MEMPELAJARI GEJALA PERUBAHAN IKLIM MELALUI ANALISA DERET WAKTU CURAH HUJAN DI DAERAH TANGKAPAN AIR PROVINSI LAMPUNG Tumiar Katarina Manik Fakultas Pertanian Universitas Lampung [email protected] Abstract One important climate factor for tropical area is rainfall. Changes in rainfall pattern will cause numerous problems especially in agricultural activities and it could also lead to either flood or drought; problems which will not only affect agricultural activities but also socio-economic situation of broad community. Therefore, study of local climate variability focusing on rainfall related to the global warming is important. Time series analysis ( correlogram and periodogram) of daily rainfall was chosen to investigate the phenomena of global warming in local scale. Data (1974-2004) was collected from Sumberjaya, Air Hitam and Fajar Bulan; three stations located inside one of the important watershed in Lampung Province. From the correlogram, in general daily rainfall in this upland and forest area shows independency up to the year of 1990. No seasonal pattern could be an indicator that rains in this area are controlled more by local topography and land cover condition then by larger scale of climate system such as monsoon. After 1990 there were some weak sign of seasonal pattern. This could be interpreted as a sign that larger climate system started influence the local rainfall and as the global warming increases, it could be predicted that local rainfall pattern will be controlled more by the larger climate system. The periodogram shows that rainfall in this area has weak annual periodic. Data from Sumberjaya on 1990-1994 and 1999-2006 showed that annual periodic were getting stronger; a sign that larger climate system started dominating the area. Key words : correlogram, periodogram, rainfall pattern, time series 1. Pendahuluan Curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang penting. Curah hujan sangat penting terutama dalam masyarakat petani karena perubahan curah hujan menjadi lebih basah atau lebih kering mengakibatkan hal yang serius secara sosial maupun ekonomi. Karena itu mempelajari pola curah hujan merupakan hal yang banyak dilakukan dalam kajian perilaku iklim di suatu wilayah khususnya di daerah Tropis (Tourigny and Jones, 2009; Singh and Nanade, 2010). Pemanasan global yang ditandai dengan kenaikan suhu permukaan tanah dan laut secara global dengan berbagai akibatnya telah menjadi topik pembicaraan yang serius di berbagai kalangan dan lapisan. Untuk daerah Tropis, diduga salah satu akibatnya berkaitan dengan pola curah hujan yaitu kacaunya periode musim hujan dan musim kemarau sehingga pola tanam dan estimasi produksi pertanian, serta persediaan pangan, menjadi sulit diprediksi secara baik. Akibat yang lain yang juga berkaitan dengan curah hujan adalah makin sering terjadinya hujan dengan intensitas yang tinggi karena makin banyaknya uap air yang tersedia di atmosfir sehingga peluang terjadinya banjir juga meningkat terutama di daerah lintang tinggi dan daerah Tropis basah sementara di daerah yang sudah kering di Sub-tropis justru semakin kering (Naill and Momani, 2009). Banjir dan kekeringan keduanya mengakibatkan banyak persoalan yang tidak hanya terkait pada pertanian tetapi masyarakat secara luas. Apakah efek dari pemanasan global telah dirasakan secara lokal? mengkaitkan perubahan dalam skala global ke skala lokal bukan hal yang mudah; seringkali hal ini merupakan dugaan saja. