i BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes Melitus (DM) adalah kelompok kelainan metabolik yang ditandai dengan adanya hiperglikemia kronik akibat defisiensi insulin baik relatif maupun absolut. Diabetes Melitus ditegakkan jika didapati pasien dengan gejala klasik dari hiperglikemia yang berupa mudah haus, poliuria, penurunan berat badan, dan pandangan kabur, yang disertai adanya data kadar gula darah puasa ≥126 mg/dl atau kadar gula darah acak (random) ≥200 mg/dl, yang telah diulang pada waktu pemeriksaan yang berbeda (ADA, 2004; McCulloh, 2005; Powers, 2005). Manifestasi klinis DM sangat beragam, dapat berupa komponen metabolik dan komponen vaskuler atau angiopati. Kedua komponen ini dapat tampak bersama, atau yang satu mendahului yang lain, ataupun yang satu memperberat yang lain (Asdie, 2000). Diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) umumnya baru diketahui setelah 4 – 7 tahun mengidap kelainan tersebut (Powers, 2005). Prevalensi diabetes di dunia sangat bervariasi, mulai dari <2% sampai 6% (Perkeni, 2010). Seiring dengan meningkatnya prevalensi DM, maka komorbid yang menyertainya akan makin beragam. Komorbid yang sering menyertai DM karena perjalanan penyakitnya namun sering terlupakan adalah depresi. Prevalensi depresi pada penderita DM berkisar 30% (Lustman et al., 2000). Suatu hasil metaanalisis yang melibatkan 27 studi menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang bermakna antara hiperglikemia dan depresi baik pada DM tipe 1 maupun tipe 2 (Lustman et al., 2001). Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa adanya komorbid depresi pada individu dengan diabetes berhubungan dengan outcome penyakit yang lebih buruk seperti kontrol gula darah, meningkatkan terjadinya komplikasi terutama kardiovaskuler dan retinopati, mengurangi kepatuhan berobat serta mengurangi kualitas hidup (Lustman et al., 2000; Golden et al., 2004). Studi-studi juga telah menunjukkan bahwa penderita diabetes dengan depresi mengeluarkan biaya pemeliharaan kesehatan yang lebih banyak dibandingkan penderita diabetes saja (Egede & Ellis, 2010). Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Chiechanowski dkk (2000) ditunjukkan bahwa individu dengan diabetes dan depresi memiliki peningkatan sebanyak dua kali lipat pada pembiayaan kesehatan dibandingkan mereka yang tanpa depresi. Studi terakhir telah menunjukkan bahwa adanya komorbid depresi meningkatkan resiko kematian pada populasi diabetes. Studi yang dilakukan oleh Katon dkk menunjukkan bahwa individu diabetes dengan depresi memiliki peningkatan resiko sebesar 36-38% untuk semua penyebab kematian selama kurun waktu dua tahun. Hasil studi dari National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) I Epidemiologic Follow-up Study mengindikasikan bahwa individu diabetes dengan depresi memiliki peningkatan resiko mortalitas sebesar 54% dibandingkan dengan mereka yang tanpa depresi (Katon et al., 2008). ii Stres kronis dan berat bagi individu, dapat menimbulkan perubahan fungsional dan perubahan struktural pada berbagai area di otak. Perubahan fungsional berupa perubahan hormonal dan neurotransmisi yang meliputi peningkatan aktivitas noradrenergik dan peningkatan kadar kortisol, yang jika berlangsung kronis akan mengakibatkan perubahan struktural, yang dapat berupa atrofi sel piramidal dan penurunan volume hipokampus. Disamping itu peningkatan aktivitas Hipofisis-Pituitari-Adrenal Aksis (HPA) pada awalnya dapat mengakibatkan perubahan kadar interleukin 6 (IL-6) yang mempunyai korelasi positif dengan neurotransmitter norepinephrin (noradrenergik) (Ganong, 1995). Pada pasien-pasien depresi dan DM dengan buruknya kontrol gula darah dapat mencetuskan terjadinya proses atherogenesis dan proses inflamasi. Inflamasi sendiri dapat menyebabkan pengeluaran mediator mediator dan penanda dan inflamasi itu sendiri seperti sitokin, khemokin dan Tumor necrosis factor. Sitokin adalah suatu glikoprotein yang berasal dari sel T helper, sel natural killer (NK) dan makrofag, yang berperan penting pada respon tubuh melawan infeksi (Cheung et al, 2005). Sel T helper terdiri dari dua subset yang masing-masing menghasilkan sitokin pengatur perbedaan fungsi imun efektor dan bereaksi satu sama lain. Sel T helper tipe 1 (Th-1) menghasilkan IFN-γ (interferon gama), IL-2 (interleukin-2) dan TNF-α (tumor necrosis factor alfa). Sitokin ini mengaktifkan makrofag, untuk membentuk sitokin pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6 dan menginduksi mekanisme imun efektor sitotoksik dari makrofag. Sebaliknya, sel T helper tipe 2 iii (Th-2) menghasilkan IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Sitokin ini menginduksi pembentukan antibodi tetapi juga menghambat fungsi makrofag dan disebut sitokin anti inflamasi (Cheung et al, 2005). Pada penyakit DM dan depresi sangat mungkin telah terjadi proses inflamasi kronis dan kadang disertai adanya proses infeksi sehingga