tinjauan pustaka

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Anjing (Canis familiaris)
Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena
mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan
anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, dan juga sebagai
hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan dan
pengabdian yang tinggi kepada manusia (Grandjean 2006).
Salah satu keistimewaan anjing adalah daya penciumannya yang sangat
tajam. Kemampuan penciuman yang sangat tajam pada anjing dapat dimanfaatkan
untuk melacak keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu
polisi dalam memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba,
maupun pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu
unit di bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak.
Anjing yang sering dipilih sebagai anjing pelacak adalah ras Belgian Malinois
(Belgian Shepherd), Golden Retriever, Labrador Retriever, German Shepherd dan
Rottweiler (POLRI 1996).
Anjing-anjing tersebut dipilih sebagai anjing polisi karena memiliki
berbagai keistimewaan. Belgian Malinois memiliki karakter sangat energik dan
aktif, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anjing pelacak, penjaga, dan
penyelamat. Golden Retriever adalah anjing yang berani, aktif, memiliki
penciuman tajam, dan memiliki ingatan yang istimewa, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai anjing pemandu, penyelamat, dan pendeteksi obat-obatan.
Labrador Retriever merupakan raja anjing pemburu yang memiliki karakteristik
sangat aktif, gesit, memiliki penciuman yang sangat tajam, pandai berenang,
memiliki ingatan visual dan mampu merekam jejak lokasi dengan baik, sehingga
anjing ini baik digunakan sebagai penjaga, penyelamat dan pendeteksi obatobatan. German Shepherd memiliki kewaspadaan yang tinggi, cepat belajar,
ramah, berani, patuh pada perintah, dan memiliki penciuman yang istimewa,
sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing pekerja (pemburu, pencari
jejak dan penyelamat, penjaga, dan pemandu). Rottweiler memiliki kekuatan luar
biasa, pekerja keras dan tidak akan pernah menyalak tanpa ada penyebab,
sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing polisi, militer, penjaga dan
pengendali massa (huru hara) (Grandjean 2006).
Anjing-anjing yang dipergunakan sebagai anjing polisi tersebut masuk ke
dalam kategori ras besar dan dapat dilatih menjadi anjing pekerja (working dog).
Masing-masing ras memiliki keistimewaan dan perbedaan kepekaan terhadap
penyakit. Beberapa ras diduga lebih tahan dalam merespon suatu infeksi,
sedangkan ras lainnya lebih peka terhadap infeksi yang sama. Ras anjing German
Shepherd sering disebut sebagai ras yang sangat peka dalam merespon suatu
penyakit (Grandjean 2006).
6
Babesiosis pada Anjing
Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Babesia sp..
Babesia sp. merupakan protozoa intraeritrositik yang dapat ditularkan melalui
vektor caplak. Penyakit ini ditularkan pada anjing yang imunitasnya menurun
atau dalam kondisi imunosupresi. Tingkat keparahan penyakit ini dipengaruhi
oleh faktor umur, ras dan status/kondisi premunisi (Benavides dan Sacco 2007).
Kondisi premunisi yaitu keseimbangan yang terjadi antara respon imun hewan
yang terinfeksi dengan kemampuan parasit untuk memunculkan gejala klinis
(Mandell et al. 2010; Wulansari 2002). Ras anjing diduga merupakan faktor
predisposisi dan mempengaruhi infeksi ini. Hasil penelitian Mellanby et al.
(2011) menunjukkan bahwa anjing ras besar pekerja (working dogs) memiliki
resiko terinfeksi babesiosis lebih besar dibandingkan dengan anjing ras mini
(Mellanby et al. 2011).
Secara historis, Babesia diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan spesies
mamalia yang diinfeksi. Babesia besar mempunyai panjang 3 sampai 6 pm,
sedangkan Babesia kecil mempunyai panjang 1 sampai 3 pm ((Iqbal et al. 2011).
Dua spesies Babesia yang sering menginfeksi anjing adalah Babesia canis dan
Babesia gibsoni. Keduanya merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit
(intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002). Babesia canis adalah spesies yang
diidentifikasi sebagai Babesia besar. Babesia canis mencakup tiga subspesies,
yaitu Babesia canis vogeli, Babesia canis canis, dan Babesia canis rossi. Ketiga
subspesies tersebut secara genetik berbeda, ditularkan oleh vektor yang berbeda,
dan memiliki distribusi geografis yang berbeda dengan berbagai tingkat
patogenitas (Iqbal et al. 2011).
