5 TINJAUAN PUSTAKA Anjing (Canis familiaris) Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, dan juga sebagai hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan dan pengabdian yang tinggi kepada manusia (Grandjean 2006). Salah satu keistimewaan anjing adalah daya penciumannya yang sangat tajam. Kemampuan penciuman yang sangat tajam pada anjing dapat dimanfaatkan untuk melacak keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu polisi dalam memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba, maupun pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu unit di bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak. Anjing yang sering dipilih sebagai anjing pelacak adalah ras Belgian Malinois (Belgian Shepherd), Golden Retriever, Labrador Retriever, German Shepherd dan Rottweiler (POLRI 1996). Anjing-anjing tersebut dipilih sebagai anjing polisi karena memiliki berbagai keistimewaan. Belgian Malinois memiliki karakter sangat energik dan aktif, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anjing pelacak, penjaga, dan penyelamat. Golden Retriever adalah anjing yang berani, aktif, memiliki penciuman tajam, dan memiliki ingatan yang istimewa, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anjing pemandu, penyelamat, dan pendeteksi obat-obatan. Labrador Retriever merupakan raja anjing pemburu yang memiliki karakteristik sangat aktif, gesit, memiliki penciuman yang sangat tajam, pandai berenang, memiliki ingatan visual dan mampu merekam jejak lokasi dengan baik, sehingga anjing ini baik digunakan sebagai penjaga, penyelamat dan pendeteksi obatobatan. German Shepherd memiliki kewaspadaan yang tinggi, cepat belajar, ramah, berani, patuh pada perintah, dan memiliki penciuman yang istimewa, sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing pekerja (pemburu, pencari jejak dan penyelamat, penjaga, dan pemandu). Rottweiler memiliki kekuatan luar biasa, pekerja keras dan tidak akan pernah menyalak tanpa ada penyebab, sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing polisi, militer, penjaga dan pengendali massa (huru hara) (Grandjean 2006). Anjing-anjing yang dipergunakan sebagai anjing polisi tersebut masuk ke dalam kategori ras besar dan dapat dilatih menjadi anjing pekerja (working dog). Masing-masing ras memiliki keistimewaan dan perbedaan kepekaan terhadap penyakit. Beberapa ras diduga lebih tahan dalam merespon suatu infeksi, sedangkan ras lainnya lebih peka terhadap infeksi yang sama. Ras anjing German Shepherd sering disebut sebagai ras yang sangat peka dalam merespon suatu penyakit (Grandjean 2006). 6 Babesiosis pada Anjing Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Babesia sp.. Babesia sp. merupakan protozoa intraeritrositik yang dapat ditularkan melalui vektor caplak. Penyakit ini ditularkan pada anjing yang imunitasnya menurun atau dalam kondisi imunosupresi. Tingkat keparahan penyakit ini dipengaruhi oleh faktor umur, ras dan status/kondisi premunisi (Benavides dan Sacco 2007). Kondisi premunisi yaitu keseimbangan yang terjadi antara respon imun hewan yang terinfeksi dengan kemampuan parasit untuk memunculkan gejala klinis (Mandell et al. 2010; Wulansari 2002). Ras anjing diduga merupakan faktor predisposisi dan mempengaruhi infeksi ini. Hasil penelitian Mellanby et al. (2011) menunjukkan bahwa anjing ras besar pekerja (working dogs) memiliki resiko terinfeksi babesiosis lebih besar dibandingkan dengan anjing ras mini (Mellanby et al. 2011). Secara historis, Babesia diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan spesies mamalia yang diinfeksi. Babesia besar mempunyai panjang 3 sampai 6 pm, sedangkan