan suatu organisasi erat hubungannya dengan mutu kepemimpinan.
Kepemimpinan yang kuat dapat membawa organisasi pada kesuksesan dan
kegemilangan yang berkesinambungan. Kate mengemukakan 3 bagian kecakapan
pemimpin sebagai berikut: konsepsional, kemanusiaan, dan teknis. Kecakapan
konsepsional dimiliki oleh pimpinan tingkat atas (top management level). Kecakapan
kemanusiaan dimiliki oleh middle management sedang kecakapan teknis dimiliki
oleh lower managament level (Hersey, 1982).
Teori path goal (Yukl, 1980) menyatakan bahwa pemimpin mendorong
kinerja lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi
bawahannya agar percaya bahwa hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan usaha
yang lebih sungguh-sungguh. Kepemimpinan yang berlaku universal menghasilkan
tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Para pemimpin memerlukan
waktu untuk memahami kekuatan dan kelemahan dari tingkah lakunya sendiri.
Daniel Goleman (1998) dalam Aditama (2000) dalam bukunya yang berjudul
“Working With Emotional Intelligence”, menyatakan bahwa emotional intelligence
mencakup pengertian, kemampuan pengendalian diri, inisiatif, empati, inspirasi, dan
kemampuan bekerjasama. Dari berbagai pengamatan, Goleman menyatakan bahwa
IQ ternyata hanya berperan sekitar 25% dalam menentukan kesuksesan seseorang,
dan dengan makin rumitnya dunia bisnis sekarang ini maka emotional intelligence
akan jauh lebih penting perannya dari pada IQ, demikian juga bila jabatan yang
disandang semakin tinggi.
Kepemimpinan suatu organisasi ditentukan oleh kualitas dari sumber daya
manusia serta sikap perilaku dari pemimpinnya. Menurut Covey (1991) dalam
Aditama (2000) bahwa kepemimpinan yang sukses yang dikenal dengan seven habits
of highly effective people adalah suatu kepemimpinan yang mempunyai ciri sebagai
berikut: (1) Tidak menerima begitu saja suatu keputusan artinya, diantara rangsang
dan respon terdapat suatu ruang kebebasan. Orang bisa memilih respon sesuai nilai
yang diamati. (2) Mempunyai tujuan yang jelas, kebiasaan ini penting karena menjadi
petunjuk bagi semua tindakan dibelakangnya. Disini bisa dibuat misi, misi ini harus
menjadi acuan dalam menentukan apa saja yang harus dilakukan (3) Mendahulukan
yang utama (prioritas) (4) Berpikir menang–menang atau tidak sama sekali tujuannya
mencari manfaat bersama dan bukan bersaing. Berpikir menang-menang itu tidak
berarti harus mengalah (5) Berusaha untuk mengerti baru dimengerti, artinya sebelum
mengungkapkan
pendapat
sendiri,
dengarkan
dulu
pendapat
orang
lain
(6) Mewujudkan sinergi. Sinergi bukanlah kompromi, melainkan menghargai
perbedaan yang ada pada orang lain dan mencari alternatif ketiga (7) Mengasah
kemampuan. Kemampuan dalam hal ini fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
2.3. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
2.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Robins dan Coulters (1999) berpendapat kepuasan kerja adalah suatu sikap
umum (general attitude) dari pegawai terhadap pekerjaan yang dikerjakan. Ketika
membicarakan tentang sikap pegawai (employee attitude), hal-hal yang dibicarakan
biasanya merujuk pada kepuasan kerja artinya bahwa kepuasan kerja atau ketidakpuasan kerja adalah corak sikap dari pegawai terhadap pekerjaan yang ia kerjakan .
Di dalam mengulas job satisfaction Robins dan Coulter mengikutkan istilah
attitudes (sikap) menjadi titel subparagraf. Dikatakan bahwa sikap adalah status yang
dapat dirasakan – apakah menyenangkan atau kurang menyenangkan – tentang
sesuatu sasaran, orang ataupun kejadian yang dihadapi. Sikap mencerminkan
perasaan seseorang terhadap sesuatu tersebut. Ketika seseorang mengatakan:” Saya
suka dengan pekerjaan saya,” ia sebenarnya menyatakan sikapnya terhadap pekerjaan
tersebut. Untuk dapat mengerti lebih jauh tentang konsep sikap, kita harus melihat
sikap sebagai hasil dari proses pembentukan 3 komponen kognisi (cognition),
tanggapan (affect) dan perilaku (behavior) (Robins dan coulters, 1999).
Di dalam ilmu komunikasi ketiga komponen tersebut dinyatakan sebagai
langkah-langkah yang datang berturutan sebagai pengaruh dari komunikasi. Pengaruh
terhadap nilai kognisi (pengetahuan) tidak selalu langsung menghasilkan nilai sikap
dari penerima pesan. Nilai kognisi hanya akan disikapi ketika nilai kognisi itu cukup
menarik untuk disikapi. Nilai sikap yang dihasilkan tidak selalu serupa pada orang
lain ataupun diri sendiri karena pembentukan sikap hanya akan efektif bila ada unsur
penguat berupa pengalaman atau rujukan kognisi lain dari referensi yang dimiliki.
Nilai sikap ini sering disebut sebagai nilai affect yang berada dalam bank emosi
seseorang yang memilikinya. Pada kesempatan berikut bila sikap tersebut memiliki
peluang untuk dicetuskan sikap tersebut sama saja sebagai motivasi yang mampu
mencetuskan energi untuk melakukan tindakan tertentu terhadap nilai kognisi.
Apabila tindakan terhadap nilai kognisi yang ada, terekam dan kemudian memberi
energi pada motivasi untuk melakukan sesuatu. Bila tindakan itu tersebut dibuat
sebagai kebiasaan, tindakan-tindakan tersebut disebut perilaku (Effendi, 1986).
