BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory) Teori agensi yang dikemukakan oleh Jensen dan Meckling (1976) dalam Raharjo (2007) menyatakan bahwa hubungan keagenan sebagai suatu kontrak antara manajer selaku agen dengan pemilik perusahaan sebagai principal. Para manajer diberikan kewenangan oleh pemilik perusahaan untuk mengelola entitas yang dipimpinnya sehingga tercipta hubungan keagenan tersebut. Tujuan yang hendak dicapai oleh manajer dengan pemilik perusahaan mungkin tidak sama sehingga dapat menimbulkan konflik kepentingan. Manajer dan pemilik perusahaan cenderung berusaha untuk memaksimumkan kesejahteraan masingmasing sehingga ada kemungkinan jika manajer tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik dari pemilik perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976 dalam Raharjo, 2007). Adanya potensi konflik kepentingan tersebut menyebabkan pemilik termotivasi untuk melakukan kontrak dengan manajer melalui cara-cara yang mengarah pada usaha untuk meminimalkan konflik (Astika, 2010:65). Hubungan keagenan antara manajer dengan pemilik perusahaan tersebut dapat mengarah pada kondisi asimetri informasi. Asimetri informasi yang menyebabkan terjadinya underpricing dapat disebabkan adanya distribusi informasi yang tidak merata antar berbagai partisipan yang terlibat dalam emisi perdana yaitu emiten, penjamin emisi, dan investor. Berdasarkan asumsi pasar modal efisien maka harga saham yang terjadi di pasar seharusnya mencerminkan 16 semua informasi yang relevan sehingga sesuai nilai yang sebenarnya. Pada kondisi ini, semua partisipan di pasar memiliki pengharapan yang sama karena informasi yang dimiliki setiap pihak sama. Namun, apabila terjadi asimetri informasi di mana terdapat satu pihak atau lebih yang memiliki informasi yang lebih baik maka kemudian muncul berbagai pengharapan di pasar yang tercermin pada harga saham. Semakin beragam harapan partisipan di pasar maka semakin besar pula tingkat ex-ante uncertainty di masa depan yang menyebabkan besar pula biaya informasi yang harus dikompensasikan melalui underpricing (Alteza, 2010). Beberapa model yang diungkapkan oleh penelitian sebelumnya mengenai asimetri informasi: 1) The Winner’s Curse Hypothesis (Rock, 1986) Menurut the winner’s curse yang dikembangkan oleh Rock (1986 dalam Pande dan Vaidyanatha, 2007), bahwa di kalangan calon investor juga terjadi asimetri informasi, yaitu antara investor yang memiliki informasi (informed investors) dan investor yang tidak memiliki informasi (uninformed investors) mengenai kondisi dan prospek perusahaan di masa mendatang. Informed investors hanya akan membeli saham yang dijual underpriced sedangkan uninformed investors akan cenderung memiliki proporsi yang lebih besar pada saham yang overpriced. Oleh karena itu, agar semua kelompok investor memperoleh kemungkinan return yang wajar serta menutup kemungkinan overpriced maka saham perdana harus cukup underpriced. 2) Monopoly Power of Investment Banker Hypothesis (Baron, 1982) 17 Baron (1982) mengemukakan bahwa konflik kepentingan antara underwriter dan emiten menyebabkan penjamin emisi menetapkan harga di bawah harga yang seharusnya. Underwriter dianggap memiliki informasi mengenai permintaan potensial dan kondisi pasar, sementara emiten tidak memiliki akses atas informasi tersebut. Semakin banyak emiten tidak mengetahui kepastian permintaan atas saham biasa pada saat IPO, maka jasa underwriter akan semakin dibutuhkan dalam menetapkan harga. Kesenjangan informasi tersebut menimbulkan moral hazard dari underwriter. Sebagai konsekuensinya, underwriter akan menawarkan harga perdana sahamnya di bawah harga wajar agar saham yang ditawarkan dapat terjual semua terutama saat underwriter memberikan jaminan full commitment. Jadi, semakin besar ketidakpastian permintaan atas saham maka tingkat underpricing semakin tinggi. 