Sahabat Senandika - Yayasan Spiritia

advertisement
Yayasan Spiritia
No. 39, Februari 2006
Sahabat Senandika
Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha
Laporan Kegiatan
Pertemuan Odha Wilayah
se-Kalimantan
12-15 Februari 2006
Oleh: Siradj Okta
Pada pertengahan bulan Februari 2006, Yayasan
Spiritia mengadakan Pertemuan Odha SeKalimantan. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari
Pertemuan Odha Wilayah sebagai pertemuan yang
menyediakan ruang dan kesempatan bagi temanteman odha dan ohidha yang belum terlibat dalam
penanggulangan HIV/AIDS untuk saling berbagi
perasaan, saling memberi dukungan satu sama lain,
dan peningkatan pengetahuan seputar HIV/AIDS,
dengan demikian dapat meningkatkan rasa percaya
diri peserta.
Pertemuan yang dilakukan di Pontianak tersebut
melibatkan 18 peserta dari 4 provinsi yang ada di
Pulau Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kalsel,
Kaltim), sebagian besarnya adalah odha. Selain dari
ibukota provinsi, peserta juga ada yang berasal dari
kabupaten/kota. Dalam penyelenggaraan
pertemuan 3 hari ini, Spiritia membentuk panitia
penyelenggara (steering comittee) bersama kelompokkelompok dukungan sebaya yang ada di
Kalimantan, yaitu Yayasan Pontianak Plus,
Singkawang Plus, dan Kesuma Family Support.
Pembentukan panitia bersama ini bermaksud
meningkatkan keterlibatan komunitas lokal sebagai
ajang peningkatan pengalaman, dan menjalankan
kegiatan berjejaring. Panitia bersama ini merancang
kegiatan sejak awal, termasuk pilihan topik yang
akan dibawakan dan komposisi peserta.
Selama pertemuan, panitia mengadakan berbagai
sesi seperti HIV/AIDS Dasar, Pengobatan, Infeksi
oportunistik (oleh dr. Niken Tri Utami dari
Banjarmasin), Terapi Tertawa (oleh dr. Bumbunan
Sitorus dari Pontianak), Berbagi Pengalaman,
Kunjungan ke Yayasan Pontianak Plus dan Kesuma
Family Support, Pemutaran Film, dan sebagainya.
Dari evaluasi, peserta menyatakan mendapatkan
manfaat dari pertemuan, karena bertemu dengan
teman sebaya untuk berbagi, meningkatnya rasa
percaya diri, meningkatnya pengetahuan, dan
memiliki teman baru sebagai jaringan dukungan.
Pada akhir kegiatan ini juga diadakan Malam
Keakraban yang menampilkan persembahanpersembahan kesenian dari peserta pertemuan,
maupun dari tamu lainnya. Pada malam keakraban
itu diundang teman-teman yang ada di Pontianak
dan para pihak terkait seperti pejabat pemerintahan
untuk bersilaturahmi dan melestarikan hubungan
yang harmonis.
Dari pertemuan ini, semakin nyata bahwa
dukungan sebaya merupakan salah satu kebutuhan
odha dan juga ohidha dalam meningkatkan kualitas
hidupnya.
Daftar Isi
Laporan Kegiatan
1
Pertemuan Odha Wilayah se-Kalimantan 1
Laporan Singkat: Simposium Bangkok
Pengobatan HIV ke-9 (2)
2
Pengetahuan adalah kekuatan
4
Teh Hijau Hambat Progresifitas HIV
4
Kandidiasis Oral Waktu Pakai ART Tandai
Kegagalan Kekebalan
4
Pojok Info
Lembaran Informasi Baru
Tips
Tips untuk Odha
5
5
5
5
Tanya-Jawab
6
Tanya Jawab
6
Positive Fund
6
Laporan keuangan Positive Fund
6
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi dengan dokter.
