2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 – 29 OC (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian timur erat kaitannya dengan sifat perairan laut tropis, yaitu suhu permukaan yang tinggi dengan variasi yang kecil di daerah ekuator yaitu berkisar 2OC dan variasi yang lebih besar yaitu 3 – 4 OC pada Laut Banda, Arafura, dan Timor. Stratifikasi suhu massa air di perairan Indonesia memiliki tiga lapisan air. Susunan tersebut terdiri dari lapisan tercampur, lapisan termoklin, dan lapisan dingin. Pada lapisan tercampur, suhu berkisar antara 28 – 31 OC. Lapisan termoklin menunjukkan penurunan suhu dengan cepat (dari 28 menjadi 9 OC) terhadap kedalaman. Sedang pada lapisan dingin suhu berkisar antara 2 – 9 OC. Secara umum SPL tergolong lapisan yang hangat karena mendapat radiasi sinar matahari. Lapisan permukaan hingga kedalaman 50 – 70 m terjadi pengadukan karena faktor angin, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat yang homogen. Suhu di lapisan termoklin sudah tidak dipengaruhi kondisi meteorologi, tetapi ditentukan oleh kedalaman ambang (sill depth) dan sirkulasi lapisan dalam (Wyrtki, 1961). Pada lokasi upwelling SPL bisa turun sampai sekitar 25 OC. Hal ini disebabkan air yang dingin dari lapisan bawah yang bersuhu rendah terangkat ke atas (Nontji, 2005). 3 4 2.1.2 Meteorologi Kondisi iklim di Indonesia oleh Wyrtki (1961) dibagi menjadi tiga golongan. Musim barat terjadi pada sekitar bulan Desember hingga Februari, yang umumnya angin bertiup sangat kencang dan curah hujan tinggi. Pada musim pancaroba awal tahun (April sampai dengan Mei) sisa arus dari musim barat mulai melemah dan bahkan arah arus tidak menentu hingga di beberapa tempat terjadi olak-olakan (eddies). Pada bulan Juni hingga Agustus mulai berkembang arus musim timur dan arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya menuju Laut Cina Selatan. Pada musim pancaroba akhir tahun sekitar Oktober sampai Nopember, pola arus berubah lagi dan arah tidak menentu, tapi mulai bergerak dari timur ke barat (Wyrtki, 1961). Pada musim barat, angin selama tiga bulan bertiup terus menerus dalam satu arah. Letak garis Laut Cina, Selat Karimata, Laut Jawa, Laut Bali, Laut Flores, Laut Banda Selatan dan Laut Arafura hampir berhimpit dengan sumbu bertiupnya angin. Oleh sebab itu pada musim barat laut, arus musim dari Laut Cina Selatan masuk ke Laut Jawa terus ke Laut Bali, Laut Banda Selatan, Laut Arafura, dan sebagai arus kompensasi ada dua yaitu satu menuju ke Samudra Pasifik dan satunya lagi menuju ke Samudra Hindia. Arus yang menuju Samudra Pasifik berasal dari Laut Flores lewat Laut Banda Utara, Laut Seram dan Laut Halmahera, sedang arus yang menuju Samudra Hindia berasal dari Laut Banda Selatan lewat Laut Timor (Wyrtki, 1961). Pada musim timur terjadi keadaan yang sebaliknya. Arus dari Laut Banda dan Laut Arafura masuk ke Laut Flores terus menuju Laut Bali, Laut Jawa dan Laut Cina Selatan. Arus ini diperkuat oleh arus kompensasi yang datang dari 5 Samudra Pasifik yaitu melalui Laut Halmahera, Laut Seram dan Laut Banda Utara, lainnya melewati Laut Sulawesi dan Selat Makasar (Wyrtki, 1961). 2.2 Parameter Oseanografi dalam Menduga Upwelling Upwelling merupakan suatu peristiwa dimana massa air dari perairan dalam yang bersuhu rendah, salinitas tinggi, kadar oksigen terlarut rendah, serta tinggi akan nutrien naik ke permukaan. Proses kenaikan massa air tersebut mengakibatkan air di permukaan menjadi subur, keadaan ini selanjutnya akan memicu terjadinya proses melimpahnya produsen, yang memanfaatkan kesuburan perairan tersebut untuk melakukan proses fotosintesis (Wouthuyzen, 2002). Upwelling meliputi daerah yang luas, umumya terdapat di sepanjang pantai benua dan terjadinya berkaitan erat dengan tiupan angin kearah laut (offshore wind) atau sejajar garis pantai yang mampu memindahkan sejumlah massa air laut di lapisan permukaan dari daerah pantai ke arah laut lepas. Tempat yang kosong di lapisan atas akan diisi oleh massa air dari lapisan yang