KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI

advertisement
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
KERAGAMAN MOLEKULER DALAM SUATU POPULASI
EKO HANDIWIRAWAN
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan
Jalan Raya Pajajaran Kav E-59, Bogor 16151
ABSTRAK
Variasi di dalam populasi terjadi sebagai akibat adanya keragaman di antara individu yang menjadi
anggota populasi, yaitu adanya perbedaan ciri-ciri mengenai suatu karakter atau beberapa karakter yang
dimiliki oleh individu-individu di dalam populasi. Variasi di alam dipengaruhi oleh empat faktor dimana
untuk membedakannya merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan dalam beberapa kasus malah tidak
mungkin dilakukan. Keempat faktor tersebut adalah (1) Variasi yang meningkat sebagai hasil dari mutasi
yang berulang, (2) Variasi yang meningkat karena adanya aliran gen dari populasi yang lain (migrasi), (3)
Variasi yang meningkat karena proses stokastik seperti genetic drift, dan (4) Variasi yang bertahan di dalam
populasi oleh adanya seleksi. Adanya ciri yang bervariasi bisa diidentifikasi secara visual dari kenampakan
morfologi (fenotipe) maupun yang lebih dalam lagi adalah variasi secara molekuler yang berkaitan dengan
variasi di dalam protein dan DNA. Beberapa metode telah dikembangkan untuk menduga variasi pada level
protein atau DNA. Variasi genetik yang diukur pada level protein (variasi alelik) dengan cara elektroforesis
dapat diduga dengan menggunakan proporsi lokus yang polimorfik dan heterosigositas per lokus. Lokus
disebut polimorfik jika frekuensi alel umum sama dengan atau kurang dari 0,99. Polimorfisme DNA
berdasarkan sekuen fragmen DNA dapat dihitung berdasarkan jumlah nukleotida yang polimorfik tiap
nukleotida yang diuji. Informasi keragaman dari suatu populasi dengan populasi yang lain dapat digunakan
untuk berbagai keperluan seperti seleksi, pendugaan hubungan kekerabatan, penentuan asal usul ataupun
penggolongan suatu spesies dalam taksonomi dan lain-lain.
Kata kunci: Variasi, molekuler, populasi
PENDAHULUAN
Variasi merupakan suatu fenomena umum
yang terdapat pada suatu populasi. Variasi di
dalam populasi terjadi sebagai akibat adanya
keragaman di antara individu yang menjadi
anggota populasi, yaitu adanya perbedaan ciriciri mengenai suatu karakter atau beberapa
karakter yang dimiliki oleh individu-individu
di dalam populasi. Variasi yang dimiliki suatu
populasi dengan populasi yang lain bisa dan
sering tidak sama. Ciri variasi dari suatu
populasi dapat menjadi ciri tertentu populasi
tersebut yang membedakan populasi tersebut
dengan populasi yang lain dalam satu spesies.
Keragaman dapat terjadi pada beberapa
tingkat, yaitu keragaman di dalam individu, di
antara individu di dalam populasi, atau di
antara populasi di dalam satu spesies. Variasi
juga bisa dikaitkan dengan taksonomi di mana
penggolongan suatu organisme adalah
berdasarkan banyaknya kesamaan yang
dimiliki kelompok organisme dibandingkan
dengan kelompok yang lain. Keragaman yang
dimiliki suatu populasi juga tidak selalu sama
138
dari waktu ke waktu dan dari generasi ke
generasi.
Adanya ciri yang bervariasi bisa
diidentifikasi secara visual dari kenampakan
morfologi (fenotipe) maupun yang lebih dalam
lagi adalah variasi secara molekuler yang
berkaitan dengan variasi di dalam protein dan
bahan genetik (DNA). Baik variasi di dalam
DNA, protein dan fenotipe dari suatu individu
telah diketahui sebenarnya berkaitan erat.
Bahan genetik yang terdapat di dalam sel
melalui transkripsi dan translasi diekspresikan
informasinya dalam beberapa bentuk terutama
rangkaian asam amino (polipeptida) yang
mempunyai berbagai fungsi di dalam
metabolisme tubuh. Sebagai akibat dari hasil
metabolisme tersebut adalah fenotipe yang
menjadi ciri dari individu tersebut.
Besarnya variasi fenotipe (morfologi) yang
terlihat tidak berarti menggambarkan besarnya
variasi di dalam bahan genetik, karena variasi
dalam fenotipe dipengaruhi juga oleh
lingkungan. Di lain pihak variasi di dalam
bahan genetik tidak selalu diekspresikan
(muncul) dalam level fenotipe yang cukup
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
bervariasi (hidden variation) karena beberapa
hal yaitu tidak semua bahan genetik
diekspresikan,
adanya
regulator
pengekspresian, dan beberapa variasi dalam sekuens
nukleotida menghasilkan produk (protein) yang
sama. Penentuan level identifikasi (morfologi,
protein atau DNA) untuk menentukan variasi
di dalam populasi perlu disesuaikan dengan
tujuan yang ingin dicapai dan seberapa besar
level yang dipilih itu dapat menggambarkan
variasi yang sebenarnya.
Informasi keragaman dari suatu populasi
dengan populasi yang lain dapat digunakan
untuk berbagai keperluan seperti seleksi,
pendugaan hubungan kekerabatan, penentuan
asal usul ataupun penggolongan suatu spesies
dalam taksonomi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi
Teori mengenai variasi telah dikemukakan
oleh Lamarck yang mengemukakan bahwa
adanya variasi di dalam suatu populasi adalah
sebagai hasil dari adanya kekuatan yang
menghasilkan variasi dan kekuatan yang
memelihara
variasi
dan
menyebabkan
organisme beradaptasi dengan baik terhadap
lingkungannya (RIDLEY, 1991). BEARDMORE
(1983) mengemukakan bahwa variasi di alam
dipengaruhi oleh empat faktor dimana untuk
membedakannya merupakan pekerjaan yang
tidak mudah dan dalam beberapa kasus malah
tidak mungkin dilakukan. Keempat faktor
tersebut adalah:
1. Variasi yang meningkat sebagai hasil
dari mutasi yang berulang,
2. Variasi yang meningkat karena adanya
aliran gen dari populasi yang lain
(migrasi),
3. Variasi yang meningkat karena proses
stokastik seperti genetic drift,
4. Variasi yang bertahan di dalam populasi
oleh adanya seleksi.
Mutasi merupakan sumber yang utama bagi
adanya variasi genetik (HARTL, 1988; HARTL
dan CLARK, 1989). Mutasi akan memunculkan
alel-alel baru atau merubah struktur genom dan
akhirnya menghasilkan keragaman genetik.
Mutasi pada tingkat molekuler terjadi dalam
beberapa cara, yaitu: (1) hasil penggantian satu
pasang nukleotida dengan nukleotida yang lain
(substitusi basa), (2) hasil delesi atau duplikasi
dari sekuen nukleotida, dan (3) hasil dari
transposisi sekuen DNA dari satu lokasi ke
lokasi lain di dalam genom organisme.
Penggantian/substitusi satu nukleotida tidak
selalu menghasilkan perubahan pada produk
asam amino. Penggantian satu nukleotida yang
menghasilkan kodon sinonimnya tidak
menghasilkan perubahan pada produk asam
amino (substitusi sinonim). Namun demikian
penggantian
satu
nukleotida
yang
menghasilkan kodon nonsinonim dapat
mengakibatkan perubahan asam amino yang
dihasilkan dan jika posisi asam amino ini
berperan penting dalam menentukan fungsi
enzim maka dapat menurunkan atau merusak
fungsi dari enzim tersebut dalam metabolisme
sehingga menyebabkan gangguan pada tubuh,
seperti yang terjadi pada anemia sickle cell,
albinisme, fenilketonuria (HARTL dan CLARK,
1989). Di samping itu jika penggantian
nonsinonim ini menyebabkan stop kodon maka
akan merusak fungsi dari produk gen tersebut.
Mutasi yang disebabkan delesi dan
transposisi dapat berakibat bermacam-macam.
Delesi berarti terhapusnya satu basa atau
segmen DNA dari genom sedangkan
transposisi adalah berpindahnya segmen DNA
dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam genom
individu tersebut. Apabila delesi terjadi pada
sebagian dari segmen suatu gen maka gen
tersebut akan menghasilkan polipeptida
(enzim) yang kemungkinan besar bisa tidak
berfungsi sedangkan apabila seluruh segmen
gen terhapus maka berarti gen tersebut hilang
dari individu tersebut. Kejadian transposisi
terjadi diketahui pada segmen yang disebut
dengan elemen loncat (transposable genetic
element) yang dapat dibedakan menjadi
insertion sequence dan transposon, yang telah
diamati pertama kali terjadi pada jagung dan
juga teramati pada Drosophila (SUZUKI et al.,
1989).
Laju mutasi secara alami (mutasi spontan)
adalah sangat rendah, berkisar 10-4 sampai 10-6
mutasi per gen per generasi. Pengaruh
kumulatif dapat menjadi terasa selama periode
yang panjang (HARTL dan CLARK,, 1989). Bila
mutasi yang terjadi tidak bersifat letal dan
diwariskan ke generasi berikutnya maka akan
meningkatkan variasi di dalam populasi
dengan merubah frekuensi gen.
Populasi di alam hampir selalu mempunyai
frekuensi alel yang berbeda di antara satu
139
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
daerah dengan daerah yang lain (HARTL dan
CLARK, 1989). Migrasi sebagian atau
keseluruhan suatu populasi ke populasi lain
yang mempunyai frekuensi alel berbeda akan
menghasilkan frekuensi gen populasi gabungan
(mengubah
variasi
genetik
populasi).
Berdasarkan prinsip WAHLUND, populasi
gabungan ini akan mempunyai frekuensi alel
sama dengan rataan frekuensi alel dari kedua
populasi dan penurunan genotipe yang
homosigot (HARTL dan CLARK, 1989).
Random genetic drift dapat merubah
frekuensi gen (terutama pada populasi kecil),
karena dalam pembentukan gamet atau
pembuahan terjadi peristiwa pencuplikan
secara random yang menyimpang dari
frekuensi gen yang ada sehingga mengubah
frekuensi gen pada generasi berikutnya.
Mutasi spontan terjadi secara acak dan
tidak dapat diperkirakan (unpredictable).
Kejadian mutasi
sehingga membentuk
kombinasi gen baru menyediakan bahan
mentah bagi seleksi alam (LI, 1976). Mutasi
dan seleksi merupakan dua kekuatan utama
yang menggerakkan evolusi. Mutasi yang
terjadi ini harus diwariskan dan disukai oleh
seleksi alam sehingga frekuensinya meningkat
dari generasi ke generasi. Seleksi alam pada
dasarnya menyesuaikan frekuensi gen, dan
memantapkan gen yang menghasilkan adaptasi
sehingga
memberi
kemampuan
untuk
mereproduksi gen lain. Jika mutasi yang terjadi
tidak sesuai dengan lingkungan dan merupakan
alel yang merugikan maka seleksi alam akan
mencegah frekuensi gen tersebut meningkat di
dalam populasi sehingga tetap berada dalam
frekuensi yang sangat rendah (HEDRICK,
1985). Seleksi buatan melalui campur tangan
manusia juga dapat meningkatkan frekuensi
gen tertentu dan biasanya diiringi dengan
sebisa mungkin menyediakan lingkungan yang
cocok dengan kelompok hewan terseleksi.
Variasi molekuler
Informasi genetik yang terdapat di dalam
gen struktural diekspresikan melalui proses
transkripsi
dan
translasi
sehingga
menghasilkan asam amino yang terangkai
menjadi polipeptida (protein) dengan berbagai
fungsi dalam metabolisme tubuh. Jika
digolongkan menurut fungsinya maka protein
140
yang terbentuk tersebut terdiri dari enzim,
hormon, protein toksin, antibodi, protein sistem
transportasi, protein sistem konstraksi, protein
penyimpan dan cadangan, dan protein
penyangga struktur. Fenotipe dan proses
metabolisme individu ditentukan oleh proteinprotein tersebut, sehingga adanya variasi yang
nampak di dalam populasi adalah merupakan
indikasi bervariasinya protein-protein yang
dimiliki oleh individu-individu di dalam
populasi. Dengan telah diketahui adanya
hubungan gen dengan protein (satu gen satu
rantai polipeptida) maka variasi yang terjadi
sebenarnya adalah merupakan variasi alel yang
ada di dalam populasi dan lebih jauh lagi
merupakan variasi di dalam sekuen DNA yang
dimiliki individu anggota populasi.
Berdasarkan uraian sebelumnya maka
pendugaan variasi secara molekuler di dalam
populasi dapat dilakukan pada dua level
molekul, yaitu level molekul protein atau level
molekul DNA. Beberapa metode telah
dikembangkan untuk menduga variasi pada
level protein atau DNA.
1. Polimorfisme protein
Satu jenis protein adalah representasi dari
lokus yang dimiliki oleh individu yang
bersangkutan, dengan demikian jika suatu
protein terdeteksi maka dapat diperkirakan gen
yang dimiliki di dalam individu tersebut. Akan
tetapi tidak mungkin untuk mempelajari semua
(protein) lokus yang dimiliki oleh suatu
individu karena tidak diketahui seberapa
banyak protein (lokus) yang dimiliki oleh
individu (AYALA dan KIGER, 1980). Jalan
keluar terbaik yang dilakukan adalah
mengambil sampel beberapa jenis enzim
(protein) yang tidak bias dan representatif bagi
populasi
tersebut
sehingga
dapat
menggambarkan variasi atau polimorfisme
yang terdapat di dalam populasi. Pengamatan
polimorfisme protein antara lain dapat dilihat
dari polimorfisme enzim, protein jaringan,
protein plasma, protein susu, golongan darah
dan sebagainya.
Metode umum yang dapat diterapkan untuk
memperlihatkan polimorfisme sejumlah besar
enzim adalah metode elektroforesis. Metode ini
dapat menemukan perubahan dalam struktur
molekul enzim yang mengakibatkan perubahan
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
muatan listrik molekul. Walaupun demikian
HARRIS (1994) mengemukakan bahwa terdapat
beberapa enzim yang memberikan perbedaan
aktivitas biokimia menyolok di antara fenotipe
tetapi tanpa disertai perbedaan mobilitas pada
saat elektroforesis, seperti kolinesterase dan
dopamin-β-hidroksilase.
Meskipun teknik elektroforesis merupakan
teknik umum dan paling kuat untuk
menemukan varian alelik, namun taksiran
jumlah
macam
alel
dan
banyaknya
heterosigositas pada berbagai lokus yang
diperoleh terkadang under estimate dari
keadaan sesungguhnya. HARRIS (1994)
mengemukakan beberapa hal mengapa bisa
demikian, yaitu :
a. Polimorfisme yang timbul akibat
substitusi basa tunggal yang tidak
menghasilkan perubahan asam amino
(polimorfisme kodon sinonim) tidak
akan
dapat
ditemukan
dengan
elektroforesis.
b. Hanya
sebagian
mutan
dengan
penggantian asam amino tunggal
ditemukan dalam elektroforesis. Di
mana banyak penggantian asam amino
tunggal
ini
tidak
menyebabkan
perubahan muatan listrik sehingga tidak
akan menunjukkan perubahan mobilitas
elektroforetik.
c. Penggantian dua asam amino yang
berbeda dalam suatu enzim dapat
menghasilkan perubahan yang sama
dalam mobilitas elektroforetik.
d. Teknik
elektroforesis
mempunyai
kekuatan yang sangat beraneka ragam
sebagai pembeda enzim yang beraneka
ragam dan masih terus dikembangkan.
Teknik yang kurang mencukupi dapat
menyebabkan varian sesungguhnya
tidak ditemukan.
e. Karena sebab lain yang agak kurang
jelas. Diketahui alel mutan tertentu
menyebabkan
hilangnya
atau
berkurangnya aktivitas enzim sehingga
pewarnaan yang dirancang tidak dapat
menemukan aktivitas enzim yang
diselidiki.
Perbedaan-perbedaan biokimia yang diatur
secara genetis yang lain adalah faktor antigen
yang dibawa oleh sel darah merah dan ini
umumnya disebut dengan golongan darah
(WARWICK et al., 1990). Perbedaan ini pada
awalnya karena adanya fenomena di mana
percampuran suspensi sel darah merah yang
berasal dari beberapa individu jika dicampur
dengan serum darah dari beberapa individu lain
akan mengakibatkan penggumpalan atau tidak
terjadi penggumpalan (tidak terpengaruh).
Tabel 1. Perkiraan jumlah faktor darah, cara penentuan yang dianjurkan, dan sistem fenotipik golongan
darah yang dikenal pada beberapa hewan
Spesies
Urutan pilihan cara
penentuan
Sistem fenotipik golongan darah yang diakui
Hanya hemolisis
12 sistem:
A(10), B(500), C(70), FV(5), J/J-Oc(4), L(2), M(3),
N(2), S/S-U(8), Z(3), R’-S’(3), T’(2)
9 faktor darah:
A1, A2, B, C, D, E, F, G, dan Tr (masih harus
digolongkan sistem fenotipiknya)
8 sistem:
A(5), C(2), D(6), K(2), P(3), O(6), T(2), dan U(2)
15 sistem:
A-O (A lokus 2; S lokus 2), B(2), C(2), D(2), E(13),
F(3), G(2), H(6), I(2), FJ(3), K(5), L(6), M(9), N(3),
dan O(2)
7 sistem :
A(2), B(60), C(3), D(2), M(4), R-O(R lokus 2; I
lokus 2), dan X-Z(2)
Sapi
Perkiraan
jumlah faktor
darah
80
Anjing
9
Aglutinasi Hemolisis
(hanya A1)
Kuda
20
Hemolisis Aglutinasis
Babi
60
Aglutinasi +
Hemolisis
Domba
50
Hemolisis Aglutinasi
Aglutinasi (hanya
untuk D)
( ) jumlah alel minimum
141
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
Selanjutnya diketahui bahwa penggumpalan tadi disebabkan pengikatan zat
antigenik tertentu pada permukaan sel darah
merah dengan antibodi khusus (imunoglobulin)
yang terdapat di dalam serum. Dengan uji
peggumpalan silang menggunakan sel darah
merah dan sera dari individu sehat normal
maka memungkinkan untuk menggolonggolongkan individu tersebut.
Golongan darah hewan-hewan peternakan
telah diketahui mengandung banyak jumlah
faktor (antigen) yang berbeda dan jumlah alel
yang banyak dalam banyak rangkaian alel
ganda sehingga memungkinkan jumlah
golongan darah yang sangat banyak di dalam
suatu spesies (WARWICK et al., 1990) seperti
terlihat pada Tabel 1.
2. Polimorfisme DNA
Variasi genetik pada level DNA dapat
ditemukan pada DNA inti atau DNA
mitokondria dengan melihat variasi situs
pemotongan atau dengan cara melakukan
sekuen DNA. Cara yang pertama umumnya
menggunakan enzim restriksi endonuklease
(RE) (tipe II) yang mempunyai situs yang khas
untuk melakukan pemotongan pada suatu
sekuens DNA sedangkan cara kedua adalah
mencari urutan basa sekuens DNA dengan
menggunakan mesin sequencer DNA.
Banyak enzim RE yang telah tersedia yang
dapat digunakan untuk memotong DNA
dengan panjang situs pengenalan antara 4
sampai 8 basa. DNA yang diinkubasi bersama
enzim RE dalam suhu dan larutan buffer yang
sesuai dengan kemampuan kerja optimal
enzim, akan dipotong pada situs-situs yang
dikenal oleh enzim RE sehingga sekuens DNA
terpisah menjadi fragmen-fragmen DNA.
Fragmen-fragmen DNA ini dapat diseparasi
dengan proses elektroforesis gel sehingga akan
nampak pita-pita fragmen yang dihasilkan
sesuai hasil potongan enzim RE. Sekuen DNA
pada individu yang berbeda akan bervariasi
maka situs pemotongan dari enzim RE bisa ada
atau tidak ada dalam sekuen DNA yang diuji,
yang akan direfleksikan dengan ada atau tidak
adanya pita-pita DNA pada gel elektroforesis.
Dengan demikian pada pengujian dari
beberapa individu akan diperoleh beberapa
variasi situs pemotongan atau polimorfisme
142
potongan DNA, sehingga metode ini
dinamakan Restriction Fragment Length
Polymorphism (RFLP) (HARTL dan CLARK,
1989; PRIMROSE, 1995). Biasanya untuk
memilih fragmen tertentu dan memperbanyak
fragmen tersebut untuk kemudian dipotong
dengan enzim metode ini dikombinasikan
dengan mesin Polymerase Chain Reaction
(PCR) sehingga dinamakan PCR-RFLP.
Jika pita protein dari dua individu
bermigrasi sama dalam elektroforesis protein
atau pola fragmen restriksi dari gen terlihat
sama, belum bisa dipastikan bahwa alel
tersebut identik. Untuk itu perlu dilakukan
sekuensing DNA sehingga diketahui sekuen
fragmen DNA yang dimaksud dan hasilnya
dapat bervariasi di antara individu yang diuji.
Dalam proses sekuensing DNA diperlukan
sejumlah kecil DNA target yang telah
dipurifikasi. Ada dua metode utama untuk
sekuensing DNA, yaitu metode Maxam-Gilbert
dan metode Sanger Dideoxy ChainTermination. Metode Sanger Dideoxy ChainTermination lebih umum digunakan, lebih
sederhana, lebih cepat dan lebih akurat (HARTL
dan CLARK, 1989). Tiap metode menyangkut
pembuatan serangkaian utas tunggal berlabel
yang panjangnya bervariasi, dimulai dari salah
satu ujung fragmen yang sedang disekuen.
Elektroforesis utas-utas tersebut pada gel
poliakrilamida memisahkan utas tersebut
berdasarkan ukurannya, yang menghasilkan
tangga pita berlabel, dengan tiap pita mewakili
tersekuennya satu basa. Jika radioaktif
digunakan dalam pelabelan, gel tersebut
kemudian dikeringkan dan dilekatkan pada
film x-ray yang akan mencatat keberadaan tiap
pita pada autoradiograf yang dihasilkan.
Fluorescen yang diaktifkan dengan sinar laser
juga dapat digunakan sebagai pelabel. Sekali
pita-pita tersebut telah divisualisasikan melalui
kedua sistem pelabelan itu, sekuen basa pada
fragmen dapat dibaca secara langsung dari
tangga pita. Dengan metode Maxam-Gilbert
dapat disekuen sekitar 250 basa sedangkan
dengan metode Sanger dapat disekuen sekitar
1000 basa.
Metode untuk menduga variasi
Genom organisme tingkat tinggi mungkin
memiliki 4.000 sampai 50.000 lokus struktural
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
(NEI, 1987). Untuk menentukan variabilitas
secara pasti maka harus dipelajari seluruh
lokus yang ada tersebut. Dalam praktek tidak
mungkin untuk melakukan hal tersebut
sehingga hanya diambil sampel proporsi kecil
dari gen untuk memperkirakan variabilitas
genetik yang ada. Lokus yang akan diuji untuk
melihat variabilitas biasanya diambil secara
random dan pilihan lokus biasanya berdasarkan
kepada ketersediaan teknik pewarnaan untuk
protein yang dikode. Hasil yang diperoleh
dapat diandalkan jika lokus yang diuji per
individu cukup besar akan tetapi jika lokus
yang diuji relatif kecil maka jumlah individu
yang diuji harus cukup besar. NEI (1987)
mengemukakan jika lokus yang diuji 25 maka
dianjurkan paling sedikit 20 atau 30 individu
diuji untuk setiap lokusnya.
Variasi genetik yang diukur pada level
protein
(variasi
alelik)
dengan
cara
elektroforesis
dapat
diduga
dengan
menggunakan proporsi lokus yang polimorfik
dan heterosigositas per lokus.
Lokus disebut polimorfik jika frekuensi alel
umum sama dengan atau kurang dari 0,99.
Ukuran ini kurang baik untuk mengukur variasi
genetik seandainya ukuran sampel kecil
(kurang
dari
50)
karena
tidak
merepresentasikan populasi, di samping itu jika
jumlah lokus yang diuji kecil maka porporsi
lokus polimorfik dapat memberikan sampling
error yang besar dan menjadi tak bermanfaat
(NEI, 1987).
Ukuran yang lebih tepat untuk menduga
variasi genetik adalah rataan heterosigositas.
Rumus pendugaan heterosigositas (H) adalah:
m
H=1-
∑x
2
i
i =1
di mana:
xi = frekuensi alel ke-i pada sebuah lokus;
m = jumlah alel
Data dari hasil pemotongan enzim RE
terhadap sekuen DNA dari beberapa individu
di dalam populasi yang diukur variasi
genetiknya juga dapat dihitung polimorfisme
dan heterosigositasnya dengan rumus Proporsi
nukleotida
polimorfik
(Pnuc)
dan
Heterosigositas per nukleotida (Hnuc). Rumus
Proporsi nukleotida polimorfik (Pnuc) dan
Heterosigositas per nukleotida (Hnuc) (HARTL
dan CLARK, 1989) adalah sebagai berikut:
Pnuc =
Hnuc =
c − n( m − k )
jc
nc − ∑ ci2
jc(n − 1)
di mana:
n = jumlah molekul DNA homolog;
m = jumlah situs pemotongan (situs di
mana pemotongan terjadi pada setidaktidaknya 1 molekul dalam sampel);
ci = jumlah molekul di dalam sampel yang
dipotong (i = 1, 2, 3, ..., m)
k = jumlah situs pemotongan yang tidak
ada dalam sekurang-kurangnya 1 anggota
sampel;
j = jumlah nukleotida di dalam situs
restriksi (biasanya 4-8);
Polimorfisme DNA berdasarkan sekuen
fragmen DNA dapat dihitung berdasarkan
jumlah nukleotida yang polimorfik tiap
nukleotida yang diuji (NEI, 1987). Rumus yang
digunakan adalah :
Pn
=
Sn
mT
di mana:
Sn = jumlah lokasi polimorfik per sekuen;
mT = total jumlah nukleotida yang diuji
Penggunaan informasi variasi
Salah satu tujuan utama populasi genetik
adalah untuk menggambarkan sejumlah variasi
genetik di dalam populasi. Banyak studi
tentang variasi genetik di dalam populasi
dilakukan dengan manfaat yang besar,
pengetahuan tentang informasi variasi genetik
di dalam populasi sekurang-kurangnya
memberikan manfaat seperti berikut:
a. Beberapa studi telah menunjukkan
adanya variasi genetik pada resistensi
inang
(host)
terhadap
beberapa
penyakit. NICHOLAS (1987) mereview
hal tersebut di mana terdapat variasi
genetik resistensi penyakit Marek pada
ayam, resistensi penyakit neonatal
scours pada babi, resistensi cacing dan
blowflies pada domba, resistensi kutu
(tick) pada sapi. Dengan demikian
memungkinkan melakukan seleksi
terhadap kelompok ternak yang
143
Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional
resistensi terhadap suatu penyakit
sehingga dapat mengurangi biaya
produksi.
b. Variasi genetik di dalam sub populasi
dapat digunakan untuk menduga
hubungan
kekerabatan
(hubungan
filogenetis) di antara sub populasi yang
lain sehingga dapat mengungkap sejarah
berpisahnya kedua subpopulasi (NEI,
1987; WARWICK et al., 1990).
c. Penentuan asal usul suatu populasi
dapat diperkirakan dengan adanya
informasi variasi genetik dan waktu
divergensi (terpisahnya) di antara
subpopulasi (spesies) yang lain (NEI,
1987; WARWICK et al., 1990).
d. Studi variasi genetik menggunakan
teknik biologi molekuler pada suatu
spesies memungkinkan revisi kembali
penggolongan spesies dalam taksonomi
klasik (yang berdasarkan perbandingan
morfologi, anatomi dan embriologi)
(HARTL dan CLARK, 1989).
KESIMPULAN
Studi tentang variasi genetik di dalam
genetika populasi berkembang seiring dengan
perkembangan dari teknik-teknik atau metodemetode baru dalam mendeteksi adanya variasi.
Varian-varian baru terkadang ditemukan
setelah ditemukannya teknik atau metode yang
lebih baru yang pada studi sebelumnya
ditemukan tidak polimorfik. Obyek dalam studi
variasi genetik sedemikian besar sehingga
dalam studi ini perlu diperhatikan bahwa
jumlah individu dan lokus yang diuji harus
cukup besar sehingga hasil yang diperoleh
dapat representatif untuk menduga variasi
genetik di dalam populasi. Variasi molekuler
dapat dilihat berdasarkan polimorfisme protein
atau DNA. Hasil studi variasi genetik secara
molekuler dapat melengkapi informasi/
pengetahuan yang telah ditemukan melalui
disiplin/pendekatan lain sehingga dapat
mengungkap lebih jelas dinamika variasi di
dalam populasi. Informasi keragaman dari
suatu populasi dapat digunakan untuk berbagai
keperluan seperti seleksi, pendugaan hubungan
kekerabatan, penentuan asal usul ataupun
144
penggolongan suatu spesies dalam taksonomi
dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
AYALA, F. J. and J. A. KIGER JR. 1980. Modern
Genetics. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. California.
BEARDMORE, J. A. 1983. Extinction, Survival, and
Genetic Variation. In: Genetics and
Conservation. C. M. SCHONEWALD-COX, S. M.
CHAMBERS, B. MACBRYDE, and W.L. THOMAS
(Editor). The Benjamin/Cummings Publishing
Company, Inc. London.
HARRIS, H. 1994. Dasar-dasar Genetika Biokemis
Manusia. Edisi Ketiga. Diterjemahkan A. S.
M. SOFRO. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
HARTL, D. L. 1988. A Primer of Population
Genetics. 2nd ed. Sinauer Associates, Inc.
Sunderland, Massachusetts.
HARTL, D. L. and A. G. CLARK. 1989. Principles of
Population Genetics. 2nd ed. Sinauer
Associates, Inc. Sunderland, Massachusetts.
HEDRICK, P. W. 1985. Genetics of Populations.
Jones and Bartlett Publishers, Inc. Boston.
LI, C. C. 1976. First Course in Population Genetics.
The Boxwood Press. Pacific Grove.
California.
NEI, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics.
Columbia University Press. New York.
NICHOLAS, F. W. 1987. Veterinary Genetics. Oxford
University Press Inc. New York.
PRIMROSE, S. B. 1995. Principles of Genome
Analysis : A Guide to Mapping and
Sequencing DNA from Different Organisms.
Blackwell Science Ltd. Oxford.
RIDLEY, M. 1991. Masalah-masalah Evolusi.
Diterjemahkan A. F. SAIFUDDIN. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
SUZUKI, D. T., A. J. F. GRIFFITHS, J. H. MILLER, and
R. C. LEWONTIN. 1989. An Introduction to
Genetic Analysis. 4th ed. W. H. FREEMAN and
Company. New York.
WARWICK, E. J., J. M. ASTUTI, dan W.
HARDJOSUBROTO. 1990. Pemuliaan Ternak.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Download