TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Genetika Ubijalar Tanaman ubijalar (Ipomoea batatas L.) secara umum diyakini berasal dari Amerika Selatan. Spesies ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1753 oleh Linnaeus sebagai Convolvulus batatas. Tetapi pada tahun 1791 Lamarck mengklasifikasikannya ke dalam genus lpomoea berdasarkan bentuk stigma dan permukaan bentuk polen. Oleh karena itu namanya diubah menjadi lpomoea batatas (L.) Lam. (Huaman 1992). Sekarang ubijalar telah dibudidayakan di hampir semua wilayah tropis dan penanaman terbesar terdapat di Cina dan beberapa negara Asia. Jumlah kromosom tanarnan ubijalar adalah 2n=6x=90, ini rnenunjukkan bahwa ubijalar merupakan tanarnan heksaploid dengan jurnlah krornosom dasar x=15. Kemungkinan besar bertipe autopoliploid (Martin 1982; Ukoskit & Thompson 1997) tetapi ada juga yang rnenganggap sebagai alopoliploid. Morfologi tanaman ubijalar sangat bervariasi. Indonesia rnerupakan pusat keanekaragaman ubijalar kedua setelah Amerika Selatan. Keanekaragaman morfologi ubijalar asal lrian Jaya terlihat dari bentuk, ukuran, dan warna baik dari daun, batang, bunga, maupun umbi ( Woolfe 1992; Sulistijawati et a/. 1994). Secara umum seluruh tanaman ubijalar yaitu pucuk, daun, batang, dan umbinya mempunyai potensi untuk dirnanfaatkan maupun pakan ternak. sebagai bahan pangan Peranan ubijalar dalam menyumbangkan kebutuhan kalori menempati urutan kelima terutama di negara berkembang. Di luar negeri, terutama di Jepang, ubijalar banyak dimanfaatkan di berbagai industri pengolahan pangan, seperti minuman, mie instan, dan makanan pelengkap bagi bayi. Meskipun mempunyai potensi yang cukup besar namun informasi genetika tanaman ubijalar yang diperlukan untuk pengembangan kultivar masih sangat terbatas. Keterbatasan inforrnasi ini diduga karena ubijalar merupakan tanaman heksaploid dengan jumlah kromosom yang banyak dan mempunyai ukuran kromosom yang kecil. Oleh karena itu penelitian bidang sitogenetika ubijalar sangat terbatas dan penentuan tipe ploidinya masih diperdebatkan. Persilangan buatan pada ubijalar pada umumnya sulit menghasilkan kapsul dan biji, dan fenomena yang menyebabkannya adalah ketidakserasian dan sterilitas. Keserasian ditentukan oleh dua kriteria yaitu berhasil tidaknya butir polen berkecambah pada batang putik dan berhasil tidaknya pembentukan bakal kapsul setelah polinasi. Sedangkan sterilitas diduga dipengaruhi oleh dua ha1 yaitu polen mampu berkecambah tetapi gagal melakukan fertilisasi dan lemahnya atau matinya embrio yang terjadi setelah fertilisasi (Martin 1982). Kapsul yang terbentuk seringkali mengalami gugur saat belum matang penuh. Adanya ketidakserasian silang disertai dengan rendahnya jumlah biji yang dihasilkan dari persilangan yang serasi mengakibatkan studi genetik pada tanaman ubijalar menjadi sulit. menghasilkan kapsul, yang Penyehukan sendiri yang dilakukan tidak artinya pada tanaman ubijalar terdapat ketidakserasian sendiri (Srinivasan 1977). Persentase ketidakserasian silang pada tanaman ubijalar juga cukup tinggi. Persentase keserasian silang akan lebih tinggi jika tetua betina mempunyai ploidi yang lebih besar dari tetua jantan (Bai 1988). Oleh karena itu pada persilangan antara ubijalar heksaploid dengan kerabat liar diploid atau tetraploid pada umumnya ubijalar heksaploid dipakai sebagai tetua betina. Persentase klon yang bersifat serasi sendiri (self compatible) dalam populasi ubijalar di Indonesia sekitar 20% dan be~ariasibergantung pada asal geografi klon ubijalar. Keberhasilan pembentukan biji yang diperoleh melalui penyerbukan sendiri (selfing) pada klon yang mempunyai karakter serasi sendiri tersebut berkisar 2-57%. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyerbukan sendiri, penyerbukan silang, dan pembentukan biji yang belum dimengerti hingga saat ini (Rao & Schmiediche 1996). Bunga pada ubijalar mekar pada sekitar pk.05.00-06.00 pagi diikuti dengan penanggalan butir polen sekitar pk.06.00-07.00 dengan munculnya sinar matahari. Aktivitas lebah madu sebagai polinator alami pada ubijalar dimulai pada saat ini dan berlanjut sampai pk.08.00 pagi yang merupakan waktu terjadinya persilangan alami. Semakin siang anter menjadi kosong dan polen tidak ada lagi sehingga persentase terbentuknya kapsul pada persilangan yang dibuat setelah pk. 09.00 semakin menurun. Namun demikian keadaan ini bervariasi antar klon ubijalar. Selain itu faktor lingkungan seperti suhu yang lebih tinggi dan penurunan kelembaban nisbi mempengaruhi persentase terbentuknya kapsul sehingga lebih rendah (Srinivasan 1977). Persilangan antar klon ubijalar berdaging umbi jingga yang pernah dilakukan menunjukkan beberapa klon ubijalar tidak dapat digunakan sebagai tetua jantan dan tidak berhasil membentuk kapsul (Novita et a/. 1996). Kerabat Liar Ubijalar Dalam seksi Batatas terdapat 13 spesies liar yang dianggap berkerabat dekat dengan ubijalar yang pada umumnya diploid atau tetraploid. I. littoralis dan I. tiliacea adalah tetraploid sedangkan I. trifda mempunyai taraf ploidi 2x, 3x, 4x, dan 6x (Huarnan 1992). Berdasarkan analisis RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), I. trifda dan I. tabascana merupakan spesies liar ubijalar yang terdekat (Jarret et a/. 1992). Kerabat liar dianggap mempunyai peran penting dalam program pemuliaan tanaman ubijalar di Jepang. I. trifida pertama kali diintroduksikan dari Meksiko ke Jepang pada tahun 1956. Sejak saat itu kerabat liar ubijalar dimanfaatkan sebagai sumber gen dalam program pemuliaan ubijalar. Pemuliaan ubijalar dimulai pada tahun 1957 dan pada tahun 1978 dilepas dua ltultivar ubijalar yang memanfaatkan I.trifida yaitu Minamiyutaka dan Okiyutaka ~:Kukimura et al. 1990). Gen resisten terhadap nematoda pada k u l t i i r IWinamiyutaka diyakini diperoleh dari i. trifda (Sakamoto 1976). Spesies kerabat liar juga banyak digunakan pada tanaman lain seperti pemuliaan tanaman centang memanfaatkan spesies kerabat liar Solanum phureja ssp. phureja dan S. stenotomum ssp. stenotomum diploid sebagai sumber gen warna daging kuning untuk meningkatkan intensitas warna kuning pada tanaman kentang tetraploid (Haynes 2000). Tanaman I.trifda diploid di Indonesia ditemukan di daerah atatah, Jawa Barat sedangkan spesimen I.trifda tertua di Indonesia dikoleksi dari Malang. Jawa Timur (Hambali 1988). Hasil peneliian mengungkapkan bahwa I.t M i a sangat berpotensi sebagai sumber gen dalam pemuliian ubijalar untuk memperbaiki karakter daya hasil, kadar k h a n kering, pati, ketahanan terhadap hama, dan penyakit tertentu, serta meningkatkan kadar protein (Kobayashi & Miyazaki 1976). Kerabat liar ubijalar lainnya yaitu I.nil dan I.pupurea telah digunakan secara luas oleh peneliii-peneliii di Jepang. Kedua spesies tersebut digunakan sebagai batang bawah untuk menginduksi pembungaan pada klon-klon ubijalar yang relatif sulit atau sedikii berbunga (Eguchi 1996). Plasma nutfah spesies liar ubijalar juga dimanfaatkan sebagai sumber gen dalam program pemuliaan di Filipina. Ubijalar heksaploid telah berhasil disilangkan dengan I. pes-caprea dan I.trifda 2x, 4x, dan 6x, untuk memperluas variabilitas genetik (Mariscal & Lopez 1996). Kerabat liar ubijalar 1. trifda juga digunakan sebagai sumber genetik di Korea (Ahn 1996) dan Cina (Guo et a/. 