BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu telah dikonsumsi sejak zaman dahulu menjadi bahan pangan sumber protein hewani oleh manusia. Komponen-komponen penting dalam susu adalah protein, lemak, vitamin, mineral, laktosa, enzim-enzim, dan beberapa mikroba (Anonim, 1998). Produksi susu nasional Indonesia hanya mampu memenuhi 25% kebutuhan nasional (Rachman, 2008). Selang empat tahun kemudian tahun 2012 hanya terdapat sedikit peningkatan kemampuan pemenuhan kebutuhan susu nasional yaitu sebesar 30% (Anonim, 2012). Sebaliknya kebutuhan susu nasional dari tahun ke tahun terus meningkat, tahun 2012 permintaan susu mencapai 3.120.000 ton dan produksi hanya 1.208.000 ton (Anoni, 2012). Sebagian besar produksi susu nasional (91%) dihasilkan oleh usaha peternakan rakyat skala usaha 1-3 ekor sapi perah per peternak (Daryanto, 2007). Mastitis merupakan kasus yang sering dijumpai pada usaha peternakan sapi perah. Penurunan produksi susu sebagian besar disebabkan oleh mastitis subklinis. Hasil dari banyak penelitian menunjukkan bahwa 80% sapi laktasi di Indonesia menderita mastitis subklinis. Mastitis subklinis terjadi apabila gejalagejala klinis radang tidak dapat ditemukan pada waktu pemeriksaan ambing. Adanya bakteri dalam ambing tanpa diikuti perubahan fisik ambing dan susunya 13 14 dikatakan sebagai infeksi laten. Salah satu bakteri penyebab utama mastitis subklinis adalah Staphylococcus aureus (S. aureus) (Sudono et al., 2003). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis yang diperkirakan 15-40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin, 2000). Penyakit mastitis masih tetap merupakan masalah utama yang terjadi di dipeternakan rakyat saat ini, karena kerugian yang ditanggung akibat penyakit ini masih cukup besar, yaitu antara lain turunnya produksi dan kualitas susu, penolakan susu di Koperasi Unit Desa (KUD), biaya pengobatan serta perawatan ternak sapi (Sudarwnato, 1999). Menurut Effendi (2007) kerugian ekonomi akibat mastitis diperkirakan 10% dari total nilai jual yang diproduksi pada usaha peternakan sapi perah. Sekitar dua per tiga dari kerugian disebabkan karena penurunan produksi susu sapi yang terinfeksi penyakit mastitis. Kerugian lainnya timbul akibat susu abnormal yang terbuang serta susu yang diperah dari sapi yang diobati dengan antibiotik, biaya penggantian (replacement) sapi yang terinfeksi, turunnya nilai jual sapi yang di-culling, biaya obat-obatan dan layanan kesehatan ternak serta tambahan biaya tenaga kerja serta kadang-kadang mengakibatkan kematian ternak. Patogenesis S. aureus sebagai penyebab mastitis dan penurunan kualitas susu sangat dipengaruhi oleh adanya protein permukaan sel bakteri yang berperan dalam mekanisme adesi maupun menghindar dari respon imun hospes. Protein A adalah salah satu protein permukaan sel S. aureus. Protein A memiliki peranan penting dalam mekanisme patogenesis pada proses: adesi, kolonisasi, perusakan 15 sel hospes, dan sebagai faktor antifagositosis sehingga mampu menurunkan sistem imun hospes (Carlton dan Charles, 1993; Cox et al., 1986; Tizard, 1988; Suarsana, 2002). Antifagositosis S.aureus terhadap sistem pertahanan tubuh berperan penting dalam mempertahankan keberadaan bakteri ini dalam tubuh hospes. Mekanisme tersebut diperankan oleh protein A. Mekanisme patogenesis protein A terjadi karena kemampuannya mengikat reseptor Fc dari semua subkelas immunoglobulin G (IgG) kecuali IgG3 (spesifik manusia); IgG1 (mencit); IgG1, IgG2a dan IgG2b (tikus); juga tidak berikatan dengan IgY ayam (Boyle et al., 1985; Takeuchi et al., 1995). Mekanisme pengikatan reseptor Fc ini berperan penting dan efektif mencegah antibodi berikatan dengan sel respon imun yang lain (O’Seaghdha et al., 2006). Terdapat sekitar 80.000 tempat mengikat immunoglobulin pada setiap sel S. aureus (Mims, 1988; Cheung et al., 1987). Protein A juga dapat berikatan dengan reseptor Fc leukosit polimorfonuklear (PMN) sehingga