3) Regulation Hypothesis (Alli et al., 1994) Regulation hypothesis (Alli et al., 1994) dalam Alteza (2010) menjelaskan bahwa pemerintah umumnya menetapkan peraturan yang lebih spesifik dan pengawasan yang lebih ketat pada sekelompok perusahaan di suatu negara. Perusahaan yang diatur biasanya perusahaan di sektor keuangan (regulated firms) sehingga perusahaan keuangan memiliki regulasi yang lebih ketat mengenai disclosure sebelum IPO daripada perusahaan non-keuangan (nonregulated firms). Hal tersebut membuat informasi mengenai perusahaan semakin banyak diterima oleh publik sehingga dapat mengurangi tingkat underpricing di perusahaan keuangan. Akyol et al. (2014) melakukan 18 penelitian mengenai underpricing saat IPO di Eropa dan menemukan bahwa standar perusahaan yang ditetapkan akan meningkatkan transparansi dan mengurangi asimetri informasi yang terjadi sehingga akan memengaruhi penilaian IPO. 2.1.2 Teori Signalling Teori signalling menjelaskan bahwa manajer suatu entitas mempunyai insentif secara sukarela (voluntary) melaporkan informasi-informasi kepada pasar modal walaupun tidak ada ketentuan yang mengharuskan (Astika, 2010:66). Bini et al (2011) menyatakan bahwa perusahaan seharusnya menyediakan informasi untuk pasar agar dapat mengurangi asimetri informasi yang terjadi antara emiten, penjamin emisi, dan antar investor. Perusahaan yang akan melakukan IPO akan mempublikasikan prospektus untuk menyediakan informasi yang diperlukan. Informasi yang tersedia dapat berupa profitabilitas, ukuran perusahaan, umur perusahaan, jenis industri, pengggunaan jasa underwriter dan auditor. Informasi mengenai profitabilitas dapat menjadi sinyal positif bagi investor bahwa perusahaan dapat memberikan keuntungan di masa depan kepada investor. Hal tersebut dapat mengurangi ketidakpastian terhadap nilai perusahaan yang akan mengurangi adanya underpricing. Ukuran perusahaan juga menjadi informasi yang dapat mempengaruhi ketidakpastian terhadap nilai perusahaan. Informasi pada perusahaan yang berukuran besar cenderung lebih mudah didapat sehingga ketidakpastian nilai perusahaan dapat dikurangi yang akan berdampak berkurangnya underpricing. Selain itu, umur perusahaan juga dapat memberikan sinyal positif bagi perusahaan karena investor berasumsi bahwa semakin lama 19 perusahaan berdiri maka perusahaan semakin berpengalaman dalam strategi bisnis sehingga underpricing dapat dihindari. Underpricing emisi perdana merupakan mekanisme yang dipakai oleh perusahaan bagus untuk membedakan dirinya dengan perusahaan yang kurang bagus. Penetapan harga yang lebih rendah daripada nilai sebenarnya merupakan sinyal yang dipercaya untuk memberitahu investor mengenai kualitas perusahaan karena biaya untuk melakukan underpricing cukup tinggi dan tidak mungkin ditanggung oleh perusahaan yang kurang bagus. Underpricing merupakan sinyal bahwa perusahaan menjanjikan keuntungan bagi investor. Perusahaan yang memiliki proyek-proyek investasi yang bagus akan menarik perhatian investor tentang kualitas investasi tersebut dengan menetapkan harga saham yang rendah (Allen dan Faulhaber, 1989 dalam Martani, 2003). Keadaan ini tidak dapat dilakukan oleh perusahaan yang memiliki proyek investasi yang kurang bagus. Perusahaan yang berisiko rendah akan berusaha memberikan sinyal kepada investor mengenai proyeknya dengan memilih auditor yang bereputasi tinggi pula agar dapat mengurangi tingkat ketidakpastian terhadap nilai perusahaannya. 2.1.3 Pasar Modal Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995, Bab 1 Pasal 1 butir 13 Tentang Pasar Modal menyebutkan bahwa: “Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek. Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Menurut Hartono (2013:29), pasar modal adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli dengan risiko untung 20 atau rugi. Kebutuhan dana jangka pendek umumnya diperoleh di pasar uang. Pasar modal merupakan sarana perusahaan untuk meningkatkan kebutuhan dana jangka panjang dengan menjual saham atau mengeluarkan obligasi. Menurut Hartono (2013:33), pasar primer (primary market) atau pasar perdana adalah tempat penjualan surat berharga yang baru dikeluarkan oleh perusahaan. Surat berharga baru yang ditawarkan dapat berupa IPO oleh emiten baru ataupun tambahan surat berharga baru (Seasoned New Issued) oleh emiten yang sudah listing. Selanjutnya surat berharga yang sudah beredar diperdagangkan di pasar sekunder (secondary market). Tipe lain dari pasar modal adalah pasar ketiga (third market) dan pasar keempat (fourth market). Pasar ketiga merupakan pasar perdagangan surat berharga pada saat pasar kedua tutup yang dijalankan oleh broker sedangkan pasar keempat umumnya menggunakan jaringan komunikasi untuk memperdagangkan saham dalam jumlah blok yang besar. 