Analisis Indikator Ekonomi Makro Terhadap Defsit APBN Indonesia Periode 2000-2015 Sirajudin Amin 133401027 Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Siliwangi ABSTRAK Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy Krisis terhadap Defisit APBN Indonesia Periode 2000-2015. Penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS) dan menggunakan bantuan program Eviews9. Hasil penelitian secara parsial (Uji t) menunjukkan bahwa Inflasi, Nilai Tukar, Dummy Krisis berpengaruh signifikan terhadap Defisit APBN, sedangkan Pertumbuhan Ekonomi, BI Rate, dan Harga Minyak Dunia tidak berpengaruh signifikan terhadap Defisit APBN. Secara bersama-sama (Uji F) menunjukkan bahwa Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy Krisis berpengaruh signifikan terhadap Defisit APBN Indonesia Periode 2000-2015. Kata kunci: Defisit APBN, Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, Dummy Krisis PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki oleh masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi, efisiensi, budaya, kualitas manusia dan kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan menentukan seberapa besar peran pemerintah dalam proses pembangunan, serta pola kebijakan yang dilakukan. Dalam konsep ekonomi dikenal dua kebijakan ekonomi yang utama, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter merupakan pengendalian sektor moneter, sedangkan kebijakan fiskal merupakan pengelolaan anggaran pemerintah (budget) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan (Rosit, 2010). 1 Dalam rangka menerapkan kebijakan fiskal, pemerintah menyusun suatu anggaran yang merangkum penerimaan dan pengeluarannya. Di Indonesia, anggaran pemerintah tersebut adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap tahun pemerintah menyusun anggaran negara dan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggaran ini tersusun dalam APBN yang secara garis besar terdiri dari anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Sebelum tahun 1999, penyusunan APBN oleh pemerintah dengan menerapkan prinsip anggaran berimbang. Artinya, penerimaan negara harus sama dengan pengeluaran walaupun dalam kenyataannya tidak pernah ada karena dalam pembiayaan pembangunan nasional pemerintah juga mengandalkan pinjaman luar negeri. Namun sejak tahun 1999, pemerintah menggunakan penyusunan APBN dengan prinsip anggaran defisit. Politik anggaran defisit merupakan kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Defisit anggaran negara adalah selisih antara penerimaan negara dan pengeluarannya yang negatif, artinya bahwa pengeluaran negara lebih besar dari penerimaannya. Para ahli ekonomi cenderung menghitung defisit anggaran negara itu bukan dari angka absolut, tetapi mengukur dari rasio defisit anggaran negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Penyebab terjadinya defisit APBN diantaranya yaitu: rendahnya daya beli masyarakat, pemerataan pendapatan masyarakat, melemahnya nilai tukar, pengeluaran akibat krisis ekonomi, realisasi yang menyimpang dari rencana, dan pengeluaran karena inflasi. Pada kurun waktu tahun 2008, fluktuasi harga minyak dunia mempengaruhi naik turunnya pendapatan dan belanja pemerintah. Saat harga minyak naik dari 90 USD/barel menjadi 95 USD/barel, pendapatan pemerintah ikut naik menjadi Rp 107,7 triliun dari Rp 90,7 triliun. Namun, disamping itu belanja pemerintah juga ikut naik karena naiknya harga minyak dunia mengakibatkan naiknya belanja pemerintah untuk minyak (BBM) dan ditambah lagi dengan naiknya subsidi untuk bahan energi. Pada akhirnya, kenaikan harga minyak akan menjadikan defisit APBN ikut meningkat. Dalam periode 2001-2004, perekonomian tumbuh sebesar 4,49% rata-rata per tahun dan pada tahun 2004 laju pertumbuhan ekonomi masih sebesar 5,03%. Perkembangan inflasi pada tahun 2004 lebih tinggi dibandingkan tahun 2003 tetapi angka inflasi relatif terkendali pada 6,40%. Meskipun pertumbuhan ekonomi rata-rata periode 2 