BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi Massa 2.1.1. Pengertian Komunikasi Massa Komunikasi massa yang paling sederhana dirumuskan oleh Bittner (1980: 10): “Mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people” (Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang).1 Komunikasi massa yang lebih rinci dijelaskan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967) komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri.2 Komunikasi massa adalah proses komunikasi yang dilakukan melalui media massa dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Dengan demikian, maka unsur-unsur penting dalam komunikasi massa adalah:3 a. Komunikator b. Media Massa c. Informasi (pesan) Massa d. Gatekeeper 1 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, Hal 188 Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007, Hal 3 3 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2008, Hal 71 2 10 11 e. Khalayak (publik) f. Umpan Balik Media disini meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa. Unsur-unsur komunikasi massa adalah: 1. Source (sumber) Sumber utama dalam komunikasi massa adalah lembaga, organisasi, atau orang yang bekerja dengan fasilitas lembaga atau organisasi tertentu (institutionalized). Lembaga yang dimaksud adalah perusahaan surat kabar, stasiun studio, televisi, studio film, penerbit buku atau majalah. Yang dimaksud institutionalized adalah orang, seperti redaktur surat kabar yang melalui tajuk rencana menyatakan pendapatnya dengan fasilitas lembaga. 2. Message (pesan) Organisasi yang memiliki encode ribuan atau kemampuan untuk menyampaikan pesan yang sama pada saat yang bersamaan kepada publik atau massa, dimana audiens yang dicapai amat besar jumlahnya. 3. Channel (saluran) Unsur ini menyangkut semua peralatan mekanik yang dipergunakan untuk menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi massa. Media yang mempunyai kemampuan ini antara lain: surat kabar, majalah, film, tv, radio dan internet. 4. Receiver (penerimaan) Unsur ini menyangkut sasaran komunikasi massa, yakni semua audiens yang mempergunakan atau membaca media massa tersebut. 1211 2.1.2. Karakteristik Komunikasi Massa Berikut karakteristik komunikasi massa yaitu:4 1. Komunikator Terlembagakan Bahwa komunikasi massa itu pasti menggunakan media massa, baik cetak maupun elektronik. Pesan-pesan lainnya ada yang dalam bentuk tajuk rencana, features, karikatur, dan berbagai berita yang dibuat oleh reporter surat kabar. Jadi ada beberapa orang yang terlibat dalam proses komunikasi massa tersebut dan beberapa macam peralatan yang digunakan serta berapa banyak biaya yang digunakan. Media televisi sebagai bagian media komunikasi massa bahkan mempunyai cara kerja yang lebih rumit dan melibatkan lebih banyak orang serta menggunakan peralatan yang jauh lebih kompleks dan canggih. 2. Komunikasi melalui media massa pada dasarnya ditujukan kepada khalayak yang luas, heterogen, anonim, tersebar, dan tidak mengenal batas geografis dan kultural. Khayalak yang heterogen artinya bahwa mereka berbeda atau beraneka ragam dalam hal latar belakang pendidikan, penghasilan, suku bangsa, agama, dan sebagainya. Khalayak yang anonim artinya bahwa diantara pembaca koran, pendengar radio, atau pemirsa televisi terpisah dan tidak saling mengenal satu sama lain. Diantara pembaca surat kabar, pendengar radio, atau pemirsa televisi saling 4 Riswandi, Ilmu Komunikasi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, Hal 105-109 11 13 terpisah satu sama lain. Khalayak juga tersebar dan tidak mengenal batas usia, tempat tinggal, kelompok-kelompok sosial, golongan dan sebagainya. 3. Bentuk kegiatan melalui media massa bersifat umum, dalam arti perorangan atau pribadi. Isi pesan yang disampaikan menyangkut kepentingan orang banyak, tidak menyangkut kepentingan orang perorangan atau pribadi. 