10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi Massa 2.1.1

advertisement
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Komunikasi Massa
2.1.1. Pengertian Komunikasi Massa
Komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan oleh Bittner (1980:
10): “Mass communication is messages communicated through a mass medium to
a
large
number
of
people”
(Komunikasi
massa adalah
pesan yang
dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang).1
Komunikasi massa yang lebih rinci dijelaskan oleh ahli komunikasi yang
lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967) komunikasi massa adalah produksi
dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang
kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri.2
Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang dilakukan melalui
media massa dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan
informasi kepada khalayak luas. Dengan demikian, maka unsur-unsur penting
dalam komunikasi massa adalah:3
a. Komunikator
b. Media Massa
c. Informasi (pesan) Massa
d. Gatekeeper
1
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, Hal 188
Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007, Hal 3
3
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi
di Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2008, Hal 71 2
10
11
e. Khalayak (publik)
f. Umpan Balik
Media disini meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat
komunikasi massa. Unsur-unsur komunikasi massa adalah:
1.
Source (sumber)
Sumber utama dalam komunikasi massa adalah lembaga, organisasi, atau
orang yang bekerja dengan fasilitas lembaga atau organisasi tertentu
(institutionalized). Lembaga yang dimaksud adalah perusahaan surat kabar,
stasiun studio, televisi, studio film, penerbit buku atau majalah. Yang
dimaksud institutionalized adalah orang, seperti redaktur surat kabar yang
melalui tajuk rencana menyatakan pendapatnya dengan fasilitas lembaga.
2.
Message (pesan)
Organisasi
yang
memiliki
encode
ribuan
atau
kemampuan
untuk
menyampaikan pesan yang sama pada saat yang bersamaan kepada publik
atau massa, dimana audiens yang dicapai amat besar jumlahnya.
3.
Channel (saluran)
Unsur ini menyangkut semua peralatan mekanik yang dipergunakan untuk
menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi massa. Media yang mempunyai
kemampuan ini antara lain: surat kabar, majalah, film, tv, radio dan internet.
4.
Receiver (penerimaan)
Unsur ini menyangkut sasaran komunikasi massa, yakni semua audiens yang
mempergunakan atau membaca media massa tersebut.
1211
2.1.2. Karakteristik Komunikasi Massa
Berikut karakteristik komunikasi massa yaitu:4
1.
Komunikator Terlembagakan
Bahwa komunikasi massa itu pasti menggunakan media massa, baik cetak
maupun elektronik. Pesan-pesan lainnya ada yang dalam bentuk tajuk
rencana, features, karikatur, dan berbagai berita yang dibuat oleh reporter
surat kabar.
Jadi ada beberapa orang yang terlibat dalam proses komunikasi massa
tersebut dan beberapa macam peralatan yang digunakan serta berapa banyak
biaya yang digunakan. Media televisi sebagai bagian media komunikasi
massa bahkan mempunyai cara kerja yang lebih rumit dan melibatkan lebih
banyak orang serta menggunakan peralatan yang jauh lebih kompleks dan
canggih.
2.
Komunikasi melalui media massa pada dasarnya ditujukan kepada khalayak
yang luas, heterogen, anonim, tersebar, dan tidak mengenal batas geografis
dan kultural.
Khayalak yang heterogen artinya bahwa mereka berbeda atau beraneka ragam
dalam hal latar belakang pendidikan, penghasilan, suku bangsa, agama, dan
sebagainya.
Khalayak yang anonim artinya bahwa diantara pembaca koran, pendengar radio,
atau pemirsa televisi terpisah dan tidak saling mengenal satu sama lain. Diantara
pembaca surat kabar, pendengar radio, atau pemirsa televisi saling
4
Riswandi, Ilmu Komunikasi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, Hal 105-109
11
13
terpisah satu sama lain. Khalayak juga tersebar dan tidak mengenal batas usia,
tempat tinggal, kelompok-kelompok sosial, golongan dan sebagainya.
3.
Bentuk kegiatan melalui media massa bersifat umum, dalam arti perorangan
atau pribadi.
Isi pesan yang disampaikan menyangkut kepentingan orang banyak, tidak
menyangkut kepentingan orang perorangan atau pribadi.
4.