keberadaan penanda inflamasi sangat bermafaat terhadap therapi jika dapat diketahui sejak awal. Penanda inflamasi ini penting untuk mendukung tata laksana dan pemilihan pendekatan therapi pada penderita DM dengan depresi. Penatalaksanaan depresi terdiri dari tiga macam yaitu intervensi psikoterapi, farmakoterapi dan terapi kombinasi (Baldwin dan Mayers, 2003). Disamping ketiga modalitas terapi depresi diatas, terdapat mind and body intervention yang banyak direkomendasikan dan dipakai untuk terapi komplementer. Akhir-akhir ini ada peningkatan penggunaan meditasi, yoga, dan latihan pernafasan sebagai terapi komplementer. Yoga dikerjakan oleh hampir 20% orang yang disurvey dan direkomendasikan untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan nyeri dan kekakuan osteoartritis kronik, hipertensi, depresi dan ansietas. Survey terbaru pada populasi juga melaporkan tentang penggunaan meditasi, relaksasi dan latihan pernafasan untuk mengatasi ansietas, depresi dan nyeri kronik (Koithan, 2009). Latihan pasrah diri (LPD) merupakan salah satu metode dalam mind and body intervention. Latihan pasrah diri ini adalah salah satu metode perpaduan antara relaksasi dan dzikir dengan fokus latihan pada pernafasan dan kata yang terkandung dalam dzikir (relaxation and repetitive prayer) untuk membangkitkan iv respons relaksasi yang diharapkan, sehingga mampu memperbaiki gejala stres ataupun gejala depresi (Dharma, 2006). Latihan pasrah diri pada penderita DM dengan simtom depresi diharapkan dapat menurunkan mediator inflamasi sistemik salah satunya IL-6. B. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat pengaruh kombinasi latihan pasrah diri dan fluoxetine dibandingkan dengan fluoxetine tunggal terhadap perubahan kadar IL-6 pada penderita diabetes melitus tipe 2? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh kombinasi latihan pasrah diri dan fluoxetine dibandingkan dengan fluoxetine tunggal terhadap perubahan kadar IL-6 pada penderita diabetes melitus tipe 2 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pasien, penelitian ini dapat memberikan harapan bahwa penderita DM yang mengalami simtom depresi, kadar IL-6 diharapkan menurun dengan latihan pasrah diri. 2. Bagi peneliti, dapat mengetahui apakah latihan pasrah diri yang murah dan sederhana dapat menurunkan kadar IL-6 pada penderita DM dengan simtom depresi. v 3. Bagi institusi, memberikan data tentang pengaruh LPD terhadap penurunan kadar IL-6 pada penderita DM dengan simtom depresi, sehingga dapat dijadikan acuan dan menambah wawasan untuk penelitian selanjutnya. 4. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat diaplikasikan dalam pengelolaan penderita DM dengan simtom depresi untuk menurunkan kadar IL-6 sehingga menekan biaya yang mebebani pengobatan farmakoterapi dan mengurangi efek samping obat-obatan. Hasil penelitian dapat memberikan informasi apakah terapi fluoxetin tunggal atau fluoxetin dan latihan pasrah diri memberikan perubahan bermakna pada kadar IL-6 pasien-pasien diabetes dengan simtom depresi. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh latihan pasrah diri sebagai terapi tambahan pada terapi standar diabetes melitus tipe 2 dengan gejala depresi telah dilakukan oleh Widodo (2008) dan Dharma (2006). Hasil dari penelitian tersebut didapatkan perubahan bermakna rerata skor Beck Depression Index antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Departemen kesehatan di Amerika Serikat merilis laporan tentang gangguan psikiatrik berupa ansietas, depresi, hipertensi, obesitas, diabetes dan gagal jantung kronis pada penderita yang telah mengalami insomnia selama 12 bulan terakhir. Dari pasien pasien tersebut, 4,5% menjalani terapi CAM (Complementary and Alternative Medicine) seperti herbal (64,8%) atau terapi relaksasi (39,1%). Sebagian besar partisipan merasa terbantu dengan modalitas terapi ini (Koithan, 2009). vi Tabel 1. Penelitian tentang pengaruh latihan pasrah diri subyek diabetes melitus tipe 2 dengan gejala depresi Peneliti/Metode Judul Hasil Widodo, 2008 Prospective, Randomized, Open, End-blinded Evaluation/PROBE Controlled Trial Subyek: 44 subyek DM tipe 2 dengan gejala depresi Pengaruh Latihan Pasrah Diri Terhadap Angka Leukosit Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Gejala Depresi Dharma, 2006 Prospective, Randomized, Open, End-blinded Evaluation/PROBE Controlled Trial Subyek: 36 subyek DM tipe 2 dengan gejala depresi Pengaruh latihan pasrah diri terhadap kontrol gula darah pada penderita diabetes melitus tipe 2 dengan gejala depresi Latihan pasrah diri selama 21 hari tidak mempengaruhi penurunan angka leukosit pada subyek penderita DM tipe 2 dengan gejala depresi, meskipun menurunkan skor gejala depresi (BDI) secara bermakna. Latihan pasrah diri selama 21 hari mempengaruhi gejala depresi (BDI) dan kadar glukosa darah, namun secara statistik tidak secara bermakna pada subyek penderita DM tipe 2 dengan gejala depresi. vii