1996). I.trifda diploid dapat juga berperan membantu untuk mempermudah mempelajari pewarisan karakter tertentu. Untuk mempelajari pewarisan karakter tertentu pada ubijalar heksaploid sangat sulit karena besarnya ploidi. Penu~nan taraf pleidi dengan memanfaatkan I. trifida diploid diharapkan akan mempermudah mengikuti pola pewarisan karakter warna jingga daging umbi atau kandungan P-karoten. Ubijalar Berdaging Umbi Jingga Keanekaragaman tanaman ubijalar dapat tercermin pada warna daging umbinya yaitu putih, kuning, jingga, dan ungu (Woolfe 1992; Sulistijawati 1996). Ubijalar berdaging umbi jingga merupakan bahan pangan sumber vitamin A yang relatif murah dan merupakan sumber kalori terbaik diantara tanaman sumber vitamin A lainnya. lntensitas warna daging umbi ubijalar diduga mengindikasikan nilai provitamin A atau P-karoten yang dikandungnya (Takahata 1995). Karena variabilitas genetik ubijalar sangat luas, hingga saat ini belum diketahui dengan pasti kultivar ubijalar yang paling tinggi kandungan P- karotennya. Karotenoid utama meliputi p-karoten, a-karoten, cryptoxanthin, lutein, zeaxanthin, dan lycopene, tetapi aktivitas vitamin A dari P-karoten lebih besar daripada karotenoid lainnya. Komposisi karotenoid ubijalar berdaging umbi jingga didominasi P-karoten (Takahata 1995) dan mencapai 89% dari total karotenoid yang ada (Woolfe 1992). Penelitian terhadap 34 kultivar ubijalar berdaging umbi jingga di Cina menunjukkan bahwa kandungan karoten berkorelasi positif dengan kandungan protein tetapi berkorelasi negatif dengan kandungan bahan kering (Lu 8 Wu 1990). Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) Penelitian mengenai variabilitas genetik tanaman biasanya dilakukan dengan membandingkan bentuk morfologi, pembahan anatomi, embrio, dan reaksi biokimia. Data yang diamati biasanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan umur, dan kondisi tumbuh tanaman. Kesulitan lain mungkin terjadi bila karakter yang diamati dikendalikan oleh gen-gen yang bersifat kuantitatif, atau karakter yang diteliti diekspresikan pada akhir pertumbuhan (Weising et al. 1995). Karena kompleksnya genom ubijalar, penanda morfologi dan penanda protein (isozim) memberikan sedikit infomasi terhadap hasil analisis genom ubijalar karena terbatasnya jumlah penanda yang tersedia (Kennedy & Thompson 1991). Sebaliknya penanda yang berbasis DNA menyediakan penanda genetik yang tidak terbatas. Penanda tersebut secara langsung mendeteksi pada taraf DNA sehingga ekspresi gen tidak diperlukan. Efek epistasis atau pleiotropik, efek lingkungan dan tahap perkembangan jaringan tertentu tidak menjadi faktor pembatas bagi penanda berbasis DNA. Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) merupakan salah satu teknik biologi molekul yang banyak digunakan untuk menganalisis variabilitas genetik berdasarkan hasil amplifikasi reaksi berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction = PCR). Amplifikasi sekuen DNA secara in vjtm ini meliputi denaturasi DNA cetakan menjadi utas tunggal (94'C), penempelan primer dan perpanjangan (annealing) pada sekuen DNA cetakan (25°~-650~), (elongation) utas DNA (72OC). Perpanjangan primer oleh enzim polimerase DNA dibantu dengan adanya basa nukleotida (dATP, dGTP, dCTP, dTTP) dan MgCI, yang berfungsi sebagai kofaktor enzim (Weising et al. 1995). Teknik RAPD mendeteksi polimorfisme sekuen nukleotida pada amplifikasi DNA yang menggunakan satu primer acak. Dalam reaksi ini, primer berikatan dengan DNA genom pada dua situs yang berbeda pada utas DNA cetakan yang berlawanan. Jika situs penempelan primer berada pada jarak yang dapat diamplifikasi, maka akan dihasilkan