Pola penyampaian pesan media massa berjalan secara cepat dan mampu
menjangkau khalayak luas, bahkan mungkin tidak terbatas baik secara
geografis maupun kultural. Karena karakteristik demikian, media massa
disebut sebagai message multiplier, artinya mempunyai kemampuan untuk
menyampaikan pesan secara cepat dan mampu menjangkau khalayak luas.
5.
Penyampaian pesan melalui media massa cenderung berjalan satu arah.
Umpan balik/feedback dari khalayak berlangsung secara tertunda/delayed
feedback.
Umpan balik khalayak atas isi pesan suatu media massa dapat berupa
tindakan meneruskan atau berhenti membaca koran, mendengar radio, atau
menonton televisi. Sedangkan umpan balik yang ditujukan kepada media
massa antara lain dengan mempermasalahkan kebenaran dan keakuratan
suatu berita, kritik terhadap cara-cara penyampaian berita, atau dukungan
terhadap pesan tertentu. Biasanya media massa, terutama media cetak,
menyediakan kolom atau rubrik khusus untuk surat-surat tanggapan pembaca.
6.
Kegiatan komunikasi melalui media massa dilakukan secara terencana,
terjadwal dan terorganisasi.
11
14
Komunikator pada media massa bekerja melalui aturan organisasi dan
pembagian kerja yang jelas. Identitas yang dibawakan bukan semata-mata
identitas pribadi, tetapi justru yang ditonjolkan adalah identitas organisasi dan
kelompok.
7.
Penyampaian pesan melalui media massa itu disebarkan kepada khalayak
tidak bersifat temporer atau sewaktu-waktu, melainkan secara tetap, misalnya
tiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan, setiap jam dan sebagainya.
8.
Isi pesan yang disampaikan melalui media massa mencakup berbagai aspek
kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial budaya, dan keamanan, baik yang
bersifat informatif, edukatif, maupun hiburan.
9.
Media massa mengutamakan unsur isi dari pada hubungan.
Setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan hubungan. Dalam komunikasi
antarpribadi, unsur hubungan memainkan peranan penting. Misalnya dalam
percakapan antara dua orang teman dalam kehidupan sehari-hari, pesan yang
disampaikan atau topik yang dibicarakan tidak menggunakan standar atau
sistematika tertentu yang sudah baku seperti ada pendahuluan, permasalahan,
pembahasan dan kesimpulan. Di samping itu, dalam percakapan seperti ini
topik yang dibahas dapat berubah atau berganti-ganti yang satu dengan
lainnya bahkan tidak relevan.
Sebaliknya pada level komunikasi massa, unsur ini memainkan peran penting.
Misalnya pesan yang akan disampaikan harus disusun sedemikian rupa
berdasarkan sistem dan aturan/teori tertentu dan disesuaikan dengan
karakteristik media massa yang akan digunakan.
11
15
10. Media massa menimbulkan keserempakan.
Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya
adalah, komunikan/khalayak yang menjadi sasaran pesan yang heterogen,
luas, dan anonim tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan
menerima pesan yang sama pula.
11. Kemampuan respon alat indera terbatas
Ciri komunikasi massa lainnya yang merupakan kelemahannya adalah
kemampuan alat indera terbatas.
Dibandingkan dengan komunikasi antarpribadi dimana seluruh alat indera
pelaku komunikasi dapat digunakan secara maksimal. Dalam hal ini, kedua
belah pihak dapat melihat, mendengar, bahkan mungkin mencium dan
merasakan secara langsung. Sebaliknya dalam konteks komunikasi massa,
kemampuan respon alat indera bergantung pada jenis media massa yang ada
atau yang tersedia. Misalnya pada surat kabar dan majalah atau media cetak
pada umumnya, pembaca hanya dapat melihat. Pada radio, khalayak hanya
dapat mendengar, dan pada media televisi dan film, khalayak menggunakan
alat indera mata dan telinga.
2.1.3. Fungsi Komunikasi Massa
Komunikasi massa adalah salah satu aktifitas sosial yang berfungsi di
masyarakat. Robert K. Merton mengemukakan, bahwa fungsi aktifitas sosial
memiliki dua aspek yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi nyata
yang diinginkan, kedua fungsi tidak nyata atau tersembunyi (latent function),
1611
yaitu fungsi yang tidak diinginkan. Sehingga pada dasarnya setiap fungsi sosial
dalam masyarakat itu memiliki efek fungsional dan disfungsional.5
1.
