BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskular saat ini merupakan penyebab kematian tertinggi di negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut, penyakit jantung koroner (PJK) adalah yang terbanyak dan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Presentasi klinis dari PJK termasuk ‘silent ischemia’, angina pektoris stabil, angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut (IMA), gagal jantung, dan kematian mendadak. IMA merupakan penyebab kematian tertinggi di amerika utara dan eropa. Di amerika utara, angka mortalitas akibat IMA mencapai lebih dari 500,000 pasien pertahun, dan lebih dari 1 juta orang menderita IMA dengan angka kematian mencapai 45%. Namun pada saat ini, prevalensi IMA terus menurun sejak ditemukan metode revaskularisasi (Deepak, 2004). Meskipun prevalensi IMA terus menurun, tantangan berikutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas hidup pasien paska IMA setelah keluar dari rumah sakit. American Heart Association (ACC/AHA) dan European Society of Cardiology (ESC) telah merekomendasikan program rehabilitasi jantung untuk menekan angka mortalitas dan meningkatkan prognosis pasien paska IMA, salah satunya adalah 1 2 dengan program latihan fisik dan mengontrol faktor risiko PJK tersebut (Van de Werf dkk, 2012). Diabetes mellitus (DM) baik tipe 1 maupun tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko yang ekuivalen terhadap PJK dan cukup sering ditemukan (prevalensi PJK pada DM tipe 2 mencapai 52%). Penelitian menyebutkan bahwa pasien DM tipe 2 tanpa riwayat IMA sebelumnya pasien IMA tanpa DM memiliki risiko mortalitas PJK yang sama, bahkan salah satu penelitian menyebutkan bahwa risiko morbiditas dan mortalitas pada perempuan dengan DM tipe 2 tanpa riwayat IMA lebih tinggi daripada paska IMA tanpa DM tipe 2. Kontrol glukosa darah saat perawatan intensif dan terapi paska IMA untuk mengontrol kadar glukosa darah sangat penting dilakukan karena berpengaruh terhadap prognosis pasien. Telah diketahui bahwa kadar glukosa darah yang tinggi merupakan prediktor independen terhadap mortalitas dan berbagai komplikasi kardiovaskular selama pasien dirawat di RS, namun HbA1c merupakan indikator yang lebih stabil dalam mewakilkan tingkat toleransi glukosa pada pasien PJK dengan DM tipe 2 (Juutilainen, 2005). HbA1c merupakan salah satu pertanda untuk keberhasilan kontrol glukosa darah yang cukup praktis, murah, dan tersedia luas. Kadar HbA1c <7% menunjukkan penurunan mortalitas jangka panjang kardiovaskular dibandingkan >7%. Penelitian terbaru juga menyebutkan HbA1c memiliki nilai lebih untuk memperkirakan beratnya kondisi PJK secara angiografik yang diukur melalui skor SYNTAX (Synergy between 3 PCI with TAXUS and Cardiac Surgery) (Selim, 2012). HbA1c yang tinggi juga berpengaruh terhadap terjadinya neuropati otonomik kardiovaskular yang menyebabkan kelainan denyut jantung. Akan tetapi berbagai penelitian menunjukkan hasil yang berbeda, dimana tingginya HbA1c merupakan prediktor penting terjadinya mortalitas kardiovaskular selama dirawat di RS, dan penelitian lainnya menunjukkan HbA1c tidak berpengaruh terhadap mortalitas dan prognosis pasien PJK dengan DM tipe 2. Faktor risiko lain yang berhubungan dengan prognosis buruk paska IMA adalah aktivitas fisik yang kurang atau gaya hidup sedentary, adanya komplikasi mikroangiopati DM yang insidensinya semakin meningkat dengan semakin lama pasien menderita DM (durasi DM). Umur pasien, hipertensi, dislipidemia dan faktor risiko lainnya juga berpengaruh terhadap prognosis melalui mekanisme neuropati otonomik kardiovaskular (Barboza et al, 2012). Saat ini telah dikembangkan metode yang dapat mengetahui prognosis pasien paska IMA melalui uji latih treadmill dengan melihat berbagai variabel atau dengan menilai kapasitas latihan, terjadinya abnormalitas hemodinamik yaitu hipotensi durante latihan, kelainan pemulihan denyut jantung, inkompetensi kronotropik, dan adanya ektopik ventrikel saat dan setelah latihan, semua variabel ini sangat membantu dalam stratifikasi risiko dan berhubungan dengan angka mortalitas pasien ke depannya (Miller, 2008). 4 Penelitian ini dimaksudkan untuk megetahui peningkatan HbA1c sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas latihan dan abnormalitas hemodinamik tersebut pada pasien paska IMA dengan DM tipe 2, dengan harapan dapat memandu kita untuk menentukan target kontrol glukosa darah sekaligus mengetahui nilai prognostik HbA1c pada pasien paska IMA. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebegai berikut: 1. Apakah HbA1c >7% berhubungan dengan kapasitas latihan yang rendah bila dibandingkan dengan HbA1c ≤7% pada uji latih treadmill pasien paska IMA dengan DM tipe 2? 2. Apakah HbA1c >7% berhubungan dengan terjadinya hemodinamik abnormal yang terdiri dari hipotensi, kelainan pemulihan denyut jantung, inkompetensi kronotropik dan ektopik ventrikel bila dibandingkan dengan HbA1c ≤7% pada uji latih treadmill pasien pada IMA dengan DM tipe 2? 1.3. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Untuk membuktikan hubungan HbA1c yang tinggi dengan prognosis pasien paska IMA dengan DM tipe 2. 5 1.4.2. Tujuan Khusus Untuk membuktikan bahwa: 1. HbA1c >7% berhubungan dengan kapasitas latihan yang rendah bila dibandingkan dengan HbA1c ≤7% pada uji latih treadmill pasien paska IMA dengan DM tipe 2. 2. HbA1c >7% berhubungan dengan terjadinya hemodinamik abnormal yang terdiri dari hipotensi, kelainan pemulihan denyut jantung, inkompetensi kronotropik dan ektopik ventrikel bila dibandingkan dengan HbA1c ≤7% pada uji latih treadmill pasien paska IMA dengan DM tipe 2. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademik Penelitian ini secara akademik dapat menambah pengetahuan kita tentang hubungan HbA1c yang tinggi dengan kapasitas latihan yang rendah dan hemodinamik yang abnormal pada uji latih treadmill pada pasien paska IMA dengan DM tipe 2. 1.4.2. Manfaat Klinis Praktis Dengan mengetahui peran HbA1c yang tinggi terhadap kapasitas latihan yang rendah dan hemodinamik abnormal pada uji latih treadmill pada pasien paska IMA dengan DM tipe 2, kita dapat memberikan rekomendasi program rehabilitasi untuk 6 kontrol glukosa darah yang optimal dan mencapai prognosis yang baik pada pasien paska IMA dengan DM tipe 2.