Kritik Realisme Spekulatif Terhadap Penggunaan Teknologi Di Era Kontemporer Mahasiswa: Arief Rachman Pembimbing: Rocky Gerung Program Studi Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ABSTRAK Nama : Arief Rachman Program Studi : Ilmu Filsafat Judul : Kritik Realisme Spekulatif Terhadap Penggunaan Teknologi Di Era Kontemporer Skripsi ini merupakan upaya penyingkapan permasalahan yang terjadi di dunia terkait penggunaan teknologi di era kontemporer sekaligus kritik terhadap penggunaan teknologi yang dilakukan. Kehidupan manusia tentunya tidak terlepas dari peredaran dan pengaruh teknologi. Teknologi di era kontemporer menunjukkan wujudnya yang lain dengan menjadi nature dalam kehidupan manusia. Nature tersebut bermanifestasi menjadi sebuah sistem sosial dimana manusia hidup dan berkembang. Proses kehidupan inilah yang menjadi persoalan ketika manusia tidak dapat lepas dari teknologi karena berada dalam jaringan yang tercipta. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya keadaan ini adalah karakter dari teknologi, yakni, otomatisme, totalisasi, kesatuan, dan universalitas, dan karakter tersebut tidak disadari oleh manusia dengan menganggap teknologi hanya sekedar alat (korelasinisme), tidak memiliki being, sehingga menciptakan berbagai fenomena seperti, ekosistem digital, komputasi sosial yang berujung pada dinamika kemanusiaan. Berdasarkan hal tersebut, penulis berupaya menganalisis faktor substantif dari teknologi dan sudut pandang yang digunakan manusia dalam melihat teknologi. Melalui analisis tersebut, penulis bertujuan untuk menghindari degradasi rasionalitas pada manusia akibat pengaruh penggunaan teknologi dan sudut pandang yang digunakan. Bahwasanya, sebagai jawaban dari persoalan tersebut manusia perlu menggunakan sudut pandang baru dalam menggunakan teknologi, yakni sudut pandang Realisme Spekulatif. Kata Kunci; Korelasionisme, Teknologi, Realisme Spekulatif. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 ABSTRACT Name : Arief Rachman Study Program : Philosophy Title : Speculative Realism Critique Towards The Use of Technology In Contemporary Era This thesis is an effort to disclosure issues raised in the world related to the use of technology in the contemporary era as well as criticism of its use. Human life must not be separated from the circulation and influence of technology. Technology in the contemporary era showed his form to another by being in the nature of human life. This Nature is manifest as a social system in which people live and thrive. Process of life that is the problem when people can not be separated from the technology because it is in the network are created. Factors that contribute to this situation is the character of technology, namely, automatism, totalization, unity, and universality, and these characters are not recognized by humans with regard technology just a tool (Correlationism), does not have being, thus creating a variety of phenomena such as , digital ecosystem, social computation in the dynamics that led to humanity. Based on this, the author attempts to analyze the factors of substantive technological and human point of view used in viewing technology. Through this analysis, the author aims to avoid degradation due to the influence of human rationality in the use of technology and use points of view. Behold, as the answer to the problems of human need to use a new perspective in the use of technology, namely Speculative Realism. Key Words; Correlationism, Speculative Realism, Technology. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 A. PENDAHULUAN Kehadiran teknologi dalam kehidupan manusia memiliki pemaknaan yang bermacammacam sesuai dengan kultur budaya tertentu. Hakikat awal dari penggunaan teknologi berawal dari usaha manusia untuk mengatasi dan mengungkap misteri alam. Dalam istilah filsafat, teknologi berasal dari kata techne1 yang terkait dengan poiesis2. Heidegger mengungkap hal ini dalam bukunya The Question Concerning Technology (1977). Techne dapat dijelaskan sebagai kemampuan atau keahlian untuk menciptakan atau mentransfomasikan objek, sedangkan poiesis adalah sebuah penyingkapan, yang bersamanya sesuatu yang baru muncul di muka bumi. Hakikat teknologi adalah bukan sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing3; membuat, mencipta atau mentransformasikan (yang kemudian mengungkapkan sesuatu yang baru). Perihal teknologis kemudian dimengerti bukan semata-mata yang teknis tetapi juga yang reflektif filosofis. Berkaitan dengan hal diatas, salah satu hakikat teknologi yang perlu digaris bawahi adalah proses transformasi. Transformasi disini secara hermeneutis dipahami sebagai proses mengubah sebuah objek menjadi objek baru yang memiliki nilai tertentu. Di masa kontemporer ini terjadi sebuah gejolak perubahan yang unik ketika teknologi tidak lagi mendasarkan dirinya hanya pada proses penciptaan sesuatu yang bersifat mekanistik. Namun, juga sesuatu yang konseptual bila kita melihatnya dalam tataran nilai etis, yakni ideologi mengenai teknologi yang didasarkan pada efisiensi, asas manfaat dan keutamaan produktifitas berbenturan dengan pembenaran tindakan aborsi dan kloning manusia. Problematika yang kini terangkat di era modern terkait kemajuan teknologi diantaranya adalah persinggungan antara unsur mekanistik dan nilai-nilai kemanusiaan. Seperti yang kita tahu bahwa persoalan interaksi antara teknologi dan manusia sesungguhnya telah terjadi jauh sebelum kemajuan teknologi yang kita alami sekarang. Dalam pola yang lebih sederhana, permasalahan teknologi terkait dengan dialektika antara alat dan manusia, ciptaan dengan penciptanya. Fenomena tersebut secara khusus terjadi saat perubahan cara pandang manusia terhadap teknologi. 1 techne is the name not only for the activities and skills of the craftsman, but also for the arts of the mind and the fine arts. ‘Techne belongs to bringing-forth, to poiesis’ (Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology, 1977:13). 