Fungsi Pengawasan
Media massa merupakan sebuah medium dimana dapat digunakan untuk
pengawasan
terhadap
aktifitas
masyarakat
pada
umumnya.
Fungsi
pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan
persuasif. Pengawasan dan kontrol sosial dapat dilakukan untuk aktifitas
preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan.
Sedangkan fungsi persuasif sebagai upaya memberi reward dan punishment
kepada masyarakat sesuai dengan apa yang dilakukannya.
2.
Fungsi Social Learning
Fungsi utama dari komunikasi massa melalui media massa adalah melakukan
guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Fungsi komunikasi
massa ini merupakan sebuah andil yang dilakukan untuk menutupi kelemahan
fungsi-fungsi paedagogi yang dilaksanakan melalui komunikasi tatap muka,
dimana karena sifatnya, maka fungsi paedagogi hanya dapat berlangsung
secara eksklusif antara individu tertentu saja.
3.
Fungsi Penyampaian Informasi
Komunikasi massa yang mengandalkan media massa, memiliki fungsi utama,
yaitu menjadi proses penyampaian informasi kepada masyarakat luas.
Komunikasi
massa
memungkinkan
informasi
dari
institusi
publik
5
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi
di Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2008, Hal 78-81
11
17
tersampaikan kepada masyarakat secara luas dalam waktu cepat sehingga
fungsi informatif tercapai dalam waktu cepat dan singkat.
4.
Fungsi Transformasi Budaya
Fungsi informatif adalah fungsi-fungsi yang bersifat statis, namun fungsifungsi lain yang lebih dinamis adalah fungsi transformasi budaya. Fungsi
transformasi budaya ini menjadi sangat penting dan terkait dengan fungsifungsi lainnya terutama fungsi social learning, akan tetapi fungsi transformasi
budaya lebih kepada tugasnya yang besar sebagai bagian dari budaya global.
5.
Hiburan
Fungsi lain dari komunikasi adalah hiburan, bahwa seirama dengan fungsifungsi lain, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hiburan,
terutama karena komunikasi massa menggunakan media massa, jadi fungsifungsi hiburan yang ada pada media massa juga merupakan bagian dari fungsi
komunikasi massa.
Transformasi
budaya
yang
dilakukan
oleh
komunikasi
massa
mengikutsertakan fungsi hiburan ini sebagai bagian penting dalam fungsi
komunikasi massa. Hiburan tidak terlepas dari fungsi media massa itu sendiri
dan juga tidak terlepas dari tujuan transformasi budaya. Dengan demikian,
maka fungsi hiburan dari komunikasi massa saling mendukung fungsi-fungsi
lainnya dalam proses komunikasi massa.
11
18
Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Dominick (2001)
terdiri dari :6
1.
Surveillance (Pengawasan)
Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: fungsi
pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang
ancaman dari angin topan, meletusnya gunung merapi, kondisi efek yang
memprihatinkan, tayangan inflasi atau adanya serangan militer. Fungsi
pengawasan instrumental adalah penyampaian atau penyebaran informasi
yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan
sehari-hari. Berita tentang film apa yang tayang di bioskop, bagaimana hargaharga saham di bursa efek, produk-produk baru, ide-ide tentang mode, resep
masakan dan sebagainya.
2.
Interpretation (Penafsiran)
Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa
tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran
terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih
dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.
Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk
memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi
antarpersonal atau komunikasi kelompok.
6
Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hal 15-19
19
11
3.
Linkage (Pertalian)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga
membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama
tentang sesuatu.
4.
Transmission of Values (Penyebaran Nilai-nilai)
Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini juga disebut socialization
(sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, dimana individu mengadopsi
perilaku dan nilai kelompok.
5.
Entertainment (Hiburan)
Sulit dibantah lagi bahwa pada kenyataannya hampir semua media
menjalankan
fungsi
hiburan.
Televisi
adalah
media
massa
yang
mengutamakan sajian hiburan, hampir tiga perempat bentuk siaran televisi
setiap hari merupakan tayangan hiburan. Begitupun radio siaran, siarannya
banyak dimuati acara hiburan.