opsonin tidak dapat melekat dan proses fagositosis terhambat (Cunningham et al., 1996). Protein A S. aureus disandi oleh gen spa yang dikelompokkan menjadi dua macam yaitu spa-IgG dan spa-X region (Atkins et al., 2008). Program pengendalian mastitis subklinis yang teratur dapat berhasil baik apabila mampu mengendalikan atau mendeteksi penyebab mastitis subklinis lebih awal. Program pengendalian infeksi S. aureus bervariasi pada berbagai negara. Pengendalian S. aureus akhir-akhir ini dilakukan dengan pengembangan karakter klaster patogenesis yang berbeda antar negara (Tato, 2012). Metode yang mudah 15 16 diaplikasikan, hasil yang akurat, dan dapat dijadikan gold standar dalam mengidentifikasi keberadaan S. aureus dari susu segar dari ambing yang mengalami mastitis merupakan faktor krusial dalam mengontrol penyebaran penyakit yang disebabkan oleh S. aureus. Identifikasi bakteri patogen dari susu segar dapat dijadikan diagnosa defenitif dan juga memberikan informasi penting tindakan preventif serta kontrol sumber keracunan makanan dari susu maupun produk olahan susu (He et al., 2010). Metode diagnosa mastitis subklinis yang saat ini sering digunakan adalah Somatic Cell Counter (SCC) dan California Mastitis Test (CMT), akan tetapi metode diagnosa ini masih memiliki kelemahan. Penggunaan metode SCC tidak bisa diaplikasikan untuk semua hewan ternak penghasil susu, hanya akurat pada sapi perah (Persson dan Olofsson, 2011). Kekurangan metode CMT adalah interpretasi hasil bersifat subyektif dan tingkat sensitifitas reagen metode ini masih rendah (3 x 105 PMN) (Mellenberger dan Roth, 2000). Identifikasi S. aureus skala laboratoriun dilakukan dengan cara konvensional dan secara molekular. Identifikasi S. aureus secara konvensional dengan isolasi dan identifikasi menggunakan berbagai media selektif dan biokemis, memiliki keterbatasan yaitu membutuhkan biaya serta waktu yang panjang. Metode identifikasi S. aureus secara molekular misalnya dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) memiliki kelebihan akurasi tinggi dan dapat dilakukan dalam waktu singkat, namun kelemahan metode ini adalah dibutuhkannya biaya yang mahal. 16 17 Sedikitnya penelitian yang menghubungkan hasil penelitian konvensional dengan penelitian molekular mendorong dilakukan penelitian ini. Aplikasi deteksi cepat S. aureus pada susu segar dengan latex agglutination berbasis protein A diharapkan akan memiliki akurasi tinggi dan biaya rendah. Prinsip uji aglutinasi adalah dengan menggunakan partikel latex yang di-coating dengan plasma yang mengandung protein A dan protein adhesive (fibronectin-binding-protein, IgG), untuk direaksikan dengan susu segar yang mengandung S. aureus yang mempunyai determinan virulen faktor (Protein A). Hasil reaksi positif akan terbentuk aglutinasi pada slide oxoid. Hasil uji tersebut akan dibandingkan dengan uji konvensional dan molekular dengan menggunakan PCR. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat disusun permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah S. aureus dapat dideteksi secara langsung dari susu segar menggunakan latex agglutination berbasis biomarker protein A? 2. Plasma yang mengandung biomarker protein A dari spesies mana yang paling sensitif digunakan untuk deteksi S. aureus? 3. Apakah metode uji menggunakan latex agglutination berbasis biomarker protein A memiliki kesesuaian dengan uji konvensional? 4. Apakah deteksi S. aureus menggunakan latex agglutination berbasis biomarker protein A memiliki kesesuaian dengan uji molekular? 17 18 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeteksi S. aureus secara langsung dari susu segar menggunakan latex agglutination berbasis biomarker protein A. 2. Membandingkan sensitivitas plasma yang mengandung biomarker protein A dari spesies hewan untuk deteksi S. aureus. 3. Mengetahui kesesuaian uji latex agglutination berbasis biomarker protein A dengan uji konvensional. 