2 Poiesis is "Every occasion for whatever passes over and goes forward into presencing from that which is not presencing. Ibid. 1977:10 3 Enframing means that way of revealing which holds sway in the essence of modern technology and which is itself nothing technological. Ibid. 1977:20 Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 Sebelumnya, dalam melihat teknologi manusia terbagi pada dua paradigma, yakni instrumentalis dan substantifis.4 Para instrumentalis seperti Don Ihde melihat teknologi sebagai sebuah objek yang diciptakan manusia sebagai upayanya untuk mengatasi faktisitasnya terhadap alam. Pandangan ini terfokus pada peranan teknologi pada fungsi dan manfaat yang dihasilkan. Sedangkan, para substantifis seperti Jacques Ellul dan John Paul Russo menilai bahwa teknologi tidak dapat kita lihat terbatas pada asumsi mengenai single machine/tools.5 Teknologi yang kita alami sesungguhnya merupakan sebuah sistem yang tercipta dari susunan objek-objek terkait dengan beingnya yang berkorelasi. Berdasarkan realita tersebut, di era modern saat teknologi telah melampaui berbagai prediksi manusia terhadapnya, manifestasi teknologi menjadi lebih dominan saat ia berevolusi menjadi sebuah institusi sosial dan memproduksi nilai-nilai pada wilayah publik. Institusi ini kemudian menciptakan sebuah kognitif sosial yang berkembang dan sebagai dampaknya menjadi sebuah social process. Hal ini kemudian mempengaruhi kehidupan manusia secara menyeluruh secara individual maupun kolektif. Pada tataran individu dampak signifikan terjadi pada wilayah kognitif serta kejiwaan. Dampak kognitif terefleksi pada pola serta corak pikiran yang cenderung terorientasi pada peran fungsi, manfaat, serta hasil. Pada bagian kejiwaan kita dapat melihat pada mentalitas dan perilaku. Problem yang menarik adalah ketika dampak-dampak yang terjadi pada individu terangkat menjadi cerminan masyarakat. Hal tersebut juga menjadi fokus pada perkembangan teknologi saat ini karena ia telah menjadi sebuah fenomena sosial yang tidak hanya berpengaruh pada wilayah regional tertentu namun juga melintas batas secara global. Keadaan borderless dalam fenomena globalisasi akibat peranan teknologi ini memudahkan persebaran nilai serta ideologi, khususnya nilai dan ideologi teknologi itu sendiri. Implikasinya, dalam masyarakat teknologis manusia mengalami goncangan eksistensi serta upaya penguasaan terhadap dirinya. Nilai dan ideologi yang diproduksi menjadi sebuah determinasi baru pada kehidupan manusia. Secara perlahan nilai-nilai tersebut lebih dominan pada masyarakat, juga ideologi yang secara signifikan mengubah pola pikir manusia dalam lingkup besar. Seperti yang bisa kita lihat pada realita yang kita alami sekarang, determinasi teknologi terjadi dan berlangsung begitu kuat. Dominasi teknologi pada sektor-sektor sentral seperti politik, sosial-budaya dan ekonomi tidak bisa kita hindari dan membuat kita terpaksa mengikutinya. Pertumbuhan sosial di 4 5 Russo, John Paul. The Future without Past, The Humanities in Technological Society (2005:27) Ibid. hlm.24 Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 internet begitu sangat pesat, bila kita menghitung bagaimana populasi manusia di dunia virtual, angkanya kini telah setara dengan posisi ketiga negara dengan jumlah penduduk terbanyak didunia. Fakta tersebut mengatakan bahwa simulasi realita yang diciptakan teknologi mendapat perhatian yang cukup besar dari umat manusia. Kehidupan keseharian seseorang dalam 24 jam tidak terlepas dengan perangkat-perangkat teknologi yang memberikan beragam fungsi dan manfaat. Sistem pola pikir kita pada akhirnya terbiasa dengan cepatnya lalu-lintas informasi, berita, gaya hidup, budaya dan sebagainya. Keterbiasaan tersebut diucapkan pada kenyataan bahwa kita membutuhkan teknologi pada segala aspek. Variabel antara permintaan dan persediaan pada relasi tersebut berjalan secara mutual dan saling menguntungkan. Pada teknologi, nilai yang ia produksi digemari secara besar-besaran dan terus mendapatkan peluang untuk berkembang. Pada manusia, kesulitan yang ia hadapi di dunia menjadi tidak begitu berarti secara teknis ketika permasalahan yang mengaral mampu di selesaikan oleh teknologi. Dan yang menjadi persoalan khusus adalah kondisi masa depan manusia yang diproyeksikan oleh teknologi. Hal ini merupakan dampak sistemik dari realita sosial yang telah tercampur dengan teknologisasi yang terjadi. Ketika setiap unsur sosial secara individu dan kolektif dapat dijelaskan melalui pandangan teknologis. Sehingga, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan yang muncul tentang manusia, semuanya akan berakhir pada tujuan dengan orientasi teknis yakni, manfaat serta fungsi mekanis. Dan kondisi tersebut sesungguhnya hanya kesadaran yang tercipta akibat keterbiasaan kita dengan perubahan yang cepat, mekanisme yang memberikan efisiensi, manfaat dalam jumlah besar. Sehingga dari relasi tersebut kita mendapatkan kenyamanan sehingga menumpulkan perhatian kita pada nilai-nilai dasar, arti, dan hakikat dari menjadi manusia. Kita melupakan banyak hal terkait dengan masa lalu kita, seakan-akan kita pun tidak memiliki masa lalu akibat pandangan linear tentang kehidupan yang selalu tertuntut pada inovasi dan revisi kehidupan. Akibatnya kita melupakan esensi-esensi yang terkandung pada setiap hal, objek, peristiwa ataupun ketajaman pikiran kita dalam melihat sesuatu. Lalu, fenomena teknologi diatas muncul beberapa pertanyaan yang kemudian akan dipaparkan dalam rumusan masalah dibawah ini. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 1.1. Rumusan Masalah Dalam rumusan masalah ini saya memulai dengan beberapa pertanyaan untuk membangun pemahaman dasar kita terhadap sebuah fenomena humanisasi teknologi kreasi manusia yang terjadi, diantaranya adalah; a. Bagaimana pengetahuan terbatas mengenai teknologi diproduksi pada aktivitas manusia di dalam masyarakat teknologis? - Teknologi sebagai sistem sosial menciptakan sebuah masyarakat teknologis. Pada kondisi ini manusia berada pada sebuah sistem yang beroperasi secara mekanis, kausal, dan fungsional. Kondisi yang berlangsung secara simultan ini mereduksi rasionalitas manusia akibat sudut pandang korelasionisme dalam penggunaan teknologi b. Bagaimana proses teknologis menggugat sisi humanitas manusia? - Terancamnya humanitas manusia yang diakibatkan ketergantungan manusia terhadap teknologi yang membuat seseorang menjadi mekanis dari sisi tindakan dan ideologi. c. Bagaimana proses pembalikkan posisi manusia sebagai pencipta teknologi dengan ciptaannya? - Bahwasanya pola penggunaan teknologi di era kontemporer didasari oleh sudut pandang korelasionisme. Sehingga menciptakan kondisi dimana manusia berada pada jaringan teknologi sekaligus tidak kebebasan rasionalitasnya tidak bisa tergapai. - 1.2. Tujuan Penelitian 1. Mencari novelty dari konsep teknologi yang mekanistik 2. Menganalisa dampak kemanusiaan terkait relasi antara manusia dan teknologi. 3. Menganalisa proses transformasi teknologi menjadi sebuah institusi sosial 4. Menganalisa dampak lebih lanjut dari fenomena perubahan ini dari sisi individu maupun dampak sosial dengan melampaui korelasionisme melalui realisme spekulatif. B. LANDASAN TEORI Landasan teori yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah pemikiran Jacques Ellul (1912-1994) seorang filsuf yang membahas persoalan teknologi dengan sangat komprehensif. Pada dwilogi bukunya yakni The Technological Society (1965) dan The Technological System (1980) Ellul memaparkan kedalaman pemikirannya dalam melihat fenomena teknologi dengan penelaahan Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 mengenai redefinisi yang terjadi terhadap teknologi, karakter-karakter dari fenomena dan progress teknologi, serta bagaimana teknologi terbentuk menjadi sebuah sistem sosial. Pemikiran Ellul merupakan fondasi yang masih relevan terhadap penafsiran terhadap fenomena teknologi yang terjadi di era kontemporer. Ellul menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga definisi mengenai teknologi dan satu penafsirannya mengenai kondisi manusia di masa depan, diantaranya adalah Teknologi sebagai sebuah sistem, teknologi sebagai sebuah determining factor, teknologi sebagai sebuah lingkungan, dan keadaan manusia di masa depan dalam lingkup teknologi modern. Ia menjelaskan bahwa teknologi telah telah mendominasi manusia pada berbagai sektor kehidupannya, dengan segala bentuk organisme yang masing-masing berelasi, mustahil untuk manusia untuk mampu hidup tanpa peranan teknologi di sekitarnya. Ellul pun tidak lupa memaparkan berbagai karakter yang terimplan pada teknologi. Pada berbagai konteks yang dibicarakannya, Ellul menyangsikan pendapat-pendapat pemikir pada bidang ini tentang definisi teknologi sebagai sebuah single machine. Ia menolak sekaligus menjelaskan bahwa fenomena teknologi yang terjadi sudah menjadi sebuah manifestasi rangkaian yang saling terhubung antar jaringannya. Persoalan tersebut juga terkait dengan berbagai pandangan tentang teknologi yang terpecah menjadi dua kubu yakni instrumentalis dan juga substantifis; Posisi yang penulis pilih dalam proses penulisan skripsi ini adalah sebagai penentang kognisi masyarakat yang kini telah dominan dalam memahami teknologi. Dengan teori-teori penunjang seperti dari Francis Fukuyama, Steve Fuller, dan John Paul Russo. Penulis menganalisa bahwa problema yang terjadi terkait dengan kehadiran teknologi sepanjang sejarah bersifat sama. Namun, yang membedakan adalah bahwa teknologi di era kontemporer merupakan metamorfosa dari bentuk-bentuk sebelumnya dan kini menjadi lebih kompleks. Penulis melihat bahwa teknologi yang kini berkembang dan berjalan pada jalur competitiveness dengan penciptanya, namun pada prosesnya posisi rasionalitas manusia kini terlampaui dengan esensi mekanisme teknologi. Hal tersebut didukung oleh berbagai sifat yang terberi pada teknologi mengenai adaptabilitasnya dengan lingkungan dimana ia tumbuh. Kemampuan teknologi untuk menerjemahkan keadaan alamiah lingkungan dan manusia. Pada manusia, teknologi berperan pada penciptaan-penciptaan fakta biologis yang serupa dengan manusia. Berdasarkan kondisi yang berkembang dan teori-teori yang ada, penulis memberikan analisa baru dengan dasar realisme spekulatif terhadap penggunaan teknologi yang kini terjadi. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 Melalui realisme spekulatif tersebut penulis berupaya membuka akses terhadap faksialitas pada teknologi. Kemudian dari upaya ini terjadi serta penyingkiran pandangan umum terhadap teknologi dengan intensi bahwa fenomena penggunaan teknologi di era kontemporer hanya terbatas pada sisi instrumentalianya. Karena pada fenomena penggunaan teknologi, penerjemahan yang dibutuhkan adalah dengan melepaskan diri dari subjektivikasi dengan proses negara radikal terhadap teknologi. C. METODE PENELITIAN Melalui buku-buku acuan yang telah ditentukan, penulis memaparkan pengertianpengertian dasar tentang teknologi pada skema dan pandangan substantifis, diantaranya hakikat tentang teknologi, karakter-karakter yang berkembang, transformasi teknologi pada lingkungan manusia, dan berbagai pandangan sebelumnya mengenai posisi manusia di hadapan teknologi. Dalam prosesnya, penulis melihat bahwasanya teknologi kini bukan lagi diartikan sebagai sebuah sistem, namun secara adaptif teknologi menjadi sebuah sistem pada kehidupan sosial manusia. Oleh karenanya, penulis menjadikan tema “teknologi sebagai sebuah sistem sosial” menjadi poin navigasi dan batasan tentang pengembangan skripsi ini. Setelah penelitian mencapai poin tersebut, penulis mengolah ide-ide pikiran di dalamnya dan memparalelkan dengan realita yang terjadi dan menghasilkan beberapa formulasi tentang pengaruh teknologi pada tahapan kesadaran palsu. Kesadaran palsu tersebut diartikan sebagai pengaruh yang bersifat gratuitous effects yang diterima manusia. Sehingga dengan aktivitas simultan pada kehidupan manusia, didukung proses yang sama secara terus-menerus menjadikan pengaruh tersebut sebagai sebuah yang real dalam kehidupan. Implikasi lebih lanjutnya terkait dengan analisa tentang kemanusiaan yang bergantung pada alat. Apakah realita tersebut akan menjadikan prinsip kemanusiaan menjadi konsepsi baru yang menjadi