Melalui berbagai macam program acara yang ditayangkan televisi, khalayak
dapat memperoleh hiburan yang dikehendakinya. Fungsi dari media massa
sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi
ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan
atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak
segar kembali.
2011
2.2.
Film
2.2.1. Pengertian Film
Film atau gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa
visual di belahan dunia ini. Film merupakan karya seni yang diproduksi secara
kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika
(keindahan) yang sempurna. Film ditemukan dari hasil penggambaran prinsipprinsip fotografi dan proyektor.7
Secara umum, film dipandang sebagai media tersendiri, film merupakan
sarana pengungkapan daya cipta dari beberapa cabang seni sekaligus, dan
produknya bisa diterima dan diminati layaknya karya seni. Sedangkan dalam
pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar dan dalam
pengertian luasnya bisa juga termasuk yang disiarkan di televisi.8
Film merupakan karya sinematografi yang memanfaatkan media celluloid
sebagai penyimpanan. Sejalan dengan perkembangan media penyimpanan dalam
bidang sinematografi, pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat
diproduksi tanpa menggunakan media celluloid. Saat ini tidak sedikit film yang
menggunakan media celluloid pada tahap pengambilan gambar, kemudian pada
tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital
dapat disimpan pada media yang lebih fleksibel seperti cakram (VCD dan DVD).
Pada istilah lain film pun tidak lagi sebagai media penyimpanan bentuk karya
7
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah, Komunikasi Massa Suatu Pengantar,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007, hal 143
8
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal 136
11
21
audio visual namun lebih diartikan sebagai suatu genre seni cerita berbasis audio
visual atau cerita yang dituturkan penonton melalui gambar bergerak.9
Televisi dan film telah mengembangkan hubungan dimana yang satu
membantu yang lain. Kalau dulu televisi mengurangi pendapatan film, sekarang
justru berbeda. Saat ini televisi merupakan pendukung utama pembuatan film dan
produser film.10
2.2.2. Karakteristik Film
Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah:11
1.
Layar Yang Luas/Lebar
Kelebihan media film mempunyai layar yang lebih luas dibanding layar
televisi. Layar film yang luas memberikan keleluasaan penontonnya untuk
melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan adanya
kemajuan teknologi, layar film di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga
dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak
berjarak.
2.
Pengambilan Gambar
Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam
film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan
panoramic shot, yakni pengambilan gambar menyeluruh. Shot tersebut
9
Ilham Zoebazary, Kamus Istilah Televisi dan Film, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2010, Hal
104
10
Rini Darmastuti, Media Relations: Konsep, Strategi, dan Aplikasi, Yogyakarta: ANDI, 2012,
Hal 65
11
Elvinaro Ardianto dan Lukiati K. Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 136-138 11
22
memberikan kesan artistik dengan suasana yang sesungguhnya, sehingga film
terlihat lebih menarik.
3.
Konsentrasi Penuh
Dari pengalaman kita masing-masing, di saat kita menonton film di bioskop,
kita semua terbebas dari gangguan hiruk pikuknya suara diluar karena
biasanya ruang kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara
pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Bandingkan bila kita menonton
televisi di rumah, selain lampu yang tidak dimatikan, orang-orang di
sekeliling kita berkomentar atau hilir mudik, ditambah lagi dengan selingan
iklan.
4.
Identifikasi Psikologis
Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di dalam gedung bioskop telah
membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena
penghayatan kita amat dalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan
pribadi kita dengan salah satu pemain, sehingga seolah-olah kita yang sedang
berperan. Gejala inilah yang disebut identifikasi psikologis.
2.2.3. Fungsi Media Film
Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton terutama ingin
memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film terdapat fungsi informatif dan fungsi
edukatif, bahkan persuasif. Hal ini juga sejalan dengan misi perfilman nasional
sejak tahun 1979, selain media hiburan, film nasional juga dapat digunakan
sebagai media edukasi untuk membina generasi muda dalam rangka national and
11
23
character building. Film adalah salah satu alat komunikasi yang paling mudah
disampaikan dan mudah diterima oleh manusia. Dalam film mengandung tiga
unsur yaitu penerangan, pendidikan, dan hiburan.12
1.
