BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang prevalensinya cukup
tinggi di Indonesia bahkan di dunia. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko
utama terjadinya penyakit degenatif, seperti gagal jantung kongensif, gagal ginjal,
retinopati, dan stroke (Neal, 2006). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) yang
dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Badan Litbangkes) Kementerian Kesehatan RI tahun 2013, Prevalensi
hipertensi di Indonesia berada di peringkat 6 dalam data Penyakit Tidak Menular
(PTM).
Indonesia merupakan negara yang memiliki biodiversitas yang sangat
tinggi, termasuk jenis tanamannya. Secara empiris, pengobatan tradisional
menggunakan tanaman obat telah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat di
berbagai negara dan dibuktikan dengan adanya catatan arkeologis dan dokumen
tertulis, seperti pada Irak sejak 60.000 tahun yang lalu dan Cina sejak 8.000 tahun
yang lalu (Pan dkk, 2014). Penemuan dan pengembangan obat sangat erat
kaitannya dengan pengetahuan tentang pengobatan
tradisional serta tanaman
lokal yang memiliki efek farmakologi (Heinrich dkk, 2010). Penggunaan tanaman
obat sebagai pengobatan tradisional relatif lebih aman dibandingkan dengan
penggunaan obat-obat sintetik karena tidak menimbulkan efek samping seperti
pada penggunan obat sintetik jika digunakan secara benar (Pan dkk, 2014).
1
Meskipun obat-obatan modern telah berkembang, pengobatan tradisional
tetap populer di masyarakat karena alasan sejarah dan budaya. Namun, masih
banyak peracikan obat tradisional yang dilakukan tanpa takaran yang tepat,
sehingga dapat mempengaruhi efek farmakologis serta stabilitas fisika dan
kimianya, termasuk rasa yang dihasilkan (Handayani dan Suharmiati, 2006).
Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk menentukan formulasi yang tepat
untuk obat tradisional agar diperoleh sediaan yang berkualitas dan praktis untuk
digunakan oleh pasien.
Herba seledri dapat mengobati penyakit hipertensi. Seledri mengandung
senyawa flavonoid yaitu apiin dan apigenin yang dapat menurunkan tekanan
darah dengan mekanisme vasorelaksasi pada tikus uji (Zhang dkk, 2002).
Flavonoid termasuk senyawa fenolik, yang mudah teroksidasi. Salah satu faktor
yang mempengaruhi oksidasi adalah pH. Menurut Kosińska dkk (2012), secara
umum senyawa fenolik cenderung stabil pada pH tidak lebih dari 6,5.
Penggunaan herba seledri sebagai antihipertesi di masyarakat perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai formulasi dan stabilitasnya. Formulasi
suatu sediaan dapat mempengaruhi stabilitasnya, baik stabilitas fisika maupun
stabilitas kimianya. Formulasi yang baik dapat menjamin kadar senyawa bahan
alam dalam sediaan sehingga efek farmakologisnya dapat dipertahankan. Analasis
kandungan senyawa alam dari herba seledri salah satunya dapat dilakukan dengan
uji kuantitatif kadar flavonoid total dengan metode spektrofotometri (Kemenkes
RI, 2010).
2
Salah satu faktor penting dalam formulasi sediaan sirup adalah pH. PH
merupakan faktor penting di dalam formulasi karena dapat mempengaruhi
kelarutan obat, aktivitas, absorbsi, stabilitas, dan kenyamanan pasien (Allen dkk,
2005).
Dalam formulasi sediaan sirup dari ekstrak kental herba seledri perlu
dilakukan penelitian mengenai stabilitasnya karena pengaruh pH. Pada penelitian
ini digunakan buffer pH 5, 7, dan 8 untuk memberikan variasi pH dalam sediaan.
Selanjutnya masing-masing formula dievaluasi stabilitasnya, baik stabilitas fisika
maupun kimianya. Sifat fisika yang dievaluasi meliputi pH, viskositas,
organoleptis, dan tanggap rasa. Sedangkan sifat kimia yang diuji adalah kadar
flavonoid total dalam sediaan dengan menggunakan metode uji stabilitas
dipercepat pada suhu 40, 55, dan 70 oC selama 6 jam penyimpanan.
A. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh pH terhadap stabilitas fisika sediaan sirup ekstrak
etanolik herba seledri (A. graveolens)?
2. Bagaimana pengaruh pH terhadap stabilitas kimia sediaan sirup ekstrak
etanolik herba seledri (A. graveolens)?
3. Bagaimana pengaruh suhu terhadap stabilitas fisika sediaan sirup ekstrak
etanolik herba seledri (A. graveolens)?
4. Bagaimana pengaruh suhu terhadap stabilitas kimia sediaan sirup ekstrak
etanolik herba seledri (A. graveolens)?
3
B. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh pH terhadap stabilitas fisika sediaan sirup ekstrak
etanolik herba seledri (A. graveolens).
2. Mengetahui
pengaruh pH terhadap stabilitas kimia sediaan sirup ekstrak
etanolik herba seledri (A. graveolens).
3. Mengetahui pengaruh suhu terhadap stabilitas fisika sediaan sirup ekstrak
etanolik herba seledri (A. graveolens).
4. Mengetahui
pengaruhsuhu terhadap stabilitas kimia sediaan sirup ekstrak
etanolik herba seledri (A. graveolens).
C. Pentingnya Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang sifat fisika
dan kimia sediaan sirup antihipertensi ekstrak etanolik herba seledri (A.
graveolens), sehingga kualitas obat tradisional dari bahan tanaman herbal dapat
ditingkatkan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber
informasi bagi masyarakat tentang manfaat herba seledri sebagai antihibertensi.
Secara ekonomi, sirup antihipertensi ekstrak etanolik herba seledri dapat
dikembangkan dan diproduksi dalam skala besar sebagai produk farmasi yang
bernilai ekonomi, karena saat ini obat tradisional yang banyak beredar di pasaran
adalah bentuk sediaan pil dan jamu. Sehingga dapat mempermudah pasien
hipertensi yang tidak mau repot dalam membuat sendiri sediaan tradisional dari
tanaman tersebut dan bagi pasien yang sukar menelan.
4
D. Tinjauan Pustaka
1. Herba seledri (Apium graveolens L.)
a. Klasifikasi tanaman
Herba seledri (gambar 1) memiliki nama latin Apium graveolens L.
Taksonomi herba seledri dapat dilihat pada tabel I.
Divisi
Sub divisi
Kelas
Bangsa
Suku
Marga
Jenis
Tabel I. Taksonomi herba seledri
Spermatophyta
Angiospermae
Dicotyledoneae
Apiales
Apiaceae
Apium
Apium graveolens L.
(Backer dan van den Brink, 1965)
Gambar 1. Herba Seledri
b. Deskripsi tanaman
Herba seledri memiliki bau aromatis khas, rasa agak asin, agak
pedas, dan menimbulkan rasa tebal di lidah (Depkes RI, 1989).
Seledri merupakan herba dengan tinggi sekitar 50 cm dari
permukaan tanah, berumur 1-2 tahun, batangnya beruas, beralur,
bercabang, tegak, hijau pucat, dan tidak berkayu. Daunnya tipis majemuk,
tangkai di semua atau kebanyakan daun merupakan sarung. Bunga tunggal
memiliki tangkai yang jelas, sisi kelopak tersembunyi, daun bunga putih
kehijauan atau merah jambu pucat dengan ujung yang bengkok. Buahnya
5
memiliki panjang sekitar 1 mm, batang angular, berlekuk, sangat aromatik,
akar tebal (Backer dan van den Brink, 1965).
Daun seledri memiliki dengan tangkai panjang, berwarna hijau tua
sampai hijau kecoklatan, tipis, rapuh; jumlah anak daun 3-7 helai, bentuk
belah ketupat miring, panjang 2-7,5 cm, lebar 2-5 cm, berlekuk di
sepanjang tepi daun, pangkal dan ujung anak daun runcing; panjang ibu
tangkai sampai 12,5 cm, terputar, beralur membujur; panjang tangkai anak
daun 1-2,7 cm (Depkes RI, 1989).