2005-2008 mencapai 5,89%, pencapaian tersebut dilalui dalam kondisi yang cukup berat. Lonjakan harga minyak mentah di pasar internasional telah memaksa pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi beberapa kali sehingga meningkatkan laju inflasi. Pada tahun 2007 perekonomian Indonesia mencatat beberapa pencapaian pokok yang menggembirakan meskipun terdapat tekanan terutama dari sisi eksternal. Untuk pertama kali dalam periode tahun 2001 hingga 2010, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai angka 6,35% dengan stabilitas yang tetap terjaga dengan baik. Neraca pembayaran Indonesia mencatat surplus, cadangan devisa meningkat, dan laju inflasi sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Nilai tukar rupiah merupakan satu indikator ekonomi makro yang terkait dengan besaran APBN. Asumsi nilai tukar rupiah berhubungan dengan banyaknya transaksi dalam APBN yang terkait dengan mata uang asing, seperti penerimaan pinjaman dan pembayaran utang luar negeri, penerimaan minyak dan pemberian subsidi BBM. Krisis global yang semakin dalam pada tahun 2008 telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang rupiah. Kurs rupiah melemah menjadi Rp10.950/USD. Berbeda dengan tahun 2008, nilai tukar rupiah dalam kurun tahun 2009-2010 mengalami apresiasi. Nilai tukar rupiah menguat pada level Rp 9.400/USD pada tahun 2009 dan Rp8.991/USD pada tahun 2010. Hal ini dikarenakan meningkatnya arus modal masuk, seperti dari pasar saham dan obligasi, serta pulihnya kondisi perekonomian global. Nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Salah satu tolok ukur perkekonomian indonesia adalah inflasi. Inflasi merupakan indikator penting perekonomian yang berkaitan erat dengan daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi makro. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Indonesia sangat memerlukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tingkat inflasi yang terkendali untuk mengatasi masalah perekonomian yang dihadapi. Suku bunga merupakan salah satu variabel yang paling banyak diamati dalam perekonomian. Hal ini disebabkan pergerakannya dilaporkan hampir setiap hari di media, oleh karena itu pergerakan suku bunga dapat mempengaruhi keputusan pribadi, seperti 3 memutuskan dananya untuk berinvestasi ataupun untuk disimpan di bank. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Suku bunga dijadikan salah satu kebijakan moneter oleh Bank Indonesia untuk mengatur beredarnya uang. Apabila peredaran uang dianggap terlalu banyak, maka BI akan meningkatkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan sebaliknya jika peredaran uang dianggap sedikit maka BI akan menurunkan tingkat bunga. TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disusun pemerintah setiap tahun dapat dimanfaatkan untuk menentukan kebijakan anggaran (fiskal) yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian suatu negara. Peranan kebijakan anggaran melalui kebijakan stimulasi fiskal, diharapkan akan mampu mempercepat proses pemulihan ekonomi, yang tercemin dari peranannya dalam permintaan agregat. Dalam melaksanakan pengeluaran dan pembiayaannya, pemerintah dapat melakukan kegiatan melalui defisit anggaran. Menurut Rahardja dan Manurung (2004:24), mengungkapkan tentang defisit anggaran adalah anggaran yang memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (G>T). Anggaran yang defisit ini biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi. Definisi dari defisit anggaran menurut Samuelson dan Nordhaus (2001:433) adalah suatu anggaran dimana terjadi pengeluaran lebih besar dari pajak. Menurut Sukirno (2012:27) mengungkapkan definisi inflasi sebagai kenaikan harga-harga umum yang berlaku dalam suatu perekonomian dari satu periode ke periode lainnya. Menurut Nopirin (2000:25) mengungkapkan inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum barang-barang secara terus-menerus. Menurut Sukirno (2012:29) pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan ekonomi yang berlaku dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil semakin berkembang. Sedangkan menurut Samuelson dan Nordhaus (2001:249) pertumbuhan ekonomi adalah gambaran ekspansi GDP potensial atau output nasional Negara. 