Sebagai Alat Penerangan
Dalam film segala informasi dapat disampaikan secara audio visual sehingga
dapat mudah dimengerti.
2.
Sebagai Alat Pendidikan
Dapat memberikan contoh suatu peragaan yang bersifat mendidik, tauladan di
dalam masyarakat dan mempertontonkan perbuatan-perbuatan yang baik.
3.
Sebagai Alat Hiburan
Dalam mensejahterakan rohani manusia karena disini kepuasan batin untuk
melihat secara visual serta pembinaan.
2.2.4. Genre-genre Film
1.
Drama
Tema ini mengangkat aspek-aspek human interest sehingga sasarannya
adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya.
Tema ini dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya, seperti jika kejadian
yang ada disekitar keluarga maka disebut drama keluarga.
2.
Action
Jenis ini bisa dikatakan film yang berisi tentang pertarungan fisik antara
tokoh baik dan tokoh jahat.
12
Buku Sejarah PPH UI, Jakarta, 1998, Hal 112
11
24
3.
Komedi
Film komedi tidak harus dilakukan atau dimainkan oleh pelawak, tetapi juga
bisa dimainkan oleh pemain film biasa dan selalu membuat orang tertawa.
4.
Horror
Film yang menekankan suasana menakutkan dan menyeramkan yang dapat
membuat bulu kuduk penontonnya merinding.
5.
Drama Action
Film yang menyuguhkan suasana drama dengan adegan-adegan pertengkaran
fisik. Biasanya film dimulai dengan suasana drama setelah itu suasana tegang
berupa pertengkaran-pertengkaran.
6.
Tragedi
Jenis ini menekankan pada nasib manusia, sebuah film dengan akhir cerita
tokoh utama.
7.
Musikal
Jenis film yang isinya disertai dengan lagu-lagu maupun drama melodis,
sehingga
penyutradaraan,
acting,
penyuntingan,
termasuk
dialog,
dikonspensasi dengan kehadiran lagu-lagu dan irama melodis.13
8.
Komedi Horror
Film ini menampilkan film horror yang berkembang kemudian diplesetkan
menjadi komedi. Unsur ketegangan yang bersifat menakutkan menjadi lunak
karena unsur tersebut dikemas dengan adegan komedi.14
13
14
Askurifai Baksin, Membuat Film Indie Itu Gampang, Bandung: Kata Is, 2003, Hal 93
Suhandang Kustadi, Pengantar Jurnalistik, Jakarta: Yayasan Nuansa Cendikia, 2004, Hal 188
2511
2.3.
Konstruksi Realitas Sosial
Istilah konstruksi realitas sosial (social construction of reality) menjadi
terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui
bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociological of Knowledge (1966). Mereka menggambarkan proses sosial melalui
tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus-menerus
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut von Glasersfeld, pengertian
konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang
secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri,
sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai
oleh Giambatissta Vico, seorang epistemology dari Italia, ia adalah cikal bakal
konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).15
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme: pertama, konstruktivisme
radikal; kedua, realisme hipotetis; ketiga, konstruktivisme biasa (Suparno, 1997:
25). Dari ketiga macam konstruktivisme tersebut, terdapat kesamaan dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri
pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang oleh Piaget disebut skema/skemata.
15
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann,
Jakarta: Kencana, 2008, Hal.13
2611
Dan konstruktivisme macam inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut
dengan konstruksi sosial.16
Ritzer (1992:5) menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam definisi
sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari
realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh
norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya
itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan
pranata sosial.17
Dalam penjelasan ontologi, realitas merupakan konstruksi sosial yang
diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat
nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial
(Hidayat, 1993:39).18
Dalam pandangan definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia
kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
Dunia sosial itu dimaksud sebagaimana yang disebut oleh George Simmle
(Veeger, 1993: 91), bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu,
yang menurut kesan kita bahwa realitas itu ‘ada’ dalam diri sendiri dan hukum
yang menguasainya.19
Realitas sosial itu ‘ada’ dilihat dari subyektifitas ‘ada’ itu sendiri dan
dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai
16
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann,
Jakarta: Kencana, 2008, hal.14 17
Ibid, Hal.10
18
Ibid, Hal.11
19
Ibid, Hal.12
27 11
‘kedirian’-nya, namun juga dilihat dari mana ‘kediria`n’ itu berada, bagaimana ia
menerima dan mengaktualisasikan dirinya serta bagaimana pula lingkungan
menerimanya.20
Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu
memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksikan dan dimaknakan secara
subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif.21
2.4.