Batang pendek dengan rusuk-rusuk dan alur membujur, tidak
berkayu, persegi, dan berwarna hijau pucat, serta sisa pangkal tangkai
daun terdapat di bagian ujung. Akar herba seledri terdiri dari akar
tunggang beserta cabang-cabang akar; akar tunggang pendek, bentuk
hampir silindris, diameter ± 10 mm; cabang akar banyak, bentuk serupa
dengan benang-benang berkelok-kelok, panjang sampai 15 cm, tebal
sampai 2 mm, warna coklat muda sampai coklat kelabu (Kemenkes RI,
2010).
Bunga seledri tersusun majemuk bentuk payung, berkelamin 2,
panjang 1-3 cm, tiap payung terdiri dari 6-25 bunga, panjang tanngkai
bunga 2-3 mm, daun mahkota berwarna putih kehijauan atau putih
kekuningan, . Buahnya kecil-kecil bewarna coklat gelap, berbelah, terbagi
menjadi 2 merikarp, panjang buah ± 1 mm (Kemenkes RI, 2010).
6
c. Kandungan Kimia
Herba seledri mengandung kumarin: umbeliferon, furano kumarin,
skopolentin; saponin; tanin; minyak atsiri; vitamin A, B, C; asparagin;
flavonoid: apiin, apigenin, luteolin-7-O-apiosilglukosida, luteolin-7-Oglukosida,
krisoeriol-7-O-apiosilglukosida,
krisoeriol-7-O-glukosida
(Kemenkes RI, 2010) kolin, lipase (Depkes RI, 1989). Batang seledri
mengandung polisakarida peptida (apiuman), asam D-galakturonat, Lrhamnosa, L-arabinosa, dan D-galaktosa (Ovodova dkk, 2009). Senyawa
identitas seledri adalah apiin (Kemenkes RI, 2010).
(a)
(b)
Gambar 2. Struktur apiin (a) dan apigenin (b)
2. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko langsung terhadap timbulnya
penyakit infark miokard (cerebrovascular accident) (Tambayong, 2000).
Tekanan darah tinggi berkaitan dengan peningkatan risiko stroke, penyakit
jantung koroner, dan penyakit organ target lainnya, misalnya retinopati dan
gagal ginjal (Neal, 2006). Tekanan diastol normal berkisar 60-80 mmHg dan
untuk sistol berkisar 90-120 mmHg. Penderita dikatakan hipertensi apabila
tekanan darahnya melebihi 90 mmHg untuk diastol dan 140 mmHg untuk
7
sistol. Prehipertensi terjadi ketika tekanan darah pasien adalah 80-90 mmHg
untuk diastol dan 120-140 mmHg untuk sistol (Nugroho, 2012).
Antagonis adrenoreseptor β (blocker β) dan diuretik tiazid merupakan
obat lini pertama pada terapi hipertensi. Beberapa kelompok obat melalui
mekanisme berbeda, menurunkan tekanan darah dengan mengurangi tonus
vasokonstriktor dan juga retensi perifer. Inhibitor ACE yang menurunkan
angiotensin II dalam sirkulasi (suatu vasokonstriktor), antagonis reseptor
angiotensin II (subtipe AT1), dan antagonis kalsium yang memblok masuknya
kalsium ke dalam sel otot polos vaskuler. Vasodilator lain secara luas
digantikan oleh inhibitor ACE dan antagonis kalsium, walaupun ada sedikit
kecenderungan untuk menggunakan antagonis adrenoseptor α1 (Neal, 2006).
Dalam suatu penelitian terhadap tikus, herba seledri mengandung
apigenin yang bekerja dengan memberikan efek relaksasi pada aorta tikus
dengan menahan influks Ca2+ melalui tegangan dan operasi reseptor kalsium
(Ko dkk, 1991).
3. Ekstrak
Ekstrak
merupakan
sediaan
kental
yang
diperoleh
dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).
