PROFIL NILAI KARDIORESPIRASI DAN SUHU TUBUH MONYET EKOR PANJANG (MACACA (MACACA FASCICULARIS) TERSEDASI PADA PERBEDAAN MIKROKLIMAT RUANGAN HARLENDO SWEDIANTO FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Profil Nilai Kardiorespirasi dan Suhu Tubuh Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Tersedasi pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Desember 2010 Harlendo Swedianto B04060883 RINGKASAN HARLENDO SWEDIANTO. Profil Nilai Kardiorespirasi dan Suhu Tubuh Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Tersedasi pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai kardiorespirasi dan suhu tubuh Macaca fascicularis yang tersedasi pada perbedaan mikroklimat (temperatur dan kelembaban) tempat hidupnya. Pada penelitian ini digunakan 10 ekor monyet ekor panjang berjenis kelamin jantan yang berumur ±4 tahun ditempatkan pada sebuah kamar dengan temperatur dan kelembaban ruangan selama 7 hari. Kemudian monyet-monyet ekor panjang ini dikondisikan pada temperatur ruangan 25°C selama 14 hari. Pada akhirnya, monyet-monyet ekor panjang ini dikondisikan pada temperatur ruangan 29°C selama 14 hari. Pengambilan data nilai kardiorespirasi dan suhu tubuh dilakukan pada hari ke-1, ke-7, ke-14, dan ke-28. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kondisi Macaca fascicularis tersedasi penurunan nilai parameter fisiologis juga dipengaruhi kondisi mikroklimat tempat hidupnya. Dapat diperkirakan kondisi mikroklimat Mt-25 (suhu ruangan 25,79 ± 1,16°C dan kelembaban ruangan 80,19 ± 9,05% rel) merupakan kondisi yang nyaman untuk Macaca fascicularis tersedasi. Pada kedua kondisi mikroklimat tersebut, Macaca fascicularis tersedasi tidak menunjukkan pengaruhnya pada aktivitas listrik jantung yang diindikasikan dari gambaran EKG yang masih normal. Kata kunci: EKG, kardiorespirasi, Macaca fascicularis, mikroklimat, suhu tubuh. ABSTRACT HARLENDO SWEDIANTO. Cardiorespiration and Body Temperature Profile of Sedated Long-tailed Macaque (Macaca fascicularis) in Different Microclimate Room. Cultivated by AGIK SUPRAYOGI and HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN. The aim of this research was to determine different cardiorespiration score and body temperature of sedated Macaca fascicularis in different microclimate condition (temperature & humidity). 10 heads of male Macaca fascicularis in age of 4 years old were placed in adaptation room with room temperature and humidity for seven days. Then Macaca fascicularis were conditioned in room temperature of 25°C for 14 days. For the last, Macaca fascicularis were conditioned in room temperature of 29°C for 14 days. Cardiorespiration data was taken on 1st, 7th, 14th, and 28th days. The result showed that Macaca fascicularis in sedated condition, the decreased of physiological parameter scorer were also influenced by its microclimate condition. Condition with microclimate Mt-25 (room temperature and humidity of 25,79 ± 1,16°C and 80,19 ± 9,05% rel) regarded as the most suitable condition for Macaca fascicularis in sedated condition. But both room conditions were not disturbing sedated Macaca fascicularis heart function. It could be proven by ECG profile which was in normal condition. Keywords: body temperature, cardiorespiration, ECG, Macaca fascicularis, microclimate. ©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian sebagiaan atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. PROFIL NILAI KARDIORESPIRASI DAN SUHU TUBUH MONYET EKOR PANJANG (MACACA FASCICULARIS) TERSEDASI PADA PERBEDAAN MIKROKLIMAT RUANGAN HARLENDO SWEDIANTO Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 Judul Skripsi : Profil Nilai Kardiorespirasi dan Suhu Tubuh Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Tersedasi pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan Nama : Harlendo Swedianto NIM : B04060883 Disetujui Prof. DR. drh. Agik Suprayogi, M.Sc. drh. Huda Shalahudin Darusman, M.Si. Pembimbing 1 Pembimbing 2 Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Tanggal Lulus : PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan HidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Juni 2009 dengan judul Profil Nilai Kardiorespirasi dan Suhu Tubuh Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Tersedasi pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada PT LG ELECTRONIC Indonesia yang telah mendukung penelitian ini melalui bentuk kerjasamanya dengan FKH IPB, dan juga kepada kedua orang tua, Harnowo Permadi dan Lenawati Piliang, kedua adik, Karina Swedianti dan Riski Harnowo yang telah memberikan do’a, dukungan, dan semangat. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada : 1. Prof. DR. drh. Agik Suprayogi, M.Sc. selaku pembimbing skripsi pertama atas ilmu, keterampilan, perhatian dan kesabarannya dalam membimbing penulis. 2. drh. Huda Shalahudin Darusman, M.Si. selaku pembimbing skripsi kedua atas ilmu, nasihat, saran, dan kritik dalam membimbing penulis. 3. drh. Tutik Wresdiati , MS, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik. 4. Teman satu penelitian, Ridzki M.F Binol, M. Faried Hilmy, dan Sutan P.N. 5. Gendis Aurum Paradisa atas bantuan, perhatian, semangat, dan dukungannya. 6. Teman-teman Aesculapius 43, khususnya kepada Bowo, Uut, teman-teman kostan irafan, Wahdana, Yevi, Nirna, wisma aglonema, para pengurus Himpro HKSA FKH IPB, dan pihak-pihak lainnya yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk khasanah ilmu pengetahuan tanah air tercinta, Indonesia. Bogor, Desember 2010 Harlendo Swedianto RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 13 April 1988 dari ayah drs. Harnowo Permadi dan ibu Lenawati Piliang. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari TK MEXINDO Bogor lulus tahun 1994 kemudian SD Negeri Polisi IV Bogor dan lulus tahun 2000. Pendidikan penulis dilanjutkan ke SLTP Negeri 4 Bogor (2000-2003). Masa SMA penulis diselesaikan di SMA Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2006 dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Mayor yang dipilih penulis di IPB adalah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa, pada tingkat 2, penulis mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa. Penulis berkesempatan menjadi Ketua Inagurasi Aesculapius angkatan 43 FKH IPB, Ketua Komunitas Seni STERIL dan Ketua Divisi Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi dengan judul “Profil Nilai Kardiorespirasi dan Suhu Tubuh Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Tersedasi pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan”. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xi DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………... xii 1 PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1.1 Latar Belakang ……………………………………………… 1.2 Tujuan Penelitian …...……………………………………..... 1.3 Manfaat Penelitian ………………………………….............. 1 1 2 2 2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 2.1 Karakteristik Biologi Macaca fascicularis .……………….... 2.2 Monyet Ekor Panjang Sebagai Hewan Laboratorium ……… 2.3 Fisiologi Kardiorespirasi dan Temperatur Tubuh ………….. 2.3.1 Fisiologi Kardiovaskular ……………………………... 2.3.2 Elektrokardiogram (EKG) ……………………………. 2.3.2.1 Konfigurasi Elektrokardiogram ……………… 2.3.3 Fisiologis Pernapasan ……………………………….... 2.3.4 Termoregulasi : Suhu Tubuh …………………………. 2.4 Fisiologi Adaptasi ………………………………………….... 2.4.1 Mikroklimat Lingkungan Mempengaruhi Kondisi Fisiologis Tubuh ……………………………………… 2.4.1.1 Suhu dan Kelembapan Lingkungan ………….. 2.4.1.2 Stres …………………………………………... 2.4.1.3 Pengaruh Lingkungan Terhadap Fisiologis Tubuh …………………………………………. 2.5 Pengaruh Anestesi dan Sedasi Terhadap Fisiologis Tubuh ……………………………………………. 3 3 5 7 7 9 10 13 14 16 16 16 17 18 20 3 METODE PENELITIAN ..…………………………………................. 23 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian ………………………………….. 3.3 Persiapan Kandang dan Pakan ……………………………… 3.4 Protokol Penelitian ……………………………………........ 3.5 Evaluasi dan Analisa Data …………………………………. 23 23 23 25 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………. 27 4.1 Suhu Tubuh, Frekuensi Nafas, dan Denyut Jantung ………... 27 4.4 Elektrokardiogram (EKG) …………………………….......... 29 5 SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………….. 32 6 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………… 33 DAFTAR TABEL 1 2 Halaman Biologi Umum Macaca fascicularis …………………………………. 5 Informasi Pemanfaatan Macaca fascicularis pada Berbagai Penelitian biomedis …………………………………………………... 6 3 Nilai Normal Fisiologis Kardiovaskuler Macaca fascicularis ………. 