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global telah dipelajari sebagian besar melalui model sirkulasi global dan iklim regional (Chou et al., 2006). 172 Tumiar Katarina Manik : Mempelajari Gejala Perubahan Iklim Melalui Analisa Dere Waktu ..... Sebagian dari hasilnya bermanfaat untuk mempelajari iklim lokal seperti curah hujan tahunan dan jalur topan di wilayah monsoon Asia, tetapi model itu kurang dapat secara akurat menangkap pola curah hujan dalam jangka pendek dan dalam skala daerah aliran sungai (DAS). Pertanyaan ini adalah dasar dari studi ini dan curah hujan sebagai unsur iklim yang penting diambil sebagai bahan dari analisa untuk melihat apakah terdapat perubahan dalam polanya dalam rangkaian 30 tahun. Beberapa penelitian berkaitan dengan melihat dampak pemanasan global terhadap keragaman curah hujan lokal telah dilakukan di beberapa tempat, seperti di Mongolia (Sato, Kimura dan Kitoh. 2005) yang menunjukkan penurunan presipitasi di bagian utara Mongolia dan peningkatan di bagian selatan. Sedangkan penelitian di DAS Sungai Tama, Tokyo menunjukkan bahwa resiko terjadinya banjir akan meningkat akibat pemanasan global; karena diperkirakan keluaran air meningkat 10 -26% (Higashi et al., 2005). Analisa deret waktu curah hujan adalah salah satu cara untuk melihat keragaman iklim karena analisa ini memberikan informasi tentang apakah terdapat trend, siklus atau fluktuasi disekitar nilai rata-rata jangka panjang. Analisa deret waktu juga merupakan alat yang penting untuk pemodelan dan prediksi. Analisa keragaman iklim dengan metode analisa deret waktu pada data curah hujan telah banyak dilakukan; seperti keragaman curah hujan jangka panjang di Ethiopia (Osman and Sauerborn, 2002) yang menunjukkan kecenderungan curah hujan menurun selama abad 20. Analisa deret waktu curah hujan juga digunakan di seluruh wilayah India untuk mempelajari perubahan frekuensi dan intensitas curah hujan dalam kurun waktu 50 tahun. Hasilnya menunjukkan terjadi peningkatan baik frekuensi maupun intensitas dari hujan ekstrim di seluruh India (Krishnamurthy, Lall and Kwon, 2009); juga mempelajari perubahan trend curah hujan terhadap nilai rata-ratanya. Di Afrika Barat analisa deret waktu/ analisa spektrum digunakan untuk mempelajari keragaman curah hujan antar musim pada periode 1968-1990; hasilnya menunjukkan terdapat keragaman bulanan (10-25 hari) dan keragaman kuartalan atau 90 harian (Sultan et al., 2008).Analisa deret waktu juga telah dilakukan pada data curah hujan Indonesia (Sipayung dkk., 2003) dan hasilnya menunjukkan bahwa puncak curah hujan Indonesia sebagian besar didominasi oleh annual oscillation dan terdapat juga daerah-daerah yang didominasi oleh semi annual oscillation dan fenomena ENSO. Dalam penelitian ini bagian dari analisa deret waktu yaitu korelogram dan periodogram diaplikasikan pada data curah hujan Sumberjaya, Fajar Bulan dan Air Hitam, Lampung Barat untuk mempelajari keragaman iklim yang terjadi dalam selang waktu 30 tahunan. Lokasi tersebut dipilih karena terletak di salah satu DAS penting di Propinsi Lampung yaitu DAS Way Besai. Pada DAS ini terdapat PLTA Way Besai yang memasok sebagian kebutuhan listrik Propinsi Lampung. Sebagai pembanding dilakukan juga analisa curah hujan Masgar, Tegineneng yang berada di dataran rendah Lampung bagian Tengah. 