Babesia canis vogeli memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh
Rhipicephalus sanguineus, dan dianggap kurang patogen. Babesia canis canis
ditemukan terutama di Eropa, ditularkan oleh Dermacentor reticulatus, dan cukup
patogen. Babesia canis rossi adalah endemik di Afrika, ditularkan oleh
Haemaphysalis leachi, dan merupakan subspesies sangat ptogen. Babesia gibsoni
(B. gibsoni) merupakan spesies yang diidentifikasi sebagai Babesia kecil..
Babesia gibsoni memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh
Haemaphysalis, dan memiliki derajat infeksi yang bersifat subklinis sampai
infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian (Iqbal et al. 2011). Selain
ditularkan melalui vektor caplak, agen ini dilaporkan dapat juga ditularkan
melalui aplikasi tranfusi darah dari donor ke resipien apabila anjing pendonor
bersifat carrier dan melalui transplasental dari induk ke anak (Fukumoto et al.
2005).
.
Siklus Hidup Babesia sp.
Caplak terinfeksi merozoit selama menghisap eritrosit dan tetap infektif
selama beberapa generasi melalui transmisi transovarial (Boozer dan Macintire
2005) Babesia sp. memiliki siklus perkembangan aseksual (skizogoni) yang
terjadi pada inang dan perkembangan seksual (gametogoni dan sporogoni) yang
terjadi pada caplak. Transmisi dimulai ketika inang tergigit caplak yang
mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang
7
memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, dimana akan mengikuti aliran
limfe dan membentuk tropozoit (infektif). Beberapa hari kemudian terbentuk
badan berinti banyak (schizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak jumlah
merozoit menjadikan schizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran
darah. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan
jika telah matang berubah lagi menjadi schizont yang dapat pecah kembali dan
melepaskan merozoit lain yang akan menginfeksi eritrosit lain di sekitarnya
(Gardiner et al. 2002). Siklus hidup Babesia sp. dijelaskan melalui Gambar 1.
Gambar 1 Siklus hidup Babesia sp. (Gardiner et al. 2002)
Patogenesis
Babesiosis ditularkan melalui gigitan vektor, salah satunya yaitu
Rhipicephalus sanguineus. Sporozoit akan ditemukan dalam sirkulasi darah pada
inang (anjing) setelah terinfeksi selama 2 sampai 3 hari (Igarashi et al. 1988).
Infeksi oleh Babesia sp. dimulai ketika inang tergigit caplak yang
mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang
memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, mengikuti aliran limfe dan
membentuk tropozoit (Gardiner et al. 2002). Tiga sampai empat hari kemudian
terbentuk badan berinti banyak (skizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak
jumlah merozoit menjadikan skizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam
aliran darah setelah anjing terinfeksi selama 2 sampai 3 hari.
8
b
a
c
Gambar 2 Proses destruksi eritrosit a) infeksi Babesia sp. dalam eritrosit; b)
Penetrasi merozoit Babesia sp. ke dalam eritrosit mengaktifkan
komplemen (C3b) (Kaneko et al. 1997); c) hemolisis intravaskular
dan ekstravaskular akibat destruksi eritrosit oleh Babesia sp. yang
diperantarai sistem imun (Stockham dan Scott 2002)
9
Di dalam tubuh inang, organisme menempel pada membran eritrosit dan
ditelan melalui proses endositosis. Mekanisme masuknya merozoit melalui proses
endositosis, yang terdiri dari tiga tahap: 1) usaha untuk tidak dikenali inang dan
penempelan ke membran eritrosit; 2) invaginasi eritrosit mengelilingi merozoit
untuk membentuk parasitophorus vacuole; dan 3) membran eritrosit menutup
setelah invasi merozoit selesai (Igarashi et al. 1988). Tahap selanjutnya, membran
luar (berasal dari parasitophorus vacuole eritrosit inang) segera terlepas, sehingga
parasit dapat berkontak langsung dengan sitoplasma eritrosit. Merozoit yang
menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika telah matang
berubah lagi menjadi skizont yang dapat pecah kembali dan melepaskan merozoit
lain yang akan menginfeksi eritrosit lain disekitarnya (Gardiner et al. 2002).