4. Pola penyampaian pesan media massa berjalan secara cepat dan mampu menjangkau khalayak luas, bahkan mungkin tidak terbatas baik secara geografis maupun kultural. Karena karakteristik demikian, media massa disebut sebagai message multiplier, artinya mempunyai kemampuan untuk menyampaikan pesan secara cepat dan mampu menjangkau khalayak luas. 5. Penyampaian pesan melalui media massa cenderung berjalan satu arah. Umpan balik/feedback dari khalayak berlangsung secara tertunda/delayed feedback. Umpan balik khalayak atas isi pesan suatu media massa dapat berupa tindakan meneruskan atau berhenti membaca koran, mendengar radio, atau menonton televisi. Sedangkan umpan balik yang ditujukan kepada media massa antara lain dengan mempermasalahkan kebenaran dan keakuratan suatu berita, kritik terhadap cara-cara penyampaian berita, atau dukungan terhadap pesan tertentu. Biasanya media massa, terutama media cetak, menyediakan kolom atau rubrik khusus untuk surat-surat tanggapan pembaca. 6. Kegiatan komunikasi melalui media massa dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisasi. 11 14 Komunikator pada media massa bekerja melalui aturan organisasi dan pembagian kerja yang jelas. Identitas yang dibawakan bukan semata-mata identitas pribadi, tetapi justru yang ditonjolkan adalah identitas organisasi dan kelompok. 7. Penyampaian pesan melalui media massa itu disebarkan kepada khalayak tidak bersifat temporer atau sewaktu-waktu, melainkan secara tetap, misalnya tiap hari, setiap minggu, atau setiap bulan, setiap jam dan sebagainya. 8. Isi pesan yang disampaikan melalui media massa mencakup berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial budaya, dan keamanan, baik yang bersifat informatif, edukatif, maupun hiburan. 9. Media massa mengutamakan unsur isi dari pada hubungan. Setiap komunikasi melibatkan unsur isi dan hubungan. Dalam komunikasi antarpribadi, unsur hubungan memainkan peranan penting. Misalnya dalam percakapan antara dua orang teman dalam kehidupan sehari-hari, pesan yang disampaikan atau topik yang dibicarakan tidak menggunakan standar atau sistematika tertentu yang sudah baku seperti ada pendahuluan, permasalahan, pembahasan dan kesimpulan. Di samping itu, dalam percakapan seperti ini topik yang dibahas dapat berubah atau berganti-ganti yang satu dengan lainnya bahkan tidak relevan. Sebaliknya pada level komunikasi massa, unsur ini memainkan peran penting. Misalnya pesan yang akan disampaikan harus disusun sedemikian rupa berdasarkan sistem dan aturan/teori tertentu dan disesuaikan dengan karakteristik media massa yang akan digunakan. 11 15 10. Media massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah, komunikan/khalayak yang menjadi sasaran pesan yang heterogen, luas, dan anonim tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan menerima pesan yang sama pula. 11. Kemampuan respon alat indera terbatas Ciri komunikasi massa lainnya yang merupakan kelemahannya adalah kemampuan alat indera terbatas. Dibandingkan dengan komunikasi antarpribadi dimana seluruh alat indera pelaku komunikasi dapat digunakan secara maksimal. Dalam hal ini, kedua belah pihak dapat melihat, mendengar, bahkan mungkin mencium dan merasakan secara langsung. Sebaliknya dalam konteks komunikasi massa, kemampuan respon alat indera bergantung pada jenis media massa yang ada atau yang tersedia. Misalnya pada surat kabar dan majalah atau media cetak pada umumnya, pembaca hanya dapat melihat. Pada radio, khalayak hanya dapat mendengar, dan pada media televisi dan film, khalayak menggunakan alat indera mata dan telinga. 