kemanusia-alatan, alat kemanusiaan, atau bahkan kemanusiaan hilang dan diganti dengan konstelasi alat di kehidupan manusia, dimana tidak ada kemanusiaan selain eksistensi alat. Kemudian, penelitian berlanjut pada kritik mengenai penggunaan teknologi di era kontemporer dengan menggunakan pemikiran realisme spekulatif. Bahwasanya terdapat kekeliruan sudut pandangn dalam melihat teknologi yang saat ini digunakan oleh manusia, yakni Korelasionisme. D. PEMBAHASAN Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 Penolakan terhadap korelasionisme pada mulanya terkait dengan kritik Kant kepada aliran metafisika yang ia sebut sebagai sebuah dogmatisme. Sebagai sebuah dogma, metafisika hanya berlandaskan kepada kepercayaan yang menetap pada pikiran manusia. Hal ini disebabkan karena kita tidak bisa memikirkan apa yang tidak berada pada fenomena. Sehingga, hal-hal metafisik seperti noumena tidak dapat dijelaskan, namun hanya sekadar dapat dikatakan ada tanpa pembuktian. Meillassoux, menanggapi hal tersebut sebagai pernyataan yang tidak berdasarkan pada metodologi serta pengujian, namun hanya sebuah pernyataan dengan dasar permainan katakata tanpa negara.6 (Harman, Graham. 2011:9) “When the objection is made to realism that we cannot think the unthought without turning it into a thought, for Meillassoux this is a crushing objection that needs to be craftily addressed by argument, not just an annoying word trick, as many classical realists hold.” (Harman, Graham. 2011:9) Sebagai upayanya dalam meradikalisir pemikiran fenomenologis dengan dasar korelasionisme, Meillassoux menyebutkan bahwa korelasionisme dapat menghasilkan sebuah pengetahuan absolut tentang sebuah objek, bahwa objek adalah independen dari pandangan manusia. “Correlationism can be radicalized from within so as to yield absolute knowledge of things independent from us” (Harman, Graham. 2011:9) Konsepsi mengenai hal ini dilakukan untuk melawan dominasi absolutisasi pikiran yang digagas oleh idealisme jerman. Ia juga menjelaskan bahwa ada sesuatu yang di luar pikiran manusia, dan itu bersifat selalu berubah. Hal ini tentunya merupakan penyangkalan terhadap konsep in-it-self yang membuat eksplorasi manusia terhadap sebuah objek menjadi terbatas dan klaim bahwa kita tidak bisa mengetahui sesuatu yang absolut di luar objek itu sendiri. “There is always something outside human thought, and this thought is purely contingent.” (Harman, Graham. 2011:9). Konsep realisme spekulatif pada akhirnya disimpulkan sebagai upaya untuk menghindari jebakan korelasionisme yang membatasi pikiran serta pandangan kita terhadap sebuah objek yang berdasarkan pada pengalaman dan juga intensionalitas fenomenologis. Keterbatasan manusia ini ditandai dengan paradigma struktur pikiran dan bahasa yang melihat objek secara “in-it-self” dan berujung pada keyakinan “for-me”. “I cannot know the in-itself without converting it into a forme.” (Meillassoux, Quentin. 2008:92) Seperti dicontohkan bahwa penjelasan kita terhadap sebuah objek hanya merupakan terjemahan kita atas apa yang ditampilkan, namun sesungguhnya kita tidak benar-benar mengetahui esensinya. Dalam menghindari kerangka korelasionisme ini, realisme 6 Harman, Graham. 2011: Quentin Meillassoux, Philosophy in the Making. Edinburgh University Press Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 spekulatif menggunakan konsep ‘factial’7 (Meillassoux, Quentin. 2008:129) dalam eksplorasi dan identifikasi sebuah “factiality”. (Meillassoux, Quentin. 2008:129) Sebagai analisisnya, Meillassoux menjadikan eksplorasi terhadap “factiality” sebagai tujuan filosofisnya. Yakni dengan menyebutkan bahwa kondisi dari “factiality” merupakan sebuah figur yang justru dibutuhkan dalam menjelaskan objek, daripada hanya menganggap bahwa “factiality” hanya sesuatu yang diterima begitu saja. “The analysis of the conditions of factiality now becomes the explicit goal of philosophical enterprise: the discovery of what he calls ‘figures’, or necessary features of factiality.” (Harman, Graham. 2011:30) Terkait dengan fakta bahwa setiap pernyataan matematis dapat diabsolutisasi, unsur matematis dalam “factiality” pun dapat diurai dan menjadi ruang spekulasi mengenai sebuah objek yang mengeluarkan kaidah-kaidah metafisika secara keseluruhan. ‘The factial is defined as the very arena for a speculation that excludes all metaphysics’ 8(Meillassoux, Quentin. 2008:128) Objektifikasi Realita Teknologi Pembahasan selanjutnya adalah tentang proses realita yang hanya dipandang sebagai sebuah objek dari sudut pandang manusia. Hal ini terkait dengan konsep manusia yang menjadi tolak ukur segala hal di dunia. Bahwasanya seperti dalam sudut pandang fenomenologis. Diantaranya adalah, konsep intensionalitas Husserl yang menjadikan realita sebagai terjemahan pikiran manusia karena adanya intensi yang mendasari. Akibatnya, atas dasar perpaduan dua pikiran ini (fenomenologis dan konsep presence-athand), realita hanya dilihat terbatas secara inderawi. “Dasein reverses into something vorhanden, which is precisely why it has been defined throughout history by all manner of present-at-hand properties-.” (Harman. 2002:37) Kemudian, keterkaitannya dengan dominasi alat dalam kehidupan manusia, realita dimaknai sebagai entitas yang aplikatif berdasarkan konsep alat. “The famous description of the tool turns out to be applicable to all entities.” (Harman. 2002:36 ) Realita yang dipandang sebagai sesuatu yang inderawi mempengaruhi pola pikir kita dalam memperoleh sebuah pengetahuan. Hal ini didukung oleh keinginan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat objektif. Namun, keinginan tersebut justru 7 8 Factial merupakan ruang spekulasi yang melihat dan mengidentifikasi kondisi dari “factiality” factial didefinisikan sebagai ruang untuk spekulasi yang mengeluarkan semua metafisika. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 mengurung realitas kepada penilaian yang bersifat tetap. Kondisi ini yang melatarbelakangi bagaimana seseorang menetapkan kategori-kategori yang bersifat kaku dalam memindai fenomena. Hal tersebut yang kemudian menciptakan pola pikir sederhana dalam menerangkan realita teknologi. Berdasarkan penjelasan tersebut, manusia sesungguhnya terjebak pada kesederhanaan pola pikirnya sendiri karena apa yang ia jelaskan pada satu momen bisa menjadi tidak valid pada momen berikutnya ketika realita yang di hadapannya berubah. Khususnya pada fenomena penggunaan teknologi, objek teknologi berada pada finalitasnya ketika ia digunakan. Konsep ini kemudian disetarakan pada realita yang dilihat sebagai entitas yang sama dengan sebuah alat. Namun, yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa realita tersebut hanya merupakan duplikasi dari sifat-sifat alat. Pada konteks ini, realita dengan keragaman posibilitas perubahannya “dilucuti” oleh struktur pikiran manusia. “The point is not that everything can be "used" in some way, but rather that all entities are saddled with the duplicitous character of tool- being.” (Harman. 2002:36)9 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, realita dalam pembahasan ini dipandang melalui sudut pandang korelasionis. Korelasionisme melihat realita sebagai objek yang memiliki being dan terjadi di dunia, namun terbatas apa yang ditampilkan ke hadapannya. Hal ini merupakan sudut pandang yang serupa dengan pemaknaan alat dalam konsep presence-at-hand. Sehingga pada proses manusia dalam menerjemahkan realita cenderung menyingkirkan esensi dan kedalaman makna yang dapat ditemukan dengan hanya melihat kualitas eksternal (hal-hal yang hanya dapat digapai inderawi). Hal tersebut khususnya terkait dengan persoalan korespondensi yang selalu diutamakan dalam proses menggali informasi mengenai objek, sehingga hal-hal yang tidak menimbulkan persepsi inderawi tidak tercermati. “All entities whose being 'in' one another can thus be described have the same kind of being-that of being-present-at-hand-as things occurring 'within' the world.” “We are often perfectly justified in describing it by external qualities rather than trying heroically to refer to the elusive depths of its being.” (Heidegger, Martin. On Harman. 2002: 37,38) Pada pembahasan di atas kita dapat mengetahui bahwa dominasi alat dalam konsep presence-at-hand membuat manusia mengintegrasikan segala entitas di sekitarnya, bahkan realita yang terjadi di hadapannya. Berdasarkan hal tersebut kita dapat menyimpulkan 9 Ibid. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 bahwa objektifikasi realita merupakan akibat dari sentralisasi manusia sebagai tolak ukur segalanya tanpa mencermati esensi dari realita yang terjadi di sekitarnya. Hal ini kemudian menghadirkan bahwa adanya permasalahan terkait prinsip human-centered yang selalu diedarkan dalam pola pikir kita. Untuk itu kita perlu melihat konsekuensi lebih lanjut dari pembahasan di atas yang akan diterangkan pada bab berikutnya. 4.1.3 Independensi Teknologi di Dunia Pada bagian ini akan diperlihatkan bagaimana sesungguhnya manusia dalam kehidupannya sesungguhnya tidak sendirian. Hal ini didukung oleh realita teknologi yang memiliki independensi dengan sifat otonom yang dibangun oleh relasi dengan objek-objek dalam sebuah jaringan. Pembahasan ini merupakan formulasi keterkaitan antara analisis konsekuensi sentralisasi manusia di dunia dengan konstruksi realita yang dibangun oleh teknologi. Persoalan konstruksi realita objek didasari oleh pemikiran Bruno Latour pada bukunya We have never been Modern (1993) dan kajian mengenai Latour oleh Graham Harman dalam buku Prince of Networks (2009). Konsep realita teknologi sebagai objek di hadapan manusia perlu dipisahkan dari struktur pikiran manusia. Hal ini diperlukan untuk netralitas informasi diluar pengaruh konstruksi pikiran. Berdasarkan pernyataan tersebut, pemahaman terhadap realita teknologi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai sebuah relasi antara subjek dengan objek, namun juga objek dan objek lainnya turut berkontribusi dalam membangun pemahaman pikiran. Prinsip tersebut menghasilkan pemahaman yang tidak melihat realita teknologi hanya dibangun oleh objek tunggal, tetapi juga terdapat multiplikasi objek yang mendasarinya. Selain itu, prinsip ini berupaya untuk menghindari sentralisasi peran dalam produksi pengetahuan, yakni hanya pada akses manusia saja. Hal ini dikarenakan objek pun dipandang memiliki esensi dalam mengkonstruksi pikiran manusia. “There is the insistence in Irreductions (his key philosophical work) that interpretation occurs not just between humans and objects, but also between objects and objects. Second, there is the fact that actors for Latour are not reducible to our current human access to them: actors resist, after all. They do not always do what we ask of them, and this implies that they have some degree of autonomy from us.(Harman. 2009:158)”10 10 Harman, Graham. Prince of Networks 2009. Re-Press. Melbourne Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 Analisis Harman terkait independensi objek di luar pikiran manusia dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa peredaran pemikiran modern dalam menganalisa realita yang dibangun objek hanyalah melihat pada sisi artificial, tanpa melihat substansi yang berada di baliknya. Hal tersebut berdampak pada konstruksi jaringan yang dibangun oleh objek memasuki pikiran manusia tanpa disadari. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa jaringan yang terbangun dikomposisi oleh kualitas objek, bukan dari proses eksekusi yang dilakukan manusia terhadap objek tersebut. “The modernist tries to purify objects by assigning them solely to one side or the other of this artificial divide, denying the existence of anything lying in the middle.” (Harman. 2009:31)11 Hal ini mengindikasikan bahwa, pemahaman terhadap sebuah objek berdasarkan sudut pandang korelasionisme lemah tidak mampu melampaui apa yang berada di balik sebuah realita. Manifestasi pemikiran tentang realitas yang selalu berubah justru terlihat pada wilayah sains dan teknologi. Sains dan teknologi melihat bahwa realitas merupakan susunan objek yang terus-menerus mengalami kebaruan dengan pendasaran konsep perubahan. Pada konteks ini, sains dan teknologi lebih relevan dalam mengartikulasikan realita dibanding filsafat yang hanya membawa problem tersebut kepada wilayah diskursus. “Science studies have forced everyone to rethink a new the role of objects in the construction of collectives, thus challenging philosophy” (Latour. 