9 4 Nilai Normal Gambaran EKG Macaca fascicularis menurut berbagai sumber ……………………………………………………… 13 5 Tahapan Penelitian ………………………………………………….... 25 6 Nilai Rataan Suhu Tubuh, Frekuensi Napas, dan Denyut Jantung Macaca fascicularis Tersedasi pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan ………………………………………………... 27 7 Nilai Rataan EKG Macaca fascicularis Tersedasi Pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan ……………………………..... 29 DAFTAR GAMBAR 1 Halaman Macaca fascicularis …………………………………………………….. 3 2 Gelombang EKG ………………………………………………………... 12 3 4 Skema keseimbangan HP dan HL ………………………………………. (A), (B) Kamar Uji Coba, (C) Kandang Monyet, (D) Pakan Monyet, (E) Pemberian Pakan ………………………………. 19 24 Gambar 5. (A) Perekaman EKG Monyet, (B) EKG (Patien-Monitor Welch Allyn, 621E) ………………………… 26 5 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak keragaman flora dan fauna, di dalamnya terdapat beragam jenis satwa primata. Satwa primata ini merupakan salah satu modal utama dalam melakukan pengembangan dan penelitian dibidang biomedis. Satwa primata diketahui memiliki banyak kemiripan dengan manusia dalam hal anatomis, fisiologis, respon patologis dan imunologis, serta karakter filogenetis yang mendekati manusia (Sajuthi & Pamungkas 2000). Kemiripan ini menjadikan satwa primata sebagai hewan model atau hewan percobaan dalam penelitian yang berhubungan dengan manusia. Jenis satwa primata yang sering digunakan dalam penelitian sebagai hewan model adalah monyet Asia, terutama monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Keberadaan Macaca fascicularis cukup penting bagi manusia, salah satunya adalah untuk penelitian di bidang farmasi dan kedokteran (Supriatna 2000). Nilai fisiologis sangat diperlukan untuk diagnosa, terapi, tindakan sedasi, anastesi maupun bedah, dan untuk kesehatan satwa primata itu sendiri. Nilai fisiologis Macaca fascicularis ini harus benar - benar digali. Sebagian besar nilai fisiologis yang ada saat ini berasal dari kondisi mikroklimat yang berbeda atau nilai fisiologis yang ada masih mengandalkan pustaka dengan lingkungan yang berbeda. Di sisi lain, diketahui bahwa kondisi lingkungan sangat mempengaruhi nilai fisiologis Macaca fascicularis, terutama adanya perubahan kondisi mikroklimat (suhu dan kelembaban). Perubahan mikroklimat akan mengganggu fisiologis hewan tersebut terutama pada sistem sirkulasi kardiovaskular, respirasi, dan suhu tubuh. Perubahan - perubahan tersebut pada kondisi tubuh sehat (normal), masih dapat diseimbangkan oleh proses homeostasis tubuh sehingga perubahan tersebut akan dapat disesuaikan oleh tubuh hewan tersebut. Nilai fisiologis Macaca fascicularis pada kondisi tubuh yang sehat dan bahkan pada hewan tersedasi sudah diketahui orang. Namun, selama ini tidak banyak orang yang mempelajari bagaimana perbedaan nilai fisiologis Macaca fascicularis yang tersedasi dengan perbedaan mikroklimat (suhu dan kelembaban) tempat hidupnya. Penelitian ini penting dilakukan untuk menjawab apakah perubahan mikroklimat dari suhu dan kelembaban ruangan yaitu (25,79 ± 1,16)°C dan (80,19 ± 9,05)% rel menjadi (29 ± 1,95)°C dan (79,52 ± 1,57)% rel dapat mempengaruhi profil nilai fisiologis pada saat hewan tersedasi terutama nilai kardiorespirasi dan suhu tubuh Macaca fascicularis. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan nilai kardiorespirasi dan suhu tubuh Macaca fascicularis yang tersedasi (ketamin) pada perbedaan mikroklimat (suhu dan kelembaban) tempat hidupnya. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai fisiologis kardiorespirasi dan suhu tubuh Macaca fascicularis pada kondisi tersedasi setelah mengalami perlakuan berupa pengaturan suhu dan kelembaban ruangan tempat hidupnya. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Biologi Macaca fascicularis Sistematika monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) adalah : Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Species : Animalia : Chordata : Mamalia : Primata : Cercopithecidae : Macaca : Macaca fascicularis. Secara umum Macaca fascicularis memiliki warna tubuh bervariasi mulai dari abu-abu sampai kecoklatan. Bagian punggungnya berwarna lebih gelap dibandingkan dada dan perut. Rambut di kepala dan sekeliling wajahnya membentuk jambang yang lebat. Ekornya yang panjang ditutupi rambut yang pendek dan halus (Gambar 1) (Napier & Napier 1967). Gambar 1. Macaca fascicularis (Anonim1 2010) Pada umumnya, habitat asli Macaca fascicularis selalu berada di sepanjang lembah yang berbatasan dengan air, baik di daratan terbuka maupun pinggiran sungai ataupun hutan. Sehingga Macaca fascicularis ini dapat menyesuaikan diri pada semua peringkat ekologi (ecologically diverse). Macaca fascicularis hidupnya berkelompok dengan jumlah kelompok sekitar 20 – 50 ekor dan selalu berpindah-pindah mengikuti ketersediaan pakan. Dengan mengamati habitat aslinya, kemungkinan suhu yang cukup baik bagi kehidupan Macaca fascicularis berkisar diantara 25 - 27°C. Namun, perubahan suhu yang tidak menentu sekarang ini menyebabkan kondisi lingkungan bagi Macaca fascicularis tidaklah nyaman serta pakan yang diperoleh di alam juga semakin menipis akibat dari kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia yang tidak bertanggungjawab. Macaca fascicularis hidup pada hutan primer dan sekunder mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1000 meter di atas permukaan laut. Pada dataran tinggi, jenis monyet ini biasanya dijumpai di daerah pertumbuhan sekunder atau pada daerah-daerah perkebunan penduduk. Seringkali juga ditemukan di hutan bakau sampai ke hutan di dekat perkampungan (Hendras & Supriatna 2000). Macaca fascicularis merupakan pemakan segala jenis makanan (omnivora) namun komposisinya mengandung lebih banyak buah-buahan (60%), selebihnya berupa bunga, daun muda, biji dan umbi. Macaca fascicularis yang hidup di rawa-rawa kadang-kadang turun ke tanah pada saat air surut dan berjalan menyusuri sungai mencari serangga. Monyet yang hidup di daerah bakau atau pesisir, sering dijumpai memakan kepiting atau jenis moluska lainnya, sehingga sering monyet ini disebut crabs eating macaque (Hendras & Supriatna 2000). Informasi mengenai keadaan fisiologi setiap hewan laboratorium sangat penting. Hal ini diperlukan sebagai acuan untuk mengetahui status kesehatan hewan. Informasi semacam ini diperlukan karena dapat mempengaruhi ketepatan suatu hasil pengujian. Berikut ini adalah penjelasan mengenai keadaan biologi umum dari Macaca fascicularis yang sering digunakan sebagai hewan laboratorium (Tabel 1). Tabel 1. Biologi Umum Macaca fascicularis (Smith & Mangkoewidjojo 1988) Data Biologis Hewan Lama hidup 25-30 tahun Lama bunting 150-180 hari (rata-rata 167 hari) Berat lahir 420-600 g Berat dewasa 4,3-10,6 Kg betina 5,5-10,9 Kg jantan Umur dewasa 4,5-5,5 tahun Umur dikawinkan 36-48 bulan Siklus estrus 26-32 hari (rata-rata 31 hari) Suhu (rektal) 38-39,5 °C Pernafasan 30-54/ menit Denyut jantung 165-240/ menit Jumlah anak Jarang sekali 2 aktivitas Diurnal 2.2 Monyet Ekor Panjang Sebagai Hewan Laboratorium Pada saat ini spesies primata yang sering digunakan dalam penelitian biomedis adalah monyet rhesus (Macaca mullata), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), babon savanna (Papio cynocephalus), dan monyet vervet (Cercopithecus aethiops) (Crockett et al. 1996). Monyet telah banyak digunakan sebagai hewan laboratorium untuk menguji berbagai jenis obat-obatan dan menciptakan serum/vaksin bagi kesehatan manusia. Hal ini dilatarbelakangi bahwa primata hampir menyerupai manusia dan populasi mereka berlimpah di dunia (Mardiastuti & Soehartono 2003). Macaca fascicularis sering dimanfaatkan sebagai hewan percobaan di laboratorium untuk suatu penelitian. Hal ini disebabkan karena secara anatomis dan fisiologis, Macaca fascicularis memiliki kemiripan lebih banyak dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1993). Kondisi ini juga diperkuat dengan adanya persamaan ciri anatomi dan fisiologis karena kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek (Bennett et al. 1995). Pemanfaatan Macaca fascicularis sebagai hewan percobaan digunakan dalam beberapa penelitian biomedis yang tercantum dalam Tabel 2. Tabel 2. Infomasi pemanfaatan Macaca fascicularis pada berbagai penelitian biomedis Penelitian Sumber 1. Gambaran Elektrokardiogram 9 Spesies Primata Gonder et al. 1980 yang Disedasi Menggunakan Ketamine 2. Reaktivitas Denyut Jantung yang Diinduksi Secara Manuck et al. 1983 Perilaku dan Arterosklerosis pada Macaca fascicularis 3. Nilai Tekanan Darah Macaca fascicularis Hartley et al. 1984 4. Perbedaan Serum Biokimia Tertentu dan Nilai EKG Kapeghian et al. 1984 Macaca fascicularis pada Berbagai Umur 5. Nilai Lipid Darah, Tekanan Darah, Frekuensi Ungerer et al. 1997 Jantung, dan Respirasi pada Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) tersedasi. Dalam penggunaannya sebagai hewan laboratorium, Macaca fascicularis harus digunakan kandang untuk tempat hidupnya baik proses perawatan maupun pengamatan laboratorium. Kandang monyet harus mempertimbangkan keperluan tingkah laku, emosi, dan sosial. Macaca fascicularis tidak boleh dikandangkan sendirian dan terpencil karena akan menimbulkan suatu bentuk cekaman yang mengganggu proses tingkah laku dan fisiologi normal. Satwa primata harus dikandangkan di ruang atau daerah sejauh mungkin dari kandang hewan lain. Syarat ini untuk mengurangi resiko penularan penyakit dan keamanan dalam memelihara (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Sajuthi (1984) menyatakan kandang monyet harus dibuat dengan konstruksi yang kuat. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerusakan yang disebabkan dari monyet itu sendiri. Jenis kandang kelompok yang terbuat dari ram kawat perlu dilengkapi tempat peristirahatan yang agak tinggi dan bentuknya harus memadai. Kandang individu harus dilengkapi dinding belakang geser (kandang jepit), sehingga monyet dapat didorong ke bagian depan kandang. Fungsi kandang tersebut untuk mempermudah dalam melakukan pemeriksaan, pemberian obat atau penyuntikan dan penanganan lain yang harus dilakukan terhadap monyet tersebut. Setiap jenis kandang baik kandang kelompok maupun kandang individu harus dilengkapi dengan tempat makan dan minum yang memadai dan cukup kuat. 2.3 Fisiologi Kardiorespirasi dan Temperatur Tubuh 2.3.1 Fisiologis Kardiovaskular Berdasarkan struktur anatomi, jantung hewan mamalia terbagi menjadi 4 ruang yaitu 2 atrium kiri dan kanan, dan 2 ventrikel kiri dan kanan. Serta memiliki 4 katup yaitu 2 katup atrio ventrikular (AV) dan 2 katup semilunar. Jantung juga memiliki sistem sirkulasi sistemik yaitu berupa arteri dan arteriole. Sedangkan sistem sirkulasi pulmonik terdiri dari vena dan venula (Cunningham 2002). Guyton (2008) menyatakan, jantung terdiri atas dua pompa yang terpisah, yaitu jantung kanan yang memompakan darah ke paru-paru, dan jantung kiri yang memompakan darah ke organ-organ perifer. Selanjutnya, setiap bagian jantung yang terpisah ini merupakan dua ruang pompa yang dapat berdenyut, yang terdiri atas satu atrium dan satu ventrikel. Setiap atrium adalah suatu pompa pendahulu yang lemah bagi ventrikel, yang membantu mengalirkan darah masuk ke dalam ventrikel. Ventrikel lalu menyediakan tenaga pompa utama yang mendorong darah (1) ke sirkulasi pulmonal melalui ventrikel kanan atau (2) ke sirkulasi perifer melalui ventrikel kiri. Jantung berdenyut setiap detik dan menghasilkan suatu frekuensi denyut jantung yang teratur. Frekuensi denyut jantung merupakan penjumlahan beberapa kali jantung berdenyut dalam satu menit dan disebut juga frekuensi jantung. Frekuensi denyut jantung menggambarkan kualitas fungsi dari kardiovaskular. Faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung adalah jenis hewan, ukuran tubuh, umur dan jenis kelamin, sedangkan kondisi fisiologis yang dapat meningkatkan frekuensi jantung yaitu laktasi, shock, pergerakan atau exercise, posisi hewan, saat makan, dan pengaruh lingkungan seperti suhu. Kelainankelainan yang dapat ditemukan pada jantung yaitu takikardia, bradikardia, angina pektoris, aritmia jantung, atrial fibrilasi dan sebagainya. Pengukuran frekuensi jantung dan kelainan-kelainan pada jantung dapat dilakukan dengan menggunakan elektrokardiogram (Cunningham 2002 & Gavahan 2003). Jantung pada berbagai hewan dapat berkontraksi dengan sendirinya tanpa ada rangsangan dari luar. Jantung mamalia sensitif terhadap pasokan oksigen dan temperatur (Kay 1998). Menurut Ville et al. (1988) laju pompa jantung dipengaruhi oleh aktivitas dari mamalia atau manusia itu sendiri. Otot jantung tidak membutuhkan stimulasi saraf karena memiliki kemampuan intrinsik untuk membangkitkan potensial kerja secara ritmik. Meskipun demikian, otot jantung diinervasi oleh sistem syaraf simpatis dan parasimpatis yang fungsinya terbatas pada pengaturan kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi. Serabut-serabut syaraf simpatis mencapai jantung dari dua syaraf vagus (Frandson 1992). Kekuatan kontraksi jantung, kecepatan denyut jantung serta aliran darah dipengaruhi dan dikontrol oleh syaraf otonom yang berpusat pada medulla oblongata. Stimulasi syaraf-syaraf vagus cenderung untuk menghambat kerja jantung dengan menurunkan daya kontraksi dari otot jantung, kecepatan kontraksi dan kecepatan konduksi impuls dalam jantung sehingga arus darah melalui arteri koroner akan berkurang. Rangsangan syaraf simpatis akan bekerja sebaliknya, yaitu meningkatkan aktivitas jantung dan naiknya daya/tenaga kontraksi, kecepatan kontraksi, kecepatan konduksi impuls dan arus darah koroner (Frandson 1992). Macaca fascicularis merupakan satwa primata yang memiliki kemiripan dengan manusia baik secara anatomis maupun fisiologis, karena adanya kedekatan filogenetik dan perbedaan evolusi yang lebih pendek. Berkaitan dengan banyaknya peran Macaca fascicularis dalam penelitian biomedis, maka perlu didukung oleh data-data dasar dari hewan ini salah satunya nilai fisiologis kardiovaskuler pada satwa primata khususnya pada monyet ekor panjang. Nilai fisiologis kardiovaskuler Macaca fascicularis terdapat dalam Tabel 3. Tabel 3. Nilai Normal Fisiologis Kardiovaskuler Macaca fascicularis Macaca fascicularis Parameter Mikroklimat Luar Indonesia Mikroklimat Indonesia Denyut Jantung (kali/menit) 2401 1432 172,213 1694 88-1315 Tekanan Darah Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) MAP (mmHg) 1251 751 844 89-1115 48-655 62-935 Volume Darah (ml/Kg) 50-961 - Keterangan : MAP = Mean Arterial Pressure Sumber : 1 = Wolfhensohn & Lloyd 1998 2 = Kapeghian et al. 1984 3 = Hartley et al. 1984 4 = Takagi et al. 2003 5 = Ungerer et al. 1997 2.3.2 Elektrokardiogram (EKG) Elektrokardiogram (EKG) atau disebut juga Electrocardiogram (ECG) merupakan suatu grafik hasil catatan potensial listrik untuk menganalisa aktivitas jantung. Aktivitas jantung ini dianalisa berdasarkan data hasil keluaran sinyal EKG yang terbentuk dari sinyal - sinyal listrik pada tubuh si penderita yang dihubungkan dengan kabel yang ditempelkan ke tubuh pasien. Hasil keluaran dari sinyal EKG ini sangat bergantung pada kualitas perangkatnya untuk mendapatkan hasil yang akurat karena kesalahan sedikit saja dapat mempengaruhi hasil kesimpulan tentang kondisi penyakit yang dialami oleh penderita (Anonim2 2009). Menurut Boswood (2008), menyatakan bahwa manfaat penggunaan elektrokardiogram yaitu untuk mendeteksi kelainan-kelainan irama dan frekuensi jantung, mendeteksi adanya hipertropi jantung, mendeteksi kemungkinan adanya gangguan metabolisme, gangguan elektrolit pengobatan dari masalah irama jantung. dan membantu diagnosa serta 2.3.2.1 Konfigurasi Elektrokardiogram Gelombang P Secara umum, pada elektrokardiogram terdiri dari gelombang P, interval PR, Kompleks QRS dan gelombang T. Gelombang P pada elektrokardiogram mewakili aktivasi listrik pada atria miokardium sewaktu mengadakan depolarisasi. Setengah bagian pertama gelombang P mewakili depolarisasi atrium kanan dan setengah bagian yang lain mewakili depolarisasi atrium kiri. Gelombang P yang normal dapat berupa defleksi positif, difasik, dan defleksi negatif. Kepentingan gelombang P yaitu untuk menandakan adanya aktivitas atria, menunjukan arah aktivitas atria, dan menunjukan tanda-tanda hipertropi atria (Gavahan 2003). Gelombang Q Gelombang Q adalah defleksi negatif yang ditimbulkan oleh arus depolarisasi yang berjalan menjauhi sadapan yang bersangkutan. Dengan kata lain gelombang Q menggambarkan awal dari fase depolarisasi ventrikel. Kepentingan gelombang Q yaitu menunjukan adanya infark otot jantung. Gelombang Q yang normal harus memenuhi kriteria yaitu berupa defleksi negatif (Martin 2007). Gelombang R Gelombang R adalah defleksi positif pertama dari kompleks QRS. Menggambarkan fase depolarisasi ventrikel. Kepentingan gelombang R untuk menandakan adanya pembesaran ventrikel kiri dan hambatan pada serabut jantung kiri atau left bundle branch block (Martin 2007). Gelombang S Gelombang S adalah defleksi negatif sesudah gelombang R. Gelombang S menggambarkan fase depolarisasi ventrikel kanan. Kepentingan gelombang S yaitu untuk mengetahui adanya pembesaran ventrikel kanan dan hambatan pada serabut jantung kanan atau right bundle branch block. Gelombang S yang normal berupa defleksi negatif dan diikuti gelombang R (Martin 