4 Mankiw (2007:127) kurs/nilai tukar (exchange rate) antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati oleh penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Perbandingan nilai atau harga antara dua mata uang ini disebut kurs (Nopirin, 2000), kurs juga biasa disebut dengan nilai tukar. Menurut Mishkin (2008:4), Suku Bunga adalah biaya pinjaman atau harga yang dibayarkan untuk dan pinjaman tersebut (biasnya dinyatakan sebagai presentase per tahun). Tingkat bunga adalah harga yang menghubungkan antara masa kini dan masa depan (Mankiw, 2007). Menurut Mankiw (2007:80-84) bahwa jumlah permintaan (quantity demanded) dari suatu barang adalah jumlah barang yang rela dan mampu dibayar oleh pembeli. Banyak hal yang mempengaruhi jumlah permintaan barang, tapi ketika kita manganalisis bagaimana pasar bekerja, salah penentunya adalah harga dari barang itu. METODE PENELITIAN Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari lembaga dan instansi terkait dalam penelitian ini, antara lain dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan RI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Metode Analisis Data Analisis yang digunakan adalah persamaan regresi linier berganda dan analisis deskriptif yaitu menganalisis masalah dengan cara mendeskripsikannya melalui tabel, dengan menggunakan software Eviews9 dan analisis kuantitatif. Dalam penelitian ini, persamaan regresi linier berganda adalah sebagai berikut: Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3log(X3) + β4X4 + β5log(X5) + β6Dk + e Dimana: Y: Defisit APBN X1: Inflasi X2: Pertumbuhan Ekonomi X3: Nilai Tukar X4: BI Rate X5: Harga Minyak Dunia Dk: Variabel Dummy β0: Konstanta. 5 β1: Koefisien nilai defisit APBN terhadap Inflasi. β2: Koefisien nilai defisit APBN terhadap Pertumbuhan Ekonomi. β3: Koefisien nilai defisit APBN terhadap Nilai Tukar. β4: Koefisien nilai defisit APBN terhadap BI Rate. Β5: Koefisien nilai defisit APBN terhadap Harga Minyak Dunia. β6: Koefisien nilai defisit APBN terhadap varibel Dummy. e: error term. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Dari hasil pengolahan data didapat persamaan regresi dalam bentuk persamaan ekonometrika sebagai berikut: 𝑌 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑋1 + 𝛽2 𝑋2 + 𝛽3 𝑙𝑜𝑔𝑋3 + 𝛽4 𝑋4 + 𝛽5 𝑙𝑜𝑔𝑋5 + 𝛽6 𝐷𝑘 Y = -5002,620 – 6,207018X1 + 18,01062X2 + 562,1060logX3 – 7,898695X4 – (0,0000) (0,0472) (0,3714) (0,0000) (0,1145) 14,66220logX5 – 80,12572Dk (0,6437) (0,0078) R-Squared (0,943836) F-Statistik (25,20761) Prob(F-Statistik) (0,000038) Berdasarkan hasil regresi tersebut, diketahui bahwa koefisien untuk setiap variabel adalah sebagai berikut: ▪ Nilai konstanta (β0) adalah -5002,620 ketika variabel Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy krisis maka nilai variasi Defisit APBN berubah sebesar -5002,620 rupiah. ▪ Nilai koefisien X1 sebesar -6,207018 artinya ketika Inflasi berubah 1% maka variasi Defisit APBN berubah sebesar 6,207018 rupiah. ▪ Nilai koefisien X2 sebesar 18,01062 artinya ketika Pertumbuhan Ekonomi berubah 1% maka variasi Defisit APBN berubah sebesar 18,01062 rupiah. ▪ Nilai koefisien X3 sebesar 562,1060 artinya ketika Nilai Tukar berubah 1% maka variasi Defisit APBN berubah sebesar 562,1060 rupiah. ▪ Nilai koefisien X4 sebesar -7,898695 artinya ketika BI Rate berubah 1% maka variasi Defisit APBN berubah sebesar 7,898695 rupiah. 