Penetrasi merozoit ke dalam eritrosit terjadi melalui mekanisme: 1) kontak
merozoit menyebabkan membran plasma teraktivasi sehingga jalur komplemen
juga teraktivasi dan merozoit memperoleh komplemen di permukaan eritrosit dan
melalui reseptor komplemen pada sitoplasma terbentuk ikatan yang kuat; dan 2)
merozoit memiliki reseptor C3b sehingga dapat mengikat C3b yang terdapat pada
permukaan membran eritrosit (Igarashi et al. 1988).
Eritrosit yang terinfeksi merozoit (Gambar 2a), berikatan dengan
komplemen yang melapisi eritrosit (Gambar 2b). Kerusakan membran eritrosit
diduga diakibatkan oleh lisis osmotik dalam sirkulasi (hemolitik intravaskular)
(Gambar 2c). Eritrosit yang dilapisi oleh komplemen diekspresikan melalui proses
fagositosis oleh sel makrofag (Gambar 2c) menghasilkan kerusakan eritrosit,
yang akan dibuang dalam ruang ekstravaskular pada limpa dan hati (hemolisis
ekstravaskular) (Weiss dan Wardrop 2010).
Pembelahan
terus-menerus
merozoit
yang
tidak
terbendung
mengakibatkan eritrosit-eritrosit lain di sekitar eritrosit berparasit juga ikut
terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi oleh parasit ini mengalami destruksi (Gardiner
et al. 2002). Daya hidup eritrosit normal pada anjing adalah 100 hari, namun
dengan adanya infeksi ini menyebabkan pemendekan umur eritrosit sampai
kurang dari setengahnya (Weiss dan Wardrop 2010), sehingga banyak eritrosit
akibat infeksi parasit ini didestruksi lebih cepat dari umurnya.
Parasitemia adalah suatu keadaan dimana parasit ditemukan dalam
sirkulasi darah. Parasitemia dikaitkan dengan siklus hidup Babesia sp. dan
terdeteksi di dalam sirkulasi selama periode prepaten. Periode prepaten adalah
periode perkembangan sporozoit menjadi tropozoit dan periode ketika merozoit
menginfeksi eritrosit. Periode ini membutuhkan waktu selama 1 – 2 minggu
(Urquhart et al. 2003).
Parasitemia yang disebabkan oleh B. canis dapat berlangsung selama 3-4
hari, diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama kurang
lebih 10 – 14 hari. Selanjutnya, periode inkubasi dan perkembangan merozoit
terjadi antara 2 – 12 minggu (Quin et al. 2008). Biasanya persentase parasitemia
mencapai 1.5 % atau lebih pada stadium perkembangan. Tingkat parasitemia
tersebut telah mampu memunculkan gejala klinis. Gejala klinis yang muncul
berupa demam, kepucatan membran mukosa, pembesaran limpa dan hati,
takhikardia serta urin menjadi lebih gelap. Parasitemia mencapai puncak (>1.5 %
- >5 %) pada 4 sampai 6 minggu setelah infeksi (Boozer dan Macintire 2005).
Stadium terakhir merupakan stadium “penyembuhan”, ditunjukkan dengan
persentase parasitemia yang rendah. Jika hal ini berlangsung lama tanpa
10
menimbulkan gejala klinis, maka bisa dipastikan hewan menjadi carrier (Kocan et
al. 2010). Setelah 2 minggu pasca infeksi akan terjadi parasitemia kedua, dengan
jumlah parasit lebih banyak di dalam eritrosit, sebagai hasil perbanyakan secara
pembelahan (Subronto 2005). Parasitemia dapat terjadi berulang-ulang ketika
inang berada dalam kondisi dengan kekebalan tubuh yang menurun. Sistem
kekebalan tubuh yang ada, tidak benar-benar menghilangkan infeksi, dan hewan
akan menjadi carrier kronis (Boozer dan Macintire 2005).