Realitas Perempuan
Feminisme telah memandang gagasan, bahasa, dan citra sebagai sesuatu
yang sangat penting dalam pembentukan kehidupan perempuan sehingga
representasi
media
terhadap
perempuan
merupakan
perhatian
penting.
Representasi media yang dipandang citra yang keliru mengenai perempuan,
stereotip yang merusak persepsi diri perempuan dan membatasi peran
perempuan.22
Feminisme adalah sebuah gerakan wanita yang menuntut emansipasi atau
kesamaan hak dengan pria. Ditinjau secara etimologis, istilah feminisme berasal
dari bahasa latin femina yang berarti perempuan. Kata tersebut diadopsi dan
digunakan oleh berbagai bahasa di dunia. Dalam bahasa Perancis, femme untuk
menyebutkan perempuan, feminitas dan maskulinitas dalam arti sosial dan
20
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan
Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann,
Jakarta: Kencana, 2008, hal.12
21
Ibid, Hal.12
22
Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminisme Kontemporer, Yogyakarta:
Jalasutra, 2009, Hal 63 2811
psikologis harus dibedakan dengan istilah male (laki-laki) dan female
(perempuan) dalam arti biologis. Dalam hal ini istilah-istilah feminisme seringkali
diartikan sebagai salah satu sebuah gerakan sosial bagi kaum feminisme.23
Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminis dari Asia Selatan,
bahwa feminisme harus didefinisikan dengan jelas dan luas sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman dan ketakutan terhadap feminisme. Menurutnya, feminisme
adalah suatu kesadaran dan penindasan dan pemerasan terhadap kaum perempuan
dalam masyarakat di tempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh
perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.24
Film perempuan sudah menjadi kategori penting dalam industri perfilman
karena target penontonnya perempuan. Menurut Maria LaPlace, film perempuan
dibedakan oleh tokoh-tokoh utamanya yang perempuan, sudut pandang
perempuan dan narasinya yang sering kali berkutat di sekitar realisme tradisional
pengalam perempuan seperti keluarga, rumah tangga, dan percintaan tetapi dalam
wilayah yang cinta, emosi, dan pengalaman terjadi sebelum munculnya tindakan
atau peristiwa. Salah satu aspek penting dari genre ini adalah adanya suatu tempat
mencolok yang sesuai dengan hubungan antara perempuan.25
Hubungan citra kemasyarakatan perempuan yang berubah-ubah dalam
film menurut Mojorie Rosen, film merefleksikan perubahan citra kemasyarakatan
perempuan dan juga menampilkan citra perempuan yang terdistorsi: ‘Cinema
23
Hastani Widy Nugroho, Diskriminasi Gender (Potret Perempuan Dalam Homogeni Laki-laki),
Yogyakarta: Andi Offset, 2004, Hal 72
24
Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Al Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997, Hal 41
25
Joanne Hollows, Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, Hal
63
2911
Women’ (Perempuan dalam Sinema) adalah popcorn venus (pemanis), hibrid
distorsi budaya yang menyenangkan tetapi tidak substansial. Rosen juga
menyatakan jika citra feminim yang salah ini mengisi kepala kosong para
penonton perempuan. Sedangkan Haskel berpendapat bahwa film tidak hanya
merefleksikan definisi peran yang diterima masyarakat tetapi juga memaksakan
definisi feminitas yang sempit. Film adalah lahan yang kaya akan penggalian
stereotipe perempuan.26
Mulvey membentuk suatu gagasan tentang perempuan sebagai tanda
kosong yang hanya menandai kebenarannya dengan norma laki-laki yang
dikaitkan dengan aktivitas. Perempuan bertindak sebagai penanda untuk laki-laki
yang lain, diikatkan oleh urutan simbolik yang dapat menjadi tempat laki-laki bisa
melepaskan
fantasi
dan
obsesinya
melalui
perintah
linguistik
dengan
menekankannya pada citra diam perempuan yang masih terikat di tempatnya
sebagai pembawa makna bukan pembuat makna. Mulvey juga berpendapat
tentang bagaimana citra perempuan dalam sinema narasi juga dikodekan sebagai
objek erotis, objek kenikmatan visual bagi penonton laki-laki. Menurutnya
perempuanlah yang dikodekan sebagai objek erotis pandangan laki-laki dalam
sinema.27
Oleh sebab itu, bagi Mulvey perempuan sebagai citra dalam sinema
mainstream dihasilkan sebagai tontonan untuk pandangan laki-laki. Perempuan
hanya bisa difungsikan sebagai objek narasi dan menandakan kepasifan,
sedangkan
laki-laki
adalah
subjek
aktif
narasi.