6 ▪ Nilai koefisien X5 sebesar -14,66220 artinya ketika Harga Minyak Dunia berubah 1% maka variasi Defisit APBN berubah sebesar 14,66220 rupiah. ▪ Nilai koefisien Dummy krisis sebesar -80,12572 artinya setiap perubahan 1% akibat krisis yang terjadi maka variasi Defisit APBN berubah sebesar 80,12572 rupiah. Koefisien Determinasi (R2) Dari hasil regresi bahwa besarnya koefisien determinasi (R-squared) adalah 0,943836. Artinya bahwa variabel Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy krisis dapat menjelaskan perubahan variasi Defisit APBN sebesar 94,38% sedangkan sisanya 5,62% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak di analisis oleh peneliti dalam penelitian ini. Uji Signifikansi Parameter (Uji t) Uji t dilakukan untuk menguji tingkat signifikansi pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial yakni dilihat dari nilai probabilitas t-statistik dengan tingkat signifikansi. Variabel Tabel 1 Hasil Uji t t-statistik Prob (t- Signifikansi 5% statistik) Inflasi -2,296752 0,0472 Signifikan Pertumbuhan Ekonomi 0,940690 0,3714 Tidak Signifikan Nilai Tukar 8,031539 0,0000 Signifikan BI Rate -1,747618 0,1145 Tidak Signifikan Harga Minyak Dunia -0,478493 0,6437 Tidak Signifikan Dummy Krisis -3,405804 0,0078 Signifikan Sumber: Hasil Pengolahan Eviews9 Dilihat dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa hasil interpretasinya adalah sebagai berikut: Variabel Inflasi berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hal ini dapat dilihat jika nilai -t 12 thitung t 12 dan nilai signifikansi 95% (probability < 0,05) dengan nilai thitung sebesar -2,296752, nilai ttabel sebesar 2,262 dan nilai Prob (t-statistik) sebesar 0,0472. Jika -2,262 -2,296752 2,262 dan 0,0472 < 0,05 maka H0 ditolak 7 artinya terdapat pengaruh signifikan terhadap variabel Inflasi dengan variasi Defisit APBN. Variabel Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh tidak signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hal ini dapat dilihat jika nilai –t 12 > thitung atau thitung > t 12 dan signifikansi 95% (Probability < 0,05) dengan nilai thitung sebesar 0,940690, nilai ttabel sebesar 2,262 dan nilai Prob(t-statistik) sebesar 0,3714. Jika -2,262 > 0,940690 atau 0,940690 > 2,262 dan 0,3714 > 0,05 maka H0 tidak ditolak artinya tidak terdapat pengaruh signifikan terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi dengan variasi Defisit APBN. Variabel Nilai Tukar berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hal ini dapat dilihat jika nilai -t 12 thitung t 12 dan signifikansi 95% (Probability 0,05) dengan nilai thitung 8,031539, nilai ttabel sebesar 2,262 dan nilai Prob (t-statsitik) sebesar 0,0000. Jika -2,262 8,031539 2,262 dan 0,0000 < 0,05 maka H0 ditolak artinya terdapat pengaruh signifikan terhadap variabel Nilai Tukar dengan variasi Defisit APBN. Variabel BI Rate berpengaruh tidak signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hal ini dapat dilihat jika nilai –t 12 > thitung atau thitung > t 12 dan signifikansi 95% (Probability 0,05) dengan nilai thitung -1,747618, nilai ttabel sebesar 2,262 dan nilai Prob (t-statistik) sebesar 0,1145. Jika -2,262 > -1,747618 atau -1,747618 > 2,262 dan 0,1575 > 0,05 maka H0 tidak ditolak artinya tidak terdapat pengaruh signifikan terhadap variabel BI Rate dengan variasi Defisit APBN. Variabel Harga Minyak Dunia berpengaruh tidak signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hal ini dapat diihat jika nilai –t 12 > thitung atau thitung > t 12 dan signifikansi 95% (Probability 0,05) dengan nilai thitung 0,6437, ttabel sebesar 2,262 dan nilai Prob (t-statistik) sebesar 0,6437. Jika -2,262 > 0,6437 atau 0,6437 > 2,262 dan 0,5631 > 0,05 maka H0 tidak ditolak artinya tidak terdapat pengaruh signifikan terhadap variabel Harga Minyak Dunia dengan variasi Defisit APBN. Variabel Dummy krisis berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hal ini dapat dilihat jika nilai - t 12 thitung t 12 dan nilai signifikansi 95% (Probability 0,05) dengan nilai thitung -3,405804, nilai ttabel sebesar 2,262 dan nilai Prob (t-statistik) sebesar 0,0078. Jika -2,262 -3,405804 2,262 dan 0,0078 < 0,05 maka H0 ditolak 8 artinya terdapat pengaruh signifikan terhadap variabel Dummy krisis dengan variasi Defisit APBN. Uji Signifikansi Bersama-sama (Uji F) Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa besarnya Fstatistik adalah 25,20761 dan Ftabel adalah 3,374 sedangkan besarnya Prob(F-statistik) adalah 0,000079 dengan taraf nyata 0,05 dapat dilihat bahwa Fstatistik lebih besar dibandingkan dengan Ftabel (25,20761 > 3,374) atau Prob(F-statistik) lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata (0,000038 < 0,05) maka artinya semua variabel Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy krisis berpengaruh signifikan dan variabel penjelas terhadap variasi Defisit APBN. Uji Multikolinieritas Untuk melihat apakah ada atau tidaknya gejala multikolinieritas dengan melihat koefisiennya yang dibandingkan dengan 0,80 maka terdeteksi multikolinieritas begitu juga sebaliknya. Tabel 2 Uji Multikolinieritas X1 X2 LOG(X3) X1 1.000.000 -0.144062 0.061004 X2 -0.144062 1.000.000 -0.117019 LOG(X3) 0.061004 -0.117019 1.000.000 X4 0.691513 -0.423614 -0.022246 LOG(X5) -0.276764 0.780872 0.292973 X4 0.691513 -0.423614 -0.022246 1.000.000 -0.591183 LOG(X5) -0.276764 0.780872 0.292973 -0.591183 1.000.000 Sumber: Hasil Pengolahan Eviews 9 Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat nilai dari koefisien korelasi tidak lebih dari 0,80. Maka dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi tersebut terhindar dari gejala multikolinieritas. Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dalam model penelitian terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu ke residual yang lain. Dengan kriteria : Jika Probability Chi-Square > 0,05 : artinya tidak terjadi gejala heteroskedastis. Jika Probability Chi-Square < 0,05 : artinya terjadi gejala heteroskedastis. 9 Tabel 3 Uji Heteroskedastisitas Sumber : Hasil Pengolahan Eviews9 Diketahui jika nilai Probability Chi-Square sebesar 0,0606 yang dibandingkan dengan 0,05 (0,0606 > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala heteroskedastisitas dalam model penelitian ini. Uji Autokorelasi Uji autokorelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji yang dikembangkan oleh Breusch dan Godfrey yang lebih umum dikenal dengan uji Langrange Multiplier (LM) test. Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Jika Probability Chi-Square > 0,05 : artinya tidak terjadi gejala autokorelasi. Jika Probability Chi-Square < 0,05 : artinya terjadi gejala autokorelasi. Tabel 4 Uji Autokorelasi Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 9 Diketahui jika nilai Probability Chi-Square sebesar 0,0722 yang dibandingkan dengan 0,05 (0,0722 > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala autokorelasi dalam model penelitian ini. Uji Normalitas Uji normalitas data digunakan untuk menguji apakah data yang dipakai dalam penelitian ini terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki nilai Probability nya harus lebih besar dari tingkat signifikansi. Nilai Probability sebesar 0,969264 lebih besar dari tingkat signifikansi (0,969264 > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam penelitian ini memiliki nilai yang terdistribusi normal. Berikut adalah gambar hasil uji normalitas: 10 Gambar 1 Uji Normalitas Pembahasan Pengaruh Inflasi Secara Parsial terhadap Variasi Defisit APBN Berdasarkan hasil pengolahan regresi dengan level of significance 5% dapat disimpulkan bahwa variabel Inflasi berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hal ini ternyata sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa Inflasi berpengaruh signifikan terhadap defisit APBN. Peningkatan inflasi IHK selama tahun periode penelitian terutama didorong oleh peningkatan inflasi administered price. Kebijakan pemerintah di bidang administered price terutama kenaikan harga BBM dan meningkatnya harga pangan global menyebabkan tingginya tekanan inflasi. Sementara itu, inflasi inti juga meningkat lebih disebabkan oleh meningkatnya tekanan dari faktor eksternal dan ekspektasi inflasi. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Secara Parsial terhadap Variasi Defisit APBN Berdasarkan hasil pengolahan regresi dengan level of significance 5% dapat disimpulkan bahwa variabel Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hasil ini ternyata tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh signifikan terhadap Defisit APBN. Bila Produk Domestik Bruto meningkat maka akan berdampak kepada peningkatan kegiatan ekonomi utamanya sektor riil dan dunia usaha pada umumnya. Jadi dalam keadaan normal, kenaikan PDB menyebabkan peningkatan baik penerimaan maupun pengeluaran pemerintah. 11 Dinamika ekonomi global yang ditandai dengan berlanjutnya pelemahan ekonomi dunia dan berkurangnya aliran modal ke emerging market menjadi dampak bahwa Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap Defisit APBN. Lemahnya pertumbuhan ekonomi global mendorong berlanjutnya penurunan harga komoditas. Perlambatan ekonomi di pasar keuangan global yang tinggi meningkatkan resiko perekonomian dan menurunkan keyakinan pelaku ekonomi. Hal ini berdampak pada berkurangnya aliran modal asing masuk dan meningkatnya tekanan nilai tukar rupiah. Perlambatan pertumbuhan ekonomi memberikan dampak yang kurang menggembirakan pada kondisi ketenagakerjaan dan kesejahteraan. Tingkat pengangguran sedikit meningkat yang disertai dengan menurunnya elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan, tingkat kesejahteraan masyarakat juga sedikit mengalami penurunan, tercermin dari angka kemiskinan yang relatif meningkat dan gini ratio yang belum membaik. Pengaruh Nilai Tukar Secara Parsial terhadap Variasi Defisit APBN Berdasarkan hasil pengolahan regresi dengan level of significance 5% dapat di simpulkan bahwa variabel Nilai Tukar berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hasil penelitian ini sejalan dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti. Persepsi resiko investasi di negara berkembang juga ikut terimbas buruk seiring dengan dalamnya krisis keuangan global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi negara maju. Memburuknya kondisi neraca pembayaran bahkan memaksa beberapa negara di kawasan Eropa Timur serta di Asia mengajukan bantuan dana kepada IMF. Hal itu semakin memperburuk persepsi risiko berinvestasi di negara berkembang dan mendorong investor untuk menjual aset yang dimilikinya baik dalam kondisi rugi (cut loss) ataupun untung (profit taking) dan memilih untuk menempatkan investasi di aset yang lebih aman (flight to quality). Faktor lain yang memperngaruhi Nilai Tukar berpengaruh signifikan adalah Surplus neraca berjalan yang terjadi tidak diikuti dengan penguatan nilai tukar Rupiah yang signifikan. Fenomena ini terkait nilai tukar yang cenderung berfluktuasi yang mendorong eksportir menyimpan dananya di luar negeri. Dengan demikian, fluktuasi nilai tukar rupiah lebih banyak disebabkan oleh pergerakan arus modal asing ke dalam negeri yang tercermin pada net beli asing di pasar keuangan domestik. 12 Pengaruh BI Rate Secara Parsial terhadap Variasi Defisit APBN Berdasarkan hasil pengolahan regresi dengan level of significance 5% dapat disimpulkan bahwa variabel BI Rate berpengaruh tidak signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dibuat oleh peneliti. Pada Bab II bagian hubungan antar variabel, secara langsung penulis menghubungkan suku bunga nominal dengan beban pembayaran bunga dan pokok SBN (Surat Berharga Negara) yang merupakan salah satu beban pengeluaran pemerintah. Hal tersebut merupakan salah satu jalur untuk menghubungkan secara langsung antara suku bunga nominal dengan defisit APBN. Namun ternyata, berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa secara langsung suku bunga nominal tidak signifikan terhadap defisit APBN selama kurun waktu penelitian. Menurut penulis, hal ini dikarenakan penulis menggunakan suku bunga kredit nominal yang berlaku di pasar. Jika melihat sisi lain pada praktiknya, pada sistem defisit tidak berdasarkan suku bunga kredit yang ada di pasar. Pinjaman pemerintah tetap