Babesia kecil mempunyai panjang 1 sampai 3 pm ((Iqbal et al. 2011). Dua spesies Babesia yang sering menginfeksi anjing adalah Babesia canis dan Babesia gibsoni. Keduanya merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit (intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002). Babesia canis adalah spesies yang diidentifikasi sebagai Babesia besar. Babesia canis mencakup tiga subspesies, yaitu Babesia canis vogeli, Babesia canis canis, dan Babesia canis rossi. Ketiga subspesies tersebut secara genetik berbeda, ditularkan oleh vektor yang berbeda, dan memiliki distribusi geografis yang berbeda dengan berbagai tingkat patogenitas (Iqbal et al. 2011). Babesia canis vogeli memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh Rhipicephalus sanguineus, dan dianggap kurang patogen. Babesia canis canis ditemukan terutama di Eropa, ditularkan oleh Dermacentor reticulatus, dan cukup patogen. Babesia canis rossi adalah endemik di Afrika, ditularkan oleh Haemaphysalis leachi, dan merupakan subspesies sangat ptogen. Babesia gibsoni (B. gibsoni) merupakan spesies yang diidentifikasi sebagai Babesia kecil.. Babesia gibsoni memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh Haemaphysalis, dan memiliki derajat infeksi yang bersifat subklinis sampai infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian (Iqbal et al. 2011). Selain ditularkan melalui vektor caplak, agen ini dilaporkan dapat juga ditularkan melalui aplikasi tranfusi darah dari donor ke resipien apabila anjing pendonor bersifat carrier dan melalui transplasental dari induk ke anak (Fukumoto et al. 2005). . Siklus Hidup Babesia sp. Caplak terinfeksi merozoit selama menghisap eritrosit dan tetap infektif selama beberapa generasi melalui transmisi transovarial (Boozer dan Macintire 2005) Babesia sp. memiliki siklus perkembangan aseksual (skizogoni) yang terjadi pada inang dan perkembangan seksual (gametogoni dan sporogoni) yang terjadi pada caplak. Transmisi dimulai ketika inang tergigit caplak yang mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang 7 memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, dimana akan mengikuti aliran limfe dan membentuk tropozoit (infektif). Beberapa hari kemudian terbentuk badan berinti banyak (schizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak jumlah merozoit menjadikan schizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika telah matang berubah lagi menjadi schizont yang dapat pecah kembali dan melepaskan merozoit lain yang akan menginfeksi eritrosit lain di sekitarnya (Gardiner et al. 2002). Siklus hidup Babesia sp. dijelaskan melalui Gambar 1. Gambar 1 Siklus hidup Babesia sp. (Gardiner et al. 2002) Patogenesis Babesiosis ditularkan melalui gigitan vektor, salah satunya yaitu Rhipicephalus sanguineus. Sporozoit akan ditemukan dalam sirkulasi darah pada inang (anjing) setelah terinfeksi selama 2 sampai 3 hari (Igarashi et al. 1988). Infeksi oleh Babesia sp. dimulai ketika inang tergigit caplak yang mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, mengikuti aliran limfe dan membentuk tropozoit (Gardiner et al. 2002). Tiga sampai empat hari kemudian terbentuk badan berinti banyak (skizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak jumlah merozoit menjadikan skizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran darah setelah anjing terinfeksi selama 2 sampai 3 hari. 8 b a c Gambar 2 Proses destruksi eritrosit a) infeksi Babesia sp. dalam eritrosit; b) Penetrasi merozoit Babesia sp. ke dalam eritrosit mengaktifkan komplemen (C3b) (Kaneko et al. 1997); c) hemolisis intravaskular dan ekstravaskular akibat destruksi