2. Metodologi 2.1. Data Data yang digunakan adalah data curah hujan harian dari 3 stasiun pengamat hujan di Kabupaten Lampung Barat yang merupakan wilayah daerah tangkapan air Propinsi Lampung yaitu Sumberjaya (1977-2006), Fajar Bulan (1977-1994) dan Air Hitam (1977-1994) ketiganya berada didalam DAS Way Besai. Data curah hujan dan evapotranspirasi juga didapat dari stasiun Klimatologi Pertanian, Masgar, Lampung Tengah (1999-2006). 2.2. Analisa data Data yang tersedia dibagi menjadi periodeperiode dengan selang waktu 5 tahun untuk melihat kemungkinan terdapatnya perubahan pola curah hujan. Analisa deret waktu yang digunakan meliputi: korelogram dan periodogram a. Korelogram Pola musiman dari suatu deret waktu dapat dipelajari menggunakan korelogram. Korelogram memberikan gambaran grafik dari fungsi autokorelasi dengan cara memplot satu seri dari koefisien autokorelasi terhadap ketertinggalan waktu (time lag) yang berurutan. Konsep autokorelasi sama dengan konsep dalam metode analisis regresi biasa antara satu data deret waktu terhadap deret waktu yang sama dengan lag (k). Grafik autokerelasi terhadap lag nya disebut korelogram. rk = ∑ N −K t =1 − − ⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎜ xt − x ⎟⎜ xt + k − x ⎟ ⎝ ⎠⎝ ⎠ N − ⎛ ⎞ ⎜ xt − x ⎟ ∑ ⎠ t −1 ⎝ (1) 173 Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010, hlm. 172 - 181 b. Periodogram Data deret waktu dapat dinyatakan sebagai deret fourier yang merupakan fungsi harmonis sehingga dengan membangun fungsi spektrum kuasanya periodesitas data dapat ditentukan. Fungsi spektrum kuasa atas frekuensinya dinamakan periodogram (Chow et al., 1988) ∆ ⎛⎜ ⎛ n −1 ⎞ ⎡ n −1 ⎤ ⎜ ∑ xt Cos (2πft∆ )⎟ + ⎢ ∑ xt Sin(2πft∆ )⎥ n ⎝⎜ ⎝ t = − n ⎠ ⎣t = − n ⎦ 2 S( f ) = 2 ⎞ ⎟ ⎟ ⎠ (2) 3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Korelogram Korelogram dari Air Hitam (1975-1979; 19831987; 1993-1997), Fajar Bulan (1975-1979; 1983-1987; 1990-1994) dan Sumberjaya (1975-1979; 1983-1987; 1994-1998; 1999-2006) terdapat pada Gambar 1. Secara umum dapat dikatakan bahwa curah hujan harian bersifat bebas terhadap lainnya (independen) karena nilai koefisien korelasinya rendah (r<0.25). Curah hujan akan menunjukkan sifat ketergantungan (dependen) jika data yang dianalisa curah hujan total bulanan. Pemilihan data curah hujan harian dalam analisa ini dimaksudkan untuk mempelajari pola hujan dengan data asal tanpa pengolahan dasar apapun seperti menjadikan nilai rata-rata atau akumulasi, meskipun akan terjadi kemungkinan data tidak akurat oleh karena kondisi di lapang, seperti kondisi penakar hujan dan lingkungan sekitar penakar hujan. Nilai koefisien korelasi yang rendah dan tidak asimtotis menunjukkan bahwa data curah hujan harian untuk lokasi di dataran tinggi bagian ujung dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan ini tidak dapat diduga berdasarkan hari hujan sebelumnya, tidak juga terdapat pola musiman. Hal ini dapat merupakan indikasi bahwa pengaruh topografis/ kondisi lokal lebih menentukan pola curah hujan daerah ini daripada pengaruh sistem iklim dalam skala yang lebih besar seperti monsoon yang biasanya ditunjukkan dengan adanya pola musiman/siklus. Perubahan kecil terlihat pada data dari Air Hitam (1993-1997) yang mulai menunjukkan gejala periodik meskipun masih tidak nyata; Fajar Bulan (1990-1994) menunjukkan gejala periodik yang semakin terlihat dibandingkan Fajar Bulan (1975-1979) dan Sumberjaya (1999-2006) yang sampai time lag 40 menunjukkan pola ketergantungan. Perubahan kecil ini dapat menjadi indikator bahwa sistem iklim skala regional mulai lebih berpengaruh daripada topografi lokal dan kedepan jika pemanasan global mempengaruhi sistem iklim regional maka keragaman curah hujan di daerah sumber air Propinsi Lampung akan mengikuti sistim iklim regional yang menunjukkan gejala periodik. 