1993:55)12 Persoalan lainnya adalah pola penggunaan objek yang rentan dihadapkan pada efek ilusif dari sebuah alat. Efek ilusif ini terlihat pada keadaan dimana manusia terbuai dengan fungsi serta efisiensi yang dihasilkan. Dalam menghadapi efek ini, manusia tidak menyadari bahwa efek yang ditimbulkan merupakan komposisi dari berbagai objek yang terhubung satu-sama lain. Efek ilusif ini dijelaskan Latour pada istilah quasi-objects. Quasi-objects diartikan sebagai ambiguitas pemaknaan yang selalu berubah-ubah tanpa pernah diradikalisasi pada konteks being. To follow a quasi-object is to trace a network (Latour. 1993:89)13 “Hybrids cannot be grasped either by scientific realists, the power-gamers of sociology, or deconstructionists, because ‘as soon as we are on the trail of some quasi-object, it appears to us 11 Ibid. Latour, Bruno. We Have Never Been Modern 1993. Cambridge, Harvard University Press. 13 Ibid. 12 Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 sometimes as a thing, sometimes as a narrative, sometimes as a social bond, without ever being reduced to a mere being” (Latour. 1993:89). Berdasarkan hal tersebut, pemaknaan teknologi hanya sebagai sebuah alat dalam konteks present-at-hand perlu ditinggalkan. Bahwasanya kita perlu melihat penggunaan (alat) teknologi sebagai sebuah event, dalam arti lain, sesuatu yang nyata di dunia sebagai sebuah aktifitas. Aktifitas ini tidak diartikan sebagai pemisahan antara subjek dengan objek. Namun, relasi antara keduanya yang saling mempengaruhi. Hal ini dilakukan untuk menghindari efek ilusif yang diterima subjek, dan menjadikan subjek berada dalam jaringan objek tersebut. “That entities are events, inconceivable in isolation from networks” (Latour. 1993:81) “We have nothing but our turbulent of world of quasi-objects, which also means quasi-subjects.” (Latour. 1993:139) Kajian ini menegaskan bahwa tradisi filsafat barat yang digagaskan oleh Kant, Heidegger mengenai sudut pandang fenomenologi menyisakan banyak pertanyaan tentang peran teknologi di alam kehidupan manusia. Hal ini merupakan akibat pandangan yang mereduksi kehadiran teknologi hanya sebatas pengalaman faktual. Khususnya Heidegger yang dianggap Latour hanya mereduksi realita ke dalam istilah ontic dengan. Pemikiran inilah yang dilihat sebagai penghambat perkembangan pemikiran terhadap konteks perubahan peradaban. Pola pemikiran yang ditawarkan oleh Harman dan Latour tidak lain adalah dengan mengangkat kembali konsep metafisik yang sejak dulu ditinggalkan. Bahwasanya sebelum konsep object-oriented-philosophy bergema dalam diskursus filsafat, permasalahan metafisik objek telah lama ditinggalkan karena dianggap membawa manusia kepada dogmatisme. Namun, kondisi tersebut kini dibalikkan dengan argumen bahwa sudut pandang fenomenologis Kant dan Heidegger yang justru mereduksi potensi realitas ke dalam struktur pikiran manusia. Dalam, arti lain struktur pikiran manusia tidak menyediakan mediasi antara potensi objek yang memiliki keterhubungan dengan objek lainnya dalam sebuah jaringan. Hal tersebut mengembalikan penerjemahan realita hanya bergantung kepada keterbatasan pikiran manusia. “As for Heidegger, though he never reduces entities to their presencein consciousness, he still belittles specific objects as merely ‘ontic’ and draws the conclusion that ontology is commanded to deal with being itself and not specific entities. It should be obvious enough why Latour is no Heideggerian. For Latour, philosophy plays Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 out amidst microbes, tape recorders, windmills, apples, and any real or unreal actors that one might imagine.”(Harman. 2009:221)14 Penegasan tersebut memberikan babak baru pada pemikiran filsafat, khususnya sebagai kelahiran kembali konsep metafisik objek dengan berbagai penguatan di setiap lininya. Ketika kita melihat realita teknologi sebagai potensi yang terus berubah membuat pemikiran mengarah kepada pemahaman yang terus berkembang. Hal ini penting untuk menghindari sirkularitas dalam proses perolehan pengetahuan oleh pikiran. Sirkularitas ini merupakan implikasi dari tindakan kita yang selalu mengembalikan pandangan terhadap realita sebagai objektifikasi dangkal. Akibatnya, pemahaman terhadap realita tidak pernah diupayakan untuk keluar dari keterbatasan pikiran manusia. Bahwasanya keterbatasan tersebut yang tidak disadari oleh manusia namun justru lebih diyakini sebagai kebenaran absolut mengenai realita. Untuk itu, berdasarkan pemaparan yang telah dilakukan adalah dengan membuka akses kepada realita teknologi tanpa mengisolasinya ke dalam pikiran manusia. “In Heideggerian terms, objects enter relations but withdraw from them as well; objects are built of components, but exceed those components. Things exist not in relation, but in a strange sort of vacuum from which they only partly emerge into relation. Objects are purely actual, not potential.”(Harman. 2009:132)15 Pembahasan pada bab ini secara umum merupakan penegasan analisis konsekuensi pemahaman realita/objek secara present-at-hand. Bahwasanya teknologi tidak seharusnya dimaknai sebagai sesuatu yang tunggal. Kala teknologi dilihat sebagai sesuatu yang tunggal, kita hanya “menenggelamkan” diri pada efek ilusif yang dihasilkan. Efek ilusif ini yang sesungguhnya perlu ditelusuri melalui jaringan objek-objek yang menjadi komponennya. Sehingga, setiap efek yang kita terima dapat kita pahami lebih mendalam. Pemahaman ini juga membuat kita bisa mensimulasikan peta perubahan yang telah terjadi sekaligus memprediksi perubahan tersebut akan mengarah kemana, -melalui deduksi, logika, dan probabilitas- pada realisme spekulatif. Berdasarkan pembahasan di atas, realisme spekulatif membuktikan berdasarkan kerangka pikirnya, bahwasanya pandangan korelasionis hanya mereduksi kemampuan pikiran manusia dalam melihat realita teknologi yang berakibat pada redefinisi kemanusiaan. Pemahaman ini seharusnya membuat kita berpikir kembali mengenai cara pandang kita terhadap sebuah fenomena, khususnya fenomena perkembangan dan penggunaan teknologi. Berdasarkan hal ini, kita perlu untuk melepaskan diri dari sudut pandang yang hanya melihat teknologi sebagai alat yang memiliki 14 15 Ibid. Ibid. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 fungsi untuk menjembatani keinginan kita untuk melampaui faktisitas. Karena tanpa kita sadari, teknologi memiliki unsur yang terlepas dari apa yang terlihat saja, seperti fungsi dan nilai efisiensi. Kala manusia hanya melihat teknologi dalam sudut pandang tersebut, ia tidak sadar bahwa teknologi telah menciptakan sebuah sistem dalam sistem kehidupan manusia. Sehingga pada akhirnya sistem tersebut yang kini menjadi dominan pada setiap sektor kehidupan. Kepentingan penerapan pemikiran realisme spekulatif pada sudut pandang manusia terhadap penggunaan teknologi adalah untuk mengungkap unsur metafisik dari sebuah objek teknologi. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang melampaui apa yang terlihat, karena pola pikir idealisme Jerman sudah tidak memadai untuk dijadikan pendasaran sudut pandang terhadap realita di era kontemporer yang bersifat dinamis. Bahwasanya teknologi telah menciptakan sebuah sistem besar pada kehidupan manusia dan kita hanya hidup untuk menjalankan sistem tersebut. Korelasionisme ? Subjek Teknologi ? Pengetahuan ? Pengetahuan Realisme Spekulatif Subjek Teknologi Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 ! ! ! ! ! ! ! ! ! E. Kesimpulan dan Saran Revolusi perkembangan teknologi dalam satu dasawarsa terakhir memberikan dampak yang begitu signifikan terhadap kehidupan manusia. Hal tersebut ditandai dengan pengaruh menyeluruh kepada entitas yang membangun sisi kemanusiaan, termasuk kultur, organisme, mentalitas, tindakan dan juga cara bagaimana manusia berpikir. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Heidegger bahwasanya teknologi merupakan proses mencipta dan transformasi objek16. Senada dengan pernyataan tersebut, kreasi teknis dalam perkembangannya membangun relasi bersama sisi kemanusiaan untuk mengatasi kekosongan mengenai ekstensifikasi tubuh dalam rangka membantu survivalitas dalam kehidupannya. Konsep teknologis yang secara alamiah bersifat inheren dalam diri manusia memunculkan relasi interdisciplinary antara yang elemen yang natural dan bersifat teknis. Hal ini kemudian ditegaskan dengan interaksi yang terjadi antara naturalitas dan teknis mengalami evolusi secara bersamaan. Berkaitan dengan hal tersebut, rekombinasi prinsip-prinsip tersebut menciptakaan ontologi baru yang menjadi jawaban bahwa kemunculan gejolak dua peran antara naturalitas dan proses teknis dalam diri manusia tidak dapat dielakkan. Konflik antara sisi natural dan teknis dalam memunculkan persoalan baru mengenai apa yang sesungguhnya natural dan apakah fenomena ini merupakan pertanda bahwa akan ada kemunculan era baru yang disebut post-natural nature dan post-humanism. (Fukuyama, Francis 2002:7)17 Proses berkelanjutan pada interaksi manusia dan teknologi kemudian menyingkap unsurunsur yang ‘bermain’ dibalik ketidaksadaran18 dalam penggunaan teknologi. Unsur-unsur tersebut diantara lain adalah konsep mengenai meme, artifak, dan juga persoalan genetik. Ketika manusia berada dalam struktur sosial ia tentunya tidak dapat terlepas dari kultur yang berkembang di dalamnya. Dari pernyataan tersebut, kultur yang dibangun ketiga unsur di atas mempersilakan nilai ideologis dari kreasi teknologi untuk dapat merasuk ke dalam kehidupan manusia. Berdasarkan korelasi keduanya, terjadi dialektika kultural yang dilandasi oleh asimilasi nilai kebaruan yang dibawa oleh teknologi dengan nilai tradisional dari manusia. Hal tersebut menjadi celah untuk menjelaskan bagaimana teknologi tumbuh dalam sebuah kultur secara dominan. 16 Ibid. Ibid. 18 Ibid. 17 Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 Penggunaan teknologi yang besar-besaran di sebuah masyarakat pada akhirnya memberikan dampak kognitif dan juga mental. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan penggunaan dengan penguasaan terhadap teknologi itu sendiri. Seperti yang dapat kita lihat pengaruh terhadap gaya hidup yang menjadi dampak nyata akibat dari penggunaan teknologi menjadi bukti konkret bahwa secara langsung teknologi dampak dalam tataran personal. Lebih lanjut lagi untuk dampak yang lebih luas, secara kolektif teknologi membentuk sebuah masyarakat sejalan dengan ideologi yang dibawa teknologi. Hal ini merupakan problem serius bila teknologi yang berjalan dalam sebuah kultur merupakan entitas yang otonom. Otonomi dari teknologi dianggap mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Persoalan ini disebabkan kemampuan replikatif dan adaptif dari teknologi yang mengandung unsur genetis dan ideologis anonim. Permasalah lebih lanjut yakni reifikasi teknologi terkait dengan otonominya yang berimplikasi etis pada kemanusiaan. Sistematika yang ada dalam teknologi seperti basis komputasi dan simulation-based mendikte bagaimana manusia berpikir dan menjalani kehidupan. Manusia yang secara alamiah berpikir dengan pola hermeneutis menjadi lebih pragmatis dan mekanis dalam mengambil tindakan. Sehingga pengaruh lebih lanjut terjadi akibat tindakan seseorang terhadap orang lain. Teknologi yang dianggap memberikan manfaat terhadap kehidupan manusia, melalui jalan pikiran diatas, terjebak pada posisi diharuskan mengambil keputusan etis yang perlu diambil. Namun, drive yang distimulasi akibat keterbiasaan penggunaan teknologi, seseorang akan mengambil keputusan yang efisien dan pragmatis. Apa yang keliru dari dampak yang dihasilkan teknologi terhadap pola berpikir manusia? kekeliruan yang muncul adalah ketika hasrat manusia untuk melampaui kemanusiaannya sendiri. Bahwasanya teknologi yang seharusnya disejajarkan hanya sebatas perangkat untuk memudahkan manusia untuk mengatasi lingkungannya. Kini