lebih dalam. Air naik dapat pula terjadi di laut lepas terutama di tempat-tempat divergensi atau percabangan arus yang kuat (Nontji, 2005) Menurut Wyrtki (1961), upwelling dibedakan menjadi beberapa jenis: 1. Jenis tetap (stationary type), terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya berubah-ubah. Contoh: upwelling yang terjadi di lepas Pantai Peru 2. Jenis berkala (periodic type), terjadi hanya selama satu musim saja. Contoh: upwelling di Selatan Jawa 6 3. Jenis silih berganti (alternating type), terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (downwelling) Contoh: air naik dan tenggelam di Laut Banda dan Laut Arafura Di beberapa daerah, upwelling di Indonesia sudah diketahui dan dibuktikan dengan pasti, tetapi di beberapa daerah lainnya masih merupakan dugaan yang masih perlu dikaji lebih lanjut. Pada Gambar 1 ditampilkan empat daerah yang sudah diketahui secara pasti sering terjadi upwelling yaitu Laut Cina Selatan, perairan Selatan Jawa hingga Sumbawa, selatan Selat Makasar, dan Laut Banda-Arafura (Nontji, 2005). Parameter-parameter oseanografi yang digunakan untuk menduga penyuburan pada penelitian ini adalah SPL dan Klorofil-a. Gambar 1. Peta daerah upwelling di daerah Indonesia. 2.2.1 Suhu Permukaan Laut Sebaran suhu yang ada di permukaan laut hingga mencapai kedalaman 10 m didefinisikan sebagai SPL. Di lokasi dimana terjadinya upwelling, misalnya di Laut Banda, suhu SPL bisa turun sampai sekitar 25 OC disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke permukaan (Nontji, 2005). 7 Daerah yang paling banyak menerima radiasi dari sinar matahari adalah daerah yang terletak pada lintang 10O LU–10O LS. Oleh karena itu, suhu air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah ekuator. Jumlah bahang yang diserap oleh air laut pada suatu lokasi semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Sverdrup et al., 1961 dalam Hatta, 2001). Selain faktor sinar matahari, suhu di daerah tropik juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi antara lain ialah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, dan kecepatan angin sehingga suhu air di permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman (Nontji, 2005). 2.2.2 Klorofil-a Plankton adalah organisme yang hidup melayang atau mengambang di dalam air. Kemampuan gerak plankton kalaupun ada sangat terbatas sehingga plankton selalu terbawa oleh arus (Nontji, 2005). Fitoplankton (plankton nabati) merupakan tumbuhan yang banyak ditemukan di semua perairan, ukurannya mikroskopis sehingga sukar dilihat. Fitoplankton dapat ditemukan di seluruh massa air mulai dari permukaan laut sampai kedalaman dimana intensitas cahaya masih memungkinkan untuk melakukan proses fotosintesis (zona eufotik) (Nontji, 2005). Klorofil-a merupakan pigmen paling dominan yang terdapat pada fitoplankton, sehingga klorofil-a dapat digunakan untuk menduga kelimpahan fitoplankton di suatu perairan (Parsons et al., 1977 dalam Prihartato, 2009), klorofil juga sering kali digunakan sebagai indikator blooming fitoplankton (Lamon et al., 1996). Semakin tinggi kandungan klorofil-a pada suatu perairan makan makin banyak biomassa fitoplankton di perairan tersebut. Disisi lain, 8 kondisi klorofil-a baik keanekaragaman dan distribusi juga dipengaruhi oleh faktor kondisi atmosfer, lokasi dan kondisi perairan itu sendiri (Cohen, 1986 dalam Sediadi 2004). 2.3 Aplikasi Inderaja dalam Studi Upwelling Teknologi penginderaan jarak jauh telah banyak digunakan pada penelitian untuk variabilitas konsentrasi klorofil-a (penyuburan) pada wilayah-wilayah di Indonesia. Beberapa penelitian tentang variabilitas konsentrasi klorofil-a dengan mengunakan teknologi inderaja yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1 Hasil penelitian dari citra satelit SeaWiFS di perairan Pulau Moyo menyatakan bahwa tingginya konsentrasi klorofil-a diduga disebabkan terjadinya upwelling (Zulkarnaen, 2009). 