II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Stroberi (Fragaria sp) Stroberi merupakan tanaman buah berupa herba yang ditemukan pertama kali di Chili, Amerika. Salah satu spesies tanaman stroberi yaitu Fragaria chiloensis menyebar ke berbagai negara Amerika, Eropa dan Asia. Selanjutnya spesies lain, yaitu F. vesca L. lebih menyebar luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis stroberi ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia. Morfologi tanaman stroberi terdiri dari akar, batang, daun, bunga, dan buah. Klasifikasi botani tanaman stroberi menurut Lawrence (1960) adalah sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Keluarga : Rosaceae Genus : Fragaria Spesies : Fragaria spp Struktur akar tanaman stroberi terdiri atas pangkal akar (collum), batang akar (corpus), ujung akar (apeks), bulu akar (pilus radicalis), dan tudung akar (calyptras). Tanaman stroberi berakar tunggang (radix primaria), akarnya terus tumbuh memanjang dan berukuran besar. Panjang akarnya mencapai 100 cm, namun akar 1 2 tersebut hanya menembus lapisan tanah atas sedalam 15-45 cm, tergantung jenis dan kesuburan tanahnya (Harianingsih, 2010). Gambar 2.1. Tanaman Stroberi (Fragaria x ananassa Duch, var. Rosalinda) Tanaman stroberi (Gambar 2.1) memiliki batang yang pendek seolah-olah tidak berbatang dan bersifat merayap yang dapat hidup sampai bertahun-tahun. Namun, kadang-kadang hanya ditumbuhkan sebagai tanaman semusim. Beberapa jenis ada yang selalu berdaun, namun ada juga yang meranggas, tergantung tempat dibudidayakan (Ashari, 2006). Stroberi memiliki batang utama yang tersusun dengan daun-daun yang melingkari batang dengan jarak yang sangat rapat. Batang stroberi sangat pendek, bertekstur lunak dan tidak berkayu. Batangnya pun bersembunyi diantara tangkai-tangkai daun stroberi (Kurnia, 2005). Daun pada tanaman stroberi berfungsi sebagai tempat fotosintesis, transpirasi, dan sebagai alat pernapasan. Daun stroberi dengan tepi bergigi merupakan daun trifoliate (Gambar 2.2). Bagian-bagian daun terdiri epidermis, jaringan palisade, jaringan spons dan berkas pembuluh angkut daun. Masa pertumbuhan vegetatif membentuk daun-daun baru 8-12 hari dan bertahan 1-3 bulan kemudian kering. (Rohmayanti, 2013). 3 Gambar 2.2. Daun Stroberi (Fragaria x ananassa Duch, var. Rosalinda) Bunga tanaman stroberi memiliki lima sepal (kelopak bunga), lima petal (daun mahkota), 20 - 35 stamen dan ratusan putik yang menempel pada dasar receptacle (dasar bunga) (Gunawan, 1992). Bunga yang pertama kali mekar adalah bunga primer, kemudian disusul oleh bunga sekunder, tersier dan kuartener. Buah stroberi berwarna merah dimana pigmen warna merah tersebut berasal dari anthosianin (Ashari, 2006). Buah sejati yang berasal dari ovul telah terserbuki berkembang menjadi buah kering dengan biji keras. Struktur buah keras ini disebut achene (Gunawan, 1992). Buah ini berukuran kecil dan menempel pada receptacle yang membesar. Bentuk buah stroberi sangat bervariasi. Bentuk-bentuk ini ditentukan oleh sifat genetik. Terdapat delapan bentuk buah yang umum pada stroberi, yaitu oblate, globose, globose conic, conic (Gambar 2.3), long conic, necked, long wedge dan short wedge (Budiman dan Saraswati , 2008) 4 Gambar 2.3. Buah Stroberi yang Berbentuk Conic 2.2 Perbanyakan Vegetatif Perbanyakan tanaman dapat berlangsung dengan dua cara yaitu generatif dan vegetatif. Perbanyakan secara generatif yaitu sebagai hasil dari perkawinan antara 2 individu atau bagian dari individu yang terpisah, sehingga sifat-sifat dari induknya bercampur, misalnya dengan spora atau dengan biji. Perbanyakan secara vegetatif yaitu perbanyakan dengan memakai bagian dari tanaman (Sianipar dan Philippus, 1981). Keuntungan penggunaan teknik pembibitan secara vegetatif antara lain keturunan yang didapat mempunyai sifat genetik yang sama dengan induknya, tidak memerlukan peralataan khusus, alat dan teknik yang tinggi kecuali untuk produksi bibit dalam skala besar, produksi bibit tidak tergantung pada ketersediaan benih/musim buah, bisa dibuat secara kontinyu dengan mudah sehingga dapat diperoleh bibit dalam jumlah yang cukup banyak, meskipun akar yang dihasilkan dengan cara vegetatif pada umumnya relatif dangkal, kurang beraturan dan melebar, 5 namun lama kelamaan akan berkembang dengan baik seperti tanaman dari biji, umumnya tanaman akan lebih cepat bereproduksi dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari biji (Pudjiono, 