Berdasarkan sifatnya, ekstrak dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, yaitu ekstak encer (extractum tenue), ekstak kental (extractum
8
spissum), ekstrak kering (extractum siccum), dan ekstrak cair (extractum
liquidum). Ekstrak encer dapat dituang karena memiliki kandungan pelarut
atau air yang relatif tinggi. Ekstrak kental memiliki kandungan air kurang dari
30%, dalam keadaan dingin, dan tidak dapat dituang. Ekstrak kering memiliki
kandungan air kurang dari 5% dan konsitensi yang kering sedangkan ekstrak
cair diartikan sebagai ekstrak yang dibuat sedemikian rupa sehingga 1 bagian
simplisia sesuai dengan 2 bagian (terkadang juga 1 bagian) ekstrak cair
(Voigt, 1984).
4. Sirup
Sirup adalah sediaan pekat dalam air dari gula atau pengganti gula
dengan atau tanpa penambahan bahan pewangi dan zat obat. Sirup obat dalam
perdagangan terdiri dari gabungan beberapa komponen penyusun seperti
sukrosa, air murni, bahan pemberi rasa atau pencerah, bahan pewarna, bahan
terapeutik, dan bahan-bahan lain yang diperlukan maupun diinginkan. Hal
penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sirup obat adalah kelarutan
dan kestabilan bahan di dalam air (Ansel, 1989).
Gula yang biasa digunakan sukrosa atau pengganti gula yang
digunakan untuk memberi rasa manis dan kental. Sirup mengandung 50%
hingga 65% sukrosa (Voigt, 1995). Dalam keadaan khusus sukrosa dapat
diganti seluruhnya atau sebagian dengan gula-gula lainnya seperti dekstrosa
atau bukan gula seperti sorbitol, gliserin, dan propilen glikol (Ansel, 2008).
Penambahan gula tersebut berhubungan dengan daya tahan sediaan sirup
dimana dalam larutan gula yang jenuh (kira-kira 66% b/b) maka jamur atau
9
mikroorganisme tidak akan tumbuh karena air yang diperlukan bagi
perkembangbiakan mereka telah dihisap melalui proses osmosis. Hal itu
merupakan salah satu keuntungan dari sediaan sirup dibandingkan sediaan
lainnya. Disisi lain, konsentrasi gula yang cukup tinggi dapat mengurangi
kelarutan obat di dalam sirup tersebut (Depkes RI, 1995).
5. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode yang mudah,
murah, dan sederhana untuk dilakukan dibandingkan dengan metode
kromatografi lainnya (Gandjar dan Rohman, 2007). Media pemisahan dalam
KLT adalah lapisan dengan ketebalan sekitar 0,1 sampai 0,3 mm zat padat
adsorben pada lempeng kaca, plastik, atau aluminium (Day dan Underwood,
2002). Hasil pembacaan setiap noda kromatogram KLT dikenal dengan istilah
Rf yang dapat dihitung dengan persamaan 1. Nilai Rf sering dikonversi
menjadi hRf (hundred retardation factor) yaitu Rf x 100.
(1)
6. Monografi bahan
a. Akuades
Akuades merupakan cairan jernih, tidak berwarna, dan tidak
berbau (Depkes RI, 1995).
b. Larutan Dapar
Larutan dapar atau larutan buffer merupakan larutan yang
mengandung asam lemah dan basa konjugatmya atau basa lemah dan asam
konjugatnya. Larutan ini berfungsi untuk mempertahankan pH larutan
10
karena penambahan sedikit asam, sedikit basa, atau pengenceran. Larutan
dapar dapat mempertahankan pH karena adanya kesetimbangan antara
asam HA dan basa konjugatnya A-. Dalam penelitian ini digunakan dapar
asetat pH 5, dapar fosfat pH 7, dan dapar fosfat pH 8. Dapar asetat pH 5
dibuat dari natrium asetat trihidrat 0,2 M dan asam asetat 0,2 M dengan
perbandingan 7:3, dapar fosfat pH 7 dibuat dari dinatrium hidrofosfat 0,2
M dan natrium dihidrofosfat 0,2 M dengan perbandingan 30,5:19,5 dan
pengenceran 2 kali, sedangkan larutan dapar fosfat pH 8 dibuat dari
dinatrium hidrofosfat 0,2 M dan natrium dihidrofosfat 0,2 M dengan
perbandingan 47,35:2,65 dan pengenceran 2 kali (Dawson, 1986).
c. Gliserin
Monografi gliserin dapat dilihat pada tabel II.