Anemia hemolitik dan trombositopenia merupakan gambaran utama
babesiosis pada anjing. Anemia disebabkan oleh ekstra dan intravaskular
hemolisis. Destruksi eritrosit akibat immune mediated hemolytic anemia (IMHA)
terjadi karena adanya antigen Babesia sp. pada permukaan eritrosit. Hal ini
menyebabkan kerusakan eritrosit, baik intravaskular maupun ekstravaskular
(Gambar 2c). Destruksi eritrosit tersebut akan memunculkan gejala
hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (ikterus/jaundice) (Boozer dan
Macintire 2005).
Gejala Klinis
Gejala klinis muncul setelah periode inkubasi, dimana derajat parasitemia
mencapai > 1.5 %, dan diperkirakan terjadi dalam waktu 4 – 6 minggu pasca
infeksi. Gejala klinis pada infeksi perakut ditandai dengan kegagalan respirasi
(dyspnoe) hingga kematian secara tiba-tiba. Secara umum, gejala klinis pada
infeksi akut yang muncul pada anjing penderita babesiosis berupa demam,
membran mukosa anemis sampai ikterus, hati dan limpa membesar, berat badan
menurun, gangguan saluran cerna (muntah dan diare berdarah), gangguan saluran
pernafasan, takikardia dan urin berwarna lebih gelap (Lubis 2006). Gejala klinis
pada infeksi kronis sering tidak tampak, namun terkadang ditemukan membran
mukosa anemis, demam intermiten dan penurunan berat badan (Tilley dan Smith
2011).
Babesia gibsoni dapat menyebabkan infeksi yang bersifat hiperakut, akut,
dan kronis. Infeksi hiperakut yang langka terutama terjadi pada anak anjing yang
baru lahir dan mengakibatkan kematian dengan cepat. Infeksi tersebut diduga
diperoleh dari induknya. Infeksi Babesia gibsoni akut biasanya memunculkan
gejala demam, kelesuan, trombositopenia, dan anemia, sedangkan infeksi babesia
kronis bisa sama sekali tanpa gejala atau bisa juga disertai dengan demam
intermiten, lesu, dan penurunan berat badan (Boozer dan Macintire 2005).
Diagnosis
Diagnosis pada kasus infeksi B. canis akut didasarkan pada gejala klinis
yang muncul dan ditemukannya parasit Babesia sp di dalam eritrosit melalui
pemeriksaan ulas darah. Pada pemeriksaan ulas darah, Babesia besar (Babesia
canis) tampak terlihat seperti buah pear, sedangkan Babesia kecil (Babesia
gibsoni) tampak sebagai inti kecil bersitoplasma (Boozer dan Macintire 2005)
(Gambar 3).
Sampai saat ini belum ada tes yang 100% sensitif untuk diagnosis
babesiosis pada anjing. Selain melalui pemeriksaan ulas darah, diagnosis bisa
dilakukan melalui pemeriksaan serologis yang meliputi Coomb Test, IFA
11
(Immunoflourescent Antibody Test), IFT (Indirect Fluorescent Test), ELISA
(Enzyme Linked Immunosorbent Assay), dan PCR (Polymerase Chain Reaction)
(Iqbal et al. 2011; Boozer dan Macintire 2005).
a
b
Gambar 3 Babesia canis (a) dan Babesia gibsoni (b) di dalam eritrosit anjing
(Boozer dan Macintire 2005)
Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Babesiosis pada Anjing
Anemia dan trombositopenia merupakan kelainan yang paling sering
ditemukan pada anjing dengan infeksi babesiosis tunggal. Gejala klinis yang
muncul pada penderita babesiosis merupakan manifestasi klinis dari adanya
anemia (Iqbal et al. 2011).
Destruksi eritrosit akibat infeksi Babesia sp. secara besar-besaran akan
menyebabkan terjadinya anemia. Sumsum tulang meresponnya dengan cara
meningkatkan produksi eritrosit muda (retikulosit) yang akan dilepaskan ke dalam
sirkulasi darah. Jumlah retikulosit yang sangat tinggi di dalam sirkulasi darah
(retikulositosis) bisa mengindikasikan adanya proses hemolisis. Penghitungan
jumlah retikulosit dalam sirkulasi merupakan kunci diagnosis adanya anemia
hemolitik. Destruksi eritrosit pada anemia hemolitik umumnya terjadi di dalam
limpa sehingga organ ini akan mengalami pembesaran. Rata-rata masa hidup
eritrosit pada kejadian ini sangat pendek, berkisar antara 10-20 hari (Sibuea et al.