2007). Gelombang T Gelombang T merupakan gambaran fase repolarisasi ventrikel, gelombang ini muncul sesaat sesudah berakhirnya segmen. Arah normal gelombang T sesuai dengan arah gelombang utama kompleks. Kepentingan gelombang T yaitu untuk mengetahui adanya infark jantung dan gangguan elektrolit (Gavahan 2003 dan Schwartz 2002). Kompleks QRS Kompleks QRS menggambarkan seluruh fase depolarisasi ventrikel atau penyebaran impuls di seluruh ventrikel. Secara klinis memiliki arti yang sangat penting dari seluruh gambaran EKG. Terdapat tiga komponen yang membentuk kompleks QRS yaitu gelombang Q, gelombang R dan gelombang S. Bentuk kompleks QRS ditentukan oleh arah dan besarnya arus depolarisasi ventrikel terhadap sadapan EKG dari waktu ke waktu, sehingga setiap sandapan EKG akan merekam gambaran kompleks QRS yang berbeda (Gavahan 2003). Interval PR Interval PR adalah arah antara permulaan gelombang P sampai dengan permulaan kompleks QRS. Interval P mewakili waktu yang dibutuhkan oleh impuls dari nodus SA berjalan melewati nodus AV sampai ke berkas His. Gangguan konduksi sepanjang jalur ini akan menyebabkan perubahan interval (Gavahan 2003). Interval QT Interval QT adalah jarak antara permulaan gelombang Q sampai dengan akhir gelombang T. Jadi menggambarkan lamanya aktivitas depolarisasi dan repolarisasi ventrikel (Widjaja 1990). Gambar 2. Gelombang EKG (Anonim3 2010) Keterangan: 1. 2. 3. 4. Durasi Gelombang P Interval PR Durasi QRS Interval QT Gambaran nilai EKG Macaca fascicularis penting diketahui mengingat banyaknya monyet ini digunakan sebagai hewan laboratorium terutama bila terkait langsung dengan penelitian kardiovaskular atau anastetik pembedahan. Fungsi EKG adalah salah satu alat diagnosa untuk memastikan adanya gangguan jantung, dari serangkaian pemeriksaan biasa yang dilakukan oleh dokter hewan dalam menentukan penyakit pasiennya (Battaglia 2007). Sehingga, ketersediaan nilai normal gambaran EKG Macaca fascicularis dari berbagai sumber dapat membantu mendiagnosa adanya gangguan jantung bila terjadi kelainan. Nilai normal gambaran EKG Macaca fascicularis terdapat dalam Tabel 4. Tabel 4. Nilai Normal Gambaran EKG Macaca fascicularis menurut berbagai sumber Mikroklimat Luar Indonesia Mikroklimat Indonesia Gonder et al. 1980 Kapeghian et al. 1984 Azwar 1990 203 ± 29 146 ± 28.5 176.19 ± 33.09 Amplitudo (milivolt) 0.16 ± 0.05 0.065 ± 0.002 0.12 ± 0.03 Durasi (detik) 0.03 ± 0.01 0.3 ± 15.9 0.027 ± 0.005 0.09 ± 0.01 - 0.052 ± 0.06 0.8 ± 0.3 - 0.50 ± 0.08 - 0.369 ± 0.12 - 0.04 ± 0.01 0.34 ± 4.3 - 0.20 ± 0.02 2.21 ± 13.3 0.148 ± 0.019 65 ± 22 - Parameter Denyut Jantung (kali/menit) Gelombang P Interval PR Durasi (detik) Gelombang R Amplitudo (milivolt) Kompleks QRS Amplitudo (milivolt) Durasi (detik) Interval QT Durasi (detik) MEA (derajat) Keterangan: MEA = Mean Electrical Axis 2.3.3 Fisiologis Pernapasan Frekuensi napas Macaca fascicularis berkisar antara 30-54 kali/menit menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988). Pendapat lain menyebutkan dari hasil penelitian, Ungerer et al. (1997) menyatakan frekuensi napas normal monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang tersedasi berkisar 23-36 kali/menit. Pernapasan mencakup dua proses : pernapasan luar (eksterna), yaitu penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 dari tubuh secara keseluruhan; serta pernapasan dalam (interna), yaitu penggunaan O2 dan pembentukan CO2 oleh sel-sel serta pertukaran gas antara sel-sel tubuh dengan media cair sekitarnya (Ganong 2003). Sistem pernapasan memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai penyedia oksigen bagi darah dan mengambil karbondioksida dari dalam darah. Fungsifungsi yang bersifat sekunder, meliputi membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraselular dalam tubuh, membantu pengendalian suhu, eliminasi air, dan fonasi (pembentukan suara). Sistem pernapasan terdiri dari paru-paru dan saluransaluran yang memungkinkan udara dapat mencapai atau meninggalkan paru-paru (Frandson 1992). Salah satu proses respirasi adalah ventilasi paru yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu gerakan turun dan naik dari diafragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada dan depresi atau elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior rongga dada (Guyton 1994). Pusat pernafasan adalah sekelompok neuron yang tersebar luas dan terletak bilateral medulla oblongata dan pons. Pusat pernafasan terbagi menjadi tiga kelompok neuron utama, yaitu; 1. Kelompok pernafasan dorsal, terletak pada bagian dorsal medulla yang menyebabkan inspirasi, 2. Kelompok pernafasan ventral, terletak di ventrolateral medulla, meyebabkan ekspirasi atau inspirasi tergantung kelompok neuron yang dirangsang, 3. Pusat pneumotaksik, terletak di bagian superior belakang pons, yang membantu kecepatan dan pola pernafasan (Guyton 1994). Ganong (2003) menyatakan, terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan pernapasan. Satu mekanisme berperan pada kendali pernapasan volunter, sedangkan yang lainnya mengendalikan pernapasan otomatis. Pusat volunter terletak di korteks serebri dan impuls dikirmkan ke neuron motorik otot pernapasan melalui jaras kortikospinal. Pusat pernapasan otomatis terletak di pons dan medula oblongata, dan keluaran eferen dari sistem ini terletak di rami alba medula spinalis, di antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal. 2.3.4 Termoregulasi : Suhu Tubuh Suhu tubuh adalah suhu bagian dalam (suhu inti), bukan suhu permukaan yang merupakan suhu kulit atau jaringan bawah kulit. Suhu inti relatif konstan kecuali bila terjadi demam, sedangkan suhu permukaan lebih dipengaruhi lingkungan (Guyton 2008). Panas dalam tubuh merupakan hasil metabolisme dan harus terus-menerus dilepaskan ke lingkungan. Ketika kecepatan pembentukan panas sama dengan kecepatan kehilangan panas, maka dapat dikatakan individu dalam keseimbangan panas (Guyton 2008). Pengaturan suhu tubuh merupakan keseimbangan antara pelepasan panas dan produksi panas. Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme persyarafan umpan balik dan hampir semua mekanisme ini terjadi melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada hipothalamus sehingga disebut hipothalamik (Kelly 1974). Sistem termostat menggunakan tiga mekanisme penting untuk menurunkan panas tubuh ketika suhu menjadi sangat tinggi, yaitu vasodilatasi pembuluh darah yang akan meningkatkan kecepatan pemindahan panas ke kulit, pengeluaran keringat, penurunan pembentukan panas dengan menghambat mekanisme penyebab pembentukan panas seperti menggigil dan termogenesis kimia. Sedangkan ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan suhu mengadakan prosedur yang sangat berlawanan, yaitu 1. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh oleh rangsangan pusat simpatis hipothalamus posterior, 2. Piliereksi untuk membentuk lapisan tebal “isolator udara” di dekat kulit sehingga pemindahan panas ke lingkungan lebih ditekan, 3. Peningkatan pembentukan panas oleh sistem metabolisme dengan cara menggigil, rangsangan simpatis pembentukan panas dan sekreksi tiroksin. Rangsangan simpatis dengan pelepasan norepinephrine dan epinephrine akan meningkatkan kecepatan metabolisme jaringan dan meningkatkan aktivitas selular terutama pada jenis jaringan lemak coklat yang meningkatkan pembentukan panas (Guyton 2008). Ditinjau dari pengaruh suhu pada lingkungan, hewan dibagi menjadi dua golongan, yaitu poikilotermis dan homoitermis. Pada poikilotermis suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar. Hewan seperti ini juga disebut hewan berdarah dingin. Hewan homoiterm sering disebut hewan berdarah panas. Pada hewan berdarah panas suhunya lebih stabil, hal ini dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya sehingga dapat mengatur suhu tubuh. Hewan berdarah panas dapat melakukan aktifitas pada suhu lingkungan yang berbeda akibat dari kemampuan mengatur suhu tubuh. Hewan dalam kelompok ini mempunyai variasi suhu normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam, faktor makanan yang dikonsumsi dan faktor jenuh pencernaan air (Swenson 1997). Contoh hewan berdarah panas adalah bangsa burung dan mamalia. Macaca fascicularis termasuk hewan berdarah panas atau homoiterrmis. Suhu normal pada Macaca fascicularis adalah berkisar 37 - 40 ºC (Wolfhensohn & Lloyd 1998). 