1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit infeksius yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina. Penyakit ini menjadi penyakit endemis di negara-negara tropis, salah penyertanya satunya seperti demam adalah Indonesia. dengan Gejala fluktuasi suhu teratur, anemia, pembesaran limpa, dan adanya pigmen dalam jaringan. Penyakit ini disebabkan oleh parasit bersel satu dari kelas Sporozoa, suku Haemosphorida, keluarga Plasmodium. Penyebabnya oleh satu atau lebih dari empat Plasmodia yang menginfeksi manusia, yaitu Plasmodium falciparum (P. falciparum), P. vivax, P. ovale, dan P. malariae (Arsin, 2012). Gejala demam dengan malaria terdiri interval atas tertentu beberapa (disebut serangan parokisme), diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas sama sekali dari demam disebut periode laten. Demam pada malaria berhubungan dengan perkembangan parasit malaria dalam sel darah merah. Puncak serangan panas terjadi bersamaan dengan lepasnya merozoit–merozoit ke 2 dalam peredaran parokisme darah demam (proses biasanya sporulasi). mempunyai tiga Suatu stadia yang berurutan, terdiri dari stadium dingin, stadium demam, dan stadium berkeringat (Arsin, 2012). Malaria serebral merupakan komplikasi neurologis paling berat falciparum. yang World diakibatkan Health oleh Organization infeksi P. mendefinisikan malaria serebral sebagai sindrom klinis yang ditandai dengan adanya kejang atau koma minimal koreksi 1 jam setelah hipoglikemia, terminasi adanya bentuk aseksual dari parasit P. falciparum pada apusan darah tepi, dan tidak ada penyebab lain yang mengakibatkan koma. Pertanda klinis dari malaria serebral adalah penurunan kesadaran, dengan koma sebagai manifestasi terberat. Hal ini disebabkan karena kemampuan sel darah merah yang telah terinfeksi P. falciparum (paratisized Red Blood Cells/pRBCs) untuk melakukan cytoadherence pada endotel pembuluh darah kecil di otak (Baeti, 2010). Cytoadherence ini mengakibatkan sekuestrasi dari pRBCs sehingga menyebabkan penurunan aliran mikrovaskuler otak dan perubahan patofisiologis pada jaringan di sekitar area yang mengalami sekuestrasi. Antigen parasit seperti P. falciparum erythrocyte 3 membrane protein-1 (PfEMP-1) berperan sebagai mediator penempelan pada endotel host. Sedangkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) merupakan reseptor yang penting dan ekspresinya meningkat berdekatan dengan parasit yang Cytoadherence ini akan pada area yang mengalami sekuestrasi. menyebabkan gangguan vaskularisasi pada jaringan otak, sehingga menyebabkan hipoksia dan perfusi jaringan yang tidak adekuat (Idro et al., 2011). Untuk mengatasi infeksi parasit dalam sirkulasi darah, limpa eritrosit. akan melakukan Namun dengan clearance adanya terhadap cytoadherence, plasmodium yang terdapat dalam sel darah merah tidak bisa dibersihkan oleh limpa, dan cytoadherence ini digunakan oleh plasmodium sebagai mekanisme pertahanan dari sistem imun (Baeti, 2010). Cytoadherence merupakan mekanisme fagositosis penting dari makrofag pada parasit first untuk lepas mechanism dari (Corbett, 1996). Plasmodium falciparum merupakan penyebab malaria serebral dan mengakibatkan gangguan sirkulasi pada otak akibat cytoadherence yang ditimbulkannya ketika berada pada fase aseksualnya di vasa darah sistem saraf pusat. 4 Sequestrasi pada pRBCs akan mengakibatkan sumbatan pada kapiler dan venula post kapiler sehingga menyebabkan hipoksia serta kurangnya pertukaran nutrisi dan oksigen pada otak (Corbett, 1996). Dihidroartemisinin-piperakuin telah menjadi obat pilihan dalam terapi malaria serebral yang diakibatkan P. falciparum. Pengobatan menggunakan kombinasi dari dua atau lebih obat antimalaria tersebut dapat mencegah berkembangnya resistensi dari masing-masing obat kombinasi yang dimaksud. Pengobatan kombinasi merupakan penggunaan dua atau lebih obat antimalaria skizontosidal darah secara simultan, masing-masing obat mempunyai target cara kerja biokimia penggunaan yang obat meningkatkan yang independen berbeda pada antimalaria efikasi antimalaria tersebut, mempercepat respon dan mempunyai parasit. kombinasi dari untuk masing-masing meningkatkan pengobatan angka serta Tujuan obat kesembuhan, mencegah atau memperlambat timbulnya resistensi terhadap obat tunggal (World Health Organization, 2010). Pada Allium penelitian-penelitian sativum (bawang putih) sebelumnya, menunjukkan minyak aktivitas anti-inflamasi, anti-trombotik, dan fibrinolisis dengan 5 menghambat produksi sitokin proinflamasi (Hodge et al., 2002). Dengan adanya aktivitas tersebut, terdapat kemungkinan bahwa minyak A. sativum mampu mengurangi derajat cytoadherence pada infeksi P. falciparum. Penelitian ini dilakukan dengan menginfeksikan P. berghei ANKA pada mencit Swiss. Plasmodium ini merupakan salah satu parasit yang menyebabkan malaria pada rodent terapi (tikus