2.1.3. Fungsi Komunikasi Massa Komunikasi massa adalah salah satu aktifitas sosial yang berfungsi di masyarakat. Robert K. Merton mengemukakan, bahwa fungsi aktifitas sosial memiliki dua aspek yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi nyata yang diinginkan, kedua fungsi tidak nyata atau tersembunyi (latent function), 1611 yaitu fungsi yang tidak diinginkan. Sehingga pada dasarnya setiap fungsi sosial dalam masyarakat itu memiliki efek fungsional dan disfungsional.5 1. Fungsi Pengawasan Media massa merupakan sebuah medium dimana dapat digunakan untuk pengawasan terhadap aktifitas masyarakat pada umumnya. Fungsi pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan persuasif. Pengawasan dan kontrol sosial dapat dilakukan untuk aktifitas preventif untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak di inginkan. Sedangkan fungsi persuasif sebagai upaya memberi reward dan punishment kepada masyarakat sesuai dengan apa yang dilakukannya. 2. Fungsi Social Learning Fungsi utama dari komunikasi massa melalui media massa adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Fungsi komunikasi massa ini merupakan sebuah andil yang dilakukan untuk menutupi kelemahan fungsi-fungsi paedagogi yang dilaksanakan melalui komunikasi tatap muka, dimana karena sifatnya, maka fungsi paedagogi hanya dapat berlangsung secara eksklusif antara individu tertentu saja. 3. Fungsi Penyampaian Informasi Komunikasi massa yang mengandalkan media massa, memiliki fungsi utama, yaitu menjadi proses penyampaian informasi kepada masyarakat luas. Komunikasi massa memungkinkan informasi dari institusi publik 5 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2008, Hal 78-81 11 17 tersampaikan kepada masyarakat secara luas dalam waktu cepat sehingga fungsi informatif tercapai dalam waktu cepat dan singkat. 4. Fungsi Transformasi Budaya Fungsi informatif adalah fungsi-fungsi yang bersifat statis, namun fungsifungsi lain yang lebih dinamis adalah fungsi transformasi budaya. Fungsi transformasi budaya ini menjadi sangat penting dan terkait dengan fungsifungsi lainnya terutama fungsi social learning, akan tetapi fungsi transformasi budaya lebih kepada tugasnya yang besar sebagai bagian dari budaya global. 5. Hiburan Fungsi lain dari komunikasi adalah hiburan, bahwa seirama dengan fungsifungsi lain, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hiburan, terutama karena komunikasi massa menggunakan media massa, jadi fungsifungsi hiburan yang ada pada media massa juga merupakan bagian dari fungsi komunikasi massa. Transformasi budaya yang dilakukan oleh komunikasi massa mengikutsertakan fungsi hiburan ini sebagai bagian penting dalam fungsi komunikasi massa. Hiburan tidak terlepas dari fungsi media massa itu sendiri dan juga tidak terlepas dari tujuan transformasi budaya. Dengan demikian, maka fungsi hiburan dari komunikasi massa saling mendukung fungsi-fungsi lainnya dalam proses komunikasi massa. 11 18 Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Dominick (2001) terdiri dari :6 1. Surveillance (Pengawasan) Fungsi pengawasan komunikasi massa dibagi dalam bentuk utama: fungsi pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, meletusnya gunung merapi, kondisi efek yang memprihatinkan, tayangan inflasi atau adanya serangan militer. Fungsi pengawasan instrumental adalah penyampaian atau penyebaran informasi yang memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari. Berita tentang film apa yang tayang di bioskop, bagaimana hargaharga saham di bursa efek, produk-produk baru, ide-ide tentang mode, resep masakan dan sebagainya. 2. Interpretation (Penafsiran) Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antarpersonal atau komunikasi kelompok. 6 Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hal 15-19 19 11 3. Linkage (Pertalian) Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang beragam, sehingga membentuk linkage (pertalian) berdasarkan kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu. 4. Transmission of Values (Penyebaran Nilai-nilai) Fungsi penyebaran nilai tidak kentara. Fungsi ini juga disebut socialization (sosialisasi). Sosialisasi mengacu kepada cara, dimana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok. 5. Entertainment (Hiburan) Sulit dibantah lagi bahwa pada kenyataannya hampir semua media menjalankan fungsi hiburan. Televisi adalah media massa yang mengutamakan sajian hiburan, hampir tiga perempat bentuk siaran televisi setiap hari merupakan tayangan hiburan. Begitupun radio siaran, siarannya banyak dimuati acara hiburan. Melalui berbagai macam program acara yang ditayangkan televisi, khalayak dapat memperoleh hiburan yang dikehendakinya. Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali. 2011 2.2. Film 2.2.1. Pengertian Film Film atau gambar bergerak adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Film merupakan karya seni yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Film ditemukan dari hasil penggambaran prinsipprinsip fotografi dan proyektor.7 Secara umum, film dipandang sebagai media tersendiri, film merupakan sarana pengungkapan daya cipta dari beberapa cabang seni sekaligus, dan produknya bisa diterima dan diminati layaknya karya seni. Sedangkan dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar dan dalam pengertian luasnya bisa juga termasuk yang disiarkan di televisi.8 Film merupakan karya sinematografi yang memanfaatkan media celluloid sebagai penyimpanan. Sejalan dengan perkembangan media penyimpanan dalam bidang sinematografi, pengertian film telah bergeser. Sebuah film cerita dapat diproduksi tanpa menggunakan media celluloid. Saat ini tidak sedikit film yang menggunakan media celluloid pada tahap pengambilan gambar, kemudian pada tahap pasca produksi gambar yang telah diedit dari media analog maupun digital dapat disimpan pada media yang lebih fleksibel seperti cakram (VCD dan DVD). Pada istilah lain film pun tidak lagi sebagai media penyimpanan bentuk karya 7 Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007, hal 143 8 Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hal 136 11 21 audio visual namun lebih diartikan sebagai suatu genre seni cerita berbasis audio visual atau cerita yang dituturkan penonton melalui gambar bergerak.9 Televisi dan film telah mengembangkan hubungan dimana yang satu membantu yang lain. Kalau dulu televisi mengurangi pendapatan film, sekarang justru berbeda. Saat ini televisi merupakan pendukung utama pembuatan film dan produser film.10 2.2.2. Karakteristik Film Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah:11 1. Layar Yang Luas/Lebar Kelebihan media film mempunyai layar yang lebih luas dibanding layar televisi. Layar film yang luas memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak. 2. Pengambilan Gambar Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan gambar menyeluruh. Shot tersebut 9 Ilham Zoebazary, Kamus Istilah Televisi dan Film, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2010, Hal 104 10 Rini Darmastuti, Media Relations: Konsep, Strategi, dan Aplikasi, Yogyakarta: ANDI, 2012, Hal 65 11 Elvinaro Ardianto dan Lukiati K. Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 136-138 11 22 memberikan kesan artistik dengan suasana yang sesungguhnya, sehingga film terlihat lebih menarik. 3. Konsentrasi Penuh Dari pengalaman kita masing-masing, di saat kita menonton film di bioskop, kita semua terbebas dari gangguan hiruk pikuknya suara diluar karena biasanya ruang kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Bandingkan bila kita menonton televisi di rumah, selain lampu yang tidak dimatikan, orang-orang di sekeliling kita berkomentar atau hilir mudik, ditambah lagi dengan selingan iklan. 4. Identifikasi Psikologis Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di dalam gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita amat dalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan pribadi kita dengan salah satu pemain, sehingga seolah-olah kita yang sedang berperan. Gejala inilah yang disebut identifikasi psikologis. 