Teori agensi ya

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1
Teori Agensi (Agency Theory)
Teori agensi yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976) dalam
Raharjo (2007) menyatakan bahwa hubungan keagenan sebagai suatu kontrak
antara manajer selaku agen dengan pemilik perusahaan sebagai principal. Para
manajer diberikan kewenangan oleh pemilik perusahaan untuk mengelola entitas
yang dipimpinnya sehingga tercipta hubungan keagenan tersebut. Tujuan yang
hendak dicapai oleh manajer dengan pemilik perusahaan mungkin tidak sama
sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan. Manajer dan pemilik
perusahaan cenderung berusaha untuk memaksimumkan kesejahteraan masingmasing sehingga ada kemungkinan jika manajer tidak selalu bertindak demi
kepentingan terbaik dari pemilik perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976 dalam
Raharjo, 2007). Adanya potensi konflik kepentingan tersebut menyebabkan
pemilik termotivasi untuk melakukan kontrak dengan manajer melalui cara-cara
yang mengarah pada usaha untuk meminimalkan konflik (Astika, 2010:65).
Hubungan keagenan antara manajer dengan pemilik perusahaan tersebut
dapat mengarah pada kondisi asimetri informasi. Asimetri informasi yang
menyebabkan terjadinya underpricing dapat disebabkan adanya distribusi
informasi yang tidak merata antar berbagai partisipan yang terlibat dalam emisi
perdana yaitu emiten, penjamin emisi, dan investor. Berdasarkan asumsi pasar
modal efisien maka harga saham yang terjadi di pasar seharusnya mencerminkan
16
semua informasi yang relevan sehingga sesuai nilai yang sebenarnya. Pada
kondisi ini, semua partisipan di pasar memiliki pengharapan yang sama karena
informasi yang dimiliki setiap pihak sama. Namun, apabila terjadi asimetri
informasi di mana terdapat satu pihak atau lebih yang memiliki informasi yang
lebih baik maka kemudian muncul berbagai pengharapan di pasar yang tercermin
pada harga saham. Semakin beragam harapan partisipan di pasar maka semakin
besar pula tingkat ex-ante uncertainty di masa depan yang menyebabkan besar
pula biaya informasi yang harus dikompensasikan melalui underpricing (Alteza,
2010). Beberapa model yang diungkapkan oleh penelitian sebelumnya mengenai
asimetri informasi:
1) The Winner’s Curse Hypothesis (Rock, 1986)
Menurut the winner’s curse yang dikembangkan oleh Rock (1986 dalam
Pande dan Vaidyanatha, 2007), bahwa di kalangan calon investor juga terjadi
asimetri informasi, yaitu antara investor yang memiliki informasi (informed
investors) dan investor yang tidak memiliki informasi (uninformed investors)
mengenai kondisi dan prospek perusahaan di masa mendatang. Informed
investors hanya akan membeli saham yang dijual underpriced sedangkan
uninformed investors akan cenderung memiliki proporsi yang lebih besar
pada saham yang overpriced. Oleh karena itu, agar semua kelompok investor
memperoleh kemungkinan return yang wajar serta menutup kemungkinan
overpriced maka saham perdana harus cukup underpriced.
2) Monopoly Power of Investment Banker Hypothesis (Baron, 1982)
17
Baron (1982) mengemukakan bahwa konflik kepentingan antara underwriter
dan emiten menyebabkan penjamin emisi menetapkan harga di bawah harga
yang seharusnya. Underwriter dianggap memiliki informasi mengenai
permintaan potensial dan kondisi pasar, sementara emiten tidak memiliki
akses atas informasi tersebut. Semakin banyak emiten tidak mengetahui
kepastian permintaan atas saham biasa pada saat IPO, maka jasa underwriter
akan semakin dibutuhkan dalam menetapkan harga. Kesenjangan informasi
tersebut
menimbulkan
moral
hazard
dari
underwriter.