3.2. Periodogram Periodogram dari lokasi yang sama dan pada periode tahun yang sama terdapat pada Gambar 2. Secara umum frekuensi yang memiliki amplitudo lebih tinggi dibanding lainnya adalah frekuensi ke 5. Dengan rangkaian data 5 tahunan, maka frekuensi ke 5 berarti periode 1 tahunan. Secara umum tergambar bahwa meski terdapat gejala periode tahunan dari data curah hujan harian di DAS Sumberjaya tetapi tidak kuat. Tidak adanya periodik lain dengan dominansi yang kuat dan konsisten kembali menunjukkan pengaruh lokal lebih berperan dalam keragaman curah hujan di wilayah ini dibandingkan pengaruh sistem iklim regional. Sipayung dkk. (2003) mendapatkan bahwa secara umum ada empat pola oskilasi yang mempengaruhi puncak hujan di Indonesia yaitu Semi-Annual Oscillation (SAO), Annual Oscillation (AO), QuasiBiennial Oscillation (QBO) dan El-Nino/Southern Oscillation (ENSO) masing-masing dengan periode 5-7 bulan, 10-14 bulan, 22-32 bulan dan 40-66 bulan. Dengan demikian hanya ada pola oskilasi tahunan di wilayah ini dengan kekuatan yang lemah. Corre logra m AH 83-87 Correlogra m AH 7 5-7 9 0.3 0.25 0.25 0.2 0.2 0.15 0.1 0.1 r r 0.15 0.05 0.05 0 -0.05 1 0 22 43 64 85 106 127 148 169 190 211 232 253 274 295 316 337 358 -0.05 1 22 43 64 85 106 127 148 169 190 211 232 253 274 295 316 337 358 -0.1 -0.1 Tim e lag Tim e lag a b 174 Tumiar Katarina Manik : Mempelajari Gejala Perubahan Iklim Melalui Analisa Dere Waktu ..... C o rre l o g ra m F B 7 5 -7 9 0 .3 0.2 0 .2 5 0.15 0 .2 0.1 0 .1 5 0 .1 0.05 r r Corre lo g ra m AH 93-97 0.25 0 -0.05 1 22 43 64 0 .0 5 0 - 0 .0 5 1 85 106 127 148 169 190 211 232 253 274 295 316 337 358 -0.1 24 47 70 93 - 0 .1 5 T im e lag T im e la g c d C o r r e l o g r a m F B 8 3 -8 7 C o rre lo g ra m F B 90-94 0 .2 5 0.25 0 .2 0.2 0 .1 5 0.15 0.1 r r 0 .1 0 .0 5 1 23 45 67 0.05 0 - 0.05 1 0 - 0 .0 5 89 111 133 155 177 199 221 243 265 287 309 331 353 21 41 61 81 101 121 141 161 181 201 221 241 261 281 301 321 341 361 - 0.1 - 0 .1 - 0.15 T im e la g Tim e la g e f C o r r e l o g r a m S J 7 5 -7 9 C o r r e l o g r a m S J 8 3 -8 7 0 .2 5 0 .2 5 0 .2 0 .2 0 .1 5 0 .1 5 0 .1 r r 0 .1 0 .0 5 0 .0 5 0 - 0 .0 5 116 139 162 185 208 231 254 277 300 323 346 - 0 .1 -0.15 0 1 21 41 61 81 101 121 141 161 181 201 221 241 261 281 301 321 341 361 - 0 .0 5 - 0 .1 1 23 45 67 89 111 133 155 177 199 221 243 265 287 309 331 353 - 0 .1 T im e la g T im e la g g h C o rre l o g ra m S J 9 4 -9 8 C o rre lo g ra m S J 1 9 99 - 2 0 0 6 0 .2 5 0 .2 5 0 .2 0 .2 0 .1 5 0 .1 5 0 .1 r r 0 .1 0 .0 5 0 .0 5 0 - 0 .0 5 0 1 24 47 70 93 116 139 162 185 208 231 254 277 300 323 346 - 0 .1 - 0 .0 5 1 24 47 70 93 116 139 162 185 208 231 254 277 300 323 346 - 0 .1 T im e la g i T im e la g s j Gambar 1. Korelogram curah hujan di tiga lokasi dalam DAS Sumberjaya, Lampung Barat pada periode 5 tahunan selama 20 tahun (a,b,c) Air Hitam (d,e,f) Fajar Bulan. (g,h,i,j) Sumberjaya Perubahan keragaman curah hujan agak terlihat untuk data Sumberjaya; periodik dengan frekuensi tahunan semakin lama semakin menguat. Data 19751979 semua periodik lemah, data 1983-1987 dan 19901994 periodik tahunan mulai terlihat mendominasidan kemudian juga terdapat periodik setengah tahunan (musim) dalam data 1999-2006. Dugaan bahwa sistem iklim dengan skala besar mulai mempengaruhi wilayah ini