Laporan Singkat:
Simposium Bangkok
Pengobatan HIV ke-9 (2)
Oleh Babe, 22 Januari 2005
6. Penularan Ibu-ke-Bayi (MTCT). Kebanyakan
diskusi tentang hal ini membahas risiko timbulnya
resistansi terhadap nevirapine setelah dosis tunggal
untuk mencegah penularan. Sekarang semakin jelas
bahwa resistansi ini terjadi dalam mayoritas kasus.
Oleh karena ini, pedoman terkini mengusulkan
penggunaan AZT + 3TC selama beberapa hari
untuk men-cover ‘buntut’ nevirapine ini. Ada
kekawatiran bahwa tindakan ini dapat menimbulkan
resistansi terhadap 3TC, tetapi uji coba klinis lain
memberi kesan bahwa resistansi ini kemungkinan
besar tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat
ini.
Satu pembicara juga mencatat bahwa penggunaan
ART sudah mengurangi angka penularan di bawah
2 persen, dan menanyakan apakah bedah Sesar
menimbulkan risiko yang lebih besar dibandingkan
manfaat bila ART dapat dipakai. Catatan: ART
selama kehamilan pasti lebih murah daripada bedah
Sesar!
7. Strategi Terapi Pediatrik. Sayangnya hanya
sedikit dari sesi ini sebenarnya membahas masalah
pengobatan untuk anak, dan memberikan hanya
sedikit informasi baru. Ada diskusi mengenai terapi
imun, dengan teh hijau sebagai satu calon yang
mungkin.
8. Hepatotoksisitas. Efek samping ini sering
dibahas, terutama dalam studi kasus. Kebanyakan
pakar mengusulkan pemantauan enzim hati yang
tinggi saja, walaupun di atas lima kali batas atas, asal
tidak ada gejala. Umumnya, enzim tinggi akan
turun sendiri setelah beberapa waktu. Saat saya
mencatat bahwa dokter di Indonesia biasanya
meresepkan ‘hepatoprotektor’ buatan jamu,
tampaknya ini dianggap lucu! Tetapi tidak
ditawarkan pilihan lain. Mungkin kita harus lebih
tegas melakukan uji coba klinis terhadap jamu ini.
9. Micobakterium. Beberapa presentasi mengenai
koinfeksi HIV/TB. Ada kesepakatan secara umum
bahwa tes kulit (PPD) memberi hanya sedikit
manfaat. Tes TB Sport yang baru mungkin lebih
berguna, tetapi tes ini belum disetujui untuk orang
HIV-positif, dan juga tidak dapat dipakai untuk
MAC. Pembicara ragu mengenai manfaat dari
profilaksis isoniazid (IPT) secara massal, terutama
di daerah TB adalah endemis, karena ada risiko
tinggi terhadap reinfeksi/infeksi ulang; dalam
keadaan ini, IPT seharusnya diberi seumur hidup,
2
dan ini tidak praktis. ART lebih efektif. Namun satu
pembicara menyetujui IPT harus diberikan pada
Odha yang terpajan pada TB aktif selama lebih dari
delapan jam, mis. bila hidup berumah tangga
dengan kasus yang dikonfirmasi.
Rejimen dua kali seminggu untuk TB terbukti
kurang efektif untuk Odha dengan CD4 di bawah
100. Ada asumsi bahwa tiga kali seminggu sama
efektif dengen sekali sehari pada kelompok ini,
tetapi hal ini belum dibuktikan.
Dua studi kasus mencatat bahwa kita sebaiknya
tidak melupakan kemungkinan adanya MAC bila
CD4 rendah, terutama pada kasus dengan demam –
infeksi ini lebih sering menyebabkan demam
dibandingkan TB dalam satu penelitian di Thailand.
Kelenjar yang bengkak sebaiknya sering disedot
(aspirated) untuk menghindari letusan.
10. Manifestasi Neurologis. Walaupun studi
kasus terkait masalah ini menarik, hampir semuanya
melibatkan pengamatan CT dan MRI, yang
kemungkinan tidak terjangkau di Indonesia. Dicatat
bahwa meningitis kriptokokkus terjadi relatif
sering. Infeksi ini dapat diidentifikasi relatif mudah
dan murah dengan antigen dalam contoh darah dan
dari sakit kepala pada bagian depan yang tidak pulih
dengan penggunaan parasetamol.