Sinonim
Rumus molekul
Berat molekul
Pemerian
Kelarutan
Penyimpanan
Tabel II. Monografi gliserin
Croderol, Glycon G-100, Kemstrene, Optim, Pricerine
C3H8O3
92,09
Jernih, tidak berwarna, tidak berbau, viskos, cairan yang
higroskopis, memiliki rasa yang manis
Pada suhu 20oC larut dalam air, metanol, dan etanol. Praktis
tidak larut dalam benzen, kloroform, dan minyak.
Disimpan dalam wadah yang tertutup baik, kondisi dingin,
dan tempat yang kering
(Rowe dkk, 2006)
Gambar 3. Struktur gliserin
11
d. Propilen glikol
Propilen glikol dapat digunakan sebagai pengawet antimikroba,
disinfektan,
menjaga
kelembaban,
penambah
elastisitas,
pelarut,
stabilisator untuk vitamin, pelarut dalam campuran air, dan cosolvent.
Pemerian propilen glikol dapat dilihat pada tabel III.
Sinonim
Rumus molekul
Berat molekul
Pemerian
Kelarutan
Penyimpanan
Tabel III. Monografi propilen glikol
1,2-dihidroksipropana, 2-hidroksipopanol, metil etilen gikol,
metil glikol dan propan-1,2-diol
C3H8O2
76,09
Larutan jernih atau sedikit berwarna, kental, rasa agak manis.
Larut dalam kloroform, etanol, gliserin, dan air.
Dalam wadah tertutup baik, suhu rendah
(Rowe dkk, 2006)
Gambar 4. Struktur propilen glikol
e. Perasa
Pada sediaan sirup dibutuhkan pemberi rasa untuk menutupi bau
dan rasa yang kurang menyenangkan. Pemilihan rasa berkaitan dengan
rasa dasar sediaan yang akan dibuat (Lachman dkk, 2008).
Pada penelitian ini digunakan peppermint oil untuk menutupi rasa
dan bau ekstrak herba seledri. Minyak pepermin yang digunakan tidak
lebih dari 0,015% dalam sediaan sirup. Pemberi rasa mint mampu
memberikan bau yang segar dan sensasi dingin saat sirup digunakan.
f. Sodium benzoat
Pemerian sodium benzoat secara rinci dapat dilihat pada tabel IV.
12
Sinonim
Rumus molekul
Berat molekul
Pemerian
Kelarutan
Penyimpanan
Tabel IV. Monografi sodium benzoat
Asam benzoat garam sodium, soda benzoat, E211, natrium
benzoate
C7H5NaO2
144,11
Berbentuk granul berwarna atau kristal berwarna putih, serbuk
bersifat higroskopis, tidak berbau.
Larut dalam etanol dan air.
Dalam wadah tertutup baik dan tempat yang kering
(Rowe dkk, 2006)
Sodium benzoat digunakan terutama sebagai pengawet antimikroba
untuk produk kosmetik, makanan, atau sediaan obat. Penggunaan sodium
benzoat 0,02%-0,5% untuk sediaan oral, 0,5% untuk sediaan parenteral,
dan 0,1%-0,5% dalam sediaan kosmetik. Efek pengawet dapat menurun
atau sangat sedikit jika sodium benzoat digunakan dalam produk yang
bersifat basa.
g. Sorbitol
Pemerian sorbitol dapat dilihat pada tabel V.