dan mencit). Pengaruh dihidroartemisinin-piperakuin, dihidroartemisinin-piperakuin dan pemberian serta minyak kombinasi A. sativum dilihat pada derajat histopatologi cytoadherence pada otak mencit yang diinfeksi P. berghei ANKA. Peneliti menggunakan kombinasi dihidroartemisinin-piperakuin dan minyak A. sativum karena dihidroartemisinin-piperakuin merupakan obat anti-malaria sativum lini (Depkes, diketahui pertama yang 2008), memiliki digunakan sedangkan aktivitas sebagai minyak A. anti-inflamasi, anti-trombotik, dan fibrinolisis (Hodge et al., 2002) sehingga mempunyai cytoadherence. potensi Cytoadherence untuk menurunkan diamati karena derajat hal ini merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita malaria falciparum (Corbett, 1996). 6 B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan adalah uraian yang pada dirumuskan bagaimana dalam efek dihidroartemisinin-piperakuin latar penelitian terapi dan belakang, ini kombinasi minyak A. sativum terhadap derajat histopatologi cytoadherence pada otak mencit yang diinfeksi P. berghei ANKA? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek kombinasi dihidroartemisinin-piperakuin dan minyak A. sativum terhadap derajat histopatologi cytoadherence pada otak mencit yang diinfeksi P. berghei ANKA. D. Keaslian Penelitian Terdapat beberapa studi terkait dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh Hodge et al. (2002) mengamati efek anti-inflamasi minyak A. sativum dengan menekan produksi sitokin proinflamasi yang dihasilkan leukosit Bowel pada terapi untuk Disease (IBD). Metode penderita yang Inflammatory digunakan adalah 7 dengan menstimulasi sel mononuklear darah perifer dalam berbagai konsentrasi minyak A. sativum. Setelah dilakukan pengukuran dengan multiplanar flow cytometry, produksi interleukin (IL)-12 menurun secara signifikan dengan adanya minyak A. sativum konsentrasi rendah (≥0,1 μg/mL). Interleukin-10 yang diproduksi monosit meningkat secara signifikan dan Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α), IL-1α, IL-6, IL-8, T-cell Interferon gamma (IFN-γ), dan secara dengan adanya minyak μg/mL. Perbedaan IL-2 A. dengan menurun sativum signifikan berkonsentrasi penelitian ini ≥10 dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel terikat atau luarannya, yang berupa peningkatan atau penurunan sitokin proinflamasi pada penelitian ini, sedangkan peneliti akan melihat efek langsung terhadap cytoadherence pada otak penderita malaria serebral melalui mekanisme antiinflamsai tersebut. Penelitian (2006) tentang yang dilakukan efek ekstrak oleh A. Rassoul sativum et al terhadap ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM)-1 dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM)-1. Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan kultur human coronary artery endothelial cell (HCAEC) pada media penyubur sel 8 endotel mikrovaskuler dan diinkubasi pada berbagai konsentrasi ekstrak A. sativum (0.25-4.0 mg/mL), lalu diberikan interleukin-1alpha (IL-1α) untuk menstimulasi ekspresi ICAM-1 dan VCAM-1. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa HCAEC yang diinkubasi dengan ekstrak A. sativum memiliki ekspresi ICAM-1 dan VCAM-1 yang lebih rendah daripada yang tidak diinkubasi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada metode, variabel bebas, dan variabel terikat yang akan dilihat. Penelitian lain yang berkaitan dengan penelitian ini salah satunya dilakukan oleh Sahbaz et al. (2014) di Turki secara tentang efek intraabdominal pemberian pada minyak adhesi A. sativum peritoneum pasca operasi. Penelitian dilakukan pada tikus Wistar-Albino yang dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 menerima minyak A. sativum sebanyak 5 mL/kg secara intraperitoneal dan tidak dilakukan operasi, kelompok 2 diiris pada bagian caecum untuk memicu adhesi dan tidak diberi treatmen, kelompok 3 menerima minyak A. sativum sebanyak 5 mL/kg secara intraperitoneal setelah diiris caecumnya. Tikus dibedah setelah 10 hari dan derajat adhesi secara histopatologis diukur dengan modified 9 Sahbaz et al. scoring system. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi adhesi pada semua tikus di kelompok 1. Pada kelompok 2, 3 ekor tikus mengalami adhesi derajat 2 dan 7 ekor tikus mengalami adhesi derajat 3. Pada kelompok 3, 4 ekor tikus tidak mengalami adhesi, 5 ekor tikus mengalami adhesi derajat 1, dan hanya 1 ekor yang mengalami adhesi derajat 2. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel kontrol (Plasmodium berghei, dihidroartemisinin-piperakuin) dan variabel terikat (cytoadherence) yang akan diukur. E. Manfaat Penelitian Hasil dasar dalam malaria sehingga penelitian memilih yang ini terapi diakibatkan gejala klinis dapat menjadi salah adjuvant untuk infeksi P. yang tersebut dapat diminimalisasi. satu penderita falciparum, diakibatkan penyakit