ABSTRAKSI Penelitian ini beranjak dari fenomena tentang komunikasi antarbudaya di era globalisasi saat ini. Paling tidak ada dua persoalan tentang globalisasi yang diangkat dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya. Pertama, kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang telah mengakibatkan meningkatnya peluang interaksi antar suatu individu atau kelompok budaya yang berbeda. Kedua, kecenderungan umum di tengah-tengah kehidupan kelompokkelompok budaya lokal dewasa ini yang menganggap budaya global sebagai ancaman terhadap masa depan budaya-budaya lokal. Akan tetapi kesadaran terancam tersebut justru telah melahirkan suatu kondisi dimana budaya menjadi semacam kontainer tertutup sebagai sekat-sekat komunikasi antara suatu individu atau kelompok budaya yang satu dengan yang lainnya. Asumsi teoritis yang pertama kali dirujuk berkaitan dengan dua persoalan di atas adalah pendapat sejumlah terotisi yang mengungkapkan bahwa inti dari komunikasi adalah persepsi. Melalui persepsi setiap komunikan memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan setiap pesan, dan proses tersebut mempengaruhi setiap prilaku komunikasi yang dilakukan. Oleh karena itu, tidak heran jika Guo Ming Chen dan William J. Starosta mengungkapkan bahwa dua aspek fundamen komunikasi antarbudaya adalah ‘kesadaran-diri’ dan ‘kesadaran kultural’. Kedua aspek psikologis diatas kemudian digunakan sebagai konsep penelitian untuk ‘memahami’ (verstehen) teks surat al-Hujuraat ayat 13. Al-Quran sebagai objek penelitian didasarkan pada keyakinan teologis bahwa Al-Quran merupakan petunjuk final bagi manusia dalam menjalankan hidup kesehariannya. Sementara pemilihan ayat didasarkan pada pendapat sejumlah ulama mufassir. Menggunakan pendekatan hermeneutik, teks tersebut dikaji melalui tiga poin analisis atau dinamakan dengan ‘struktur triadik’, yakni: antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Tentu saja hasil dari penelitian ini tidak memposisikan dirinya sebagai pemahaman komprehensif terhadap kandungan surat al-Hujuraat ayat 13. Melainkan semata-mata hanya merupakan produk interpretasi imanen yang tidak mungkin lepas dari subjektivitas penafsir, yang tentu saja selalu merujuk dirinya pada keyakinan wallahu a’lam bishawab.