memiliki komitmen terhadap bunga pinjaman, namun bunga pinjaman tersebut telah ditetapkan nilainya dan berlaku untuk selama beberapa tahun perjanjian pembayaran pinjaman. Karena itulah, pembayaran pinjaman oleh pemerintah tersebut tidak dipengaruhi oleh suku bunga. Pengaruh Harga Minyak Dunia Secara Parsial terhadap Variasi Defisit APBN Berdasarkan hasil pengolahan regresi dengan level of significance 5% dapat disimpulkan bahwa variabel harga minyak dunia berpengaruh tidak signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti. Seiring dengan naiknya harga minyak dunia pemerintah harus menyuntik anggaran yang tidak sedikit untuk menutupi kekurangan BBM dan kuota subsidi akan terus terkuras, atau melampaui ekspektasi penghematan pemerintah, maka APBN akan mengalami defisit. Dan hal ini secara serta-merta akan memicu goncangan ekonomi turunan di berbagai sektor yang berhubungan dengan BBM. Harga minyak yang terus meningkat akan semakin menambah besarnya defisit APBN. Ketidaksignifikan nya faktor Harga Minyak Dunia atas Defisit APBN adalah dikarenakan Indonesia tidak sepenuhnya mengimpor minyak dari negara lain. Bahkan pada kurun waktu 5 tahun, yaitu periode tahun 2004-2008, ekspor migas Indonesia mengalami peningkatan bertahap. Dengan naiknya harga minyak dunia mengakibatkan realisasi penerimaan negara yang bersumber dari bukan pajak (PNBP) tumbuh rata-rata sebesar 27,2%. Hal ini menjadikan 13 defisit APBN Indonesia tetap terjaga dan tidak melampaui batas maksimal defisit APBN yaitu sebesar 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Pengaruh Dummy Krisis Secara Parsial terhadap Variasi Defisit APBN Berdasarkan hasil pengolahan regresi dengan level of significance 5% dapat disimpulkan bahwa variabel Dummy krisis tidak berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Hasil penelitian ini sejalan dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti. Krisis ekonomi adalah situasi dimana ekonomi dari sebuah negara mengalami penurunan diakibatkan bergejolaknya berbagai variabel ekonomi, bergejolaknya variabel ekonomi makro akan berpengaruh langsung terhadap berbagai sektor ekonom. Sektor keuangan yang paling sensitif terkena dampak terjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi merupakan gambaran dimana seluruh aktivitas suatu negara berada dalam ambang keterpurukan yang membuat ketidakpastian moneter dan kebijakan fiskal. Jika sebuah negara dilanda ekonomi, akibat yang pasti adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB), pengeringan likuiditas, dan harga-harga naik (inflasi) atau menurun (deflasi). Krisis ekonomi membawa dampak yang kurang baik bagi negara yang mengalaminya, ini disebabkan karena kurs nilai tukar valas, khususnya dollar yang melambung tinggi, dampak yang terlihat seperti: banyak perusahaan yang terpaksa memPHK pekerjanya dengan alasan tidak dapat membayar upah para pekerjanya. Kemiskinan juga termasuk dampak krisis ekonomi. Meningkatnya jumlah penduduk yang miskin tidak terlepas dari jatuhnya nilai mata uang yang tajam, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang akibat PHK atau naik sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena inflasi yang tinggi. Hal ini akan berdampak terhadap kenaikan Defisit APBN. Pengaruh Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy Krisis Terhadap Variasi Defisit APBN Berdasarkan hasil pengolahan regresi diketahui bahwa Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy krisis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variasi Defisit APBN hal ini sejalan dengan hipotesis yang dibuat oleh peneliti. Perubahan Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy krisis mampu memberikan pengaruh terhadap perkembangan Defisit APBN. Fluktuasinya Defisit APBN dipengaruhi oleh beberapa indikator ekonomi makro. 