Sebagai
konsekuensinya, underwriter akan menawarkan harga perdana sahamnya di
bawah harga wajar agar saham yang ditawarkan dapat terjual semua terutama
saat underwriter memberikan jaminan full commitment. Jadi, semakin besar
ketidakpastian permintaan atas saham maka tingkat underpricing semakin
tinggi.
3) Regulation Hypothesis (Alli et al., 1994)
Regulation hypothesis (Alli et al., 1994) dalam Alteza (2010) menjelaskan
bahwa pemerintah umumnya menetapkan peraturan yang lebih spesifik dan
pengawasan yang lebih ketat pada sekelompok perusahaan di suatu negara.
Perusahaan yang diatur biasanya perusahaan di sektor keuangan (regulated
firms) sehingga perusahaan keuangan memiliki regulasi yang lebih ketat
mengenai disclosure sebelum IPO daripada perusahaan non-keuangan (nonregulated firms). Hal tersebut membuat informasi mengenai perusahaan
semakin banyak diterima oleh publik sehingga dapat mengurangi tingkat
underpricing di perusahaan keuangan. Akyol et al. (2014) melakukan
18
penelitian mengenai underpricing saat IPO di Eropa dan menemukan bahwa
standar perusahaan yang ditetapkan akan meningkatkan transparansi dan
mengurangi asimetri informasi yang terjadi sehingga akan memengaruhi
penilaian IPO.
2.1.2
Teori Signalling
Teori signalling menjelaskan bahwa manajer suatu entitas mempunyai
insentif secara sukarela (voluntary) melaporkan informasi-informasi kepada pasar
modal walaupun tidak ada ketentuan yang mengharuskan (Astika, 2010:66). Bini
et al (2011) menyatakan bahwa perusahaan seharusnya menyediakan informasi
untuk pasar agar dapat mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara emiten,
penjamin emisi, dan antar investor. Perusahaan yang akan melakukan IPO akan
mempublikasikan prospektus untuk menyediakan informasi yang diperlukan.
Informasi yang tersedia dapat berupa profitabilitas, ukuran perusahaan, umur
perusahaan, jenis industri, pengggunaan jasa underwriter dan auditor. Informasi
mengenai profitabilitas dapat menjadi sinyal positif bagi investor bahwa
perusahaan dapat memberikan keuntungan di masa depan kepada investor. Hal
tersebut dapat mengurangi ketidakpastian terhadap nilai perusahaan yang akan
mengurangi adanya underpricing. Ukuran perusahaan juga menjadi informasi
yang dapat mempengaruhi ketidakpastian terhadap nilai perusahaan. Informasi
pada perusahaan yang berukuran besar cenderung lebih mudah didapat sehingga
ketidakpastian nilai perusahaan dapat dikurangi yang akan berdampak
berkurangnya underpricing. Selain itu, umur perusahaan juga dapat memberikan
sinyal positif bagi perusahaan karena investor berasumsi bahwa semakin lama
19
perusahaan berdiri maka perusahaan semakin berpengalaman dalam strategi bisnis
sehingga underpricing dapat dihindari.
Underpricing emisi perdana merupakan mekanisme yang dipakai oleh
perusahaan bagus untuk membedakan dirinya dengan perusahaan yang kurang
bagus. Penetapan harga yang lebih rendah daripada nilai sebenarnya merupakan
sinyal yang dipercaya untuk memberitahu investor mengenai kualitas perusahaan
karena biaya untuk melakukan underpricing cukup tinggi dan tidak mungkin
ditanggung oleh perusahaan yang kurang bagus. Underpricing merupakan sinyal
bahwa perusahaan menjanjikan keuntungan bagi investor. Perusahaan yang
memiliki proyek-proyek investasi yang bagus akan menarik perhatian investor
tentang kualitas investasi tersebut dengan menetapkan harga saham yang rendah
(Allen dan Faulhaber, 1989 dalam Martani, 2003). Keadaan ini tidak dapat
dilakukan oleh perusahaan yang memiliki proyek investasi yang kurang bagus.