didukung dalam analisa periodogram curah hujan ini. 175 Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010, hlm. 172 - 181 Secara umum keragaman curah hujan Indonesia baik secara waktu maupun tempat agak rumit untuk dipolakan karena Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dikelilingi lautan. Respon daratan dan lautan yang berbeda dalam menyerap radiasi menyebabkan terdapat sirkulasi lokal yang menyebabkan interaksi kuat antara daratan dan lautan. Diluar pengaruh lokal, skala iklim yang lebih besar yang mempengaruhi pola hujan di Indonesia adalah pola monsoon dan juga pengaruh ENSO (El Nino Southern Oscillation). Menurut Aldrian and Susanto (2003) Indonesia dibagi menjadi 3 tipe pola iklim: moonsonal, semi monsoonal dan anti-monsoonal. Sumatra memiliki dua tipe iklim yaitu moonsonal, semi monsoonal dan peralihan diantara keduanya atau disebut tipe equatorial tanpa ada pola tahunan yang jelas. Hal ini sejalan dengan analisa deret waktu untuk wilayah Lampung Barat dalam penelitian ini sebelum tahun 1990an. Dalam kaitannya dengan ENSO, hasil penelitian Mc Bride et al. (2003) menunjukkan bahwa keragaman curah hujan di Indonesia yang berkaitan dengan ENSO dan interaksi lokal daratan dan lautan lebih konsisten dan dapat diprediksi pada musim kemarau. Pada musim kemarau, anomali suhu permukaan laut lokal memperkuat anomali yang terjadi di Lautan Pasifik, sebaliknya pada musim hujan pengaruh suhu permukaan laut lokal melemahkannya. Hal ini menunjukkan bahwa ENSO relatif tidak aktif di wilayah Indonesia pada musim hujan, dengan demikian secara alamiah musim hujan di Indonesia sulit di prediksi. 3.3. Distribusi Hujan Untuk distribusi hujan pada periode yang sama analisa hanya dilakukan pada Stasiun Sumberjaya (Gambar 3). Dari distribusi ini terlihat bahwa peluang curah hujan yang tinggi terjadi untuk curah hujan pada selang pertama (untuk Sumberjaya adalah hujan antara 0 - 10 mm/hari) dan hari tanpa hujan berkisar 168 232 hari/tahun. Apakah makin kuatnya pengaruh perubahan iklim global akan membuat hari tanpa hujan menjadi lebih banyak sementara saat hari hujan, hujan akan turun dengan intensitas tinggi merupakan hal yang perlu untuk diteliti. Intensitas hujan yang tinggi juga akan membahayakan didaerah ini yang selama ini telah dikenal sebagai daerah rawan longsor. Pengaruh lokal juga dikuatirkan akan makin melemah dengan pembukaan hutan untuk penanaman kopi yang terjadi di tahun 1990 an sehingga hanya menyisakan areal hutan sebanyak 12% dari luas hutan semula. P e r i o d o g r a m A H 8 3 -8 7 A m p l it u A m p l i tu P e r i o d o g r a m A H 7 5 -7 9 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 4 .5 4 3 .5 3 2 .5 2 1 .5 1 0 .5 0 60 1 2 3 4 5 6 7 F r e k u e n si a P e r i o d o g r a m A H 9 3 -9 7 A m p lit u A m p lit u 2 1 .5 1 0 .5 0 3 4 5 6 7 8 9 Fr e k u e n s i c 10 20 30 40 50 60 10 20 30 40 50 60 P e r i o d o g r a m F B 7 5 -7 9 3 .5 3 2 .5 2 9 b 4 .5 4 1 8 Fr e k u e n s i 10 20 30 40 50 60 5 4 .5 4 3 .5 3 2 .5 2 1 .5 1 0 .5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Fr e k u e n s i d 176 Tumiar Katarina Manik : Mempelajari Gejala Perubahan Iklim Melalui Analisa Dere Waktu ..... P e r i o d o g r a m F B 9 0 -9 4 A m p lit A m p lit u P e r i o d o g r a m F B 8 3 -8 7 5 4 .5 4 3 .5 3 2 .5 2 1 .5 1 0 .5 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 5 4 .5 4 3 .5 3 2 .5 2 1 .5 1 0 .5 0 60 1 2 3 4 5 6 7 Fr e k u e n s i e 2 1 0 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 