2.1.4 Perusahaan Keuangan di Indonesia Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 792 Tahun 1990, lembaga keuangan adalah semua badan yang kegiatannya di bidang keuangan, melakukan penghimpunan dana dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan UU No. 7 Tahun 1992, lembaga keuangan terdiri dari bank dan non-bank. Lembaga keuangan bank dapat berupa bank umum dan BPR yang bersifat konvensional maupun syariah sedangkan 21 lembaga keuangan non-bank dapat berupa lembaga pembiayaan, asuransi, dana pensiun, pegadaian, dan lain-lain. Lembaga keuangan mempunyai peranan dan fungsi penting dalam masyarakat yaitu sebagai wahana yang mampu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien ke arah peningkatan taraf hidup. Peran lembaga keuangan yang penting membuat pemerintah mengeluarkan UU No. 23 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa otoritas moneter di Indonesia berada di tangan Bank Indonesia yang berwenang merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter di Indonesia. Pemerintah juga berfungsi mengawasi kebijakan moneter yang dibuat dengan mengeluarkan peraturan dalam bentuk Surat Keputusan Menteri. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa perusahaan keuangan memiliki pengawasan yang lebih ketat daripada perusahaan non-keuangan oleh pemerintah. Perusahaan keuangan dikontrol oleh pemerintah sehingga ketidakpastian akan nilai perusahaan akan berkurang dibandingkan dengan perusahaan non-keuangan ketika perusahaan-perusahaan tersebut melakuan IPO. Semakin ketat pengawasan yang dilakukan, diharapkan asimetri informasi di pasar semakin berkurang (Agrawal, 2009). Asimetri informasi yang berkurang diharapkan mengurangi terjadinya underpricing. 2.1.5 Saham Menurut Hartono (2013:141), suatu perusahaan dapat menjual hak kepemilikannya dalam bentuk saham (stock). Jika perusahaan hanya mengeluarkan satu kelas saham saja, saham ini disebut dengan saham biasa 22 (common stock). Adapula saham preferen (preferred stock) yang mempunyai hakhak prioritas lebih dari saham biasa. Saham biasa merupakan jenis surat berharga yang paling banyak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hartono (2013:153) menyatakan bahwa hasil yang diperoleh dari investasi disebut return. Return dalam saham terdiri dari capital gains (loss) dan yield. Capital gains (loss) merupakan selisih untung (rugi) dari harga investasi sekarang relatif dengan harga periode yang lalu sedangkan yield merupakan persentase dividen terhadap harga saham periode sebelumnya. Pada saat saham pertama kali diperdagangkan, investor tidak akan mendapatkan yield melainkan keuntungan dari perbedaan harga saham di pasar perdana yang disebut dengan initial return (Hartono, 2013:37). 2.1.6 Penawaran Umum Perdana Perusahaan dapat memperoleh tambahan modal dengan melakukan proses penerbitan saham baru yang ditawarkan kepada masyarakat atau yang sering disebut dengan going public. Setiap perusahaan yang menjual saham kepada masyarakat mempunyai tujuan yang berbeda. Pada umumnya, perusahaan mempunyai tujuan untuk memperbaiki struktur modal, meningkatkan kapasitas produksi, memperluas pemasaran, memperluas hubungan bisnis, dan meningkatkan kualitas manajemen (Samsul, 2006:68). Menurut Hartono (2013:34-36), keuntungan dari going public, yaitu kemudahan meningkatkan modal di masa mendatang, meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham, dan nilai pasar perusahaan diketahui. Adapun kerugian dari going public, yaitu biaya 23 laporan meningkat, pengungkapan (disclosure) kepada publik sehingga tidak ada informasi rahasia perusahaan, dan ketakutan terjadi pengambilalihan perusahaan. Prospektus menjadi hal yang penting pada saat melakukan IPO. Prospektus berisi informasi keuangan dan non-keuangan yang berkaitan dengan perusahaan yang akan go public. Informasi-informasi tersebut dapat memberikan gambaran kondisi perusahaan kepada publik yang akan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan terhadap saham yang ditawarkan. Informasi keuangan merupakan hal yang penting pada saat penentuan harga IPO (Beatty et al., 2000). Informasi keuangan yang ada dalam prospektus seperti laporan