Perusahaan yang berisiko rendah akan berusaha memberikan sinyal kepada
investor mengenai proyeknya dengan memilih auditor yang bereputasi tinggi pula
agar dapat mengurangi tingkat ketidakpastian terhadap nilai perusahaannya.
2.1.3
Pasar Modal Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995,
Bab 1 Pasal 1 butir 13 Tentang Pasar Modal menyebutkan bahwa: “Pasar modal
adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan
Efek. Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta
lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Menurut Hartono (2013:29),
pasar modal adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli dengan risiko untung
20
atau rugi. Kebutuhan dana jangka pendek umumnya diperoleh di pasar uang.
Pasar modal merupakan sarana perusahaan untuk meningkatkan kebutuhan dana
jangka panjang dengan menjual saham atau mengeluarkan obligasi.
Menurut Hartono (2013:33), pasar primer (primary market) atau pasar
perdana adalah tempat penjualan surat berharga yang baru dikeluarkan oleh
perusahaan. Surat berharga baru yang ditawarkan dapat berupa IPO oleh emiten
baru ataupun tambahan surat berharga baru (Seasoned New Issued) oleh emiten
yang
sudah
listing.
Selanjutnya
surat
berharga
yang
sudah
beredar
diperdagangkan di pasar sekunder (secondary market). Tipe lain dari pasar modal
adalah pasar ketiga (third market) dan pasar keempat (fourth market). Pasar ketiga
merupakan pasar perdagangan surat berharga pada saat pasar kedua tutup yang
dijalankan oleh broker sedangkan pasar keempat umumnya menggunakan
jaringan komunikasi untuk memperdagangkan saham dalam jumlah blok yang
besar.
2.1.4
Perusahaan Keuangan di Indonesia
Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 792
Tahun 1990, lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya di bidang
keuangan, melakukan penghimpunan dana dan penyaluran dana kepada
masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. Berdasarkan UU No.
10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan UU No. 7 Tahun 1992, lembaga
keuangan terdiri dari bank dan non-bank. Lembaga keuangan bank dapat berupa
bank umum dan BPR yang bersifat konvensional maupun syariah sedangkan
21
lembaga keuangan non-bank dapat berupa lembaga pembiayaan, asuransi, dana
pensiun, pegadaian, dan lain-lain.
Lembaga keuangan mempunyai peranan dan fungsi penting dalam
masyarakat yaitu sebagai wahana yang mampu menghimpun dan menyalurkan
dana masyarakat secara efektif dan efisien ke arah peningkatan taraf hidup. Peran
lembaga keuangan yang penting membuat pemerintah mengeluarkan UU No. 23
Tahun 1999 yang menetapkan bahwa otoritas moneter di Indonesia berada di
tangan Bank Indonesia yang berwenang merumuskan dan melaksanakan
kebijakan moneter di Indonesia. Pemerintah juga berfungsi mengawasi kebijakan
moneter yang dibuat dengan mengeluarkan peraturan dalam bentuk Surat
Keputusan Menteri.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perusahaan keuangan memiliki
pengawasan yang lebih ketat daripada perusahaan non-keuangan oleh pemerintah.
Perusahaan keuangan dikontrol oleh pemerintah sehingga ketidakpastian akan
nilai perusahaan akan berkurang dibandingkan dengan perusahaan non-keuangan
ketika perusahaan-perusahaan tersebut melakuan IPO. Semakin ketat pengawasan
yang dilakukan, diharapkan asimetri informasi di pasar semakin berkurang
(Agrawal, 2009). Asimetri informasi yang berkurang diharapkan mengurangi
terjadinya underpricing.
2.1.5
Saham
Menurut Hartono (2013:141), suatu perusahaan dapat menjual hak
kepemilikannya
dalam
bentuk
saham
(stock).
Jika
perusahaan
hanya
mengeluarkan satu kelas saham saja, saham ini disebut dengan saham biasa
22
(common stock). Adapula saham preferen (preferred stock) yang mempunyai hakhak prioritas lebih dari saham biasa. Saham biasa merupakan jenis surat berharga
yang paling banyak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Hartono (2013:153) menyatakan bahwa hasil yang diperoleh dari investasi
disebut return. Return dalam saham terdiri dari capital gains (loss) dan yield.