20 30 40 50 60 7 8 9 10 20 30 40 50 10 20 30 40 50 60 5 .5 4 .5 3 .5 2 .5 1 .5 0 60 1 2 3 4 5 6 7 Fr e k u e n s i 8 9 Fr e k u e n s i g h P e r i o d o g r a m S J 9 9 -0 6 P e r i o d o g r a m S J 9 0 -9 4 5 5 4 .5 4 3 .5 3 2 .5 2 1 .5 1 0 .5 0 4 .5 4 3 .5 A m p lit u A m p lit u 10 P e r i o d o g r a m S J 8 3 -8 7 5 .5 4 .5 3 .5 2 .5 1 .5 0 A m p lit u A m p lit u 3 9 f P e r i o d o g r a m S J 7 5 -7 9 4 8 Fr e k u e n s i 3 2 .5 2 1 .5 1 0 .5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20 30 40 50 60 0 1 Fr e k u e n s i 2 .5 5 10 50 60 Fr e k u e n s i i j Gambar 2. Periodogram curah hujan di tiga lokasi dalam DAS Sumberjaya, Lampung Barat pada periode 5 tahunan selama 20 tahun (a,b,c) Air Hitam (d,e,f) Fajar Bulan. (g,h,i,j) Sumberjaya Sebenarnya sebagai negara maritim, Indonesia adalah salah satu wilayah dengan curah hujan tertinggi di dunia, khususnya Sumatra. Pulau Sumatra khususnya sepanjang pantai Barat Daya menerima hujan paling banyak, karena derah ini menghadap ke Samudra Hindia dan langsung menerima uap air dari angin Monsoon Barat Daya (Mori, et al., 2004). Dengan demikian jika peluang distrubusi hujan di wilayah barat Lampung hanya tinggi (p=0.7) pada selang pertama (hujan 10 mm/ hari) dan hari tanpa hujan yang tinggi (46-65 %) menunjukkan perubahan yang berarti. Penurunan tinggi curah hujan ini yang menjadi dasar mengapa di wilayah ini semakin jelas batas antara musim hujan dan musim kemarau. Distribusi CH 1973-1977 Distribusi CH 1988-1992 0.8 0.8 0.7 0.7 0.6 Peluang 0.6 0.5 73 0.5 0.4 74 Peluang 0.4 89 0.3 75 0.3 90 0.2 76 0.2 91 0.1 77 0.1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Selang CH 76 73 88 92 0 Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Selang CH 91 88 Tahun 177 Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010, hlm. 172 - 181 Distribusi CH 1978 - 1982 Distribusi CH 1993 - 1998 0.8 0.8 0.7 0.7 0.6 0.5 78 0.4 Peluang Peluang 0.6 79 0.3 80 0.2 81 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Selang CH 78 94 0.3 96 97 0.1 82 0 93 0.4 0.2 81 0.1 0.5 98 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Selang CH Tahun 97 93 Tahun Distribusi CH 1983- 1987 0.8 0.7 Peluang 0.6 0.5 83 0.4 84 0.3 85 0.2 86 0.1 87 83 Tahun 15 11 13 7 Selang CH 9 5 87 3 1 0 Gambar 3. Peluang distribusi curah hujan Sumberjaya selama 20 tahun dibagi dalam periode 5 tahunan Dibandingkan daerah hulu (daerah tangkapan air) daerah hilir lebih memiliki pola yang tegas. Gambar 4 adalah rangkuman korelogram, periodogram dan dan fungsi peluang distribusi hujan dari Masgar, Tegineneng suatu wilayah di dataran rendah bagian tengan Propinsi Lampung. Pola siklus terlihat pada korelogram meskipun dengan nilai r yang rendah (umum untuk data curah hujan harian) menunjukkan curah hujan memiliki keterkaitan dengan curah hujan sebelumnya. Curah hujan yang lebih saling bergantung menunjukkan adanya pengaruh sistem iklim yang lebih besar (monsoon atau ENSO) daripada sekedar pengaruh lokal. Tidak tersedianya data untuk periode tahun 1970an membuat tidak dapat dilakukan analisa perbandingan apakah telah terjadi perubahan keragaman curah hujan. Periodogram menunjukkan periode tahunan yang makin kuat dan lebih kuat daripada di daerah hulu menunjukkan hujan diwilayah ini lebih ditentukan oleh pola musim yang diatur oleh sistem iklim skala regional (monsoon atau ENSO). Efek dari pemanasan global yang mempengaruhi sistem iklim regional diperkirakan akan langsung mempengaruhi keragaman