11. IRIS (Sindrom Pemulihan Kekebalan).
Dicatat bahwa belum ada definisi kasus IRIS,
bahwa sindrom ini dapat mengambil dua bentuk
(reaktivasi atau ‘unmasking’ - membuka topeng), dan
tidak ada dasar bukti (evidence base) untuk
penggunaan kortikosteroid; justru obat ini kadang
kala dapat memperburuk masalah. IRIS umumnya
terjadi dalam tiga bulan pertama setelah mulai ART,
tetapi dapat membutuhkan sampai dua tahun.
12. Sunatan. Beberapa referensi pada bukti baru
mengenai sifat pencegahan dari sunatan. Satu
komentar yang menarik adalah bahwa ada beberapa
bukti dari data retrospektif di Uganda yang
memberi kesan bahwa daya menular laki-laki
tersunat mungkin lebih rendah.
13. Obat Baru. Sekarang ada banyak keraguan
apakah CCR5 inhibitor yang saat ini dalam
perkembangan akan sampai ke pasar – hampir
semuanya tampaknya gagal dalam uji coba klinis.
Namun dua NNRTI (TMC-125 and TMC-278)
yang efektif terhadap mutan resistan menunjukkan
harapan, walaupun sementara TMC-125 berhasil di
AS, obat ini gagal dalam uji coba di Thailand.
14. Hepatitis Virus. Dicatat bahwa kejadian
kematian akibat penyakit hati relatif rendah, dan
tampaknya ART membantu untuk menstabilkan
penyakit hati. Namun, ada bukti bahwa d4T
kemungkinan mengakibatkan fibrosis. Hanya ada
sedikit bukti bahwa 3TC dalam rejimen ART
Sahabat Senandika No. 39
mempunyai pengaruh besar pada kelanjutan
hepatitis B, tetpai belum ada penelitian mengenai
dampak TDF pada Odha dengan koinfeksi HBV.
Dicatat bahwa “mulai muncul bukti bahwa TDF
dapat memberi perubahan besar pada HBV”,
dengan tidak ditemukan munculnya kembali oleh
virus akibat resistansi setelah tiga tahun.
15. ART untuk IDU. Diskusi mengenai topik ini
terbatas. Namun dicatat bahwa “Kepatuhan di
antara IDU lebih baik daripada dianggap oleh
beberapa dokter.”
16. Peranan Protease Inhibitor. Menjadi jelas
hampir tidak ada peranan untuk PI yang tidak diboosted sekarang – nelfinavir jarang dibahas. Obat
kita paling mungkin akan bertemu adalah lopinavir/
r (Kaletra) dan saquinavir/r, walaupun mungkin
yang lain akan muncul nanti. Obat ini memberikan
hasil yang lebih baik, toksisitas kurang dan
resistansi sangat jarang pada pasien yang belum
memakai ART. Namun mereka masih
menimbulkan komplikasi metabolisme, dan harus
dipantau secara hati-hati. Satu keprihatinan adalah
kombinasi ddI, TDF dan lopinavir/r sebagai
rejimen lini kedua. Kombinasi ini sudah tidak
disarankan lagi, walaupun masih sering dipakai,
terutama karena masalah efek samping lebih berat
akibat ddI. Dengan pemantauan secara hati-hati,
masalah ini dapat diantisipasikan dan dihindari.
Masalah lain adalah bahwa lopinavir/r harus
dipakai dengan makan, sementara ddI harus dipakai
dengan perut kosong. Namun bila hal ini
menimbulkan masalah kepatuhan, lebih baik
memakai semuanya dengan makan daripada dosis
salah satu dilupakan; dampak dari perubahan ini
kemungkinan sangat kecil.