Capital gains (loss) merupakan selisih untung (rugi) dari harga investasi sekarang
relatif dengan harga periode yang lalu sedangkan yield merupakan persentase
dividen terhadap harga saham periode sebelumnya. Pada saat saham pertama kali
diperdagangkan, investor tidak akan mendapatkan yield melainkan keuntungan
dari perbedaan harga saham di pasar perdana yang disebut dengan initial return
(Hartono, 2013:37).
2.1.6
Penawaran Umum Perdana
Perusahaan dapat memperoleh tambahan modal dengan melakukan proses
penerbitan saham baru yang ditawarkan kepada masyarakat atau yang sering
disebut dengan going public. Setiap perusahaan yang menjual saham kepada
masyarakat mempunyai tujuan yang berbeda. Pada umumnya, perusahaan
mempunyai tujuan untuk memperbaiki struktur modal, meningkatkan kapasitas
produksi,
memperluas
pemasaran,
memperluas
hubungan
bisnis,
dan
meningkatkan kualitas manajemen (Samsul, 2006:68). Menurut Hartono
(2013:34-36), keuntungan dari going public, yaitu kemudahan meningkatkan
modal di masa mendatang, meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham, dan
nilai pasar perusahaan diketahui. Adapun kerugian dari going public, yaitu biaya
23
laporan meningkat, pengungkapan (disclosure) kepada publik sehingga tidak ada
informasi rahasia perusahaan, dan ketakutan terjadi pengambilalihan perusahaan.
Prospektus menjadi hal yang penting pada saat melakukan IPO. Prospektus
berisi informasi keuangan dan non-keuangan yang berkaitan dengan perusahaan
yang akan go public. Informasi-informasi tersebut dapat memberikan gambaran
kondisi perusahaan kepada publik yang akan dijadikan dasar dalam pengambilan
keputusan terhadap saham yang ditawarkan. Informasi keuangan merupakan hal
yang penting pada saat penentuan harga IPO (Beatty et al., 2000). Informasi
keuangan yang ada dalam prospektus seperti laporan keuangan yang terdiri dari
neraca (balance sheet), perhitungan rugi laba (income statement), laporan arus kas
(cash flow statement), dan penjelasan atas laporan keuangan (notes). Informasi
non-keuangan dalam prospektus antara lain mengenai penjamin emisi efek
(underwriter), auditor independen, konsultan hukum, nilai penawaran saham,
persentase saham yang ditawarkan, umur perusahaan, dan informasi lain yang
mendukung.
Pada umumnya, perusahaan akan memerlukan bantuan banker investasi
(investment banker) sebagai perantara perusahaan yang menjual saham dengan
investor. Underwriter sebagai salah satu banker investasi berfungsi untuk
melakukan pembelian sekuritas yang nantinya akan dijual kembali ke publik. Di
Indonesia, fungsi penjaminan yang dijalankan underwriter adalah full
commitment, di mana pihak underwriter harus membeli saham yang tidak terjual
di pasar perdana (Alteza, 2010). Apabila nilai saham yang ditawarkan cukup
besar, maka banker investasi akan membentuk sindikat (syndicate) yang terdiri
24
dari lead underwriter sebagai manajer sindikat, beberapa underwriter sebagai
anggota grup yang membeli sekuritas dan menjualnya ke publik, dan beberapa
grup penjual (sales group) yang tidak membeli tetapi ikut menjual sekuritas ke
publik. Sindikat underwriter ini menghasilkan informasi permintaan pasar pada
saat IPO (Corwin dan Schultz, 2005). Namun hal tersebut tidak dapat
menghindari persaingan antar underwriter walaupun telah dibentuk sindikat
underwriter tersebut. Underwriter selalu bersaing untuk mendapatkan klien
sebanyak mungkin agar dapat mempertahankan reputasinya.