curah hujan di wilayah ini. Dengan distribusi hujan yang lebih didominasi curah hujan rendah, hari tanpa hujan 200-255 hari/tahun, dan total curah hujan yang lebih rendah daripada daerah hulu maka antisipasi menghadapi kekeringan harus diprioritaskan didaerah ini. Hal ini sejalan dengan pendapat Aldrian et al. (2005) bahwa batas antara wilayah kering (Jawa dan wilayah di bagian timurnya) dan wilayah basah (Sumatra) terletak di sepertiga bagian Sumatra bagian selatan, yang berarti terletak di wilayah Propinsi Lampung. Bagian tengah Propinsi Lampung yang merupakan dataran rendah memiliki pola iklim monsoonal dengan batas yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau. Laju evapotranspirasi sejauh ini masih bergerak disekitar nilai rata-rata (2-4 mm/hari; Gambar 5) tetapi kenaikan suhu udara dipastikan akan memicu kenaikan laju evapotranspirasi yang akan memperparah kondisi kekeringan. 178 Tumiar Katarina Manik : Mempelajari Gejala Perubahan Iklim Melalui Analisa Dere Waktu ..... C o r r e lo g r a m M G 1 9 9 7 - 2 0 0 1 C o r r e lo g r a m M G 2 0 0 4 - 2 0 0 8 0 .2 5 0 .2 0 .2 0 .1 5 0 .1 5 0 .1 0 .1 0 .0 5 0 .0 5 r r 0 .2 5 0 - 0 .0 5 0 1 24 47 70 93 116 139 162 185 208 231 254 277 300 323 346 - 0 .0 5 - 0 .1 1 24 47 70 93 116 139 162 185 208 231 254 277 300 323 346 - 0 .1 - 0 .1 5 - 0 .1 5 T im e la g T im e la g C o r r e lo g r a m M G 2 0 0 2 - 2 0 0 6 P e r i o d o g r a m M G 1 9 9 7 -2 0 0 1 0 .2 5 6 0 .2 5 A m p litu d 0 .1 5 0 .1 r 0 .0 5 0 - 0 .0 5 1 24 47 70 93 116 139 162 185 208 231 254 277 300 323 346 4 3 2 1 - 0 .1 0 1 - 0 .1 5 2 .5 5 T im e la g P e r iodog r a m M G 2 0 0 2 -2 0 0 6 60 0.7 5 A m plitud 50 Distribusi CH 2002-2006 6 0.6 0.5 4 3 Pe luang 22 0.4 23 0.3 2 24 0.2 1 25 0.1 26 0 0 1 2 .5 5 10 50 1 60 2 25 3 Fr e k u e n s i 4 5 6 7 8 Se lang CH P e r io d o g r a m M G 2 0 0 4 -2 0 0 8 9 10 11 12 13 22 Tahun D istrib u si C H 2004-2008 6 0.7 5 A m p litu d 10 Fr e k u e n s i 0.6 0.5 4 Pe lu an g 3 24 0.4 25 0.3 2 0.2 1 0.1 26 27 28 0 0 1 1 2 .5 5 10 50 60 Fr e k u e n s i 2 27 3 4 5 6 Se lan g C H 7 8 9 10 11 12 13 24 T ah u n D istrib u si C H 1997-20 01 0 .7 0 .6 0 .5 P e lu a n g 97 0 .4 98 0.3 99 0 .2 20 0.1 21 0 1 2 3 20 4 5 6 Se la n g C H 7 8 9 1 0 11 1 2 13 97 T ah u n Gambar 4. Korelogram, periodogram dan peluang distribusi hujan, Masgar, Lampung Tengah 1997-2008 179 Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010, hlm. 172 - 181 Laju ET harian 6 ET (mm/hari) 5 2005 4 2006 3 2007 2 2008 Normal 1 0 1 16 31 46 61 76 91 106 121 136 151 166 181 196 211 226 241 256 271 286 301 316 331 346 361 Hari Gambar 5. Laju evapotranspirasi harian Masgar, Lampung Tengah 2005-2008 4. Simpulan dan Saran Dari analisa deret waktu untuk data curah hujan di daerah tangkapan air Propinsi Lampung dapat dipelajari bahwa terdapat gejala yang menunjukkan sistem iklim skala regional (monsoon atau ENSO) sudah mulai mendominasi pengaruh lokal terhadap keragaman curah hujan di Air Hitam, Fajar Bulan dan Sumberjaya, Lampung Barat. Periodisitas curah hujan yang menunjukkan siklus tahunan juga sudah mulai terlihat dibandingkan tahun 1970an dimana tidak terdapat periode curah hujan yang dominan. Hujan didaerah tangkapan air (pegunungan) di wilayah barat Sumatra yang seharusnya turun sepanjang tahun, mulai berkurang sehingga terbentuk pola musiman (akan terdapat periode kering dan basah). Propinsi Lampung yang lebih didominasi dataran rendah yang mengikuti pola hujan musiman (dipengaruhi sistem monsoon) dikuatirkan akan mengalami kekeringan sebagai akibat perubahan iklim global. Karena itu disarankan untuk memiliki program yang jelas dalam mengantisipasi kekeringan baik dalam hal mengurangi dampak kekeringan maupun dalam beradaptasi dengan musim kering yang panjang. Ucapan terimakasih Penelitian ini mendapatkan data-data curah hujan dari ICRAF (International Center for Agro Forestry), untuk itu penulis mengucapkan terimakasih. Daftar Pustaka Aldrian E, and R.D. Susanto. 