eritrosit oleh Babesia sp. yang diperantarai sistem imun (Stockham dan Scott 2002) 9 Di dalam tubuh inang, organisme menempel pada membran eritrosit dan ditelan melalui proses endositosis. Mekanisme masuknya merozoit melalui proses endositosis, yang terdiri dari tiga tahap: 1) usaha untuk tidak dikenali inang dan penempelan ke membran eritrosit; 2) invaginasi eritrosit mengelilingi merozoit untuk membentuk parasitophorus vacuole; dan 3) membran eritrosit menutup setelah invasi merozoit selesai (Igarashi et al. 1988). Tahap selanjutnya, membran luar (berasal dari parasitophorus vacuole eritrosit inang) segera terlepas, sehingga parasit dapat berkontak langsung dengan sitoplasma eritrosit. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika telah matang berubah lagi menjadi skizont yang dapat pecah kembali dan melepaskan merozoit lain yang akan menginfeksi eritrosit lain disekitarnya (Gardiner et al. 2002). Penetrasi merozoit ke dalam eritrosit terjadi melalui mekanisme: 1) kontak merozoit menyebabkan membran plasma teraktivasi sehingga jalur komplemen juga teraktivasi dan merozoit memperoleh komplemen di permukaan eritrosit dan melalui reseptor komplemen pada sitoplasma terbentuk ikatan yang kuat; dan 2) merozoit memiliki reseptor C3b sehingga dapat mengikat C3b yang terdapat pada permukaan membran eritrosit (Igarashi et al. 1988). Eritrosit yang terinfeksi merozoit (Gambar 2a), berikatan dengan komplemen yang melapisi eritrosit (Gambar 2b). Kerusakan membran eritrosit diduga diakibatkan oleh lisis osmotik dalam sirkulasi (hemolitik intravaskular) (Gambar 2c). Eritrosit yang dilapisi oleh komplemen diekspresikan melalui proses fagositosis oleh sel makrofag (Gambar 2c) menghasilkan kerusakan eritrosit, yang akan dibuang dalam ruang ekstravaskular pada limpa dan hati (hemolisis ekstravaskular) (Weiss dan Wardrop 2010). Pembelahan terus-menerus merozoit yang tidak terbendung mengakibatkan eritrosit-eritrosit lain di sekitar eritrosit berparasit juga ikut terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi oleh parasit ini mengalami destruksi (Gardiner et al. 2002). Daya hidup eritrosit normal pada anjing adalah 100 hari, namun dengan adanya infeksi ini menyebabkan pemendekan umur eritrosit sampai kurang dari setengahnya (Weiss dan Wardrop 2010), sehingga banyak eritrosit akibat infeksi parasit ini didestruksi lebih cepat dari umurnya. Parasitemia adalah suatu keadaan dimana parasit ditemukan dalam sirkulasi darah. Parasitemia dikaitkan dengan siklus hidup Babesia sp. dan terdeteksi di dalam sirkulasi selama periode prepaten. Periode prepaten adalah periode perkembangan sporozoit menjadi tropozoit dan periode ketika merozoit menginfeksi eritrosit. Periode ini membutuhkan waktu selama 1 – 2 minggu (Urquhart et al. 2003). Parasitemia yang disebabkan oleh B. canis dapat berlangsung selama 3-4 hari, diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama kurang lebih 10 – 14 hari. Selanjutnya, periode inkubasi dan perkembangan merozoit terjadi antara 2 – 12 minggu (Quin et al. 2008). Biasanya persentase parasitemia mencapai 1.5 % atau lebih pada stadium perkembangan. Tingkat parasitemia tersebut telah mampu memunculkan gejala klinis. Gejala klinis yang muncul berupa demam, kepucatan membran mukosa, pembesaran limpa dan hati, takhikardia serta urin menjadi lebih gelap. Parasitemia mencapai puncak (>1.5 % - >5 %) pada 4 sampai 6 minggu setelah infeksi (Boozer dan Macintire 2005). Stadium terakhir merupakan stadium “penyembuhan”, ditunjukkan dengan persentase parasitemia yang rendah. Jika hal ini berlangsung lama tanpa 10 menimbulkan gejala klinis, maka bisa dipastikan hewan