Akibatnya,
hal
ini
26
Haryatmoko, Etika Komunikasi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, Hal 53 Joanne Hollows, Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, Hal
62
27
3011
mengimplikasikan bahwa kerangka yang mendasari semua sinema mainstream
terorganisasi di sekitar hasrat laki-laki. Sinema menawarkan penonton laki-laki
pelbagai kenikmatan, tetapi tidak memberikan penonton perempuan tempat untuk
melihat yang tidak memberikan kesubordinasiannya sebagai objek pasif hasrat
laki-laki.
Sehingga
dapat
dikatakan
jika
di
dunia
yang
diatur
oleh
ketidakseimbangan seksual, kenikmatan dalam melihat terpisah antara aktif/ lakilaki dan pasif/perempuan.28
2.5.
Perempuan Urban
Perempuan urban modern semakin independen, termasuk dalam hal
keuangan. Perempuan mampu mendapatkan penghasilan tinggi dan leluasa
membelanjakan uang sesuai tujuan finansialnya. Meski begitu, perempuan
semestinya mengimbangi independensi tersebut dengan kecerdasan mengatur
keuangan.
Perempuan pada jaman sekarang banyak yang memiliki perbedaan serta
pergeseran kebiasaan dengan perempuan pada jaman orang tua dulu. Waktu dulu
seorang perempuan banyak yang setelah lulus sekolah lalu menikah tanpa
memiliki pemikiran untuk bekerja. Malah tidak sedikit perempuan yang tidak
melanjutkan sekolah hanya karena alasan “toh nantinya ujung-ujungnya ke dapur
dan urus suami juga”. Perbedaan jaman serta penyesuaian kondisi yang ada saat
ini membuat pola pikir perempuan berubah, sehingga banyak melahirkan wanita
28
Joanne Hollows, Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, Hal
64 3111
karir yang sukses. Namun kesuksesan disini seharusnya tidak timpang, harus
diimbangi dengan kesuksesan dalam keluarga juga.
Sebuah potret tentang sifat-sifat yang dimiliki perempuan urban modern
yang ternyata banyak dimiliki perempuan di Indonesia, seperti :29
a.
Ikatan Kuat dengan Keluarga
Perempuan urban modern di Indonesia menilai bahwa mengasuh, mencintai
dan bertanggung jawab atas keluarganya adalah hal terpenting dalam
hidupnya. Terkadang karir yang dia jalani merupakan salah satu kontribusi
untuk keluarganya.
b. Hubungan Baik dengan Masyarakat
Perempuan urban modern biasanya memiliki cara tersendiri dalam membina
hubungan dengan masyarakat.
c.
Komunikasi yang Baik dengan Sahabat serta Kerabat
Perempuan urban modern selalu punya waktu untuk keep in touch dengan
para sahabat lamanya serta kerabatnya. Karena sahabat adalah salah satu
bagian penting dalam hidupnya
d. Terpelajar
Semakin banyak perempuan urban modern yang memilih melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, membuat dia berwawasan luas dan
terpelajar.
29
http://www.chily.net/potret-perempuan-urban-modern-unik.htm,, Diakses pada tanggal 27 Juli
2013, pukul 11.45 WIB
3211
e.
Orientasi untuk Sukses
Keluarga dan karier adalah prioritas utama. Mereka memiliki target yang
tinggi untuk sukses dalam karier sekaligus sukses dalam membina keluarga
yang harmonis. Perempuan urban modern biasanya menginginkan sukses
dalam segala aspek kehidupan.
f.