2009), dimana masa hidup eritrosit pada anjing dalam keadaan normal berkisar
antara 100 – 110 hari (Weiss dan Wardrop 2010; Colville dan Bassert 2002).
Destruksi eritrosit menyebabkan terjadinya pemecahan eritrosit besarbesaran sehingga di dalam hati terbentuk bilirubin yang berlebihan. Kemampuan
hati dalam mengkonjugasi bilirubin terbatas, menyebabkan kadar bilirubin
unconjugated di dalam darah akan meningkat sehingga penderita terlihat
kekuningan (ikterus/jaundice) yang disebut sebagai ikterus prehepatik.
Pemecahan eritrosit berlebihan akan berdampak pada menurunnya ikatan
hemoglobin–oksigen (HbO 2 ). Ikatan ini yang membawa oksigen beredar dalam
sirkulasi sehingga membantu proses oksigenasi sel. Salah satu faktor utama yang
mempengaruhi oksigenasi jaringan atau sel adalah konsentrasi oksigen yang
terkandung dalam darah (Segal 2010). Konsekuensi dari menurunnya ikatan
hemoglobin–oksigen (HbO 2 ) menyebabkan oksigenasi jaringan terganggu.
12
Manifestasi klinis yang terlihat adalah adanya takhikardia akibat hipoksemia dan
hipoksia (Price dan Wilson 2006).
Pengobatan dan Pencegahan
Tujuan utama pengobatan pada kasus babesiosis adalah untuk menekan
perkembangan parasitemia dan mengembangkan keadaan premunisi. Imidocarb
dipropionat adalah obat yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug
Association) untuk pengobatan babesiosis pada anjing. Dosis yang disarankan
adalah 6,6 mg/kg, diberikan secara intramuskular, dengan dosis yang diulang
dalam dua minggu berikutnya (Tilley dan Smith 2011).
Efek samping yang paling sering dilaporkan muncul setelah pemberian
imidocarb adalah sakit di lokasi penyuntikan dan tanda-tanda kolinergik, seperti
hipersalivasi, defekasi, dan panting. Pemberian atropin dosis 0,022 mg/kg secara
subkutan, 15 sampai 30 menit sebelum pemberian imidocarb dapat mengurangi
tanda-tanda kolinergik (Tilley dan Smith 2011). Imidocarb efektif digunakan
untuk semua subspesies Babesia canis. Meskipun tidak dapat
mengeliminasi/menghilangkan seluruh parasit dalam darah, imidocarb dapat
menurunkan mortalitas pada infeksi Babesia gibsoni (Iqbal et al. 2011).
Obat-obatan lain yang bisa diberikan adalah kombinasi atovakuon
(Mepron Glaxo Smith Kline) dengan dosis 13.5 mg/kg BB secara oral, azitromisin
10 mg/kgBB secara oral sekali/hari selama 10 hari. Studi terbaru menunjukkan
bahwa pemberian klindamisin 10 mg/kg BB secara oral selama 14 hari efektif
untuk terapi babesiosis pada anjing tanpa efek samping. Pemberian terapi suportif
berupa terapi cairan dan/atau tranfusi darah tergantung pada kondisi dan derajat
anemia anjing (Iqbal et al. 2011).
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah kontrol terhadap caplak sebagai
vektor penyakit. Tindakan pencegahan ini termasuk kontrol caplak (sanitasi
lingkungan dan hewan menggunakan Butox®), screening induk, screening donor
darah, serta mencegah perkelahian antar anjing untuk mempersempit penularan
infeksi antar anjing (Iqbal et al. 2011).
Haemobartonellosis pada Anjing
Infeksi oleh Haemobartonella sp. disebabkan oleh Mycoplasma
haemocanis, yang sebelumnya dikenal sebagai Haemobartonella canis.