14 Indikator ekonomi makro ini yang dijadikan landasan oleh pemerintah dalam menyusun rancangan APBN. APBN merupakan instrument untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Inflasi, Nilai Tukar, dan Dummy krisis secara parsial berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Pertumbuhan Ekonomi, BI Rate dan Harga Minyak Dunia secara parsial berpengaruh tidak signifikan terhadap variasi Defisit APBN. 2. Inflasi, Pertumbuhan Ekonomi, Nilai Tukar, BI Rate, Harga Minyak Dunia, dan Dummy Krisis secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variasi Defisit APBN. Saran Ada beberapa saran yang dapat diberikan sehubungan dengan penelitian ini, yaitu: 1. Naik-turunnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika akan berdampak kepada perekonomian Indonesia, karena asumsi nilai tukar rupiah berhubungan dengan banyaknya transaksi dalam APBN yang terkait dengan mata uang asing, seperti penerimaan pinjaman dan pembayaran utang luar negeri. Dengan demikian, variabel asumsi dasar ekonomi makro sangat menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran negara. Sehingga perlu adanya pengawasan dan campur tangan Pemerintah dan Bank Indonesia agar Nilai Tukar tetap stabil. 15 2. Di satu sisi, kebijakan pencabutan subsidi energi baik BBM maupun listrik sudah tepat waktu. Adanya subsidi membuat APBN membengkak dan subsidi yang di terapkan oleh Pemerintah 70% dinikmati oleh orang yang tidak berhak menerima subsidi. Di sisi lain, pencabutan subsidi akan berdampak terhadap perekonomian khususnya UMKM dan dampak yang paling bahaya adalah terjadi inflasi. Maka dari itu perlu adanya tindakan oleh Pemerintah untuk menjaga inflasi agar tetap pada koridornya. 3. Meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Sehingga akan tercapai surplus APBN. Karena jika kebijakan defisit APBN terus dipertahankan, terutama yang didanai oleh sumber-sumber yang mendorong peningkatan jumlah uang beredar, haruslah dilaksanakan secara hati-hati. Kebijakan fiskal tersebut masih efektif, tetapi efisiennya perlu diperhitungkan secara cermat. DAFTAR PUSTAKA Boediono. 2005. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE. Dornbush, Rudiger, dkk. 2008. Makroekonomi. Jakarta: Media Global Edukasi. Duwi, Priyatno. 2010. Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data Penelitian dengan SPSS dan Tanya Jawab Ujian Pendadaran. Yogyakarta: Gaya Media. Efendi, Bakhtiar .2009. Defisit Anggaran Pemerintah dan Infestasi Swasta di Indonesia. Medan: FE USU. Ghozali, Imam, 2006. Aplikai Analisis Multivarite dengan SPSS, Cetakan Keempat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gujarati, N. Damodar. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika 3rd Edition. New York, Mc Graw Hill. Jakarta: Erlangga. Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian dengan Statistik. Jakarta: PT Bumi Aksara. Husein, Umar. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Salemba Empat. Jeff, Madura. 2008. International Financial Management 11th Edition. Florida Atlantic University. 16 Kuncoro, Mudrajad. 2001. Manajemen Keuangan Internasional : Pengantar Ekonomi dan Bisnis Global. Yogyakarta: BPFE. Mankiw, N Gregory. 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga. Mishkin, Frederic S. 2008. Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan edisi 8. Jakarta: Salemba Empat. Murni, Asfia. 2006. Ekonomika Makro. Jakarta: PT. Refika Aditama. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter Buku II. Yogyakarta: BPFE Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. 2004. Teori ekonomi Makro : Suatu Pengantar Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rosit, Harun. 2010. Analisis Kausalitas Asumsi APBN terhadap APBN di Indonesia. Medan: FE USU. Samuelson Paul dan William Nordhaus. 2001. Ilmu Makroekonomi. Jakarta: Media Global Edukasi. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sukirno, Sadono. 2012. Makroekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta : Rajawali Pers. Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik: Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: ANDI. 17