teknologi yang secara tidak sadar berbalik mengancam martabat manusia. Fenomena tersebut ditandai dengan kemunculan artificial intelligence, cyborg, bioteknologi. Konsekuensi lebih lanjut dari perkembangan teknologi ini disebutkan sebagai akhir dari era manusia yang digantikan dengan teknologi. Konsep teknologi yang bergerak secara kultural kemudian membagi strata sosial dalam masyarakat, seperti halnya dalam Marx, penguasa dan pengguna. Penguasa teknologi yang memiliki modal immaterial (ideologi dan kemampuan teknis) berada dalam tingkatan teratas. Namun yang menarik, pemilik strata tertinggi inilah yang menyuburkan perkembangan teknologi dalam masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan posisinya sebagai agen sosial. Posisi agen sosial ini Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 sesungguhnya tidak serta-merta memberikan kedudukan untuk dapat mengendalikan perkembangan teknologi. Pertimbangannya terjadi, karena teknologi yang membuka ruang sebebas-bebasnya untuk sebuah kebaruan, terus mereplikasi dirinya tanpa terkendali. Refleksi dari perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia pada akhirnya membutuhkan pendalaman secara rasional. Untuk menghindari adanya kesenjangan antara perkembangan genetik dan teknologi yang bersifat kompetitif. Pola pikir manusia yang secara resiprok terkait dengan interaksinya dengan teknologi membutuhkan spektrum baru tentang kemanusiaan. Dan jawaban tentang usaha mempertahankan kemanusiaan pada dasarnya berada pada manusia itu sendiri. Meskipun teknologi dapat meramalkan kondisi manusia dengan memberikan peluang untuk era post-humanism, hal tersebut masih dapat diupayakan berada dalam kendali manusia. Persebaran teknologi di Negara-negara berkembang perlu diimbangi melalui konferensi kemanusiaan, dengan manifestasi sebuah peningkatan kesadaran terhadap penguasaan teknologi secara komprehensif berdasarkan sudut pandang realisme spekulatif. Berdasarkan hal tersebut, realisme spekulatif menyimpulkan bahwa dampak-dampak yang terjadi secara sistemik pada masyarakat teknologis merupakan akibat dari penggunaan sudut pandang korelasionis dalam melihat fenomena teknologi. Hal ini merupakan kenyataan bahwa korelasionisme sudah tidak memadai untuk diterapkan dalam melihat fenomena teknologi yang terus berkembang. Bahwasanya fenomena teknologi kini tidak bisa dilihat hanya sebagai thing initself selayaknya apa yang ditampilkan pada manifestasi objek yang berada pada kondisi stagnan. Terkait dengan hal ini, realisme spekulatif merupakan pemikiran yang mendasarkan dirinya pada keniscayaan perubahan. Konsepsi tersebut yang sesungguhnya dibutuhkan untuk memahami fenomena teknologi yang juga berbasis pada perubahan. Sehingga, Antisipasi yang digalang untuk meminimalisir implikasi etis dari fenomena teknologi adalah diperlukannya sebuah regulasi politis dengan konvensi secara internasional dengan sudut pandang baru, yakni realisme spekulatif. Hal tersebut didukung oleh pola pemikiran yang membutuhkan kerangka konseptual baru yang mampu memahami perkembangan teknologi secara esensial, bukan hanya sekadar visual19. Regulasi internasional ini bisa diterapkan pada konsep pendidikan baru, dengan meliputi kerangka pemikiran realisme spekulatif sebagai unsur pembangunnya. Hal ini dikarenakan bahwa pendidikan sebagai basis pikiran manusia memiliki 19 Ibid. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 peran sentral terhadap sudut pandang manusia. Hal ini diperlukan sebagai langkah perubahan pola pikir dalam memahami realita yang sesungguhnya tidak tetap. • Catatan Kritis Bahwasanya kini Teknologi merupakan sebuah realita yang didalamnya bersemayam esensi perubahan. Sehingga, diperlukan sebuah sudut pandang yang sejalan agar manusia tidak hanya terjebak pada sistem yang dibangunnya. • Teknologi menciptakan jaringan yang menjadi realita kehidupan manusia. Sudut pandang realis melalui fungsi matematis dalam spekulatif menjadi sebuah upaya untuk menghindari hegemoni teknologi dalam kehidupan. Daftar Pustaka Buku Acuan: Ellul, Jacques. The Technological Society. (1904) Alfred A. Knopf, Inc. and Random House, Inc. ____________. The Technological System. (1980) The Continuum Publishing Corporation. New York. Harman, Graham. Quentin Meillassoux, Philosophy in The Making. (2011) Edinburgh University Press ______________. 2009. Prince of Networks, Bruno Latour and Metaphysics. Re-Press. Melbourne Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology and Other Essays. (1977) London-New York. Garland Publishing.Inc. Meillassoux, Quentin. After Finitude, An Essay of The Neccessity of Contingency. (2008) Buku Referensi: Aunger, Robert. Darwinizing Culture, The Status of Memetics as Sciences. (2001) Oxford _____________. The Electric Meme, A New Theory of How We Think. (2002) Free Press Burnham, John C. Accident Prone, A History of Technology, Psychology, and Misfits of The Machine Age. (2009) The University of Chicago Press. Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013 Fuller, Steve. Humanity 2.0, What it means to be Human. Past, Present and Future. (2011) Palgrave Macmillan. ___________, Philosophy, Rhetoric and The End of Knowledge. A New Beginning for Science and Technology Studies: Second Edition. (2003) Lawrence Erlbaum Associates. Olsen, Jan Kyrre Berg. A Companion to Philosophy of Technology. (2009) Black-Willey Latour, Bruno. 1993. We Have Never Been Modern. Cambridge, Harvard University Press. Marcuse, Herbert. One Dimensional Man. (1964) London-New York, Routledge Classic Press Russo, John Paul. The Future Without Past, The Humanities in Technological Society. (2005) University of Missouri Press. Fukuyama, Francis. Our Posthuman Future, Consequences of Biotechnology. (2002) Farrar, Straus, and Giroux Publisher Harman, Graham. Tool-Being, Heidegger Metaphysics of Object. (2002) Open Court. Dusek, Val. Philosophy of Technology, An Introduction (2006) Blackwell Publishing Daftar Jurnal Mackay, Robin. "Editorial Introduction". Collapse 2 2007:3-13 Kritik realisme ..., Arief Rachman, FIB UI, 2013