Sinonim
Rumus molekul
Berat molekul
Pemerian
Kelarutan
Penyimpanan
Tabel V. Monografi sorbitol
C*pharm Sorbidex; 1,2,3,4,5,6-heksanheksol; Liponic 70-NC;
Liponic 76- NC; Meritol; Neosob; D-sorbitol; Sorbogem
C6H14O6
182,17
Merupakan D-glusitol, heksahidrik alkohol yang berhubungan
dengan manosa, serta isomerik dengan manitol. Tidak berbau,
putih atau hampir tidak berwarna, berupa kristal dan serbuk
higroskopis. Sorbitol berbentuk menyenangkan, dingin,
memiliki rasa manis (kira-kira 50%-60%) dari rasa manis
sukrosa..
Pada suhu 20 ºC larut dalam air dan etanol, praktis tidak larut
dalam kloroform dan eter, sedikit larut dalam metanol
Dalam wadah tertutup baik dan tempat yang kering.
(Rowe dkk, 2006)
Gambar 5. Struktur sorbitol
13
Sorbitol secara luas digunakan sebagai eksipien dalam formulasi
produk farmasetik, kosmetik, dan produk makanan untuk menjaga
kelembaban, penambah elastisitas, pemanis, bahan pengisi tablet dan
kapsul. Dalam preparasi sediaan cair sorbitol digunakan sebagai pembawa
dalam formulasi bebas gula dan sebagai stabilisator untuk obat.
7. Sifat fisika sirup
Sifat fisika sediaan sirup dapat dilihat dari beberapa parameter seperti
viskositas, warna, bau, rasa, dan kejernihan. Parameter-parameter tersebut
harus dievaluasi secara objektif dan jika mungkin selama waktu pengukuran
stabilitas (Lachman dkk, 2008).
a. Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan suatu larutan. Pengujian pH dilakukan untuk
mengetahui perubahan keasaman dari larutan. pH merupakan faktor
penting di dalam formulasi karena dapat mempengaruhi kelarutan obat,
aktivitas, absorbsi, stabilitas, dan kenyamanan pasien (Allen dkk, 2005).
Nilai pH dari suatu larutan berkisar antara 0 sampai 14. Perubahan
kelarutan terutama dapat terjadi pada obat yang bersifat asam lemah atau
basa lemah. Bentuk ion dari senyawa akan menyebabkan obat mudah larut
di dalam air. Dengan demikian, obat yang bersifat asam lemah akan
mudah larut di dalam lingkungan basa dan obat yang bersifat basa lemah
akan mudah larut dalam lingkungan asam. Zat yang bersifat asam atau
14
basa dapat ditambahkan untuk memanipulasi kelarutan (Winfield dan
Richards, 2004).
b. Viskositas
Viskositas merupakan suatu gambaran dari suatu cairan untuk
mengalir. Viskositas adalah gaya yang dibutuhkan untuk melewati tahanan
gesekan bagian dalam (Voigt, 1984). Satuan yang umum digunakan adalah
centipoise cP (jamak cPs) di mana 1 cP sama dengan 0.01 Poise.
Pengukuran viskositas pada umumnya menggunakan viskosimeter.
Terdapat
empat
macam
viskosimeter
yaitu
viskosimeter
kapiler
(viskosimeter Ostwald) dan viskosimeter bola jatuh untuk cairan Newton
sedangkan viskosimeter cup and bob dan cone and plate dapat digunakan
untuk mengukur baik untuk cairan Newton maupun non-Newton (Sinko,
2006).
Pada waktu tertentu, viskositas suatu cairan sediaan oral perlu
ditingkatkan agar lebih mudah untuk dikonsumsi maupun untuk
memperbaiki kemampuan penuangan. Viskositas dapat ditingkatkan
dengan
menambahkan
bahan-bahan
penambah
viskositas
seperti
polivinilpirolidon atau derivat selulosa seperti metil selulosa dan natrium
karboksimetilselulosa (Lachman dkk, 2008).
c. Organoleptis
Uji organoleptis atau uji indera atau uji sensori merupakan cara
pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama.
Organoleptis sediaan sirup meliputi rasa, bau serta warna dapat digunakan
15
sebagai indikator sifat fisika yang bersifat subjektif. Hal tersebut berkaitan
dengan kenyamanan konsumen dalam menggunakan sediaan sirup
(Lachman dkk, 2008).
d. Durasi Pengendapan
Uji durasi pengendapan dalam formula sirup dilakukan dengan
pengamatan secara visual. Pengamatan dilakukan dengan melihat waktu
terbentuk endapan pada hari ke-0 hingga hari ke-7.