keuangan yang terdiri dari neraca (balance sheet), perhitungan rugi laba (income statement), laporan arus kas (cash flow statement), dan penjelasan atas laporan keuangan (notes). Informasi non-keuangan dalam prospektus antara lain mengenai penjamin emisi efek (underwriter), auditor independen, konsultan hukum, nilai penawaran saham, persentase saham yang ditawarkan, umur perusahaan, dan informasi lain yang mendukung. Pada umumnya, perusahaan akan memerlukan bantuan banker investasi (investment banker) sebagai perantara perusahaan yang menjual saham dengan investor. Underwriter sebagai salah satu banker investasi berfungsi untuk melakukan pembelian sekuritas yang nantinya akan dijual kembali ke publik. Di Indonesia, fungsi penjaminan yang dijalankan underwriter adalah full commitment, di mana pihak underwriter harus membeli saham yang tidak terjual di pasar perdana (Alteza, 2010). Apabila nilai saham yang ditawarkan cukup besar, maka banker investasi akan membentuk sindikat (syndicate) yang terdiri 24 dari lead underwriter sebagai manajer sindikat, beberapa underwriter sebagai anggota grup yang membeli sekuritas dan menjualnya ke publik, dan beberapa grup penjual (sales group) yang tidak membeli tetapi ikut menjual sekuritas ke publik. Sindikat underwriter ini menghasilkan informasi permintaan pasar pada saat IPO (Corwin dan Schultz, 2005). Namun hal tersebut tidak dapat menghindari persaingan antar underwriter walaupun telah dibentuk sindikat underwriter tersebut. Underwriter selalu bersaing untuk mendapatkan klien sebanyak mungkin agar dapat mempertahankan reputasinya. 2.1.7 Underpricing Fenomena menarik yang terjadi di penawaran perdana ke publik adalah fenomena harga rendah (underpricing). Menurut Hartono (2013:36), underpricing merupakan fenomena harga rendah yang terjadi karena penawaran perdana yang secara rerata murah. Secara rerata murah membeli saham di penawaran perdana akan mendapatkan return awal (initial return) yang banyak. Hal ini menarik investor untuk membeli saham perusahaan yang memberikan harapan untuk memperoleh keuntungan jika diperdagangkan di pasar sekunder. Fenomena underpricing disebabkan adanya misprice di pasar perdana akibat ketidakseimbangan informasi antara pihak emiten, underwriter, dan investor. Hal ini dinamakan terjadi asimetri informasi dalam sudut pandang keuangan. Penerapan fungsi penjaminan full commitment oleh underwriter di Indonesia, menyaratkan bahwa underwriter harus membeli semua saham perdana yang akan dijual kembali kepada investor. Hal tersebut membuat underwriter berusaha untuk mengurangi risiko tersebut dengan cara menekan harga saham di 25 pasar perdana yang menyebabkan harga saham di pasar perdana menjadi terlalu murah. Harga saham yang terlalu murah akan menimbulkan underpricing yang diukur dengan initial return, yaitu selisih antara harga penutupan saham pada hari pertama di pasar sekunder dengan harga perdana dibagi dengan harga perdana (Hidhayanto, 2000). Fenomena underpricing hampir selalu terjadi di berbagai negara. Penelitian yang dilakukan oleh Chi dan Padgett (2002) membuktikan bahwa pada saat IPO masyarakat China menikmati initial returns yang lebih tinggi daripada negara lain. Dimovski et al. (2011) meneliti hubungan antara reputasi underwriter dengan tingkat underpricing di Australia dengan menggunakan dua metode yang berbeda. Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan positif antara reputasi underwriter dengan tingkat underpricing yang membuktikan bahwa underwriter berusaha untuk mencari keuntungan dari penentuan harga yang rendah tersebut. Durukan (2002) juga membuktikan hal yang sama bahwa anomali pada saat IPO menghasilkan abnormal initial return di Istanbul Stock Exchange. 2.1.8 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Underpricing Underpricing pada saat penawaran umum perdana (IPO) merupakan fenomena yang sudah umum di setiap pasar modal dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor menjelaskan yang beberapa berbeda. faktor Penelitian-penelitian yang underpricing, sebagai berikut: 1) Return On Assets 26 diperkirakan sebelumnya memengaruhi telah tingkat Pengukuran profitabilitas perusahaan dapat dilihat melalui Return On Assets (ROA) emiten tersebut. ROA menggambarkan kemampuan perusahaan memperoleh laba dengan aset yang dimilikinya. Rasio ini dapat menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut karena apabila rasio ROA tersebut tinggi maka risiko yang dihadapi investor akan kecil. Hal ini membuktikan bahwa perusahaan dapat memanfaatkan asetnya untuk memperoleh laba sehingga tingkat underpricing diharapkan rendah. 