1996). Menurut Khan (1994) pembibitan secara vegetatif sangat berguna untuk program pemuliaan tanaman yaitu untuk pengembangan bank klon (konservasi genetik), kebun benih klon, perbanyakan tanaman yang penting hasil persilangan terkendali, misalnya hybrid atau steryl hybrid yang tidak dapat bereproduksi secara seksual, perbanyakan masal tanaman terseleksi. Jenis-jenis perbanyakan vegetatif meliputi : teknik mencangkok, teknik sambungan, teknik stek pucuk dan kultur jaringan. Untuk perbanyakan vegetatif secara kultur jaringan mendapatkan hasil perbanyakan yang baik selain perlu memperhatikan media tumbuh, diperlukan zat pengatur tumbuh (zpt) untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya (Dian dan Sudiarta, 2009) 2.3 Kultur Jaringan Kultur jaringan dalam bahasa asing disebut sebagai tissue culture, weefsel cultuurs atau gewebe culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama (Hendrayono dan Wijayani, 1994). Kultur jaringan adalah suatu metode mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman kembali (Gunawan, 1992). Potensi kultur jaringan dalam pemuliaan tanaman somaklonal mencakup semua teknik kultur sel dan jaringan yang meliputi perbanyakan, pengamatan, dan 6 manipulasi genetik tanaman tanpa melibatkan siklus seksual. Pada dasarnya kultur somaklonal merupakan satu proses perbanyakan sel, jaringan organ atau protoplas dengan teknik steril (Nasir, 2002). Menurut Hendrayono dan Wijayani (1994) kultur jaringan akan lebih besar persentasenya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis, belum mempunyai penebalan dari zat pektin, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Parnata (2005) menyatakan bahwa dalam kultur jaringan, selsel meristematik yang belum berdiferensiasi akan dipacu untuk mendiferensiasikan diri dimulai dengan pembentukan meristem baru yang akan berkembang menjadi organ tanaman, seperti akar, batang, tunas, dan daun, sehingga tumbuh menjadi tanaman yang sempurna dengan memodifikasi media tumbuh dengan menambah zatzat hara yang dapat memacu pertumbuhan tanaman. 2.4 Zat Pengatur Tumbuh Secara umum zat pengatur tumbuh (ZPT) penting ditambahkan ke dalam medium untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik. ZPT yang banyak digunakan untuk kultur jaringan adalah kelompok auksin, sitokinin, dan giberelin. Santoso dan Nursadi (2004) mengemukakan bahwa zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat, atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan adalah dari golongan sitokinin (kinetin, 2i-P, Zeatin, BAP) dan auksin (NAA, 2,4-D, IBA, IAA). Zat pengatur 7 tumbuh auksin dan sitokinin dapat diberikan bersama-sama atau auksin saja ataupun sitokinin saja, penambahan ini tergantung dari tujuannya (Hendrayono dan Wijayani, 1994). Benzylaminopurine (BAP) merupakan salah satu jenis zat pengatur tumbuh sitokinin yang dapat mendorong terjadinya pembelahan sel-sel tumbuhan. Sitokinin alami dihasilkan pada jaringan tumbuh aktif terutama pada akar, embrio, dan buah. Sitokinin yang diproduksi di akar selanjutnya diangkut oleh xylem menuju sel-sel target pada batang. Sitokinin dapat meningkatkan pembelahan, pertumbuhan dan perkembangan kultur sel tanaman. Sitokin juga menunda penuaan daun, bunga dan buah. Penuaan pada daun melibatkan penguraian klorofil dan protein-protein, kemudian produk tersebut diangkut oleh floem ke jaringan meristem yang membutuhkannya (Gardner dkk., 1991). BAP ini mempengaruhi proses fisiologis di dalam tanaman. Proses-proses pembelahan sel pada sel-sel meristem akan dihambat oleh pemberian BAP eksogen, dimana efek yang menghambat maupun yang mendorong proses pembelahan sel oleh BAP tergantung dari adanya fitohormon lainnya. Selain itu BAP berpengaruh di dalam perkembangan embrio, menghambat proses penghancuran butir-butir klorofil pada daun-daun yang terlepas dari tanaman, serta memperlambat proses senescence pada daun, buah dan organ-organ lainnya (Wattimena, 1987). Istilah auksin diberikan pada sekelompok senyawa kimia yang memiliki fungsi utama mendorong pemanjangan kuncup yang sedang berkembang. Beberapa auksin dihasilkan secara alami oleh tumbuhan, misalnya IAA (indoleacetic acid), PAA (phenylacetic acid), 4-chloroIAA (4-chloroindole acetic acid), dan beberapa lainnya 8 merupakan auksin sintetik, misalnya IBA (indolebutyricacid), NAA (Napthalene acetic acid), 2,4-D (2,4 dicholorophenoxyacetic) dan MCPA (2-methyl-4 chlorophrnoxyacetic). IBA merupakan salah satu hormon