2.1.7
Underpricing
Fenomena menarik yang terjadi di penawaran perdana ke publik adalah
fenomena harga rendah (underpricing). Menurut Hartono (2013:36), underpricing
merupakan fenomena harga rendah yang terjadi karena penawaran perdana yang
secara rerata murah. Secara rerata murah membeli saham di penawaran perdana
akan mendapatkan return awal (initial return) yang banyak. Hal ini menarik
investor untuk membeli saham perusahaan yang memberikan harapan untuk
memperoleh keuntungan jika diperdagangkan di pasar sekunder.
Fenomena underpricing disebabkan adanya misprice di pasar perdana
akibat ketidakseimbangan informasi antara pihak emiten, underwriter, dan
investor. Hal ini dinamakan terjadi asimetri informasi dalam sudut pandang
keuangan. Penerapan fungsi penjaminan full commitment oleh underwriter di
Indonesia, menyaratkan bahwa underwriter harus membeli semua saham perdana
yang akan dijual kembali kepada investor. Hal tersebut membuat underwriter
berusaha untuk mengurangi risiko tersebut dengan cara menekan harga saham di
25
pasar perdana yang menyebabkan harga saham di pasar perdana menjadi terlalu
murah. Harga saham yang terlalu murah akan menimbulkan underpricing yang
diukur dengan initial return, yaitu selisih antara harga penutupan saham pada hari
pertama di pasar sekunder dengan harga perdana dibagi dengan harga perdana
(Hidhayanto, 2000).
Fenomena underpricing hampir selalu terjadi di berbagai negara.
Penelitian yang dilakukan oleh Chi dan Padgett (2002) membuktikan bahwa pada
saat IPO masyarakat China menikmati initial returns yang lebih tinggi daripada
negara lain. Dimovski et al. (2011) meneliti hubungan antara reputasi underwriter
dengan tingkat underpricing di Australia dengan menggunakan dua metode yang
berbeda. Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan positif antara reputasi
underwriter dengan tingkat underpricing yang membuktikan bahwa underwriter
berusaha untuk mencari keuntungan dari penentuan harga yang rendah tersebut.
Durukan (2002) juga membuktikan hal yang sama bahwa anomali pada saat IPO
menghasilkan abnormal initial return di Istanbul Stock Exchange.
2.1.8
Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Underpricing
Underpricing pada saat penawaran umum perdana (IPO) merupakan
fenomena yang sudah umum di setiap pasar modal dengan dipengaruhi oleh
beberapa
faktor
menjelaskan
yang
beberapa
berbeda.
faktor
Penelitian-penelitian
yang
underpricing, sebagai berikut:
1) Return On Assets
26
diperkirakan
sebelumnya
memengaruhi
telah
tingkat
Pengukuran profitabilitas perusahaan dapat dilihat melalui Return On Assets
(ROA) emiten tersebut. ROA menggambarkan kemampuan perusahaan
memperoleh laba dengan aset yang dimilikinya. Rasio ini dapat menjadi
pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan
tersebut karena apabila rasio ROA tersebut tinggi maka risiko yang dihadapi
investor akan kecil. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan dapat
memanfaatkan asetnya untuk memperoleh laba sehingga tingkat underpricing
diharapkan rendah.
2) Ukuran Perusahaan
Menurut Gumanti (2003), ukuran perusahaan dapat dijadikan proksi tingkat
ketidakpastian saham. Informasi perusahaan yang berskala besar lebih mudah
ditemukan daripada perusahaan yang berskala kecil. Tingkat ketidakpastian
pun akan berkurang apabila informasi yang didapat investor semakin banyak.
Dengan rendahnya tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar, maka
akan menurunkan tingkat underpricing yang akan terjadi.
3) Reputasi Underwriter
Reputasi underwriter menjadi salah satu variabel yang memengaruhi tingkat
underpricing.