2) Ukuran Perusahaan Menurut Gumanti (2003), ukuran perusahaan dapat dijadikan proksi tingkat ketidakpastian saham. Informasi perusahaan yang berskala besar lebih mudah ditemukan daripada perusahaan yang berskala kecil. Tingkat ketidakpastian pun akan berkurang apabila informasi yang didapat investor semakin banyak. Dengan rendahnya tingkat ketidakpastian perusahaan berskala besar, maka akan menurunkan tingkat underpricing yang akan terjadi. 3) Reputasi Underwriter Reputasi underwriter menjadi salah satu variabel yang memengaruhi tingkat underpricing. Underwriter dianggap memiliki informasi mengenai permintaan potensial dan kondisi pasar, sementara emiten tidak memiliki akses atas informasi tersebut. Semakin banyak emiten tidak mengetahui kepastian permintaan atas saham biasa pada saat IPO, maka jasa underwriter akan semakin dibutuhkan dalam menetapkan harga. Hal tersebut akan membuat underwriter akan menawarkan harga di bawah harga wajar agar 27 semua saham dapat terjual habis. Hal tersebut mengakibatkan kecenderungan terjadi underpricing yang semakin tinggi. 4) Reputasi Auditor Laporan keuangan menjadi salah satu sumber informasi yang digunakan untuk menilai perusahaan. Perusahaan yang menggunakan auditor bereputasi tinggi akan mengurangi ketidakpastian dari informasi yang diberikan oleh perusahaan tersebut sehingga tidak menyesatkan investor mengenai prospek perusahaan di masa mendatang. Auditor yang bereputasi tinggi diindikasikan dengan banyaknya klien (emiten) yang mempercayai jasa audit Kantor Akuntan Publiknya. 5) Umur Perusahaan Umur perusahaan menjadi salah satu pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya. Perusahaan yang sudah lama berdiri biasanya telah memiliki informasi dan strategi untuk bertahan di masa depan. Selain itu, informasi yang diberikan juga mengurangi ketidakpastian nilai perusahaan di masa depan. Semakin lama umur perusahaan berdiri maka investor akan semakin percaya terhadap perusahaan tersebut. 6) Jenis Industri Setiap jenis kelompok industri memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis industri lainnya. Industri yang berbeda akan mendapat perlakuan yang berbeda pula dari investor. Investor terkadang secara terlalu optimis pada jenis industri tertentu. Jenis industri keuangan diduga mengalami underpricing yang lebih rendah daripada Jenis industri non-keuangan akibat 28 adanya regulasi yang lebih ketat dari pemerintah. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis industri juga diduga mempengaruhi underpricing. 2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Return On Assets terhadap Underpricing Saat Initial Public Offering (IPO) Berdasarkan teori signalling, perusahaan akan memberikan sinyal positif kepada investor mengenai tingkat profitabilitas bahwa perusahaannya dapat menghasilkan keuntungan di masa depan. Informasi ini akan memberikan informasi kepada pihak luar mengenai efektivitas operasional perusahaan. Salah satu proksi dari profitabilitas adalah Return On Assets (ROA) (Yasa, 2008). ROA akan menggambarkan kemampuan perusahaan memperoleh laba dengan aset yang dimilikinya. Apabila rasio ROA tersebut tinggi maka risiko yang dihadapi investor akan kecil sehingga akan mengurangi underpricing yang akan terjadi. Penelitian yang dilakukan Arman (2012), Lutfianto (2013), Riyadi dkk (2014) menemukan bahwa variabel ROA berpengaruh negatif signifikan terhadap underpricing pada perusahaan di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1 : Return On Assets (ROA) berpengaruh negatif terhadap underpricing. 