8. Golongan senyawa flavonoid
Flavonoid merupakan metabolit sekunder tanaman yang memiliki
kandungan antioksidan dan kelat yang cukup tinggi. Secara kimia flavonoid
adalah polifenol yang terdiri atas 15 atom C dalam inti dasarnya yang terdiri
atas 2 cincin benzen (cincin A dan B) dan sebuah cincin heterosiklik (cincin
C), sehingga membentuk konfigurasi C6-C3-C6 (Markham, 1988), seperti
pada gambar 6.
Gambar 6. Kerangka flavonoid beserta penomorannya
Flavonoid adalah senyawa polifenol yang memiliki peran penting
sebagai antioksidan alami, menunjukkan berbagai aktifitas fisiologis dan
biologis, seperti aktivitas antiinflamasi, antialergi, antikanker, di dalam sistem
metabolisme tubuh manusia (Verma dkk, 1988; Kawaii dkk, 1999). Flavonoid
16
dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu flavon, flavanon, flavonol, isoflavon,
khalkon, dan auron, dengan flavon dan flavonol sebagai golongan terbesar.
Salah satu senyawa yang termasuk flavonol adalah kuersetin (gambar 8).
Kerangka dasar tipe-tipe flavonoid terlihat pada gambar 7.
Flavon
Flavonol
Flavanon
Isoflavon
Khalkon
Auron
Gambar 7. Kerangka tipe-tipe flavonoid
Gambar 8. Struktur Kuersetin
17
Flavonoid merupakan kandungan khas tumbuhan hijau, dengan
mengecualikan ganggang dan lumut. Flavonoid tersebar pada semua bagian
tumbuhan termasuk dalam daun segar, tepung sari, nektar, bunga, buah buni,
dan biji (Markham, 1988). Dalam pengujian kadar flavonoid dari suatu sampel
sering digunakan sebagai kuersetin sebagai pembanding, karena kuersetin
memiliki afinitas reaksi yang tinggi terhadap ion logam (Bravo dan Anacona,
2001).
9. Energi aktivasi (Ea) dan persamaan Arrhenius
Energi aktivasi didefinisikan sebagai energi yang harus dilampaui agar
reaksi kimia dapat terjadi, atau energi minimum yang dibutuhkan agar dapat
terjadi. Energi aktivasi dilambangkan dengan Ea dan memiliki satuan reaksi
kimia tertentu kilojoule/mol (kJ/mol). Dalam kinetika, suatu reaksi
berlangsung melalui beberapa tahap. Diawali oleh tumbukan antarpartikel
reaktan sehingga terjadi penyusunan ulang ikatan reaktan menjadi senyawa
produk. Proses ini membutuhkan suplai energi dari luar, yang disebut energi
aktivasi (Basset dkk, 1994).
Persamaan Arrhenius (persamaan 2) memberikan nilai dasar dari
hubungan antara Ea dengan kecepatan degradasi (k). Jika persamaan tersebut
ditulis dalam bentuk logaritmik akan diperoleh persamaan 3 yang analog
dengan persamaan regresi linear (persamaan 4). Sehingga untuk mencari
besarnya Ea dapat dianalisis dengan membentuk grafik ln k vs 1/T dengan
gradien (slope) sebagai –Ea/R dan intersep sebagai ln A. A merupakan faktor
18
praeksponensial dan R adalah konstanta gas ideal yang bernilai 8,314 J/mol.K
atau 1,987 kal/mol.K.
Ea= -RT ln ( )
(2)
ln k = ln A –Ea/R.T
(3)
y = A + Bx
(4)
Kecepatan reaksi berhubungan dengan orde reaksi. Pada reaksi yang
memiliki orde reaksi nol faktor yang menentukan laju reaksi bukan kadar
tetapi hal lain misalnya kelarutan atau senyawa cahaya pada beberapa reaksi
fotokimia. Jika kelarutan menjadi faktor penentu hanya sejumlah kecil obat
terlarut saja yang mengalami peruraian (Lachman dkk, 2008), laju degradasi
obat (k) secara matematis dapat dijelaskan dengan persamaan 5 dan 6.