2.2.3. Fungsi Media Film Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton terutama ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film terdapat fungsi informatif dan fungsi edukatif, bahkan persuasif. Hal ini juga sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, selain media hiburan, film nasional juga dapat digunakan sebagai media edukasi untuk membina generasi muda dalam rangka national and 11 23 character building. Film adalah salah satu alat komunikasi yang paling mudah disampaikan dan mudah diterima oleh manusia. Dalam film mengandung tiga unsur yaitu penerangan, pendidikan, dan hiburan.12 1. Sebagai Alat Penerangan Dalam film segala informasi dapat disampaikan secara audio visual sehingga dapat mudah dimengerti. 2. Sebagai Alat Pendidikan Dapat memberikan contoh suatu peragaan yang bersifat mendidik, tauladan di dalam masyarakat dan mempertontonkan perbuatan-perbuatan yang baik. 3. Sebagai Alat Hiburan Dalam mensejahterakan rohani manusia karena disini kepuasan batin untuk melihat secara visual serta pembinaan. 2.2.4. Genre-genre Film 1. Drama Tema ini mengangkat aspek-aspek human interest sehingga sasarannya adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. Tema ini dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya, seperti jika kejadian yang ada disekitar keluarga maka disebut drama keluarga. 2. Action Jenis ini bisa dikatakan film yang berisi tentang pertarungan fisik antara tokoh baik dan tokoh jahat. 12 Buku Sejarah PPH UI, Jakarta, 1998, Hal 112 11 24 3. Komedi Film komedi tidak harus dilakukan atau dimainkan oleh pelawak, tetapi juga bisa dimainkan oleh pemain film biasa dan selalu membuat orang tertawa. 4. Horror Film yang menekankan suasana menakutkan dan menyeramkan yang dapat membuat bulu kuduk penontonnya merinding. 5. Drama Action Film yang menyuguhkan suasana drama dengan adegan-adegan pertengkaran fisik. Biasanya film dimulai dengan suasana drama setelah itu suasana tegang berupa pertengkaran-pertengkaran. 6. Tragedi Jenis ini menekankan pada nasib manusia, sebuah film dengan akhir cerita tokoh utama. 7. Musikal Jenis film yang isinya disertai dengan lagu-lagu maupun drama melodis, sehingga penyutradaraan, acting, penyuntingan, termasuk dialog, dikonspensasi dengan kehadiran lagu-lagu dan irama melodis.13 8. Komedi Horror Film ini menampilkan film horror yang berkembang kemudian diplesetkan menjadi komedi. Unsur ketegangan yang bersifat menakutkan menjadi lunak karena unsur tersebut dikemas dengan adegan komedi.14 13 14 Askurifai Baksin, Membuat Film Indie Itu Gampang, Bandung: Kata Is, 2003, Hal 93 Suhandang Kustadi, Pengantar Jurnalistik, Jakarta: Yayasan Nuansa Cendikia, 2004, Hal 188 2511 2.3. Konstruksi Realitas Sosial Istilah konstruksi realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge (1966). Mereka menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif. Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemology dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).15 Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme: pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotetis; ketiga, konstruktivisme biasa (Suparno, 1997: 25). Dari ketiga macam konstruktivisme tersebut, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan yang telah ada sebelumnya, yang oleh Piaget disebut skema/skemata. 15 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Jakarta: Kencana, 2008, Hal.13 2611 Dan konstruktivisme macam inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial.16 Ritzer (1992:5) menjelaskan bahwa ide dasar semua teori dalam definisi sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial.17 Dalam penjelasan ontologi, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 1993:39).18 Dalam pandangan definisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagaimana yang disebut oleh George Simmle (Veeger, 1993: 91), bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri di luar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu ‘ada’ dalam diri sendiri dan hukum yang menguasainya.19 Realitas sosial itu ‘ada’ dilihat dari subyektifitas ‘ada’ itu sendiri dan dunia objektif di sekeliling realitas sosial itu. Individu tidak hanya dilihat sebagai 16 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Jakarta: Kencana, 