produk DNA diskret. Primer yang sering digunakan adalah primer acak berukuran 10 pasang basa. Setiap primer dapat mengamplifikasi beberapa lokus dalam DNA total, sehingga analisis RAPD menjadi efisien untuk mengevaluasi polimorfisme urutan basa antar individu tanaman. Polimorfisme tersebut diamati melalui ada tidaknya pita DNA yang teramplifikasi (Thormann & Osborn 1992). Keberhasilan amplifikasi ini ditentukan oleh kemampuan primer mengamplifikasi DNA cetakan (template) dengan bantuan enzim polimerase DNA, dNTP (dATP, dTTP, dCTP, dan dGTP), suhu yang sesuai untuk mengurai DNA cetakan menjadi utas tunggal, pelekatan primer pada situs DNA cetakan, dan polimerisasi DNA (Thormann & Osbom 1992). Sedangkan keberhasilan suatu primer dalam mengamplifikasi DNA cetakan ditentukan oleh ada tidaknya homologi sekuen nukleotida primer dengan sekuens nukleotida DNA cetakan (Tingey et a/. 1992). Selain itu juga dipengaruhi oleh kualitas dan kuantiias DNA yang mencukupi, konsentrasi MgC12 yang sesuai, banyaknya enzim Taq DNA polimerase yang wkup, dan suhu pelekatan primer yang cocok (Promega 2000). Kualitas DNA cetakan mempunyai pengaruh yang besar pada hasil dan resolusi produk amplifikasi. Karena proses amplifikasi memerlukan hanya sedikit DNA cetakan, prosedur ekstraksi sangat ditekankan pada kemurnian dibandingkan kuantitas (Weeden et a/. 1992). Konsentrasi DNA dan MgCI, mempengaruhi hasil amplifikasi PCR. Konsentrasi DNA lebih tinggi atau lebih rendah dari konsentrasi optimum menghasilkan pola pita DNA lebih sedikit dan kurang baik. Konsentrasi MgClz yang lebih rendah dan lebih tinggi dari konsentrasi optimum menghasilkan jumlah pita yang lebih sedikit. Sedangkan konsentrasi Taq polimerase DNA tidak berpengaruh terhadap pola pita hasil amplifikasi PCR dan hanya berpengaruh pada ketajaman pita DNA. Konsentrasi enzim Taq polimerase DNA yang tinggi menghasilkan intensitas pita DNA yang lebih tajam dibandingkan hasil amplifikasi dengan konsentrasi enzim yang lebih rendah (Lengkong et al. 2001). Penanda RAPD telah digunakan secara luas pada berbagai spesies tanaman dan berbagai tujuan seperti pembuatan peta keterpautan, menentukan variabilitas genetik, menentukan sistematik hubungan antar spesies, dan menguji kemurnian benih hibrida. Teknik RAPD seringkali dipilih karena dapat menghasilkan data dalam waktu yang lebih singkat tanpa harus melakukan pemindahan fragmen DNA pada membran nilon (Southern Transfer) dan beberapa prosedur lainnya yang biasa dilakukan pada teknik RFLP (Restricton Fragment Length Polymorphism), oleh karena itu biaya yang diperlukan untuk analisis RAPD relatii lebih murah. Selain itu DNA cetakan yang diperlukan relatif sedikit dan polimorfisme yang dihasilkan cukup tinggi. Teknik RAPD pada tanaman ubijalar telah digunakan di negara lain sedangkan di Indonesia hingga saat ini belum pernah dilaporkan. Analisis RAPD pada tanaman ubijalar terbukti kelayakannya untuk mengembangkan peta keterpautan genetik (Thompson et a/. 1997), menganalisis tipe ploidi (Ukoskit & Thompson 1997), mengidentifikasi pita RAPD yang terpaut dengan karakter resisten terhadap nematoda (Ukoskit et a/. 1997), serta menganalisis variabilitas genetik tanaman ubijalar yang dibudidayakan di Chili (Sagredo et al. 1998) dan Malaysia (Ramisah et al. 2000). Metode RAPD juga membantu efisiensi manajemen plasma nutfah, klon yang mirip secara morfologi dan menghasilkan pola pita RAPD yang sama dianggap sebagai klon duplikat dan hanya salah satu saja yang dikoleksi lebih lanjut. Dengan metode ini, koleksi klon ubijalar di Peru berkurang dari 1939 menjadi 1069 klon pemeliharaan (Huaman 1996). sehingga lebih menghemat