2.2.2 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Underpricing saat Initial Public Offering (IPO) Teori signalling menyatakan bahwa perusahaan besar akan memberikan sinyal melalui informasi yang disediakan dalam prospektus misalnya informasi mengenai ukuran perusahaan. Ukuran perusahaan yang lebih besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Informasi yang diberikan oleh perusahaan yang berskala besar lebih mudah 29 didapat sehingga ketidakpastian terhadap nilai perusahaan menjadi berkurang yang akan membuat tingkat underpricing pun akan semakin rendah. Menurut Durukan (2002), Arman (2012), Stanley dan Violita (2010), ukuran perusahaan berpengaruh negatif signifikan terhadap initial return (underpricing) yang dihasilkan. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H2 : Ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing. 2.2.3 Pengaruh Reputasi Underwriter terhadap Underpricing saat Initial Public Offering (IPO) Teori agensi yang menggunana hipotesis asimetri informasi dengan menggunakan model Baron (1982), mengemukakan bahwa underwriter merupakan pihak yang memiliki informasi mengenai permintaan potensial dan kondisi pasar yang lebih baik dibandingkan emiten. Hal tersebut memungkinkan terjadi moral hazard yang dilakukan oleh underwriter. Semakin banyak emiten tidak mengetahui kepastian permintaan atas saham biasa pada saat penawaran umum perdana, maka jasa underwriter akan semakin dibutuhkan dalam menetapkan harga. Hal tersebut akan membuat underwriter akan menawarkan harga di bawah harga wajar agar semua saham dapat terjual habis. Dengan kondisi demikian underpricing akan cenderung terjadi. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitian Yasa (2008) menemukan adanya pengaruh positif reputasi underwriter pada tingkat underpricing. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H3: Reputasi underwriter berpengaruh positif terhadap underpricing. 30 2.2.4 Pengaruh Reputasi Auditor terhadap Underpricing saat Initial Public Offering (IPO) Berdasarkan teori signalling, emiten yang berisiko rendah akan berusaha memberikan sinyal kepada investor mengenai proyeknya dengan memilih auditor yang bereputasi tinggi agar dapat mengurangi tingkat ketidakpastian terhadap nilai perusahaannya. Emiten yang memercayakan laporan keuangannya diaudit oleh auditor bereputasi baik menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh perusahaan tidak menyesatkan. Hal tersebut akan mengurangi tingkat ketidakpastian nilai perusahaan sehingga kemungkinan terjadinya underpricing pun dapat dikurangi. Bukti empiris mengenai hubungan antara reputasi auditor dengan tingkat underpricing dijelaskan oleh Balvers et al. (1988), Safitri (2013), Rosyidah dan Hartono (2015) bahwa auditor yang bereputasi tinggi akan cenderung memengaruhi tingkat underpricing yang lebih rendah daripada auditor yang bereputasi rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H4: 2.2.5 Reputasi auditor berpengaruh negatif terhadap underpricing. Pengaruh Umur Perusahaan terhadap Underpricing saat Initial Public Offering (IPO) Umur perusahaan juga memberikan sinyal positif bagi perusahaan kepada investor. Perusahaan yang sudah lama berdiri biasanya telah memiliki informasi dan strategi untuk bertahan di masa depan. Informasi yang diberikan dapat mengurangi ketidakpastian nilai perusahaan di masa depan. Semakin lama umur perusahaan berdiri maka investor akan semakin percaya terhadap perusahaan tersebut karena telah memiliki pengalaman bisnis. Penelitian yang dilakukan Arman (2012) dan Martani (2003) menemukan bahwa semakin lama perusahaan 31 berdiri maka tingkat underpricing cenderung lebih rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H5: 2.2.6 Umur perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing Pengaruh Jenis Industri terhadap Underpricing saat Initial Public Offering (IPO) Alli et al. (1994) dalam Alteza (2010) mengemukakan salah satu hipotesis asimetri informasi regulation hypothesis yang menjelaskan bahwa pemerintah umumnya menetapkan peraturan yang lebih spesifik dan pengawasan yang lebih ketat pada sekelompok perusahaan tertentu di suatu negara. Perusahaan yang memperoleh pengawasan yang lebih ketat (regulated firms) dalam hal ini perusahaan keuangan cenderung memiliki tingkat underpricing yang lebih rendah dibandingkan non-regulated firms (perusahaan non-keuangan). Hidhayanto (2004) dan Ruslim dkk (2010) berhasil membuktikan adanya perbedaan underpricing pada kelompok industri keuangan dan non-keuangan. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H6: Jenis industri keuangan berpengaruh negatif terhadap underpricing. 32