2003. Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia And Their Relationship To Sea Surface Temperature. Int J Climatol 23: 14351452 Aldrian Edvin, Dmitry Sein, Daniela Jacob, Lydia Du¨menil Gates dan Ralf Podzun. 2005. Modelling Indonesian rainfall with a coupled regional model. Climate Dynamics 25: 117 Chou Chia, Neelin David.J., Jien-Yi Tu dan Cheng-Ta Chen.2006. Regional Tropical Precipitation Change Mechanisms in ECHAM4/OPYC3 Under Global Warming. Journal of Climate 19: 4207-4222 Higashi, H., K. Dairaku, dan T. Matsuura. 2005. Impact of Global Warming on Heavy Precipitation Frequency and Flood Risk. Document from National Institute for Environmental Studies Japan (on line). NIES : www.nies.go.jp diakses 5 November 2009. Krishnamurthy, Chandra Kiran. B., Upmanu Lall dan Hyun-Han Kwon. 2009. Changing Frequency and Intensity of Rainfall Extremes Over India From 1951 to 2003. Journal of Climate 22:4737-4746. 180 Tumiar Katarina Manik : Mempelajari Gejala Perubahan Iklim Melalui Analisa Dere Waktu ..... Mc Bride, John L., Malcolm R. Haylock, dan Neville Nicholls. 2003. Relationships between the Maritime Continent Heat Source and the El NinoSouthern Oscillation Phenomenon. Journal of Climate 16: 2905-2914. Mori Shuichi, Hamada Jun-Ichi, Yudi Iman Tauhid, Manabu D. Yamanaka, Noriko Okamoto, Fumie Murata, Namiko Sakurai, Hiroyuki Hashiguchi dan Tien Sribimawati.2004. Diurnal LandSea Rainfall Peak Migration over Sumatera Island, Indonesian Maritime Continent, Observed by TRMM Satellite and Intensive Rawinsonde Soundings. Monthly Weather Review 132: 2021-2039 Naill. P.E. dan M.Momani. 2009. Time Series Analysis Model for Rainfall Data in Jordan: Case Study for Using Time series Analysis. American Journal of Environmental Sciences 5 (5): 599-604. Osman Mahdi dan Petra Sauerborn. 2002. A Preliminary Assessment of Characteristics and Long-term Variability of Rainfall in Ethiopia - Basis for Sustainable Land Use and Resource Management. In Proceeding of Conference of International Agriculture research for Development. Witzenhausen, October 9-11, 2002 Sato Tomonori, Fujio Kimura dan Akio Kitoh. 2005. Projection Of Global Warming Onto Regional Precipitation Over Mongolia Using a Regional Climate Model. Journal of Hydrologi 333:144-154 Singh Nityanand dan Ashwini Nanade. 2010. The Wet And Dry Spells Across India During 1951-2007. Journal of Hydrometeorology 11: 26-45. Sipayung, Sinta Berliana, Hariaadi, T.E., Nurzaman, A. dan Eddy Hermawan. 2003. The Spectrum Analysis of Rainfall in. Indonesia. Indonesian Journal of Physics (14):3. Sultan Benyamin, Sergio Janicot dan Cyrille Correia. 2008. Medium Lead-Time Predictibility of Intraseasonal Variability of Rainfall in West Africa. Weather and Forecasting 24: 767-784. Tourigny Etienne dan Colin G. Jones. 2009. An Analysis Of Regional Climate Model Performance Over The Tropical Americas. Part II: Simulating Subseasonal Variability Of Precipitation Associated With ENSO Forcing. Tellus 61A:343-356. 181