17. Efek Samping. Selain yang dibahas di atas,
tekanan khusus diberikan pada asidosis laktik dan
resistansi insulin. Asidosis laktik, walaupun jarang
terjadi, dapat berkembang sangat cepat dan segera
menjadi fatal, dan dokter harus selalu
mempertimbangkan hal ini bila efek buruk dialami
beberapa waktu setelah ART dimulai, terutama
dengan d4T. Saya curiga beberapa kasus ‘kematian
mendadak’ yang kita alami mungkin diakibatkan
asidosis laktik yang tidak didiagnosis. Resistansi
insulin lebih umum dengan PI, dan dapat
menimbulkan masalah jantung.
Satu topik lain yang sering dibahas adalah
lipodistrofi, sebuah masalah yang pasti akan
meningkat di Indonesia. Sementara lipohipertofi
(pertumbuhan lemak viskeral, mis. ‘punuk kerbau’)
sering dibahas, ada bukti bahwa hal ini tidak lebih
umum pada Odha (yang pakai ART atau tidak)
dibandingkan orang HIV-negatif. Yang lebih
memprihatinkan adalah lipoatrofi (kehilangan
Februari 2006
lemak, biasanya dari pipi dan lengan/kaki), dengan
bukti bahwa ini diperburuk oleh d4T, kurang
tekanan pada virus, dan usia lebih lanjut (PI tidak
menimbulkan dampak dibandingkan dengan
lipohipertofi). Walaupun hal ini dapat menghasilkan
peningkatan pada trigliserida dan resistansi insulin,
masalah yang jauh lebih besar adalah dampak
psikologis, dengan pengaruh pada kepatuhan.
Mengalihkan dari d4T ke AZT, atau (lebih baik)
ABC atau TDF, atau pun ddI dapat membantu.
Pengobatan dengan uridin ditunjukkan efektif
dalam menumbuh kembali lemak.
18. Demensia. Masalah ini masih tetap ditemukan,
dan justru menjadi lebih umum, dalam era ART,
karena Odha cenderung tahan hidup lebih lama.
Sampai saat ini belum ada terapi yang baik, tetapi
menggantikan ARV dengan yang lebih efektif
menembus sawar darah-otak dapat membantu.
19. Profilaksi Prapajanan (Pre-exposure
Prophylaxis/PREP). Kami mendengar mengenai
masalah yang dihadapi oleh uji coba klinis yang
direncanakan dengan memakai tenofovir dalam
kelompok rentan (pekerja seks dan IDU), yang
dipakai sekali sehari untuk mencegah infeksi HIV.
Profilaksis macam ini sangat umum (malaria, TB,
IO), jadi tidak jelas mengapa para ‘aktivis’
menolaknya. Ada kesepakatan bahwa kita harus
berupaya lebih baik dalam hal menjelaskan
logikanya. Tetapi kita juga sebaiknya tidak
membatasi uji coba pada satu macam obat saja;
hampir semua obat yang menghambat riwayat
hidup HIV awal dapat efektif, dengan 3TC sebagai
calon yang sangat baik karena toksisitasnya rendah.
Namun PREP harus dibatasi pada orang yang
diyakinkan HIV-negatif (bagaimana?), atau kita
akan mendorong penularan dengan virus yang
reistan terhadap obat yang diapaki untuk PREP.
Secara ideal, kita sebaiknya mencadangkan satu
golongan obat khusus untuk maksud ini.
20. Penghentian Pengobatan Sementara
(Structured Treatment Interruptions/STI).
Presentasi ini didominasi oleh berita yang sangat
baru bahwa uji coba klinis SMART dihentikan. Uji
coba ini yang sangat besar melihat STI yang
dikendalikan oleh jumlah CD4. Oleh karena
kemiripan uji coba in dengan uji coba lain yang
berhasil (walaupun lebih kecil), tidak jelas mengapa
uji coba SMART gagal, dan hal ini harus dievaluasi
lagi. Hasil ini harus mengingatkan kita bahwa STI
harus dibatasi pada sarana penelitian, dengan
pemantauan yang ketat. STI jelas belum siap untuk
dipakai ‘sehari-hari’ dalam praktek klinis biasa, dan
orang yang memakai ART harus sangat hati-hati
menghentikan terapinya secara sementara tanpa
persetujuan penuh dan dukungan oleh dokter.