menjadi carrier (Kocan et al. 2010). Setelah 2 minggu pasca infeksi akan terjadi parasitemia kedua, dengan jumlah parasit lebih banyak di dalam eritrosit, sebagai hasil perbanyakan secara pembelahan (Subronto 2005). Parasitemia dapat terjadi berulang-ulang ketika inang berada dalam kondisi dengan kekebalan tubuh yang menurun. Sistem kekebalan tubuh yang ada, tidak benar-benar menghilangkan infeksi, dan hewan akan menjadi carrier kronis (Boozer dan Macintire 2005). Anemia hemolitik dan trombositopenia merupakan gambaran utama babesiosis pada anjing. Anemia disebabkan oleh ekstra dan intravaskular hemolisis. Destruksi eritrosit akibat immune mediated hemolytic anemia (IMHA) terjadi karena adanya antigen Babesia sp. pada permukaan eritrosit. Hal ini menyebabkan kerusakan eritrosit, baik intravaskular maupun ekstravaskular (Gambar 2c). Destruksi eritrosit tersebut akan memunculkan gejala hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (ikterus/jaundice) (Boozer dan Macintire 2005). Gejala Klinis Gejala klinis muncul setelah periode inkubasi, dimana derajat parasitemia mencapai > 1.5 %, dan diperkirakan terjadi dalam waktu 4 – 6 minggu pasca infeksi. Gejala klinis pada infeksi perakut ditandai dengan kegagalan respirasi (dyspnoe) hingga kematian secara tiba-tiba. Secara umum, gejala klinis pada infeksi akut yang muncul pada anjing penderita babesiosis berupa demam, membran mukosa anemis sampai ikterus, hati dan limpa membesar, berat badan menurun, gangguan saluran cerna (muntah dan diare berdarah), gangguan saluran pernafasan, takikardia dan urin berwarna lebih gelap (Lubis 2006). Gejala klinis pada infeksi kronis sering tidak tampak, namun terkadang ditemukan membran mukosa anemis, demam intermiten dan penurunan berat badan (Tilley dan Smith 2011). Babesia gibsoni dapat menyebabkan infeksi yang bersifat hiperakut, akut, dan kronis. Infeksi hiperakut yang langka terutama terjadi pada anak anjing yang baru lahir dan mengakibatkan kematian dengan cepat. Infeksi tersebut diduga diperoleh dari induknya. Infeksi Babesia gibsoni akut biasanya memunculkan gejala demam, kelesuan, trombositopenia, dan anemia, sedangkan infeksi babesia kronis bisa sama sekali tanpa gejala atau bisa juga disertai dengan demam intermiten, lesu, dan penurunan berat badan (Boozer dan Macintire 2005). Diagnosis Diagnosis pada kasus infeksi B. canis akut didasarkan pada gejala klinis yang muncul dan ditemukannya parasit Babesia sp di dalam eritrosit melalui pemeriksaan ulas darah. Pada pemeriksaan ulas darah, Babesia besar (Babesia canis) tampak terlihat seperti buah pear, sedangkan Babesia kecil (Babesia gibsoni) tampak sebagai inti kecil bersitoplasma (Boozer dan Macintire 2005) (Gambar 3). Sampai saat ini belum ada tes yang 100% sensitif untuk diagnosis babesiosis pada anjing. Selain melalui pemeriksaan ulas darah, diagnosis bisa dilakukan melalui pemeriksaan serologis yang meliputi Coomb Test, IFA 11 (Immunoflourescent Antibody Test), IFT (Indirect Fluorescent Test), ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay), dan PCR (Polymerase Chain Reaction) (Iqbal et al. 2011; Boozer dan Macintire 2005). a b Gambar 3 Babesia canis (a) dan Babesia gibsoni (b) di dalam eritrosit anjing (Boozer dan Macintire 2005) Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Babesiosis pada Anjing Anemia dan trombositopenia merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada anjing dengan infeksi babesiosis tunggal. Gejala klinis yang muncul pada penderita babesiosis merupakan manifestasi klinis dari adanya anemia (Iqbal et al. 2011). Destruksi eritrosit akibat infeksi Babesia sp. secara besar-besaran