2008, hal.14 17 Ibid, Hal.10 18 Ibid, Hal.11 19 Ibid, Hal.12 27 11 ‘kedirian’-nya, namun juga dilihat dari mana ‘kediria`n’ itu berada, bagaimana ia menerima dan mengaktualisasikan dirinya serta bagaimana pula lingkungan menerimanya.20 Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksikan dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif.21 2.4. Realitas Perempuan Feminisme telah memandang gagasan, bahasa, dan citra sebagai sesuatu yang sangat penting dalam pembentukan kehidupan perempuan sehingga representasi media terhadap perempuan merupakan perhatian penting. Representasi media yang dipandang citra yang keliru mengenai perempuan, stereotip yang merusak persepsi diri perempuan dan membatasi peran perempuan.22 Feminisme adalah sebuah gerakan wanita yang menuntut emansipasi atau kesamaan hak dengan pria. Ditinjau secara etimologis, istilah feminisme berasal dari bahasa latin femina yang berarti perempuan. Kata tersebut diadopsi dan digunakan oleh berbagai bahasa di dunia. Dalam bahasa Perancis, femme untuk menyebutkan perempuan, feminitas dan maskulinitas dalam arti sosial dan 20 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, Dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Jakarta: Kencana, 2008, hal.12 21 Ibid, Hal.12 22 Stevi Jackson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminisme Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, Hal 63 2811 psikologis harus dibedakan dengan istilah male (laki-laki) dan female (perempuan) dalam arti biologis. Dalam hal ini istilah-istilah feminisme seringkali diartikan sebagai salah satu sebuah gerakan sosial bagi kaum feminisme.23 Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, feminis dari Asia Selatan, bahwa feminisme harus didefinisikan dengan jelas dan luas sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan ketakutan terhadap feminisme. Menurutnya, feminisme adalah suatu kesadaran dan penindasan dan pemerasan terhadap kaum perempuan dalam masyarakat di tempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.24 Film perempuan sudah menjadi kategori penting dalam industri perfilman karena target penontonnya perempuan. Menurut Maria LaPlace, film perempuan dibedakan oleh tokoh-tokoh utamanya yang perempuan, sudut pandang perempuan dan narasinya yang sering kali berkutat di sekitar realisme tradisional pengalam perempuan seperti keluarga, rumah tangga, dan percintaan tetapi dalam wilayah yang cinta, emosi, dan pengalaman terjadi sebelum munculnya tindakan atau peristiwa. Salah satu aspek penting dari genre ini adalah adanya suatu tempat mencolok yang sesuai dengan hubungan antara perempuan.25 Hubungan citra kemasyarakatan perempuan yang berubah-ubah dalam film menurut Mojorie Rosen, film merefleksikan perubahan citra kemasyarakatan perempuan dan juga menampilkan citra perempuan yang terdistorsi: ‘Cinema 23 Hastani Widy Nugroho, Diskriminasi Gender (Potret Perempuan Dalam Homogeni Laki-laki), Yogyakarta: Andi Offset, 2004, Hal 72 24 Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Al Qur’an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, Hal 41 25 Joanne Hollows, Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, Hal 63 2911 Women’ (Perempuan dalam Sinema) adalah popcorn venus (pemanis), hibrid distorsi budaya yang menyenangkan tetapi tidak substansial. Rosen juga menyatakan jika citra feminim yang salah ini mengisi kepala kosong para penonton perempuan. Sedangkan Haskel berpendapat bahwa film tidak hanya merefleksikan definisi peran yang diterima masyarakat tetapi juga memaksakan definisi feminitas yang sempit. Film adalah lahan yang kaya akan penggalian stereotipe perempuan.26 Mulvey membentuk suatu gagasan tentang perempuan sebagai tanda kosong yang hanya menandai kebenarannya dengan norma laki-laki yang dikaitkan dengan aktivitas. Perempuan bertindak sebagai penanda untuk laki-laki yang lain, diikatkan oleh urutan simbolik yang dapat menjadi tempat laki-laki bisa melepaskan