2.4 Fisiologi Adaptasi 2.4.1 Mikroklimat Lingkungan Mempengaruhi Kondisi Fisiologis Tubuh 2.4.1.1 Suhu dan Kelembapan Lingkungan Secara harfiah, lingkungan dapat dipisahkan kedalam beberapa faktor yakni, fisik, sosial, dan panas. Faktor fisik antara lain, ruang, tekanan, dan peralatan (perkandangan). Faktor sosial antara lain, jumlah ternak yang di pelihara dalam kandang dan tingkah lakunya. Sedangkan faktor panas antara lain, temperatur udara, kelembaban relatif, perpindahan udara, dan radiasi (Esmay 1982). Lingkungan dapat diklasifikasikan dalam dua komponen, yaitu : 1. Abiotik : semua faktor fisik dan kimia. 2. Biotik : semua interaksi di antara (perwujudan) makanan, air, predasi, penyakit serta interaksi sosial dan seksual. Faktor lingkungan abiotik adalah faktor yang paling berperan dalam menyebabkan stres fisiologis (Yousef 1984). Komponen lingkungan abiotik utama yang berpengaruh nyata terhadap ternak adalah temperatur, kelembaban (Yuosef 1984) ; (Chantalakhana & Skunmum 2002), curah hujan (Chantalakhana & Skunmum, 2002), angin dan radiasi matahari (Yousef 1984 ; Cole & Brander 1986). Apabila dihadapkan pada cekaman panas, prioritas tingkah laku hewan akan berubah dalam hal kegiatan mengkonsumsi makanan untuk menghindari kondisi yang tidak menyenangkan. Konsekuensi yang cepat adalah mengurangi konsumsi pakan dan energi metabolis yang tersedia. Gangguan lain terhadap keseimbangan energi berasal dari perubahan fisiologis, sistem endokrin dan pencernaan yang selanjutnya menurunkan energi yang tersedia, dan sebagai konsekuensinya menurunkan produksi ternak (Wodzicka et al. 1993). Kulit sangat berperan dalam mempertahankan keseimbangan panas. Kulit tidak hanya memiliki sensor panas berkerapatan tinggi tetapi juga diperlukan untuk mengatur suhu kulit dan kecepatan aliran panas dari tubuh melalui mekanisme vasomotor tepi. Kelembaban adalah jumlah uap air dalam udara. Kelembaban udara penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari hewan. Kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan panas melalui kulit dan saluran pernafasan (Chantalakhana & Skunmun 2002). Kelembaban biasanya diekspresikan sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity = RH) dalam persentase yaitu ratio dari mol persen fraksi uap air dalam volume udara terhadap mol persen fraksi kejenuhan udara pada temperatur dan tekanan yang sama (Yousef 1984). Pada saat kelembaban tinggi, evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas dan dengan demikian mempengaruhi keseimbangan termal hewan (Chantalakhana & Skunmun 2002). 2.4.1.2 Stres Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari hewan yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal dan eksternal. Sedangkan stresor adalah kejadian, situasi, hewan atau suatu obyek yang dilihat sebagai unsur yang menimbulkan stress dan menyebabkan reaksi stres sebagai hasilnya. Stresor sangat bervariasi bentuk dan macamnya, mulai dari sumber-sumber psikososial dan perilaku seperti frustrasi, cemas dan kelebihan sumber-sumber bioekologi dan fisik seperti bising, polusi, temperatur dan gizi (Michal 1991). Hewan dapat mengalami stres secara psikologis maupun secara fisik (Grandin 1997). Monyet telah dilaporkan cukup peka terhadap berbagai jenis stres yang pada akhirnya akan merubah perilaku dan hormonal terutama kadar hormon kortikosteroid (Norcross & Newman 1999). Menurut Ockenfels et al (1995) primata menunjukkan kadar kortisol plasma yang meningkat sebanding dengan peningkatan level stress. Perilaku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam tubuh maupun faktor luar. Tingkah laku tersebut perlu diamati agar dapat diketahui bagaimana hewan bereaksi atas suatu perubahan atau tekanan dari lingkungan (Bennet et al. 1995). Hewan akan selalu beradaptasi dengan lingkungan tempat hidupnya. Adaptasi lingkungan ini tergantung pada ciri fungsional, struktural atau behavioral yang mendukung daya tahan hidup ternak maupun proses reproduksinya pada suatu lingkungan. Apabila terjadi perubahan lingkungan yang tidak nyaman maka ternak akan mengalami stres (Curtis 1999). Stres adalah respon fisiologi, biokimia dan tingkah laku ternak terhadap variasi faktor fisik, kimia dan biologis lingkungan (Yousef 1984). Dengan kata lain, stres terjadi apabila terjadi perubahan lingkungan yang ekstrim, seperti peningkatan temperatur lingkungan atau ketika toleransi hewan terhadap lingkungan menjadi rendah (Curtis 1999). 2.4.1.3 Pengaruh Lingkungan Terhadap Fisiologis Tubuh Temperatur tubuh monyet ekor panjang dikontrol pada level konstan. Hal itu dilakukan dengan termoregulasi. Kondisi khusus ini disebut homoitermis, untuk memelihara proses fisiologis tubuh agar tetap optimum (Sturkie 1981). Homoitermis dapat terjaga dikarenakan keseimbangan sensitif di antara produksi panas (Heat Production = HP) dan kehilangan panas (Heat Loss = HL). Kondisi ini terdapat dalam skema Gambar 3. Sistem kontrol termoregulasi terdiri dari suatu seri elemen yang fungsinya berhubungan. Informasi termal diperoleh melalui periferal atau sensor temperatur tubuh dalam. Keluaran dari sensor ini dibawa oleh saraf aferen ke pusat kontrol termoregulasi dalam hipotalamus. Aktivasi efektor akan bervariasi tergantung kecepatan produksi panas atau kehilangan panas. Umpan balik ke sistem kontrol oleh sistem saraf atau aliran darah, terjadi dengan adanya modifikasi masukan reseptor (Sturkie 1981). Menurut Curtis (1999), kontrol termoregulasi terdiri atas tiga jenis yaitu kontrol termoregulasi fisik, kontrol termoregulasi kimia dan kontrol termoregulasi tingkah laku. Dipengaruhi oleh : Luas permukaan tubuh Perlindungan tubuh Pertukaran air Aliran darah Lingkungan : Temperatur, angin, kelembapan, dll Pendinginan non evaporasi : Radiasi Konveksi Konduksi Pendinginan evaporasi : Respirasi Kulit Dipengaruhi Oleh : Hormon Produksi Aktivitas otot pemeliharaan KEHILANGAN PANAS HIPOTERMI Sumber : Makanan / cadangan tubuh Fermentasi rumen / sekum lingkungan PENAMBAHAN PANAS N O R M A L HIPERTERMI Gambar 3. Skema keseimbangan HP dan HL menurut Yousef (1984) Zona nyaman atau kondisi fisiologis normal adalah kondisi yang dapat dirasakan nyaman oleh seekor hewan untuk dapat menjalankan aktivitas hidupnya secara normal tanpa rasa takut atau cemas (White 2009). Keberadaan zona nyaman atau kondisi fisiologis normal ini dipengaruhi oleh lingkungan dan perilaku hewan tersebut. Kondisi ini di antaranya meliputi temperatur dan kelembaban lingkungan. Keberadaan zona nyaman atau kondisi fisiologis normal dapat mempengaruhi tingkat metabolik dan produksi hewan. Zona temperatur netral atau zona termonetral (ZTN) adalah zona yang relatif terbatas dari temperatur lingkungan yang efektif dalam memproduksi panas minimal dari hewan (Curtis 1999). Pada zona ini, tidak ada perubahan dalam produksi panas dan temperatur tubuh dapat dikontrol oleh adanya perubahan kecil dalam konduksi hewan melalui variasi tubuh, aliran darah dari pusat ke periferi atau peningkatan keringat (Sturkie 1981). Pada temperatur di bawah ZTN, hewan akan meminimalkan semua jalur pengeluaran panas dan meningkatkan produksi panas. Pada temperatur di atas ZTN hewan akan memaksimalkan pengeluaran panas (Yousef 1984). 2.5 Pengaruh Anestesi dan Sedasi Terhadap Fisiologis Tubuh Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu an- yang berarti tidak atau tanpa dan aesthetos yang berarti persepsi atau kemampuan untuk merasa sesuatu. Secara umum anestesi dapat diartikan sebagai suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anastesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr. pada tahun 1846. Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi dalam 2 kelompok, yaitu analgesia dan anestesi. Analgesia adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. Seseorang yang mengkonsumsi analgesia tetap berada dalam keadaan sadar. Analgesia merupakan obat yang tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi bersifat meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar (Suryanto 1998). Sedasi dapat didefinisikan sebagai penggunaan agen-agen farmakologik untuk menghasilkan depresi tingkat kesadaran secara cukup sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal (Anonim4 2010). Berikut adalah pengertian sedasi menurut tingkatannya: Sedasi minimal adalah suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien berespon normal terhadap perintah verbal. Walaupun fungsi kognitif dan koordinasi terganggu, tetapi fungsi kardiovaskuler dan respirasi tidak dipengaruhi. Sedasi sedang (sedasi sadar) adalah suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat dimana pasien dapat berespon terhadap perintah verbal secara spontan atau setelah diikuti oleh rangsangan taktil cahaya. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. Sedasi dalam adalah suatu keadaan di mana selama terjadi depresi kesadaran setelah terinduksi obat, pasien sulit dibangunkan tapi akan berespon terhadap rangsangan berulang atau rangsangan sakit. Kemampuan untuk mempertahankan fungsi respirasi dapat terganggu. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. Dapat terjadi progresi dari sedasi minimal menjadi sedasi dalam dimana kontak verbal dan refleks protektif hilang. Sedasi dalam dapat meningkat hingga sulit dibedakan dengan anestesi umum, dimana pasien tidak dapat dibangunkan, dan diperlukan tingkat keahlian yang lebih tinggi untuk penanganan pasien. Kemampuan pasien untuk menjaga jalan napas paten sendiri merupakan salah satu karakteristik sedasi sedang atau sedasi sadar, tetapi pada tingkat sedasi ini tidak dapat dipastikan bahwa refleks protektif masih baik. Beberapa obat anestesi dapat digunakan dalam dosis kecil untuk menghasilkan efek sedasi. Obat-obat sedative dapat menghasilkan efek anestesi jika diberikan dalam dosis yang besar (Anonim4 2010). Anestesi dan sedasi pada monyet sering digunakan pada pengujian obat ataupun pemeriksaan klinis. Monyet harus direstrain atau dibius supaya tidak membahayakan pemeriksa (Sajuthi et al. 1997). Penggunaan obat bius dan sedatif untuk restrain telah banyak dilakukan pada hewan terutama yang liar dan sulit dikendalikan (Blackshaw & Allan 1988). Keberhasilan anestesi dan sedasi sangat tergantung dari kondisi fisiologis hewan. kondisi fisiologis hewan (monyet) sangat tergantung dari beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, bobot badan, perilaku, faktor lingkungan (suhu & kelembaban) dan lain-lain. Faktor lingkungan misalnya seperti perbedaan mikroklimat (suhu & kelembaban) dapat mempengaruhi kondisi fisiologis hewan saat teranestesi maupun tersedasi. Hewan pada saat kondisi mikroklimat berada pada zona nyaman maka tingkat metabolisme fisiologis tubuhnya akan optimal dibandingkan dengan kondisi mikroklimat berada pada Heat stress atau Cold stress, sehingga hal ini sangat mempengaruhi kondisi fisiologis monyet saat teranestesi maupun tersedasi. Salah satu jenis zat anestesi maupun sedasi yang sering digunakan untuk pembiusan pada primata yaitu ketamin. Ketamin merupakan salah satu jenis anestesi non barbiturat yang sering digunakan dalam terapi bedah pada hewan kucing dan anjing. Ketamin merupakan zat yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman (batas keamanan lebar): sifat anelgesiknya sangat kuat untuk sistem somatis, tetapi lemah untuk sistem visceral yang tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadangkadang tonusnya tinggi (Ganiswarna 1995). Pemberian ketamin dapat menyebabkan halusinasi, hipersalivasi, hipertensi dan tidak adanya relaksasi otot, namun efek tersebut dapat diatasi dengan pemberian premedikasi (Hall & Clark 1983). Dosis ketamin untuk semua hewan kecil termasuk satwa liar (monyet ekor panjang) melalui injeksi intravena adalah 5-10 mg/kg BB, sedangkan dosis untuk injeksi intramuskular adalah 10-40 mg/kg BB. Lama anastesi sekitar 15 – 20 menit dan recovery kira-kira selama 30 sampai 60 menit. Ketamin merupakan analgesik kuat, bekerja pada sistem saraf pusat melalui saraf simpatomimetik dan parasimpatolitik dengan efek transquiliser (Hellyer 1996). Ketamin merangsang proses metabolisme dan kerja kardiovaskuler, juga meningkatkan salivasi (Haskins et al. 1985 ; Hellyer 1996) meningkatkan suhu tubuh, detak jantung, dan tekanan arteri (Haskins et al. 1985). 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama bulan Mei sampai dengan Juni 2009 di Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Sepuluh monyet ekor panjang jantan yang berasal dari PT Wanara Satwaloka, Bogor-Indonesia, dengan kisaran bobot badan 4 kg/ekor sampai dengan 5 kg/ekor, dan berumur sekitar 4 sampai dengan 5 tahun digunakan dalam penelitian ini. Prosedur dan tindakan medis dalam penelitian ini dilakukan oleh dokter hewan. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan antara lain adalah ruangan/kamar uji coba, air conditioner (AC), kandang monyet yang difasilitasi dengan tempat air, higrotermometer, ember, gelas ukur, kantung plastik bening, Patien-Monitor Welch Allyn 621E, piring melanin, sendok plastik, spuid, needle dan timbangan. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah obat bius (ketamine HCl 10%), pakan impor untuk monyet (monkey chow), pisang dan air. 3.3 Persiapan Kandang dan Pakan Sepuluh monyet ekor panjang dimasukkan pada dua ruangan yang berbeda, masing-masing terdiri dari lima ekor monyet. Hal ini dilakukan agar kondisi ruangan tidak terlalu padat dan agar sesuai dengan kapasitas alat pendingin ruangan sebesar 1 pk sehingga terjadi distribusi suhu ruangan yang merata dan optimal. Setiap ruangan berukuran 2,5 m x 4 m x 2,75 m yang di dalamnya terdapat kandang individual yang terbuat dari besi dengan ukuran 60 cm x 80 cm x 80 cm. Masing-masing ruangan mendapat perlakuan yang sama, yaitu dipasangkan alat pendingin ruangan dengan pengaturan suhu 25°C. Pemberian pakan dan air minum dilakukan pada setiap monyet. Monkey Chow (HARLAND®2050) merupakan pakan komersial yang memiliki kandungan nutrisi berupa protein kasar 18-21%, serat kasar 11-13%, lemak kasar 4-6%, kadar air 8-10%, dan energi 3.858 kal/g, sementara itu, kandungan nutrisi yang dimiliki pisang adalah protein 2,3%, serat 23%, lemak 0,13%, kadar air 66%, dan energi 136 kal/100 g. Setiap monyet mendapat pakan sebanyak 200 g monkey chow dan 100 gpisang dengan pemberian sebanyak 2 kali per hari. Sementara itu, pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. (A) (B) (C) (D) (E) Gambar 4. (A), (B) Kamar Uji Coba, (C) Kandang Monyet, (D) Pakan Monyet, (E) Pemberian Pakan (Suprayogi et al. 2009) 3.4 Protokol Penelitian Tahap adaptasi merupakan proses penyesuaian diri terhadap lingkungan barunya. Tahap ini dilakukan selama tujuh hari setelah monyet dimasukkan ke dalam kandang penelitian tanpa alat pendingin ruangan dihidupkan. Hal ini bertujuan untuk membiasakan hewan coba agar dapat bertingkah laku dan makan sesuai dengan lingkungan barunya. Tahap selanjutnya adalah tahap aklimasi berupa pengaturan suhu alat pendingin ruangan sebesar 25°C selama 14 hari. Perekaman fungsi kardiorespirasi dan suhu tubuh dilakukan pada hari ke-1 (H1), ke-7 (H7), ke-14 (H14) tahap AC hidup. Tahap terakhir adalah tahap aklimasi tanpa pengaturan alat pendingin ruangan (alat pendingin ruangan dimatikan) selama 14 hari. Perekaman fungsi kardiorespirasi dan suhu tubuh dilakukan pada hari ke-28 (H28) tahap AC mati. Kondisi ini merupakan kondisi dengan suhu lingkungan yang kurang nyaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Smith & Mangkoewidjojo (1987) bahwa suhu lingkungan yang cukup baik bagi kehidupan monyet ekor panjang berkisar antara 25°C sampai dengan 27°C. Penelitian ini dilakukan selama lebih 1 bulan dengan tahapan penelitian pada tabel berikut : Tabel 5. Tahapan Penelitian Aktivitas Adaptasi Waktu Capaian 7 Hari 1. Adaptasi lingkungan 2. Adaptasi kandang 3. Adaptasi pakan Parameter - AC Hidup (pengaturan alat pendingin ruangan pada suhu 25°C) 14 Hari Pengkondisian lingkungan yang nyaman dengan pengaturan mikroklimat (suhu 25,79±1,16°C dan kelembapan 80,19±9,05% rel) Pada Hari Ke-1, ke-7, dan ke-14 dilakukan pengambilan data denyut jantung, frekuensi napas, suhu tubuh, dan EKG AC Mati (alat pendingin ruangan dimatikan) 14 Hari Pengkondisian lingkungan yang tidak nyaman dengan pengaturan mikroklimat (suhu 29,00±2,05°C dan kelembapan 79,92±1,67% rel) Pada hari ke-28 dilakukan pengambilan data denyut jantung, frekuensi napas, suhu tubuh, dan EKG Perekaman fungsi kardiorespirasi dan suhu tubuh dilakukan dengan cara melakukan pembiusan menggunakan chemical-restrain Ketamin-HCl dosis 10 mg/kg BB via Intra Muscular (IM). Onset ketamin rata-rata 10 menit setelah penyuntikan untuk setiap monyet, setelah itu dilakukan pengambilan rekaman data fisiologis monyet. Perekaman ini dilakukan dengan menggunakan alat Patien-Monitor Welch Allyn 621E dengan pengukuran parameter denyut jantung, frekuensi napas, suhu tubuh dan EKG. (A) (B) Gambar 5. (A) Perekaman denyut jantung, frekuensi napas, suhu tubuh, dan EKG Monyet, (B) Patien-Monitor Welch Allyn, 621E (Suprayogi et al. 2009) 3.5 Evaluasi dan Analisa Data Hasil data nilai kardiorespirasi dan suhu tubuh yang diperoleh diolah dengan Microsoft Excel menggunakan uji-T test Student. Seluruh hasil perhitungan data juga menggunakan analisa statistik deskriptif (rataan dan standar deviasi) dan analisa statistik komparatif (data yang ada dibandingkan dengan literatur). Parameter variabel yang diamati yaitu denyut jantung, frekuensi napas, suhu tubuh dan gambaran hasil rekaman EKG yaitu gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, interval P-R, interval R-R, interval Q-T, dan interval S-T. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang profil nilai fisiologis kardiorespirasi dan suhu tubuh Macaca fascicularis tersedasi (nilai rataan denyut jantung, nafas, suhu tubuh dan EKG) pada perbedaan temperatur dan kelembaban ruangan hidupnya (Mt-25 & Mt-29) dapat disajikan pada tabel 6 dan 7. Secara umum diketahui bahwa perbedaan ruang hidup Macaca fascicularis terlihat berpengaruh terhadap nilai fisiologis kardiorespirasi dan temperatur Macaca fascicularis. 4.1 Suhu Tubuh, Frekuensi Napas, dan Denyut Jantung Tabel 6. Nilai Rataan Suhu Tubuh, Frekuensi Napas, dan Denyut Jantung Macaca fascicularis Tersedasi pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan AC (Hidup) AC (Mati) Mt-25 Mt-29 Parameter Literatur H1 H7 H14 H28 Suhu tubuh (°C) 36,73 ± 1,58a 32,76 ± 3,99 bcd 35,55 ± 3,62 ad 32,72 ± 4,77 d 38-39,52 Napas (kali/menit) 21,31 ± 9,47a 17,35 ± 6,99 ab 14,20 ± 10,62ab 13,04 ± 7,24 b 23-361 Denyut Jantung (kali/menit) 155,89 ± 29,79a 162,17 ± 36,15a 153,55 ± 21,89a 131,00 ± 21,51b 88-1311 Keterangan : Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) 1 = Ungerer et al. 1997 2 = Smith & Mangkoewidjojo 1987 Penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan ruang tempat hidup antara Macaca fascicularis yang hidup pada mikroklimat Mt-25 dan Mt-29 terlihat bahwa Macaca fascicularis yang tesedasi pada mikroklimat Mt-25 lebih tinggi nilainya baik pada H1, H7, dan H14 dibandingkan dengan Mt-29 pada H28 (P<0,05). Hasil menunjukkan nilai fisiologis pada kedua mikroklimat tersebut (denyut jantung, frekuensi napas, dan suhu tubuh) bila dibandingkan dengan literatur cenderung berbeda. Terutama perbedaan itu terjadi pada parameter frekuensi napas dan suhu tubuh. Terlihat dalam tabel 6, bahwa nilai frekuensi napas dan suhu tubuh pada Macaca fascicularis ini cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan literatur. Perbedaan tersebut kemungkinan saja terjadi mengingat kondisi lingkungan, waktu pengukuran parameter, dosis ketamin dan Macaca fascicularis (umur, bobot badan, dan jenis kelamin) yang digunakan berbeda dari penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa, kondisi Macaca fascicularis tersedasi pada kondisi mikroklimat Mt-29 menghasilkan suhu tubuh yang berada jauh di bawah kisaran suhu normal. Hal ini dapat diartikan bahwa Macaca fascicularis yang tersedasi pada kondisi mikroklimat Mt-29 lebih mendekati titik kritis dibandingkan Macaca fascicularis tersedasi pada kondisi mikroklimat Mt-25. Dari tabel 6 terlihat bahwa selama 14 hari Macaca fascicularis tersedasi yang berada pada kondisi mikroklimat Mt-29 menghasilkan suhu tubuh 32,72 ± 4,77 °C, sedangkan Macaca fascicularis tersedasi yang berada pada kondisi mikroklimat Mt-25 tampak lebih tinggi suhunya yaitu, 35,55 ± 3,62°C. Kelly (1974) menyatakan titik kritis suhu tubuh mamalia, yaitu tidak boleh kurang dari 32°C. titik kritis penting diketahui sebagai indikator keamanan selama hewan tersedasi atau teranestesi, karena hal ini menggambarkan kondisi titik metabolisme terendah dan hal ini harus dihindari. Tabel 6 menunjukkan, Macaca fascicularis tersedasi pada kondisi mikroklimat Mt-25 yaitu pengukuran suhu tubuh pada H1, H7, dan H14 cenderung memiliki nilai yang serupa, walaupun terlihat pada pengukuran suhu tubuh di H7 yang memiliki nilai lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena kondisi homeostasis tubuh pada mekanisme termoregulasi terhadap kondisi lingkungan yang memungkinkan akan kembali lagi pada kondisi yang lebih baik pada pengukuran suhu tubuh di H14. Isnaeni (2006) menyatakan bahwa, suhu lingkungan akan berpengaruh terhadap aktivitas metabolisme di dalam sel tubuh, oleh karena itu hewan harus melakukan termoregulasi agar suhu tubuhnya selalu dalam keadaan homeostasis. Hal ini diperkuat oleh Sturkie (1981) yang menyatakan mamalia (homoitermis) mengontrol suhu tubuhnya dengan termoregulasi untuk memelihara proses fisiologis tubuh agar tetap optimum. Terjadi penurunan suhu tubuh pada kondisi mikroklimat Mt-29 menandakan turunnya tingkat metabolisme hewan tersebut selama hidup di mikroklimat Mt-29. Penurunan metabolisme ini ditandai dengan penurunan frekuensi napas dan frekuensi denyut jantung Macaca fascicularis. Tabel 6 menunjukkan Macaca fascicularis tersedasi yang hidup pada kondisi mikroklimat Mt-29 memiliki frekuensi napas yang lebih rendah dibandingkan pada kondisi mikroklimat Mt-25 yaitu, 13,04 ± 7,24 kali/menit dan 14,20 ± 10,62 kali/menit. Di samping itu, frekuensi denyut jantung juga terjadi penurunan pada kondisi mikroklimat Mt-29 dibandingkan pada kondisi mikroklimat Mt-25 yaitu 131,00 ± 21,51 kali/menit dan 153,55 ± 21,89. Perbedaan ini sangat terkait dengan tingkat metabolisme hewan tersebut selama tersedasi. Tabel 6 menunjukkan Macaca fascicularis tersedasi pada kondisi mikroklimat Mt-25 pada pengukuran frekuensi napas dan denyut jantung pada H1, H7, dan H14 terlihat tidak berbeda nyata (P>0,05). 4.4 Elektrokardiogram (EKG) Penelitian ini juga merekam parameter EKG Macaca fascicularis tersedasi pada perbedaan temperatur dan kelembapan ruangan hidupnya (Mt-25 & Mt-29). Hasil rekaman EKG dapat disajikan pada Tabel 7. Perekaman parameter EKG (gelombang P, kompleks QRS, gelombang R, gelombang T, interval P-R, interval Q-T, dan segmen S-T) menunjukkan nilai yang sesuai dengan literatur. Sedangkan untuk interval R-R terlihat pada tabel 7 menunjukkan adanya perbedaan nilai yang signifikan, yaitu pada Macaca fascicularis tersedasi pada kondisi mikroklimat Mt-29 jauh lebih besar nilai interval R-R dibandingkan dengan Macaca fascicularis tersedasi pada kondisi mikroklimat Mt-25 yaitu dengan nilai 0,56 ± 0,10 dibandingkan 0,44 ± 0,05. Sampai saat ini belum ada literatur yang mengatakan kisaran normal untuk interval R-R. Namun, perbedaan ini sangat terkait dengan frekuensi denyut jantung Macaca fascicularis yang dimana frekuensi denyut jantung Macaca fascicularis pada kondisi mikroklimat Mt-29 jauh lebih rendah dibandingkan pada kondisi mikroklimat Mt-25. Hasil perekaman EKG secara umum diketahui bahwa baik pada Macaca fascicularis tersedasi yang hidup pada kondisi mikroklimat Mt-29 maupun mikroklimat Mt-25 tidak terlihat tanda-tanda adanya perubahan aktivitas jantung seperti hipertropi atria, infark jantung, infark miokard, aneurisma, perikarditis angina pectoris dan efek digitalis (Widjaja 1990 & Gavahan 2003). Tabel 7. Nilai Rataan EKG Macaca fascicularis Tersedasi Pada Perbedaan Mikroklimat Ruangan H1 AC (Hidup) Mt-25 H7 H14 0,05 ± 0,02 0,13 ± 0,05 0,05 ± 0,02 0,19 ± 0,19 0,03 ± 0,01 0,10 ± 0,05 0,03 ± 0,01 0,04 ± 0,01 0,03 ± 0,01(1) 0,16 ± 0,05(1) 0,03 ± 0,001 0,04 ± 0,001 0,04 ± 0,001 0,04 ± 0,001 0,04 ± 0,01(1) 0,74 ± 0,23 0,74 ± 0,18 0,78 ± 0,32 0,62 ± 0,23 0,8 ± 0,01(1) 0,11 ± 0,06 0,09 ± 0,04 0,07 ± 0,05 0,04 ± 0,01 0,074 ± 0,019(2) 0,10 ± 0,02 0,09 ± 0,02 0,08 ± 0,01 0,08 ± 0,02 0,09 ± 0,01(1) 0,41 ± 0,07 0,42 ± 0,08 0,44 ± 0,05 0,56 ± 0,10 - 0,19 ± 0,06 0,20 ± 0,04 0,21 ± 0,03 0,22 ± 0,09 0,22 ± 13,3(3) 0,14 ± 0,06 0,15 ± 0,05 0,18 ± 0,03 0,2 ± 0,06 0,218 ± 0,03(2) Parameter Gelombang P Durasi (detik) Amplitudo (milivolt) Kompleks QRS Durasi (detik) Gelombang R Amplitudo (milivolt) Gelombang T Durasi (detik) Interval P-R Durasi (detik) Interval R-R Durasi (detik) Interval Q-T Durasi (detik) Segmen S-T Durasi (detik) AC (Mati) Mt-29 H28 Literatur Keterangan: 1 = Gonder et al. 1980 2 = Azwar 1990 3 = Kapeghian et al. 1984 Penelitian menunjukkan untuk nilai fisiologis parameter penelitian ini, diketahui bahwa kondisi mikroklimat tempat hidup dari Macaca fascicularis ini memiliki andil besar dalam mempengaruhi kondisi fisiologis hewan tersebut selama tersedasi, walaupun kondisi Macaca fascicularis tersedasi (ketamin) sudah diketahui pengaruhnya oleh peneliti terdahulu. Dari penelitian ini diketahui bahwa kondisi Macaca fascicularis tersedasi pada kondisi mikroklimat Mt-25 memiliki nilai fisiologis yang lebih tinggi dibandingkan pada kondisi mikroklimat Mt-29. Hal ini karena kondisi mikroklimat Mt-25 masih merupakan kondisi yang nyaman untuk monyet tersebut. Hasil ini penting diketahui bahwa Macaca fascicularis dalam kondisi tersedasi (ketamin) diharapkan berada dalam kondisi nyaman pada kondisi mikroklimat Mt-25. Sebaliknya, apabila tindakan sedasi atau anestesi dilakukan pada kondisi mikroklimat yang tidak nyaman (Mt-29), kemungkinan akan muncul perubahan fisiologis yang drastis berupa penurunan suhu tubuh mendekati titik kritis, penurunan frekuensi napas dan denyut jantung. 6. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada kondisi Macaca fascicularis tersedasi penurunan nilai parameter fisiologis juga dipengaruhi kondisi mikroklimat tempat hidupnya. 2. Dapat diperkirakan kondisi mikroklimat Mt-25 (suhu ruangan 25,79 ± 1,16°C dan kelembapan ruangan 80,19 ± 9,05% rel) merupakan kondisi yang nyaman untuk Macaca fascicularis tersedasi. 3. Pada kedua kondisi mikroklimat tersebut, Macaca fascicularis tersedasi tidak menunjukkan pengaruhnya pada aktivitas listrik jantung yang diindikasikan dari gambaran EKG yang masih normal. Saran 1. Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari parameter atau perlakuan lain yang dapat mempengaruhi fisiologis kardiorespirasi dan suhu tubuh monyet yang tersedasi. 2. Hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan bahwa pentingnya mikroklimat pada kondisi nyaman untuk situasi sedasi atau anastesi. 7. DAFTAR PUSTAKA [Anonim]1 2008. Macaca fascicularis. [terhubung berkala] http://www.martinparrsnaturepics.com [13 Januari 2010] [Anonim]2 2009. Buku Acuan Pemeriksaan EKG. Makassar : Skills Laboratorium Sistem Kardiovaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin [Anonim]3 2010. Electrocardiology [tehubung berkala] http://www.vetgo.com/cardio/concepts/concsect.php?sectionkey=5&section =Electrocardiology [13 Agustus 2010] [Anonim]4 2010. Sedasi [terhubung berkala] http://www.x3-prima.com/2009/12/sedasi-dapat-didefinisikan-sebagai.html [8 Desember 2010] Azwar. 1990. Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Sebagai Hewan Model Aterogenesis : Perubahan Elektrokardiogram Selama Infus EDTA. Skripsi. FKH IPB. Battaglia AM. 2007. Small Animal Emergency and Critical Care for Veterinary Technicians. 2nd Ed. Philadelpia. Saunders Elsevier. Bennet BT, Abee CR, Henrickson R. 1995. Nonhuman Primates in Biomedical Research. New York: Academic Press. Blackshaw JK, Allan DJ. 1988. Drugs in behavioural modification programs and strategies for dogs and cats. Aust. Vet. Pract. 18 (4) : 166 -169. Boswood A. 2008. Fisiologi dan Patofisiologi Jantung. London: Royal Collage University of London. Chantalakhana C, Skunmun P. 2002. Sustainable Smallholder Animal Systems in the Tropics. Kasetsart University Press, Bangkok. Cole DJA, Brander GC. 1986. Bioindustrial Ecosystems. Elsevier, Amsterdam. Direktorat Jendral Peternakan. 2008. Data Produksi Susu Segar Indonesia Tahun 2004-2008. [terhubung berkala] http://www.ditjennak.go.id/bank/Tabel_ 5_18.pdf. [11 Juli 2010]. Crockett CM, Kyes RC, Sajuthi RC. 1996. Modeling managed monkey populations : sustainable harvest of longtailed maqaques on a natural habitat island. American Journal of Primatology. 40:343-360 Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. 3rd Ed. Philadelphia: WB Saunder Company. Curtis SE. 1999. Environmental Management in Animal Agriculture. Agricultural Communications, University of Illinois, Urbana. Esmay ML. 1982. Principles Of Animal Environment. The AVI Publishing Company, INC. Westport. Connecticut. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi Ke 4. Srigando, B, Praseno, K (penerjemah). Yogyakarta: Gadjah Mada Universiyy Press. Ganiswarna SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. Gavahan B. 2003. Cardiology in Dogs and Cats. Thailand: the Veterinary Practitioners Association of Thailand. Gonder JC, Gard EA, Lott NE 3rd. 1980. Electrocardiograms of nine species of nonhuman primates sedated with ketamine. Am J Vet Res. 6: 972 – 975. Grandin T. 1997. Assesment of stress during handling and transport. J. Anim. Sci. 75:249-257 Guyton AC. 1994. Textbook of Medical Physiology 7th Ed . Missoury: WB Saunders Co. Guyton A, John EH. 2008. Textbook of Medical Physiology 11th Ed. Missisipi: EGC Medical Publisher. Hall LW, Clark KW. 1983. Veterinary Anaesthesia. 8th Ed. London: Bailliere Tindal. Hartley LH, Rodger R, Nicolosi RJ. 1984. Blood pressure values in Macaca fascicularis. J. Med. Primatol. 13:183-189. Haskins SC, Farver TB, Patz JD. 1985. Ketamine in dogs. Am. J. Vet. Res. 46 (9) : 1855 – 1860. Hellyer PW. 1996. General anesthesia for dog and cats. Vet Med. 91 : 314 - 325. Hendras EW, Supriatna J. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius : Yogyakarta. Kay I. 1998. Introduction to Animal Physiology. Bioscientific Publisher Springer Verlag, New York. Kapeghian JC, Bush MJ, Verlangieri AJ. 1984. Changes in selected serum biochemical and ekg values with age in cyonomolgus macaques. J. Med.Keller GL, Bauman DH. 1978. Ketamine and xylazine anaesthesia in goat. V/M. Sac. 73: 443-444. Kelly WR. 1974. Veterinary Clinical Diagnosis. Second Edition. Bailliera Tindall London. Manuck SB, Kaplan JR, Clarkson TB. 1983. Behaviorally induced heart rate reactivity and atherosclerosis in cynomolgus monkeys. Psychosomatic Medicine Vol.45. 2: 95 – 108. Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Japan International Cooperation Agency. Martin M. 2007. Small Animal ECGs an Introductory Guide. 2nd Ed. UK: Blackwell Publishing. Michal M. 1991. Stress. Editiones Roche Napier JR, Napier PH. 1967. A Handbook oh Living Primates : Morfology, Ecology and Behaviour of Non Human Primates. London : Academic Press. Norcross JL, Newman DJ. 1999. Effect of separation on novelty and distress vocalizations and cortisol in the common of marmosed. Am. J. Primatol. 47:209-222. Ockenfels MC, L. Porter J, Smith C, Kirschbaum, Hellhammer DH, Stone AA. 1995. Effect of chronic stress associated with unemployment on salivary cortisol: overoll cortisol levels, diurnal rhythm, and acute stress reactivities. Psychocosom Med. 57:460-467. Sajuthi D. 1984. Satwa Primata Sebagai Hewan Laboratorium. Bogor: Institut Pertanian Bogor Sajuthi D, Lelana RPA, Iskandriati D, Joeniman B. 1993. Karakteristik Satwa Primata sebagai Hewan Model untuk Penelitian Biomedis. Makalah Seminar. Bogor. Sajuthi D, Pamungkas J. 2000.Pemeliharaan satwa Primata Sebagai Hewan Model Penelitian Penyakit Pada Manusia. Pusat Studi Satwa Primata. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Sajuthi D, Yusuf TL, Mansjoer I, Lelana RPA, Suparto IH. 1997. Kursus Singkat Penanganan Satwa Primata Sebagai Hewan Laboratorium. Bali 21 April26 April 1997. Denpasar. Schwartz PJ, Gerson A, Paul T, Stramba-Badiale M, Vetter VL, Villain E, Wren C. 2002. Guidelines for the interpretation of the neonatal electrocardiogram. European Heart Journal. 23: 1329-1344. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. The Care, Breeding, and Management of Experimental Animals for Research in the Tropics. Canberra: International Development Program of Australian Universities and Colleges Ltd. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Penerbit Universitas Indonesia: Jakarta. Sturkie PD. 1981. Basic Physiology. Springer-Verlag New York, Inc. USA. Suprayogi A, Sismin SA, Kiranadi B, Kusumorini N, Murtini S, Darusman HS. 2009. Uji Keamanan Pendingin Udara LG Berkhasiat Antinyamuk pada Hewan Model Primata dan Rodentia. Laporan Penelitian Kerjasama FKH IPB - PT LG ELECTRONIC Indonesia. Supriatna J. 2000. Konservasi Satwa Primata. Tinjauan Aspek Ekologi, Sosial Ekonomi, dan Medis dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Seminar Primatologi Indonesia 2000. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Kehutanan UGM. Suryanto. 1998. Anastesi. [terhubung berkala] http://id.wikipedia.org/wiki/Anastesi/ [10 Agustus 2010]. Swenson GM. 1997. Dules Physiology or Domestic Animals. Publishing Co. Inc : USA. Takagi G, Asai K, Vatner SF, Kudej RK, Rossi F, Peppas A, Takagi I, Resuello RRG, Natividad F, You-Tang Shen, Vatner DE. Gender differences on the effects of aging on cardiac and peripheral adrenergic stimulation in old conscious monkeys. Am J Physiol Heart Circ Physiol. Ungerer T, Sajuthi D, Lubis MI, Supari F, Suprayogi A. 1997. Nilai lipid, tekanan darah, frekuensi jantung, dan respirasi pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersedasi. Hemera Zoa. 79: 7 – 12. Ville CA, Walker, Barnes WFR. 1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta. White AAK. 2009. From Comfort Zone to Performance Management. White & MacLean Publishing. Widjaja S. 1990. Segi Praktis EKG. Binarupa Aksara : Jakarta. Wodzika MT, Djajanegara. A, Gardiner. S, Wiradarya. TR, Mastika. IM. 1993. Produksi Ruminansia Kecil pada Lingkungan Tropis. Terjemahan. Universitas Sebelas Maret Press. Surakarta. Indonesia. Wolfhensohn S, Lloyd S. 1998. Handbook of Laboratory Animal Management and Welfare. 2nd Edition. London: Blackwell Science Ltd. Yousef MK 1984. Stress Physiology in Livestock. Vol. 1 : Basic Principles. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida.