Berhenti Menyalahkan Cina untuk Peristiwa di luar Kendalinya1 Christopher Lingle Cina telah menjadi fokus dari perhatian ekonomi dunia sejak devaluasi Yuan terkini yang diikuti oleh turbulensi nilai tukarnya. Sejalan dengan gejolak di pasar modal, pengambil kebijakan dan investor global menyalahkan Cina karena prahara terbaru ini. Untuk bagian-bagian terpenting. Cina adalah penyebab dari problematika keuangan dan ekonomi mutakhir. Namun, ia (Cina) juga adalah korban dari “kegilaan moneter” global yang direkayasa oleh 3 Bank Sentral besar yaitu: Bank of Japan (Bank Sentral Jepang), European Central Bank (ECB – Bank Sentral Uni Eropa), dan US Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat). Sayang, bukan hanya Cina yang menjadi korban dari Bank Sentral selaku perencana terpusat dari negara-negara tersebut. Negara-negara lain di dunia juga terkena dampak dari apa yang di hari mendatang dikenang sebagai induk dari segala koreksi (Mother of All Corrections) karena ketidakseimbangan dan distorsi akibat dari kebijakan moneter yang tidak lazim (“unconventional” monetary policies). Pertimbangan kebijakan suku bunga mendekati nol dan membuat samudera likuiditas (misalnya quantitative easing) telah membujuk investor-investor guna mengambil risiko lebih banyak dan mengakuisisi hutang dengan level leverage tinggi. Misalnya, total hutang global berkembang pesat dari US$ 57 Triliun menjadi US$ 199 Triliun sejak 2007, peningkatan lebih dari 40 persen. Rasio dari total hutang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 286 persen pada kuartal kedua 2014, meningkat dari 269 persen pada kuartal keempat 2007. Dan hutang pemerintah meningkat sebesar USD$ 25 Triliun sejak tahun 2007 dengan rasio terhadap PDB melebihi 100 persen untuk 10 Negara. Menjadi sulit untuk diperdebatkan bahwa kebijakan moneter ekspansif atau defisit anggaran yang masif dan terus-menerus telah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang kuat. Lebih mudah menyigi bahwa dampak utama dari instrumen kebijakan moneter yang tidak lazim telah menyebabkan peningkatan gelembung (bubbles). Di satu sisi, Bank Sentral telah menjadi agen sangat mahir atas peningkatan gelembung yang meletus, di sisi lain Bank Sentral kemudian menyangkalnya. Hal ini disebabkan ukuran-ukuran terpenting Bank Sentral untuk menentukan apakah ekspansi moneter terlalu mendalam ialah tingkat kenaikan Indeks Harga Konsumen (inflasi). Selama inflasi dapat dijinakkan, dengan kecepatan penuh memompa lebih banyak uang maupun kredit ke dalam sistem keuangan, yang lalu diikuti dengan defisit fiskal terus-menerus. Rabun dekat tentang dampak kebijakan moneter yang amat longgar membuat bankir mengabaikan dampak-dampak lain dari berlebihnya suplai uang (inflated money supply). Memompa uang baru dan kredit murah ke dalam suatu perekonomian jelas menyebabkan dampak atas inflasi. Hal ini dapat dan pasti mempengaruhi aset maupun harga-harga komoditas. 1 Pertama kali terbit di harian Jakarta Post Kamis, 10 September 2015. Penerbitan ulang atas izin penulis Dan lalu, aliran masuk dana segar memberikan investor akses kepada kredit murah yang artifisial sehingga para pemodal dapat membeli aset (atau mungkin komoditas) yang membantu terciptanya gelembung (bubbles). ---------------------------Bank Sentral telah menjadi sangat mahir dalam meningkatkan peluang meletusnya gelembung di saat yang lain Bank Sentral menyangkal sebagai penyebabnya. Setelah (gelembung) tercipta dan investor awal merealisasikan keuntungan, mereka belajar dari kemenangan kepada aset-aset lainnya atau beragam komoditas yang kemudian membuat siklus gelembung dan meletus yang baru (a new boom-bust cycle). Sekarang kita hidup dengan gelombang obligasi global yang menyebar oleh karena arbitrase tingkat suku bunga (misalnya efek carry trade) yang membantu peningkatan imbal hasil dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Efek carry trade melibatkan pengelola hedge fund ataupun bank-bank peminjam dengan denomiasi entah Yen atau Dollar pada tingkat bunga yang rendah, mengkonversi pinjaman ke mata uang lainnya yang menawarkan aset-aset dengan imbal hasil lebih tinggi (misalnya Obligasi Pemerintah Indonesia memberikan imbal hasil sekitar 8 persen). Selisih yang besar antara suku bunga pinjaman dan imbal hasil pada aset-aset berdenominasi lain mengurangi kemungkinan kerugian bersih yang dapat muncul akibat pergerakan mata uang asing. Apa yang kelihatannya terjadi saat ini adalah suatu pembalikan carry trade Dollar yang mendorong keluarnya likuiditas dari pasar negara berkembang dan menekan mata uang negara-negara berkembang tersebut atas Dollar. Sejak Juni 2014, nilai tukar dollar tertimbang telah meningkat lebih dari 17 persen, terlebih atas mata uang negara-negara berkembang. Namun jangan anda keliru, kejatuhan pasar yang tidak terhindarkan akan ditujukan ke alamat yang salah pada tersangka utama, yang sesungguhnya hanya sebatas simptom ketimbang penyebab. Ketika gelembung di aset-aset keuangan meletus, kesalahan akan ditujukan kepada penurunan margin laba korporat, devaluasi kompetitif, turunnya harga minyak, peningkatan tensi geopolitik, (krisis) Yunani, dan sebagainya. Pertimbangkan bahwa inflasi suplai uang di dalam lingkungan dengan tingkat bunga sangat rendah telah membanjiri pasar keuangan global dengan likuiditas dan mendorong aksi mengambil risiko lebih besar. Bukannya merekayasa pemulihan ekonomi, mekanisme moneter ini semakin membuat sistem keuangan menjadi lebih rapuh. Dan lebih lama kebijakan moneter ekspansif berlanjut, pasar keuangan akan semakin rapuh pula. Dan pasar keuangan yang semakin rapuh, akan diikuti dengan potensi koreksi pasar semakin dalam. Seperti pejabat The Fed akan meningkatkan suku bunga patokan pertama kali sejak 2006, Bank Sentral ECB mengumumkan relaksasi likuiditas dalam bentuk quantitative easing putaran berikutnya. Pada bagian lain, ECB mungkin mengira bahwa menjadi tanggung jawab mereka untuk memperlambat saat perhitungan yang dapat disebabkan berkurangnya likuiditas Dollar. Di antara keajaiban kebijakan moneter modern adalah fakta bahwa ECB membuat tingkat suku bunga berada di wilayah negatif bagi Bank-Bank yang menyimpan Euro sebagai cadangannya. Langkah yang tidak pernah terjadi sebelumnya akan mendorong perbankan untuk berusaha menutupi biaya penyimpanan cadangan Euro dengan menekan biaya deposito di bawah nol atau meningkatkan fee terhadap akun simpanan di bank. Adalah sangat sulit untuk membayangkan bahwa hasil net akan meningkatkan permintaan agregat, seperti yang diasumsikan sebelumnya sebagaimana alasan dibalik kebijakan moneter ekspansif. Pertama, ini akan mengurangi pendapatan Rumah Tangga yang bergantung pada pendapatan bunga dari tabungan. Kedua, pengusaha baru atau pengusaha yang ingin ekspansi akan sulit meminjam karena lebih mahal. Sementara itu, persyaratan modal di bawah Basel 3 memperlambat pinjaman untuk bisnis karena risiko tertimbang bagi pinjaman komersial antara 100 sampai 150 persen, mensyaratkan bank memiliki modal lebih besar dan penyangga likuiditas. Sekarang perencana terpusat moneter telah menjadi sandera dari berbagai seri gelembung-gelembung keuangan yang mereka ciptakan sendiri. The Fed menyadari bahwa mereka tidak dapat mempertahankan suku bunga rendah selamanya. Namun, mereka ingin keluar dari kebodohannya secara bertahap. Sejarah dan teori menyediakan alasan untuk meragukan perencanaan terpusat, apakah soal moneter atau ekonomi keseluruhan, tidak mungkin berhasil. Untuk itulah, keberadaan kebijakan moneter “tidak lazim” yang terencana akan hampir dapat dipastikan berkurang secara bertahap. Bahkan, peluang yang paling besar adalah jeleknya, rute yang acak (tidak bertahap) sebagaimana kekuatan pasar mulai menegaskan wujudnya. Suatu pembalikan sepertinya akan terjadi saat terdapat menghilangnya kepercayaan umum bahwa proses ekspansi moneter tidak akan terjadi terus-menerus. Sebagaimana proses ekspansi kredit berkurang atau berhenti, investor saham dan pemegang obligasi akan menjumpai diri mereka di tengah-tengah penghancuran edan seperti yang berulang-ulang mereka temui dari waktu ke waktu. Christopher Lingle adalah research fellow pada Centre for Civil Society (CCS) di New Delhi, India dan juga profesor tamu bidang Ekonomi pada Universidad Francisco Marroquin di Guatemala.