Underwriter
dianggap
memiliki
informasi
mengenai
permintaan potensial dan kondisi pasar, sementara emiten tidak memiliki
akses atas informasi tersebut. Semakin banyak emiten tidak mengetahui
kepastian permintaan atas saham biasa pada saat IPO, maka jasa underwriter
akan semakin dibutuhkan dalam menetapkan harga. Hal tersebut akan
membuat underwriter akan menawarkan harga di bawah harga wajar agar
27
semua saham dapat terjual habis. Hal tersebut mengakibatkan kecenderungan
terjadi underpricing yang semakin tinggi.
4) Reputasi Auditor
Laporan keuangan menjadi salah satu sumber informasi yang digunakan
untuk menilai perusahaan. Perusahaan yang menggunakan auditor bereputasi
tinggi akan mengurangi ketidakpastian dari informasi yang diberikan oleh
perusahaan tersebut sehingga tidak menyesatkan investor mengenai prospek
perusahaan di masa mendatang. Auditor yang bereputasi tinggi diindikasikan
dengan banyaknya klien (emiten) yang mempercayai jasa audit Kantor
Akuntan Publiknya.
5) Umur Perusahaan
Umur perusahaan menjadi salah satu pertimbangan investor untuk
menanamkan modalnya. Perusahaan yang sudah lama berdiri biasanya telah
memiliki informasi dan strategi untuk bertahan di masa depan. Selain itu,
informasi yang diberikan juga mengurangi ketidakpastian nilai perusahaan di
masa depan. Semakin lama umur perusahaan berdiri maka investor akan
semakin percaya terhadap perusahaan tersebut.
6) Jenis Industri
Setiap jenis kelompok industri memiliki karakteristik yang berbeda dengan
jenis industri lainnya. Industri yang berbeda akan mendapat perlakuan yang
berbeda pula dari investor. Investor terkadang secara terlalu optimis pada
jenis
industri
tertentu. Jenis
industri
keuangan diduga mengalami
underpricing yang lebih rendah daripada Jenis industri non-keuangan akibat
28
adanya regulasi yang lebih ketat dari pemerintah. Hal tersebut menunjukkan
bahwa jenis industri juga diduga mempengaruhi underpricing.
2.2
Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Return On Assets terhadap Underpricing Saat Initial Public
Offering (IPO)
Berdasarkan teori signalling, perusahaan akan memberikan sinyal positif
kepada investor mengenai tingkat profitabilitas bahwa perusahaannya dapat
menghasilkan keuntungan di masa depan. Informasi ini akan memberikan
informasi kepada pihak luar mengenai efektivitas operasional perusahaan. Salah
satu proksi dari profitabilitas adalah Return On Assets (ROA) (Yasa, 2008). ROA
akan menggambarkan kemampuan perusahaan memperoleh laba dengan aset yang
dimilikinya. Apabila rasio ROA tersebut tinggi maka risiko yang dihadapi
investor akan kecil sehingga akan mengurangi underpricing yang akan terjadi.
Penelitian yang dilakukan Arman (2012), Lutfianto (2013), Riyadi dkk (2014)
menemukan bahwa variabel ROA berpengaruh negatif signifikan terhadap
underpricing pada perusahaan di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H1 : Return On Assets (ROA) berpengaruh negatif terhadap underpricing.
2.2.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Underpricing saat Initial
Public Offering (IPO)
Teori signalling menyatakan bahwa perusahaan besar akan memberikan
sinyal melalui informasi yang disediakan dalam prospektus misalnya informasi
mengenai ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan yang lebih besar umumnya
lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil.
Informasi yang diberikan oleh perusahaan yang berskala besar lebih mudah
29
didapat sehingga ketidakpastian terhadap nilai perusahaan menjadi berkurang
yang akan membuat tingkat underpricing pun akan semakin rendah. Menurut
Durukan (2002), Arman (2012), Stanley dan Violita (2010), ukuran perusahaan
berpengaruh negatif signifikan terhadap initial return (underpricing) yang
dihasilkan. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing.