Orientasi dalam Karir
Karier yang bagus merupakan salah satu kebanggaan tersendiri dalam diri
perempuan urban modern, dan ini merupakan salah satu cara mereka dalam
memperoleh kepuasan pribadi. Siapa yang tidak bangga jika mampu menjadi
wanita karier yang sukses dan tetap menjadi Ibu yang hebat dalam mengurus
keluarganya.
g.
Image Cerdas dan Modern
Perempuan urban modern selalu ingin menampilkan image cerdas dan
modern, mereka tahu bagaimana cara membawa diri dalam pergaulan serta
mereka tahu banyak tentang merawat penampilan. Inner dan Outer Beauty
yang selalu terpancar.
h. Manajemen Keuangan yang Baik
Perempuan urban modern di Indonesia menghargai norma yang telah lekat
sejak dulu, dimana pengambil keputusan adalah kepala keluarga, namun tetap
saja mereka biasanya tidak ingin pasif dalam hal pengambilan keputusan.
Perempuan urban modern pada umumnya selalu mendiskusikan keuangan
keluarga dengan suaminya. Mereka selalu berusaha merencanakan keuangan
agar lebih baik dan kehidupan yang lebih mapan bagi keluarganya.
33 11
i.
Penguasaan Teknologi
Teknologi terkini memiliki peran yang sangat penting dalam pandangan
perempuan urban modern demi menunjang perkembangan karier dan
hubungan mereka dengan teman serta keluarga yang menjadi prioritas
utamanya.
j.
Peduli Kesehatan
Perempuan urban modern biasanya sangat mendambakan keseimbangan
antara kesehatan, karier dan keluarganya, tidak jarang mereka dijumpai di
arena fitnes atau aerobik untuk memperhatikan kesehatannya.
k. Rasa Aman dan Nyaman adalah Kebutuhan
Spa, salon adalah tempat yang umum mereka kunjungi, untuk mendapatkan
suasana relax serta kenyamanan untuk pribadinya. Hal ini mereka lakukan
untuk mempersiapkan diri mereka dalam merencanakan masa depan
keluarganya.
2.6.
Semiotika
Selain istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula
digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk
pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau
lambang.30
Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang
berarti “tanda” (Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme, yang berarti
30
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 3
3411
“penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1994: 4). Semiotika berakar dari studi klasik
dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001: 49).31
Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika,
yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan
pada teori tentang produksi tanda yang mengasumsikan adanya enam faktor dalam
komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran
komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Yang kedua memberikan tekanan
pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.32
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Semiotika, atau dalam istilah Barthes seperti yang dikutip oleh Alex Sobur,
semiologi
pada
dasarnya
hendak
mempelajari
bagaimana
kemanusiaan
(humanity), memaknai hal-hal (things). Memaknai dalam hal ini berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu
hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.33
2.7.
Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya,
31
Ibid, Hal 16-17
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 15
33
Ibid, Hal 15
32
11
35
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
significations”.
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia berpendapat
bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.34 Seperti dipaparkan Cobley & Jansz
(1999: 44), Barthes membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian.
Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi
yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil
konstruksi yang cermat.35
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran
kedua. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam
Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan
tataran pertama.
34
35
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, Hal 63
Ibid, Hal 68
11
36
Gambar 1.1 Peta Tanda Roland Barthes
1.
signifier
(penanda)
1. signified
(petanda)
2. denotative sign (tanda denotatif)
3. CONNOTATIVE SIGNIFIER
(PENANDA KONOTATIF)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber: Paul Cobley & Lits Jansz1, 1999, Introducing Semiotics, NY, Tatern
Books, hlm 51
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah tanda konotasi seperti
harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Jansz, 1999:
51).36
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi
penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran
denotatif.37
36
37
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, Hal 69
Ibid, Hal 69
3711
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam
pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh
Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna
harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan
dengan refernsi atau acuan. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan
para pengikutnya, denotasi merupakan system signifikasi tingkat pertama,
sementera konotasi merupakan tingkat kedua.38
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau
dengan kata lain mitos adalah juga suatu system pemaknaan tataran ke-dua.39
38
39
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, Hal 70
Ibid, Hal 68-71 
Download