fantasi dan obsesinya melalui perintah linguistik dengan menekankannya pada citra diam perempuan yang masih terikat di tempatnya sebagai pembawa makna bukan pembuat makna. Mulvey juga berpendapat tentang bagaimana citra perempuan dalam sinema narasi juga dikodekan sebagai objek erotis, objek kenikmatan visual bagi penonton laki-laki. Menurutnya perempuanlah yang dikodekan sebagai objek erotis pandangan laki-laki dalam sinema.27 Oleh sebab itu, bagi Mulvey perempuan sebagai citra dalam sinema mainstream dihasilkan sebagai tontonan untuk pandangan laki-laki. Perempuan hanya bisa difungsikan sebagai objek narasi dan menandakan kepasifan, sedangkan laki-laki adalah subjek aktif narasi. Akibatnya, hal ini 26 Haryatmoko, Etika Komunikasi, Yogyakarta: Kanisius, 2007, Hal 53 Joanne Hollows, Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, Hal 62 27 3011 mengimplikasikan bahwa kerangka yang mendasari semua sinema mainstream terorganisasi di sekitar hasrat laki-laki. Sinema menawarkan penonton laki-laki pelbagai kenikmatan, tetapi tidak memberikan penonton perempuan tempat untuk melihat yang tidak memberikan kesubordinasiannya sebagai objek pasif hasrat laki-laki. Sehingga dapat dikatakan jika di dunia yang diatur oleh ketidakseimbangan seksual, kenikmatan dalam melihat terpisah antara aktif/ lakilaki dan pasif/perempuan.28 2.5. Perempuan Urban Perempuan urban modern semakin independen, termasuk dalam hal keuangan. Perempuan mampu mendapatkan penghasilan tinggi dan leluasa membelanjakan uang sesuai tujuan finansialnya. Meski begitu, perempuan semestinya mengimbangi independensi tersebut dengan kecerdasan mengatur keuangan. Perempuan pada jaman sekarang banyak yang memiliki perbedaan serta pergeseran kebiasaan dengan perempuan pada jaman orang tua dulu. Waktu dulu seorang perempuan banyak yang setelah lulus sekolah lalu menikah tanpa memiliki pemikiran untuk bekerja. Malah tidak sedikit perempuan yang tidak melanjutkan sekolah hanya karena alasan “toh nantinya ujung-ujungnya ke dapur dan urus suami juga”. Perbedaan jaman serta penyesuaian kondisi yang ada saat ini membuat pola pikir perempuan berubah, sehingga banyak melahirkan wanita 28 Joanne Hollows, Feminisme, Feminitas, dan Budaya Populer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, Hal 64 3111 karir yang sukses. Namun kesuksesan disini seharusnya tidak timpang, harus diimbangi dengan kesuksesan dalam keluarga juga. Sebuah potret tentang sifat-sifat yang dimiliki perempuan urban modern yang ternyata banyak dimiliki perempuan di Indonesia, seperti :29 a. Ikatan Kuat dengan Keluarga Perempuan urban modern di Indonesia menilai bahwa mengasuh, mencintai dan bertanggung jawab atas keluarganya adalah hal terpenting dalam hidupnya. Terkadang karir yang dia jalani merupakan salah satu kontribusi untuk keluarganya. b. Hubungan Baik dengan Masyarakat Perempuan urban modern biasanya memiliki cara tersendiri dalam membina hubungan dengan masyarakat. c. Komunikasi yang Baik dengan Sahabat serta Kerabat Perempuan urban modern selalu punya waktu untuk keep in touch dengan para sahabat lamanya serta kerabatnya. Karena sahabat adalah salah satu bagian penting dalam hidupnya d. Terpelajar Semakin banyak perempuan urban modern yang memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, membuat dia berwawasan luas dan terpelajar. 29 http://www.chily.net/potret-perempuan-urban-modern-unik.htm,, Diakses pada tanggal 27 Juli 2013, pukul 11.45 WIB 3211 e. Orientasi untuk Sukses Keluarga dan karier adalah prioritas utama. Mereka memiliki target yang tinggi untuk sukses dalam karier sekaligus sukses dalam membina keluarga yang harmonis. Perempuan urban modern biasanya menginginkan sukses dalam segala aspek kehidupan. f. Orientasi dalam Karir Karier yang bagus merupakan salah satu kebanggaan tersendiri dalam diri perempuan urban modern, dan ini merupakan salah satu cara mereka dalam memperoleh kepuasan pribadi. Siapa yang tidak bangga jika mampu menjadi wanita karier yang sukses dan tetap menjadi Ibu yang hebat dalam mengurus keluarganya. g. Image Cerdas dan Modern Perempuan urban modern selalu ingin menampilkan image cerdas dan modern, mereka tahu bagaimana cara membawa diri dalam pergaulan serta mereka tahu banyak tentang merawat penampilan. Inner dan Outer Beauty yang selalu terpancar. h. Manajemen Keuangan yang Baik Perempuan urban modern di Indonesia menghargai norma yang telah lekat sejak dulu, dimana pengambil keputusan adalah kepala keluarga, namun tetap saja mereka biasanya tidak ingin pasif dalam hal pengambilan keputusan. Perempuan urban modern pada umumnya selalu mendiskusikan keuangan keluarga dengan suaminya. Mereka selalu berusaha merencanakan keuangan agar lebih baik dan kehidupan yang lebih mapan bagi keluarganya. 33 11 i. Penguasaan Teknologi Teknologi terkini memiliki peran yang sangat penting dalam pandangan perempuan urban modern demi menunjang perkembangan karier dan hubungan mereka dengan teman serta keluarga yang menjadi prioritas utamanya. j. Peduli Kesehatan Perempuan urban modern biasanya sangat mendambakan keseimbangan antara kesehatan, karier dan keluarganya, tidak jarang mereka dijumpai di arena fitnes atau aerobik untuk memperhatikan kesehatannya. k. Rasa Aman dan Nyaman adalah Kebutuhan Spa, salon adalah tempat yang umum mereka kunjungi, untuk mendapatkan suasana relax serta kenyamanan untuk pribadinya. Hal ini mereka lakukan untuk mempersiapkan diri mereka dalam merencanakan masa depan keluarganya. 2.6. Semiotika Selain istilah semiotika dan semiologi dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.30 Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” (Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau seme, yang berarti 30 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 3 3411 “penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1994: 4). Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika (Kurniawan, 2001: 49).31 Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.32 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika, atau dalam istilah Barthes seperti yang dikutip oleh Alex Sobur, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal (things). Memaknai dalam hal ini berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.33 2.7. Semiotika Roland Barthes Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, 31 Ibid, Hal 16-17 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, Hal 15 33 Ibid, Hal 15 32 11 35 interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of significations”. Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.34 Seperti dipaparkan Cobley & Jansz (1999: 44), Barthes membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.35 Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. 34 35 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, Hal 63 Ibid, Hal 68 11 36 Gambar 1.1 Peta Tanda Roland Barthes 1. signifier (penanda) 1. signified (petanda) 2. denotative sign (tanda denotatif) 3. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF) 4. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PETANDA KONOTATIF) 5. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Sumber: Paul Cobley & Lits Jansz1, 1999, Introducing Semiotics, NY, Tatern Books, hlm 51 Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah tanda konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Jansz, 1999: 51).36 Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.37 36 37 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, Hal 69 Ibid, Hal 69 3711 Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan refernsi atau acuan. Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan system signifikasi tingkat pertama, sementera konotasi merupakan tingkat kedua.38 Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah juga suatu system pemaknaan tataran ke-dua.39 38 39 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, Hal 70 Ibid, Hal 68-71