BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Secara struktural-atropologis, dapat dikatakan bahwa manusia terdiri dari empat dimensi. Dimensi yang pertama adalah fisik-khemis, berarti manusia terdiri dari unsur-unsur anorganik seperti garam, fosfor, besi, dan lain-lain yang secara alamiah terkandung di dalam dirinya. Dimensi kedua adalah biotis-vegetatif. Dimensi ini memberikan nilai vital atau hidup kepada dimensi pertama. Dengan adanya dimensi biotis -vegetatif, manusia menjadi hidup dan bertumbuh. Dimensi ya ng ketiga adalah psikis yang menandakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai naluri, insting, serta keinginan keinginan dasar. Dimensi yang terakhir adalah humanitas, ialah dimensi yang secara eksklusif dimiliki oleh manusia sebagai inang dari akal budi dan kesadaran. Dalam keempat dimensi tersebut, tampaklah bahwa manusia dengan segala kompleksitasnya bukanlah semata-mata tubuh, melainkan juga akal-budi dan unsur immaterial yang kerap kali disebut sebagai jiwa. Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran mengenai tubuh dan jiwa manusia dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu monisme dan dualisme. Pemikiran pemikiran bercorak monistik beranggapan bahwa hanya ada substansi tunggal dalam diri manusia, sebagaimana di alam semesta; sedangkan pemikiran bercorak du alistik beranggapan bahwa baik pada manusia maupun alam semesta terdapat dua substansi, yaitu yang bersifat material dan yang immaterial. 64 65 2. Schopenhauer termasuk ke dalam kategori metafisikus monistik. Ia beranggapan bahwa di seluruh alam semesta dan isinya hanya terdapat satu noumena atau thing-in-itself, yaitu kehendak. Kehendak adalah daya atau energi maha besar yang meliputi sekaligus meresap ke dalam segala sesuatu. M enurut Schopenhauer, dunia terdiri dari kehendak dan bayang-bayangnya yang disebut representasi. Dalam konteks manusia, Schopenhauer menyatakan bahwa manusia tidak ada bedanya dengan benda -benda apa pun di muka Bumi sebagai representasi dari kehendak. Namun, yang membuat manusia unik adalah bahwa ia dapat memperoleh pengetahuan yang merupakan rekoleksi representasi sekaligus dapat menyadari bahwa dirinya sendiri adalah representasi. Sukar dikatakan apakah kehendak itu sebenarnya bersifat material atau immaterial. Pada satu sisi, Schopenhauer menjelaskan kehendak sebagai sesuatu yang dikenal di dunia modern sebagai energi, yaitu entitas yang menggerakkan segalanya hingga tingkatan terkecil dan bersifat kekal. Dengan demikian, material. Namun di sisi lain, Schopenhauer juga menjelaskan bahwa segala yang dapat diketahui oleh manusia, dengan demiki an yang terdapat pada dunia fenomenal dan terikat oleh ruang, waktu, dan kausalitas, adalah representasi dari kehendak dan bukanlah kehendak itu sendiri. Artinya, kehendak bersifat immaterial. Namun terlepas dari identitas kehendak yang memang menurut Schopenhauer tidak dapat diketahui, manusia dapat mengetahui bayang -bayangnya, dan dari bayang-bayang itu, manusia bisa mengenali sifat utama kehendak, yaitu hidup. M eskipun kehendak tak bertujuan, dalam bentuk representasi kehendak terus-menerus bergerak ke arah hidup. Demikian pula yang terjadi atas manusia. Schopenhauer tidak mengakui jiwa, namun jika kita beranggapan bahwa kehendak bersifat immaterial, maka, kehendak dalam diri manusia dapat pula dianggap sejajar dengan jiwa dalam pemikiran - 66 pemikiran lain. Schopenhauer memandang tindakan-tindakan manusia sebagai objektivikasi dari kehendak dan bukan keputusan murni yang bersifat bebas. Kehendak dalam diri manusia muncul dalam bentuk motivasi, dan motivasi yang tak dapat dipilih itulah yang mendorong manusia kepada tindakan-tindakan tertentu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa menurut Schopenhauer ada tiga dimensi dalam diri manusia, yaitu kehendak, tubuh, dan akal-budi. Kehendak berperan sebagai penentu, tubuh berperan sebagai eksekutor, dan akal-budi berperan sebagai saksi. B. Saran Hemat penulis, Schopenhauer memiliki pemikiran yang unik dan menempati posisi khusus dalam sejarah filsafat barat modern. Dengan demikian, u ntuk kepentingan studi filsafat, penulis menyarankan agar buku-buku Schopenhauer dan buku-buku yang membahas pemikirannya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai pelengkap, perlu pula kiranya penelitian tentang pemikiran Schopenhauer digalakkan. Fakultas Filsafat Universitas Gadjah M ada selaku satu dari sedikit institusi pembelajaran filsafat di Indonesia hendaknya ambil bagian dalam rencana tersebut, minimal dengan cara memasukkan Schopenhauer dan pemikirannya sebagai materi perkuliahan, khususnya dalam mata kuliah Filsafat Barat M odern, M etafisika, Epistemologi, dan Etika. Yang pertama penting untuk mengetahui kedudukan serta nilai historis pemikiran Schopenhauer, dan tiga yang terakhir penting karena dalam pemikiran Schopenhauer ketiga bidang tersebut saling berkaitan dan mempunyai keunikan tersendiri.