3
Pengetahuan
adalah kekuatan
Teh Hijau Hambat
Progresifitas HIV
Teh hijau telah dikenal oleh masyarakat sebagai
minuman yang memiliki banyak manfaat bagi
kesehatan. Minuman ini juga dikenal sebagai salah
satu bahan minuman pelangsing tubuh. Selain
digunakan sebagai bahan minuman untuk
melangsingkan tubuh, teh hijau diyakini memiliki
manfaat untuk menghambat progresivitas virus
HIV. Dr Nasronudin Sp PD, Kepala Unit
Perawatan Intermediet Penyakit Infeksi (UPIPI)
RSU Dr Soetomo Surabaya menyatakan teh hijau
memiliki kandungan cathechin. Di dalam tubuh,
cathechin dari teh hijau ini akan bekerja
memblokade reseptor CD 4 sehingga virus HIV
akan sulit masuk kedalam tubuh.
“CD 4 merupakan protein yang diperlukan oleh
virus HIV untuk bisa masuk ke dalam tubuh
manusia, kalau CD 4 pada permukaan sel target ini
dirubah maka virus HIV tidak akan bisa
berkembang,” ujarnya. Berdasarkan kemampuan
yang dimiliki oleh teh hijau inilah maka konsumsi
teh hijau dianggap dapat membantu orang-orang
yang telah terinfeksi virus HIV AIDS. Dengan
mengkonsumsi teh hijau diharapkan dapat
menghambat perkembangan virus mematikan ini
didalam tubuh.
Meski demikian Nasronudin mengingatkan teh
hijau bukanlah obat anti HIV AIDS. Teh hijau
hanya berfungsi sebagai bahan untuk pencegahan
sekunder bagi virus HIV. “Kondisi penderita kan
biasanya dibedakan dalam empat stadium, nah
dengan mengkonsumsi teh hijau ini diharapkan
kondisi penderita tidak meningkat pada stadium
berikutnya. Misalnya penderita
sudah dalam kondisi stadium dua, nah dengan
mengkonsumsi teh hijau diharapkan peningkatan ke
stadium tiga dapat dihambat,” terang Nasronudin.
Selain memiliki kandungan cathechin yang bisa
menghambat perkembangan virus HIV, teh hijau
juga berfungsi untuk mengurangi kemungkinan
resistensi virus HIV pada obat anti virus. “Biasanya
penderita sulit menerapkan disiplin untuk minum
obat setiap hari padahal ketidakdisiplinan itu bisa
membuat virus menjadi resisten atau kebal pada
obat. Nah teh hijau ini juga berfungsi mengurangi
4
resistensi virus,” ujar Nasronudin.
Saat ini Nasronudin tengah mengupayakan
untuk memberikan komposisi teh hijau ke dalam
‘ice cream’. ‘Ice cream’ menjadi makanan favorit
bagi penderita HIV/AIDS yang mendapat
perawatan di UPIPI RSU Dr Soetomo.
“Kebanyakan penderita pada stadium lanjut sulit
untuk mengkonsumsi makanan lain, kalau bisa
dimasukkan dalam ‘ice cream’ mungkin lebih
mudah dikonsumsi oleh mereka,” harapnya. (rey)
Sumber: Surya (Surabaya), 8 Februari 2006
Kandidiasis Oral Waktu
Pakai ART Tandai
Kegagalan Kekebalan
NEW YORK (Reuters Health) 18 Mar Keberadaan kandidiasis oral waktu pasien diobati
dengan terapi antiretroviral (ART) dapat menandai
kegagalan imunologis. Ini menurut laporan peneliti.
Walaupun jumlah CD4 dan viral load biasanya
dipakai sebagai tanda pengganti kelanjutan penyakit
HIV, di beberapa daerah tes laboratorium ini tidak
terjangkau, seperti dicatat oleh peneliti utama Dr.