Mycoplasma haemocanis merupakan mikroorganisme yang masuk ke dalam
kelompok riketsia. Mycoplasma haemocanis disebut juga sebagai "Hemotropic
mycoplasma”. Mikroorganisme ini mampu bertahan hidup tanpa oksigen, dan
tidak memiliki dinding sel sejati, sehingga membuat mereka tahan terhadap
antibiotik (Subronto 2006). Mycoplasma merupakan gram negatif dan tahan asam
serta bereproduksi melalui pembelahan biner (Aielo 2002). Siklus hidup
Haemobartonella sp. sampai saat ini belum banyak dilaporkan. Laporan yang ada
terbatas pada informasi bahwa riketsia mampu hidup dalam berbagai stadia caplak
dan sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke hewan lain (Subronto 2006).
Simptom yang muncul merupakan manifestasi klinis anemia, berupa lesu,
tidak nafsu makan, anemis, demam, gangguan pernafasan (dispnoe, tachypnoea),
13
dan gangguan sirkulasi (takhikardia dan kerapuhan kapiler) (Gretillat 2008).
Anjing penderita haemobartonellosis akut biasanya akan menunjukkan tandatanda depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan demam.
Kematian dapat terjadi pada kasus yang parah, (Nash 2012).
Patogenesis
Patogenesis haemobartonellosis belum banyak dilaporkan. Menurut Weiss
dan Wardrop (2010) serta Stockham dan Scott (2002), proses infeksi
Haemobartonella sp. terkait dengan mediator imun. Babesiosis dan
haemobartonellosis memiliki kesamaan dalam mengaktifkan sistem komplemen
(Weiss dan Wardrop 2010; Stockham dan Scott 2002).
Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada ditemukannya Hemobartonella canis pada
preparat ulas darah (Gambar 4). Bila dilihat secara mikroskopis, Mycoplasma
haemocanis tampak dalam bentuk rantai atau bisa berupa organisme individu
yang menembus
permukaan eritrosit (Gambar 4). Polymerase Chain
Reaction/PCR merupakan tes yang sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis
anjing yang terinfeksi Hemobartonella canis (Kumarl et al. 2011).
Gambar 4 Haemobartonella canis pada eritrosit anjing
(Boozer dan Macintire 2005)
Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Haemobartonellosis pada Anjing
Haemobartonellosis, seperti juga babesiosis, menyebabkan anemia
hemolitik. Gejala klinis yang muncul merupakan akibat dari anemia yang
ditimbulkannya.
Tingkat keparahan anemia yang ditimbulkan bervariasi,
tergantung pada durasi dan derajat parasitemia. Bentuk anemia biasanya
regeneratif atau non-regeneratif. Profil hematologi yang pernah dilaporkan
berupa neutrofilia, anisositosis, poikilositosis dan anisositosis. Trombositopenia
bisa ditemukan pada beberapa kasus. Perubahan biokimiawi darah pada umumnya
ringan dan sekunder terhadap anemia akibat kondisi hipoksia (Gretillat 2008).
14
Terapi
Tujuan utama pengobatan haemobartonellosis adalah untuk menekan
perkembangan Haemobartonella sp. Terapi untuk Mycoplasma haemocanis
adalah tetrasiklin yang diberikan secara oral (dosis 20-22 mg/kgBB, tiga kali
sehari selama 21 hari) atau kloramfenikol (diberikan secara intravena dengan
dosis 20-22 mg/kgBB, dua atau tiga kali sehari selama 9 sampai 21 hari). Karena
terapi antibiotik tidak sepenuhnya menghilangkan M. haemocanis, tanda-tanda
klinis dapat muncul kembali jika penyakit imunosupresif yang mendasarinya
berkembang. Pemberian glukokortikoid secara oral (dosis 1 mg/kgBB, dua kali
sehari, diberikan secara bertahap) efektif jika infeksi Mycoplasma haemocanis
berhubungan dengan anemia hemolisis yang diperantarai kekebalan (Immune
Mediated Hemolytic Anaemia/IMHA). Terapi suportif berupa terapi cairan dan
tranfusi darah diberikan ketika hewan menderita anemia berat (Kumarl et al.
2011).
Download