4. Mengetahui kesesuaian uji latex agglutination berbasis biomarker protein A dengan uji molekular Manfaat Diharapkan dari hasil penelitian ini deteksi S.aureus dapat dilakukan lebih efisien, efektif, dan aplikatif di lapangan. Metode ini dapat digunakan untuk skrining kualitas susu secara cepat, sehingga dapat melindungi konsumen dari foodborne disease. Selanjutnya adanya hubungan protein A dengan mekanisme patogenesis S. aureus berpeluang dalam pengembangan vaksin berbasis protein A non-toksigenik untuk pengendalian mastitis subklinis dengan etiologi S. aureus. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai identifikasi S. aureus telah banyak dilakukan diantaranya: Essers (1980) telah meneliti identifikasi secara cepat dan akurat S. aureus dengan latex agglutination test. Sampel S. aureus berasal dari manusia 18 19 strain 836 dan plasma coating yang dipakai adalah plasma kelinci. Pada penelitian ini tidak dapat dibedakan S. hyicus dan S. intermedius. Naidu (1988) meneliti partikel aglutinasi assay untuk mendeteksi fibronektin, fibrinogen, dan kolagen reseptor pada S. aureus. Plasma coating yang digunakan berasal dari babi. Hasil penelitian ini bersifat general cocok untuk skrining cepat, mengikat berbagai bakteri patogen serum dan jaringan ikat protein sehingga tidak spesifik untuk S. aureus. Dalam penelitian-penelitian tersebut antigen yang digunakan adalah isolat S. aureus yang dipreparasi melalui tahapan kultur tidak langsung dari sampel (susu segar). Fujikawa dan Igarashi (1988) melakukan uji latex spesifik untuk S. enterotoxin. Metode ini membutuhkan waktu inkubasi selama 3 jam untuk pengujian. Griethuysen (2001) melakukan penelitian evaluasi pada latex agglutination tes yang ada di pasaran. Penelitian ini hanya membandingkan efektivitas dari kit komersial yang sudah ada dan menetukan kit yang paling baik serta sensitif. Penelitian molekuler gen spesifik penyandi protein A telah banyak dilakukan. Karahan (2011) melakukan penelitian mengenai deteksi gen spa-IgG dan spa-X region dari S. aureus isolat S. aureus di Turki. Deteksi gen spa IgG dan spa-X region S. aureus juga telah diteliti oleh Aziz (2013) langsung dari susu segar yang berasal dari Baturaden dengan metode PCR. Penelitian tersebut berhasil mendeteksi S. aureus secara langsung dari susu segar dengan dengan ekstraksi dan analisis gen 23S rRNA menggunakan PCR, sementara isolasi dan identifikasi S. aureus secara konvensional tetap dilakukan. 19 20 Ferrero (2014) melakukan penelitian sirkuit elektronik untuk membantu mendeteksi dengan cepat kesehatan dan kualitas susu sapi. Uji ini dilakukan berdasarkan ukuran konduktivitas listrik susu sapi. Susu abnormal terdeteksi berdasarkan nilai konduktivitas mutlak dan konduktivitas diferensial nilai antara perempat dari ambing. Akurasi dan pengulangan instrumen dibandingkan dengan Testo konduktivitasmeter dan ditemukan bahwa kesalahan dalam pengukuran kurang dari 5%. Prototipe ini memiliki sensitivitas yang tinggi, mudah digunakan dan biaya adalah sekitar 20 dolar. Deteksi gen penyandi protein A (spa) S. aureus isolat susu dan hubungannya dengan protein A sebagai antifagosit oleh sel polimorfonuklear (PMN) telah diteliti oleh Guno (2014) untuk mengetahui hubungan kekerabatan S.aureus pada wilayah Boyolali, Ponorogo, dan Pacitan. Salasia et al., (2013) telah melakukan penelitian pengembangan deteksi cepat S. aureus pada sapi perah dengan latex agglutination berbasis clumping factor. Penelitian ini menggunakan plasma kelinci sebagai plasma coating. Reaksi positif antara reagen dengan S. aureus akan memperlihatkan adanya aglutinasi pada slide, dengan konsentrasi tertinggi 109CFU dan konsentrsasi terkecil 104CFU. Dalam penelitian ini perangkat diagnostik yang dikembangkan adalah dengan mendeteksi S. aureus secara langsung dari susu segar dengan menggunakan uji latex agglutination menggunakan plasma kelinci terbaik dari beberapa plasma spesies yang diujikan. 20