Dari ulasan di atas dapat dimengerti, bahwa sikap terhadap pekerjaan yang
dapat digambarkan sebagai bentuk job satisfaction, sesungguhnya dapat terekspresi
dalam aneka ragam bentuk kinerja pelayanan.
2.3.2. Kepuasan Kerja dan Prestasi
Pada umumnya orang berpendapat bahwa terdapat korelasi positif antara
kepuasan kerja dan prestasi. Namun penelitian membuktikan bahwa seorang
karyawan yang puas, tidak dengan sendirinya merupakan karyawan yang berprestasi
tinggi, melainkan sering hanya berprestasi biasa-biasa saja. Jika demikian halnya,
dapat pula dikatakan bahwa kepuasan kerja tidak selalu menjadi faktor motivasional
yang kuat untuk berprestasi. Seorang karyawan yang puas belum tentu terdorong
untuk berprestasi karena kepuasannya tidak terletak pada motivasi, akan tetapi
terletak pada faktor-faktor lain, misalnya pada imbalan yang diterimanya.
Bisa saja seseorang merasa puas dalam pekerjaannya karena yang
bersangkutan menyadari bahwa apa yang dicapainya sudah maksimal (Siagian, 2011).
Selain itu menurut Adam (1963) dalam Gibson (1996) mengatakan bahwa karyawan
atau individu akan merasa puas terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan mereka. Jika
aspek-aspek yang sebenarnya atau sesungguhnya dia terima sesuai dengan yang
seharusnya dia terima sehingga karyawan akan semakin meningkatkan prestasi
mereka untuk memperoleh aspek-aspek yang dapat memuaskan mereka.
2.3.3. Kepuasan Kerja dan Usia
Dalam pemeliharaan hubungan yang sesuai antara organisasi dengan para
anggotanya, kaitan antara usia karyawan dengan kepuasan kerja perlu mendapat
perkataan kecenderungan yang sering dilihat adalah bahwa semakin lanjut usia
karyawan tingkat kepuasan kerja biasanya semakin tinggi (Siagian, 2011).
2.3.4. Kepuasaan Kerja dan Tingkat Jabatan
Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam suatu organisasi, pada umumnya
tingkat kepuasannya pun cenderung lebih tinggi. Hal ini menyangkut promosi
jabatan. Seorang yang sudah menduduki jabatan tertentu apalagi sudah berada pada
tingkat managerial melihat bahwa masih terdapat prospek yang cerah untuk
menduduki jabatan yang lebih tinggi lagi, kepuasan kerjanya akan cenderung lebih
besar (Siagian, 2011).
Gilmer dalam Sopiah (2008) menyatakan bahwa aspek-aspek kerja yang
mempengaruhi kepuasan kerja adalah promosi, keamanan kerja, gaji, perusahaan dan
manajemen, pengawasan, faktor-faktor intrinsik pekerjaan, kondisi kerja aspek sosial
dalam pekerjaan, komunikasi, dan rekan kerja. Gilmer menempatkan “promosi” pada
urutan yang pertama sebagai aspek kerja yang memberikan kepuasan kerja (Sopiah,
2008).
2.3.5. Kepuasan Kerja dan Besar Kecilnya Organisasi
Besar kecilnya organisasi turut berpengaruh pada kepuasan kerja, artinya jika
karena besarnya organisasi pada karyawan “terbenam” dalam masa pekerja yang
jumlahnya besar sebagai jati diri dan identitasnya menjadi kabur karena misalnya,
hanya dikenal dengan nomor pegawai, hal tersebut dapat mempunyai dampak negatif
pada kepuasan kerja (Siagian, 2011).
2.4. Landasan Teori
Penelitian dilakukan dengan framework (kerangka) yang ditetapkan dari teoriteori yang telah dikembangkan dan dituliskan penulis manajemen organisasi. Schein
(1996) dalam Drucker (2000) mengemukakan pendapat dalam bukunya yang berjudul
The Leader of the Future Kepemimpinan dan Budaya Organisasi, terdiri dari 5 garis
besar ciri-ciri (karakteristik = gaya) yang perlu dimiliki oleh setiap manajer di masa
depan. Buku tersebut ditulis di tahun 1996, jadi adalah syahih bila pada tahun
sekarang dapat dianggap sebagai masa yang tepat dari apa yang dinyatakan oleh
penulisnya sebagai masa depan.
Karakteristik sendiri berarti ciri-ciri, sementara gaya itu juga adalah ciri-ciri
yang dapat diamati dan dipersepsi, maka pada penelitian ini dipakai karakteristik
kepemimpinan yang dikatakan Schein sebagai gaya.
Ada pengkayaan lain pada karakteristik pemimpin masa depan . Pengkayaan
tersebut dapat dicermati pada buku Kepemimpinan Situasional (Hersey dkk, 1984)
tentang bagaimana pemimpin harus menempatkan posisi kepemimpinan sesuai
dengan kemampuan leadership tertentu. Dapat dilihat bila masalah kepemimpinan
dibuat transparan maka ada harapan dan kepuasan yang boleh tumbuh dalam motivasi
para pegawai.
2.5. Kerangka Konsep
Pemimpin
Animator
Pemimpin
Pembangun
Budaya
Pemimpin
Mempertahan
kan
Budaya
Kepuasan Kerja
Pemimpin
sebagai Agen
Perubahan
Pemimpin
Visioner
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Menempatkan 5 Karakteristik (Gaya)
Kepemimpinan yang Diprediksi Memiliki Pengaruh terhadap
Kepuasan Kerja Staf RSUD Dolok Sanggul
Download