2 Hasil penelitian dari citra satelit LANDSAT-5 TM pada Juli 1996 dan musim peralihan II (September 1997, dan oktober 1994) memperlihatkan bahwa konsentrasi klorofil-a relatif lebih rendah pada musim timur dan meninggi justru pada musim peralihan II. Dari penelitian ini terlihat bahwa walaupun upwelling membawa kadar zat hara yang tinggi, namun tidak langsung menyuburkan perairan (Wouthuyzen, 2002) 3 Hasil penelitian dari citra satelit Aqua Moderate Resolution Imaging Spetroradiometer (MODIS) memperlihatkan bahwa konsentrasi klorofil-a yang tinggi di Selat Sunda terjadi pada musim timur dan musim peralihan II. Di Laut Jawa bagian barat konsentrasi klorofil-a yang tinggi terjadi pada musim barat dan musim timur. Konsentrasi klorofil-a tinggi yang terjadi di Selatan Jawa bagian barat dan Pantai Barat Sumatera bagian selatan memiliki 9 waktu yang sama dengan konsentrasi klorofil-a tinggi yang terjadi di Selat Sunda (Ramansyah, 2009). Pada penelitian ini, untuk pendeteksian penyuburan di Laut Banda didekati dengan menggunakan konsentrasi klorofil-a melalui pengukuran satelit SeaWiFS, dengan dibantu data pendukung berupa data SPL satelit NOAA, dan data peramalan angin dari European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF). 2.3.1 Spesifikasi Satelit SeaWiFS Sensor satelit SeaWiFS memiliki delapan kanal yang terdiri dari enam kanal gelombang sinar tampak dan dua kanal sinar infra merah. Kanal satu sampai enam memiliki lebar kanal 20 nm, kanal tujuh dan delapan memiliki lebar kanal 40 nm (NASA, 2011). Karakteristik sensor SeaWiFS tersaji pada Tabel 1 dan panjang gelombang dan fungsi kanal SeaWiFS dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Karakteristik sensor SeaWiFS (Hooker dan Firestone, 1992 dalam Zulkarnaen, 2005) No Karakteristik Uraian 1 Resolusi spasial 1,1 km LAC dan 4,5 km GAC 2 Akurasi radiometrik < 5% absolute setiap kanal 3 Lebar Sapuan 2800km LAC dan 1502 km GAC 4 Sudut sapuan + 5,830 LAC dan +450 GAC 5 Orbit Sun-synchronous, descending 6 Periode orbit 99 menit 7 Ketinggian orbit 705 km 8 Inklinasi 98,20 9 Kemiringan -200, 00, +200 10 Tabel 2. Karakteristik panjang dan fungsi kanal satelit SeaWiFS Kanal Panjang Gelombang (nm) Lebar Kanal (nm) Sepktrum Warna 1 402-422 20 Biru Dissolved organic matter (absorbsi biru) 2 433-453 20 Biru Klorofil (absorbsi biru) 3 480-500 20 Cyan Klorofil (absorbsi biru) 4 500-520 20 Hijau Klorofil (absorbsi hijau) 5 545-565 20 Hijau Klorofil (refleksi hijau) 6 660-680 20 Atmospheric aerosol 7 745-785 40 Merah Inframerah dekat 8 845-885 40 Inframerah dekat Atmospheric aerosol Kegunaan Utama Atmospheric aerosol Sumber: NASA, 2011 2.3.2 Spesifikasi Satelit NOAA Data SPL diperoleh dari satelit NOAA dengan sensor Avanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). AVHRR memiliki lima buah kanal dengan fungsi yang berbeda pada tiap kanal, fungsi masing-masing kanal dapat dilihat pada Tabel 3. Satelit penginderaan jarak jauh yang sering digunakan dalam pengamatan lingkungan dan cuaca adalah satelit NOAA dengan sensor AVHRR. Satelit NOAA diluncurkan oleh NASA dan sekarang diperasikan oleh NOAA dari departemen perdagangan Amerika, nama satelit sama dengan nama organisasi yang mengelola 11 Tabel 3. Karakteristik kanal AVHRR/3 Kanal Panjang Gelombang (μm) Daerah Spektrum 1 0,58 – 0,68 Sinar tampak (visible) - Mendekati permukaan darat dan laut Pemetaan awan di siang hari Pemantauan salju dan lapisan es Mendeteksi jenis awan Memantau perkembangan tanaman 2 0,725 – 1,10 Inframerah dekat (near infrared) Menentukan batas perairan Pemantauan salju dan es yang mencair Pendugaan daerah yang bervegetasi, areal pertanian dan survey daratan Fungsi - 3A 1,58 – 1,64 3B 3,55 – 3,93 Inframerah jauh (far infrared) - Deteksi salju dan es - Penentuan awan di malam hari Membedakan antara daratan dan lautan Memantrau aktivitas vulkanik Memonitor kebakaran hutan 4 10,30 – 11,30 Inframerah jauh (far infrared) - Pengukuran SPL Pemetaan awan siang dan malam Mengukur kelembaban tanah 5 11,50 – 12,50 Inframerah jauh (far infrared) Memiliki fungsi yang sama dengan kanal 4 Sumber: NOAA, 2011