Luis Alberto Gaitan-Cepeda, dari National
Autonomous University of Mexico di Mexico City
dan rekan.
Menurut laporannya di jurnal AIDS Patient Care
and STDs edisi Februari 2005, para peneliti menilai
apakah kandidiasis oral adalah prediktor yang
bermakna terhadap kegagalan imunologis pada
pasien dewasa yang memakai ART.
Penyelidikan pada kelompok penelitiannya antara
Januari dan Juli 2002 menunjukkan bahwa 70
berhasil imunologis (jumlah CD4 di atas 500)
sedangkan 106 tidak berhasil (jumlah CD4 di
bawah 500). Pemeriksaan mulut menunjukkan
adanya kandidiasis pada tiga (7,5 persen) pada
kelompok berhasil dan 31 (29,2 persen) pada
kelompok tidak berhasil dengan rasio kemungkinan
(odds ratio) 3,899 (p=0,006).
“Keberadaan penyakit oportunistik akibat jamur
ini pada mulut dapat dianggap sebagai tanda
kelanjutan infeksi HIV, dan kemungkinan kegagalan
ART,” menyimpulkan kelompok Dr. GaitanCepeda.
Sumber: AIDS Patient Care and STDs 2005;19:70-77.
URL: http://www.medscape.com/viewarticle/501691
Sahabat Senandika No. 39
Pojok Info
Lembaran Informasi Baru
Pada Februari 2006, Yayasan Spiritia telah
menerbitkan tiga lagi lembaran informasi untuk Odha,
sbb:
• Obat untuk Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 533—Dapson
• Referensi
Lembaran Informasi 910—Daftar Interaksi Obat
Lembaran Informasi 950—Profilaksis untuk
Anak
Dengan ini, sudah diterbitkan 119 lembaran
informasi dalam seri ini.
Juga ada sembilan lembaran informasi yang direvisi:
• Informasi Dasar
Lembaran Informasi 001—Daftar Lembaran
Informasi
• Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 505—Hepatitis
Lembaran Informasi 508—Sarkoma Kaposi (KS)
Lembaran Informasi 515—Tuberkulosis (TB)
• Obat untuk Infeksi Oportunistik
Lembaran Informasi 531—Siprofloksasin
Lembaran Informasi 534—Flukonazol
• Topik Khusus
Lembaran Informasi 603—Merokok & HIV
Lembaran Informasi 610—Perempuan dan HIV
Lembaran Informasi 618—Orang Lansia dan
HIV
Untuk memperoleh lembaran baru/revisi ini atau
seri Lembaran Informasi komplet, silakan hubungi
Yayasan Spiritia dengan alamat di halaman
belakang. Anggota milis WartaAIDS dapat akses
file ini dengan browse ke:
<http://groups.yahoo.com/group/wartaaids/files/
Lembaran%20Informasi/>
Februari 2006
Tips
Tips untuk Odha
Vaksinasi, atau imunisasi, adalah suntikan yang
merangsang ketahanan tubuh kita terhadap infeksi
tertentu. Misalnya, sebagian besar orang diimunisasi
terhadap beberapa infeksi waktu bayi. Dibutuhkan
beberapa minggu setelah disuntik sehingga sistem
kekebalan tubuh bereaksi pada vaksin yang
disuntikkan.
Sebagian besar vaksin dipakai untuk mencegah
infeksi. Tetapi, beberapa yang lain membantu tubuh
kita untuk melawan infeksi yang sudah ada. Vaksin
ini disebut ‘vaksin terapeutik.’ Ada beberapa vaksin
terapeutik sedang ditelitikan dan diuji coba
terhadap HIV.
Vaksin ‘hidup’ memakai bentuk kuman yang
dilemahkan. Vaksin jenis ini dapat menimbulkan
penyakit yang ringan, kemudian sistem kekebalan
mengambil alih untuk mencegah terhadap penyakit
yang parah. Vaksin lain yang dinonaktifkan tidak
memakai kuman yang hidup. Dengan vaksin jenis
ini, kita tidak mengalami penyakit, tetapi tubuh kita
masih dapat membentuk keamanannya.