akan menyebabkan terjadinya anemia. Sumsum tulang meresponnya dengan cara meningkatkan produksi eritrosit muda (retikulosit) yang akan dilepaskan ke dalam sirkulasi darah. Jumlah retikulosit yang sangat tinggi di dalam sirkulasi darah (retikulositosis) bisa mengindikasikan adanya proses hemolisis. Penghitungan jumlah retikulosit dalam sirkulasi merupakan kunci diagnosis adanya anemia hemolitik. Destruksi eritrosit pada anemia hemolitik umumnya terjadi di dalam limpa sehingga organ ini akan mengalami pembesaran. Rata-rata masa hidup eritrosit pada kejadian ini sangat pendek, berkisar antara 10-20 hari (Sibuea et al. 2009), dimana masa hidup eritrosit pada anjing dalam keadaan normal berkisar antara 100 – 110 hari (Weiss dan Wardrop 2010; Colville dan Bassert 2002). Destruksi eritrosit menyebabkan terjadinya pemecahan eritrosit besarbesaran sehingga di dalam hati terbentuk bilirubin yang berlebihan. Kemampuan hati dalam mengkonjugasi bilirubin terbatas, menyebabkan kadar bilirubin unconjugated di dalam darah akan meningkat sehingga penderita terlihat kekuningan (ikterus/jaundice) yang disebut sebagai ikterus prehepatik. Pemecahan eritrosit berlebihan akan berdampak pada menurunnya ikatan hemoglobin–oksigen (HbO 2 ). Ikatan ini yang membawa oksigen beredar dalam sirkulasi sehingga membantu proses oksigenasi sel. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi jaringan atau sel adalah konsentrasi oksigen yang terkandung dalam darah (Segal 2010). Konsekuensi dari menurunnya ikatan hemoglobin–oksigen (HbO 2 ) menyebabkan oksigenasi jaringan terganggu. 12 Manifestasi klinis yang terlihat adalah adanya takhikardia akibat hipoksemia dan hipoksia (Price dan Wilson 2006). Pengobatan dan Pencegahan Tujuan utama pengobatan pada kasus babesiosis adalah untuk menekan perkembangan parasitemia dan mengembangkan keadaan premunisi. Imidocarb dipropionat adalah obat yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug Association) untuk pengobatan babesiosis pada anjing. Dosis yang disarankan adalah 6,6 mg/kg, diberikan secara intramuskular, dengan dosis yang diulang dalam dua minggu berikutnya (Tilley dan Smith 2011). Efek samping yang paling sering dilaporkan muncul setelah pemberian imidocarb adalah sakit di lokasi penyuntikan dan tanda-tanda kolinergik, seperti hipersalivasi, defekasi, dan panting. Pemberian atropin dosis 0,022 mg/kg secara subkutan, 15 sampai 30 menit sebelum pemberian imidocarb dapat mengurangi tanda-tanda kolinergik (Tilley dan Smith 2011). Imidocarb efektif digunakan untuk semua subspesies Babesia canis. Meskipun tidak dapat mengeliminasi/menghilangkan seluruh parasit dalam darah, imidocarb dapat menurunkan mortalitas pada infeksi Babesia gibsoni (Iqbal et al. 2011). Obat-obatan lain yang bisa diberikan adalah kombinasi atovakuon (Mepron Glaxo Smith Kline) dengan dosis 13.5 mg/kg BB secara oral, azitromisin 10 mg/kgBB secara oral sekali/hari selama 10 hari. Studi terbaru menunjukkan bahwa pemberian klindamisin 10 mg/kg BB secara oral selama 14 hari efektif untuk terapi babesiosis pada anjing tanpa efek samping. Pemberian terapi suportif berupa terapi cairan dan/atau tranfusi darah tergantung pada kondisi dan derajat anemia anjing (Iqbal et al. 2011). Pencegahan yang dapat dilakukan adalah kontrol terhadap caplak sebagai vektor penyakit. Tindakan pencegahan ini termasuk kontrol caplak (sanitasi lingkungan dan hewan menggunakan Butox®), screening induk, screening donor darah, serta mencegah perkelahian antar anjing untuk mempersempit penularan infeksi antar anjing (Iqbal et al. 2011). Haemobartonellosis pada Anjing Infeksi oleh Haemobartonella sp. disebabkan oleh Mycoplasma haemocanis, yang sebelumnya dikenal sebagai Haemobartonella canis. Mycoplasma haemocanis merupakan mikroorganisme yang masuk ke dalam kelompok riketsia. Mycoplasma haemocanis disebut juga sebagai "Hemotropic mycoplasma”. Mikroorganisme ini mampu bertahan hidup tanpa oksigen, dan tidak memiliki dinding sel sejati, sehingga membuat mereka tahan terhadap antibiotik (Subronto 2006). Mycoplasma merupakan gram negatif dan tahan asam serta bereproduksi melalui pembelahan biner (Aielo 2002). Siklus hidup Haemobartonella sp. sampai saat ini belum banyak dilaporkan. Laporan yang ada terbatas pada informasi bahwa riketsia mampu hidup dalam berbagai stadia caplak dan sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke hewan lain (Subronto 2006). Simptom yang muncul merupakan manifestasi klinis anemia, berupa lesu, tidak nafsu makan, anemis, demam, gangguan pernafasan (dispnoe, tachypnoea), 13 dan gangguan sirkulasi (takhikardia dan kerapuhan kapiler) (Gretillat 2008). Anjing penderita haemobartonellosis akut biasanya akan menunjukkan tandatanda depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan demam. Kematian dapat terjadi pada kasus yang parah, (Nash 2012). Patogenesis Patogenesis haemobartonellosis belum banyak dilaporkan. Menurut Weiss dan Wardrop (2010) serta Stockham dan Scott (2002), proses infeksi Haemobartonella sp. terkait dengan mediator imun. Babesiosis dan haemobartonellosis memiliki kesamaan dalam mengaktifkan sistem komplemen (Weiss dan Wardrop 2010; Stockham dan Scott 2002). Diagnosis Diagnosis didasarkan pada ditemukannya Hemobartonella canis pada preparat ulas darah (Gambar 4). Bila dilihat secara mikroskopis, Mycoplasma haemocanis tampak dalam bentuk rantai atau bisa berupa organisme individu yang menembus permukaan eritrosit (Gambar 4). Polymerase Chain Reaction/PCR merupakan tes yang sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis anjing yang terinfeksi Hemobartonella canis (Kumarl et al. 2011). Gambar 4 Haemobartonella canis pada eritrosit anjing (Boozer dan Macintire 2005) Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Haemobartonellosis pada Anjing Haemobartonellosis, seperti juga babesiosis, menyebabkan anemia hemolitik. Gejala klinis yang muncul merupakan akibat dari anemia yang ditimbulkannya. Tingkat keparahan anemia yang ditimbulkan bervariasi, tergantung pada durasi dan derajat parasitemia. Bentuk anemia biasanya regeneratif atau non-regeneratif. Profil hematologi yang pernah dilaporkan berupa neutrofilia, anisositosis, poikilositosis dan anisositosis. Trombositopenia bisa ditemukan pada beberapa kasus. Perubahan biokimiawi darah pada umumnya ringan dan sekunder terhadap anemia akibat kondisi hipoksia (Gretillat 2008). 14 Terapi Tujuan utama pengobatan haemobartonellosis adalah untuk menekan perkembangan Haemobartonella sp. Terapi untuk Mycoplasma haemocanis adalah tetrasiklin yang diberikan secara oral (dosis 20-22 mg/kgBB, tiga kali sehari selama 21 hari) atau kloramfenikol (diberikan secara intravena dengan dosis 20-22 mg/kgBB, dua atau tiga kali sehari selama 9 sampai 21 hari). Karena terapi antibiotik tidak sepenuhnya menghilangkan M. haemocanis, tanda-tanda klinis dapat muncul kembali jika penyakit imunosupresif yang mendasarinya berkembang. Pemberian glukokortikoid secara oral (dosis 1 mg/kgBB, dua kali sehari, diberikan secara bertahap) efektif jika infeksi Mycoplasma haemocanis berhubungan dengan anemia hemolisis yang diperantarai kekebalan (Immune Mediated Hemolytic Anaemia/IMHA). Terapi suportif berupa terapi cairan dan tranfusi darah diberikan ketika hewan menderita anemia berat (Kumarl et al. 2011).