-dD/dt = k
(5)
D = Do – k·t
(6)
Orde reaksi satu memiliki laju reaksi yang sebanding dengan kadar
reaktan. Kecepatan degradasi suatu senyawa yang mengkuti orde reaksi satu
dapat dihitung dengan persamaan 7 dan 8.
-d(D)/dt = k (Do)
(7)
Ln D = Do – k·t
(8)
Persamaan regresi linear ln k terhadap 1/T dapat digunakan untuk
mencari nilai Ea dari masing-masing Formula dan nilai k pada suhu ruangan
(25 oC), sehingga dapat diprediksi waktu paruh (t1/2) (persamaan 9) dan waktu
kadaluarsa (t90) (persamaan 10) dari masing-masing formula pada suhu
ruangan. Waktu paruh dan waktu kadaluarsa merupakan parameter stabilitas
19
kimia suatu sediaan. t1/2 adalah waktu yang dibutuhkan suatu senyawa untuk
terdegradasi setengahnya, sedangkan t90 merupakan waktu yang dibutuhkan
suatu senyawa untuk terdegradasi 10% dari jumlahnya. Perhitungan t1/2 dan t90
dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan 9 dan 10.
t1/2=
(9)
t90=
(10)
E. Landasan Teori
Herba seledri mengandung senyawa apigenin yang memiliki efek sebagai
vasodilator dengan menahan influks Ca2+ melalui tegangan dan operasi reseptor
kalsium (Ko dkk, 1991). Senyawa fenolik merupakan metabolit sekunder yang
ditemukan di semua tumbuhan (Friedman and Jurgens, 2000), termasuk dalam
seledri. Senyawa fenolik bersifat labil pada pH netral dan basa lemah (Zhu dkk,
1997) dan mudah teroksidasi pada pH di atas 6,5 (Kosińska dkk, 2012). Flavonoid
merupakan senyawa fenolik utama dalam seledri.
Dalam penelitian ini dilakukan formulasi sirup ekstrak etanolik herba
seledri dengan variasi pH menggunakan larutan dapar pH 5, 7, dan 8 untuk
mengetahui pengaruh pH
terhadap stabilitas sediaan. pH merupakan faktor
penting di dalam formulasi karena dapat mempengaruhi kelarutan obat, aktivitas,
absorbsi, stabilitas, dan kenyamanan pasien (Allen dkk, 2005). Pengendapan
molekul obat dipengaruhi oleh viskositas sirup. Hukum Stoke menyebutkan
semakin tinggi viskositas suatu larutan, kecepatan pengendapan molekul semakin
lambat (Ansel, 1989).
20
Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi
kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama
penyimpanan (Connors dkk,1986). Energi yang harus dilampaui atau energi
minimum yang dibutuhkan agar reaksi kimia tertentu dapat terjadi disebut sebagai
energi aktivasi. Semakin tinggi energi aktivasi, maka semakin besar energi yang
dibutuhkan untuk suatu reaksi dapat terjadi. Stabilitas suatu sediaan dapat dilihat
dari nilai t1/2 dan t90 suatu sediaan.
F. Hipotesis
1. Stabilitas fisika sirup ekstrak etanolik herba seledri (A. graveolens) meningkat
pada pH yang semakin asam, pada rentang pH 5-8.
2. Stabilitas kimia sirup ekstrak etanolik herba seledri (A. graveolens) meningkat
pada pH yang semakin asam, pada rentang pH 5-8.
3. Stabilitas fisika sirup ekstrak etanolik herba seledri (A. graveolens) meningkat
pada suhu yang semakin rendah, pada rentang suhu 40-70 oC.
4. Stabilitas kimia sirup ekstrak etanolik herba seledri (A. graveolens) meningkat
pada suhu yang semakin rendah, pada rentang suhu 40-70 oC.
21
Download