2.2.3
Pengaruh Reputasi Underwriter terhadap Underpricing saat Initial
Public Offering (IPO)
Teori agensi yang menggunana hipotesis asimetri informasi dengan
menggunakan model Baron (1982), mengemukakan bahwa underwriter
merupakan pihak yang memiliki informasi mengenai permintaan potensial dan
kondisi pasar yang lebih baik dibandingkan emiten. Hal tersebut memungkinkan
terjadi moral hazard yang dilakukan oleh underwriter. Semakin banyak emiten
tidak mengetahui kepastian permintaan atas saham biasa pada saat penawaran
umum perdana, maka jasa underwriter akan semakin dibutuhkan dalam
menetapkan harga. Hal tersebut akan membuat underwriter akan menawarkan
harga di bawah harga wajar agar semua saham dapat terjual habis. Dengan kondisi
demikian underpricing akan cenderung terjadi. Hal tersebut dibuktikan dalam
penelitian Yasa (2008) menemukan adanya pengaruh positif reputasi underwriter
pada tingkat underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:
H3:
Reputasi underwriter berpengaruh positif terhadap underpricing.
30
2.2.4
Pengaruh Reputasi Auditor terhadap Underpricing saat Initial Public
Offering (IPO)
Berdasarkan teori signalling, emiten yang berisiko rendah akan berusaha
memberikan sinyal kepada investor mengenai proyeknya dengan memilih auditor
yang bereputasi tinggi agar dapat mengurangi tingkat ketidakpastian terhadap
nilai perusahaannya. Emiten yang memercayakan laporan keuangannya diaudit
oleh auditor bereputasi baik menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh
perusahaan
tidak
menyesatkan.
Hal
tersebut
akan
mengurangi
tingkat
ketidakpastian nilai perusahaan sehingga kemungkinan terjadinya underpricing
pun dapat dikurangi. Bukti empiris mengenai hubungan antara reputasi auditor
dengan tingkat underpricing dijelaskan oleh Balvers et al. (1988), Safitri (2013),
Rosyidah dan Hartono (2015) bahwa auditor yang bereputasi tinggi akan
cenderung memengaruhi tingkat underpricing yang lebih rendah daripada auditor
yang bereputasi rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah:
H4:
2.2.5
Reputasi auditor berpengaruh negatif terhadap underpricing.
Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Underpricing saat Initial Public
Offering (IPO)
Umur perusahaan juga memberikan sinyal positif bagi perusahaan kepada
investor. Perusahaan yang sudah lama berdiri biasanya telah memiliki informasi
dan strategi untuk bertahan di masa depan. Informasi yang diberikan dapat
mengurangi ketidakpastian nilai perusahaan di masa depan. Semakin lama umur
perusahaan berdiri maka investor akan semakin percaya terhadap perusahaan
tersebut karena telah memiliki pengalaman bisnis. Penelitian yang dilakukan
Arman (2012) dan Martani (2003) menemukan bahwa semakin lama perusahaan
31
berdiri maka tingkat underpricing cenderung lebih rendah. Berdasarkan uraian di
atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H5:
2.2.6
Umur perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing
Pengaruh Jenis Industri terhadap Underpricing saat Initial Public
Offering (IPO)
Alli et al. (1994) dalam Alteza (2010) mengemukakan salah satu hipotesis
asimetri informasi regulation hypothesis yang menjelaskan bahwa pemerintah
umumnya menetapkan peraturan yang lebih spesifik dan pengawasan yang lebih
ketat pada sekelompok perusahaan tertentu di suatu negara. Perusahaan yang
memperoleh pengawasan yang lebih ketat (regulated firms) dalam hal ini
perusahaan keuangan cenderung memiliki tingkat underpricing yang lebih rendah
dibandingkan non-regulated firms (perusahaan non-keuangan). Hidhayanto
(2004) dan Ruslim dkk (2010) berhasil membuktikan adanya perbedaan
underpricing pada kelompok industri keuangan dan non-keuangan. Berdasarkan
uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H6:
Jenis industri keuangan berpengaruh negatif terhadap underpricing.
32
Download