tanaman yang dapat meregulasi banyak proses fisiologi, seperti pertumbuhan, pembelahan, dan diferensisasi sel serta sintesa protein (Darell dkk, 1986). IBA diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif (tunas, daun muda, dan buah) (Gardner dkk, 1991). Kemudian menyebar luas dalam seluruh tubuh tanaman, dimana penyebar luasnya dengan arah dari atas ke bawah hingga titik tumbuh akar, melalui jaringan pembuluh tapis (floem) atau jaringan parenkhim (Rismunandar, 1988). IBA merupakan istilah generic untuk substansi pertumbuhan yang khusus merangsang perpanjangan sel, sehingga dapat didefinisikan sebagai zat pengatur tumbuh yang mendorong elogasi. Pengaruh fisiologs dari IBA ini berperan pada berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan tanaman, antara lain : pembesaran sel (batang, akar, daun), menghambat pertumbuhan mata tunas samping yang diproduksi pada meristem apikal yang diangkut secara basepetal, adanya pengguguran daun yang terjadi sebagai akibat dari proses absisi yang terjadi di daerah absisi, mendorong pembelahan sel-sel cambium (pertumbuhan skunder), dan merangsang pertumbuhan akar (Wattimena, 1987). Pemakaian auksin dan sitokin dalam media lebih banyak diperlukan untuk mengatur pertumbuhan dan pembentukan organ. Auksin dan sitokinin yang diberikan pada waktu bersamaan akan menimbulkan pengaruh kerjasama yang berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan jaringan. Namun belum diketahui 9 perbandingan sitokinin dan auksin yang bagaimana yang merangsang atau menghambat pembelahan sel (Wattimena, 1987). 2.5 Kalus Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous atau belum terdiferensiasi yang terjadi dari sel – sel jaringan yang membelah diri secara terus menerus secara in vitro atau di dalam tabung dan tidak terorganisasi sehingga memberikan penampilan sebagai massa sel yang bentuknya tidak teratur. Kalus dapat diperoleh dari jaringan tanaman yang berasal dari akar, batang, dan daun. Penelitian pembentukan kalus pada jaringan terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960. Pembentukan kalus pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin endogen (Dodds & Roberts, 1983). Secara in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikro organisme seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1993). Kalus secara in vitro terbentuk melalui 3 tahapan yaitu induksi, pembelahan sel, dan diferensiasi. Pembentukan kalus ditentukan oleh sumber eksplan, komposisi nutrisi pada medium dan faktor lingkungan. Eksplan yang berasal dari jaringan meristem berkembang lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dari sel-sel berdinding tipis dan mengandung lignin. Untuk memelihara kalus maka dilakukan subkultur secara bertahap. Sumber kontaminasi pada kultur kalus dapat melalui media tanam yang tidak steril, lingkungan kerja dan pelaksanaan yang tidak hati-hati, eksplan yang disterilisasi secara tidak sempurna serta serangga atau hewan kecil yang berhasil masuk ke dalam botol kultur (Nugroho dan Sugito, 2001). 10 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kalus antara lain bahan sterilisasi, kandungan unsur kimia dalam media, hormon yang digunakan, substansi organik yang ditambahkan dan terang gelapnya saat inkubasi. Dalam kultur kalus sel atau irisan jaringan tanaman yang disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan dipelihara dalam media padat atau media cair yang cocok dan dalam keadaan steril. Dengan demikian sebagian sel pada permukaan irisan akan mengalami proliferasi dan membentuk kalus (Zulkarnain, 2009). Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet. Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambil, seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau. Dalam kultur kalus, kalus homogen yang tersusun atas sel-sel parenkim jarang dijumpai kecuali pada kultur sel Agave dan Rosa (Narayanaswany,1977 dalam Dodds & Roberts, 1983). Untuk memperoleh kalus yang homogen maka harus menggunakan eksplan jaringan yang mempunyai sel – sel yang seragam. Dalam pertumbuhan kalus, Citodiferensiasi terjadi untuk membentuk elemen trachea, buluh tapis, sel gabus, sel sekresi dan trikoma. Kambium dan periderm sebagai contoh dari proses hitogenesis dari kultur kalus. Anyaman kecil dari pembelahan sel – sel membentuk meristemoid 11 atau nodul vaskular yang nantinya menjadi pusat dari pembentukan tunas apikal, primordial akar atau embrioid (Hendrayono dan Wijayani, 1994).