Hanya sedikit penelitian dilakukan terhadap
penggunaan vaksin oleh Odha, apalagi sejak terapi
antiretroviral sudah terpakai. Namun ada beberapa
pedoman penting untuk Odha:
y Vaksinasi dapat meningkatkan viral load untuk
sementara. Namun jatuh sakit dengan penyakit
yang dicegah oleh vaksin dapat menjadi lebih
buruk. Jadi, jangan tes viral load dalam empat
minggu setelah vaksinasi apa pun.
y Vaksinasi terhadap flu lebih ditelitikan dengan
Odha dibandingkan vaksinasi yang lain. Vaksin
flu dianggap aman dan efektif. Namun Odha
tidak boleh memakai vaksin flu semprot hidung
“Flu-Mist”.
y Bila jumlah CD-4nya sangat rendah, vaksin
mungkin tidak berhasil. Bila mungkin, kuatkan
sistem kekebalan tubuh kita dengan memakai
terapi antiretroviral (ART) sebelum divaksinasi.
y Odha tidak boleh menerima sebagian besar
vaksin hidup termasuk vaksin cacar air. Namun
vaksin campak, gondong, rubella (campak
Jerman) dianggap aman asal jumlah CD4 diatas
200.
Disarankan bagi Odha untuk selalu menjelaskan
kepada dokter tentang keadaan kita sebelum
menerima vaksin, obat atau terapi tertentu.
5
Tanya-Jawab
Tanya Jawab
T: Apakah masalah tulang yang biasa dialami oleh
Odha?
J; Orang dengan HIV, umumnya mengalami dua
penyakit tulang yaitu osteoporosis (tulang keropos)
dan osteonekrosis (kematian tulang atau kehilangan
aliran darah pada tulang yang disebabkan oleh
cedera, kelebihan penggunaan alkohol dan
penggunaan obat kortikosteroid jangka panjang)
dengan angka yang luar biasa tinggi. Kita belum
tahu apakah HIV sendiri atau obat-obatan
antirevtroviral yang bertanggungjawab.
Kita dapat membantu mencegah osteoporosis
dengan memakai zat kalsium atau suplemen vitamin
D, berhenti merokok, dan mengurangi penggunaan
alkohol dan kafein. Jika tidak ada rasa sakit pada
sendi, olahraga angkat beban juga dapat membantu.
Diperlukan tes khusus untuk mengetahui apakah
kita osteoporosis. Namun, rasa sakit pada sendi,
terutama di daerah punggung, mungkin merupakan
tanda osteonekrosis. Jika kita mengalami rasa sakit
pada sendi, kita sebaiknya bicara dengan dokter
sebelum meningkatkan program olahraga kita.
Positive Fund
Laporan Keuangan Positive Fund
Yayasan Spiritia
Periode Febuari 2006
Saldo awal 1 Febuari 2006
12,017,375
Penerimaan di bulan
Febuari 2006
600,000
__________+
12,617,375
Total penerimaan
Pengeluaran selama bulan Febuari :
Item
Jumlah
Pengobatan
Transportasi
248,000
0
Komunikasi
Peralatan / Pemeliharaan
Modal Usaha
0
0
0
_________+
Total pengeluaran
248,000-
Saldo akhir Positive Fund
per 28 Febuari 2006
12,369,375
Sahabat Senandika
Diterbitkan sekali sebulan oleh
Yayasan Spiritia
dengan dukungan
THE FORD
ATION
FOUNDA
FOUND
Kantor Redaksi:
Jl Radio IV/10
Kebayoran Baru
Jakarta 12130
Telp: (021) 7279 7007
Fax: (021) 726-9521
E-mail: [email protected]
Editor:
Caroline Thomas
Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk
diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus
mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon).
Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar
untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum
melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi
dengan dokter.
6
Sahabat Senandika No. 39
Download