TESIS PENAMBAHAN PROPRIOCEPTIVE EXERCISE PADA INTERVENSI STRENGTHENING EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA PEMAIN SEPAKBOLA ISMANINGSIH NIM : 1390361023 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 TESIS PENAMBAHAN PROPRIOCEPTIVE EXERCISE PADA INTERVENSI STRENGTHENING EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA PEMAIN SEPAKBOLA ISMANINGSIH NIM : 1390361023 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA KONSENTRASI FISIOTERAPI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i PENAMBAHAN PROPRIOCEPTIVE EXERCISE PADA INTERVENSI STRENGTHENING EXERCISE MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA PEMAIN SEPAKBOLA Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi, Program Pascasarjana Universitas Udayana ISMANINGSIH NIM 1390361023 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA KONSENTRASI FISIOTERAPI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 2 JULI 2015 Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. dr. I Wayan Weta, MS NIP: 195811051987021001 Muh. Ali Imron, SMPh, S Sos. M.Fis NIDN: 0526056801 Mengetahui Ketua Program Studi Fisiologi Olahraga Program Pascasarjana, Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana, Universitas Udayana Dr.dr. Susy Purnawati, M.K.K, AIFO NIP. 19680929 199903 2 001 Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP. 195902151985102001 iii Tesis ini telah diuji pada Tanggal 2 Juli 2015 Panitia Penguji Tesis Ini Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 1911 / UN.14.4 / HK / 2015 Tanggal 1 Juli 2015 Ketua : Dr.dr.I. Wayan Weta, MS Sekretaris : Muh. Ali Imron, SMPh, S. Sos. M. Fis Anggota : 1. Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M.Kes, AIFO 2. Dr. dr. I Made Muliarta, M. Kes 3. Sugijanto, Dipl. PT, M. Fis iv KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA Kampus Bukit Jimbaran Telepon (0361) 701812, 701954, 703139, Fax, (0361)-701907, 702442 Laman: www.unud.ac.id SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Ismaningsih NIM : 1390361023 Program Studi : Magister Fisiologi Olahraga Judul Tesis : PENAMBAHAN PROPRIOCEPTIVE EXERCISE PADA INTERVENSI STRENGTHENING EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA PEMAIN SEPAKBOLA Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis* ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, Juni 2015 Pembuat Pernyataan ( ISMANINGSIH ) NIM : 1390361023 v UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat allah SWT, karena hanya atas ridho-Nya dan atas izin-Nya sehingga penulis di beri kesehatan serta kemampuan untuk menyelesaikan Tesis dengan judul “Penambahan Proprioceptive Exercise pada Intervensi Strengthening Exercise Lebih Meningkatkan Kelincahan Pada Pemain Sepakbola”. Atas segala bimbingan, arahan, dorongan, dan fasilitas selama menyelesaikan Tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Prof.Dr.dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD selaku Rektor Universitas Udayana. 2. Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Dr. dr. Susy Purnawati, M. K. K. AIFO selaku Ketua Program Studi Fisiologi Olahraga – Fisioterapi Universitas Udayana. 4. Dr.dr. I Wayan Weta MS selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan serta saran selama proses penyelesaian Tesis ini. 5. Muh. Ali Imron, SMPh, S. Sos. M. Fis, selaku Pembimbing II yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. 6. Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M. Kes, AIFO yang telah menjadi penguji dan memberi banyak masukan membangun dalam penyelesaian Tesis ini. 7. Dr. dr. I Made Muliarta, M. Kes yang telah menjadi penguji dan memberi banyak masukan membangun dalam penyelesaian Tesis ini. 8. Sugijanto, Dipl. PT, M. Fis yang telah menjadi penguji dan memberi banyak masukan membangun dalam penyelesaian Tesis ini. vi 9. Para Dosen dan seluruh staff Program Magister Fisiologi Olahraga yang secara tulus telah memberikan materi perkuliahan, bimbingan, motivasi serta kelancaran penulis dalam menyelesaikan studi. 10. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Fisiologi Olahraga jurusan Fisioterapi Angkatan 2013 yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam penyusunan tesis ini. 11. Kedua Orang Tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa serta dorongan moril maupun materil yang tak terhingga. 12. Adikku Tersayang terima kasih atas doa dan dukungannya. 13. Anakku tersayang Ghaly Hanif Fakhri dan si bungsu yang selalu menjadi motivasi, karena kalian lah mama semangat menyelesaikan tesis secepatnya. 14. Suamiku tercinta yang dengan penuh pengertian, kesabaran, memberikan dorongan semangat, menjadikan penulis berhasil menyelesaikan tesis ini. 15. Dan semua teman-teman atau pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas semuanya. Penulis menyadari bahwa dalam Tesis ini masih terdapat kelemahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga Tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi banyak orang. Denpasar, Juni 2015 Hormat Saya, Ismaningsih vii ABSTRAK PENAMBAHAN PROPRIOCEPTIVE EXERCISE PADA INTERVENSI STRENGTHENING EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA PEMAIN SEPAKBOLA Cedera dalam berolahraga akan mengakibatkan penurunan dari kesadaran proprioceptive dan kelemahan otot. Sehingga akan ditemukan ketidakstabilan postural, yang mengarah pada rasa yang tidak terkoordinasi atau hilangnya kontrol gerakan, Hal tersebut juga berpengaruh terhadap nilai kelincahan. sehingga diperlukan latihan berupa proprioceptive exercise dan strengthening exercise untuk menghindari cedera saat berolahraga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek Penambahan Proprioceptive Exercise Pada Intervensi Strengthening Exercise Lebih Meningkatkan Kelincahan Pada Pemain Sepakbola . Metode penelitian ini bersifat uji klinis eksperimental dengan ramdomized pre and post test two group design. Penelitian dilaksanakan selama 6 minggu. Sampel siswa SMA N 5 Pekanbaru, yang terdiri dari 44 anak laki-laki berusia antara 15-18 tahun, dibagi menjadi 2 kelompok yang terdiri dari kelompok I perlakuan pada intervensi strengthening exercise berjumlah 22 orang dan kelompok II perlakuan pada penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthenng exercise berjumlah 22 orang juga. Pengukuran nilai kelincahan dengan menggunakan Illinois Agility Run Test. Hasil analisis menunjukkan peningkatan nilai waktu tempuh kelincahan secara bermakna (p = 0.000) pada kedua kelompok. Pada kelompok I terjadi penurunan waktu tempuh nilai rerata (16.,58±0.80) menjadi (15,43±0,62). demikian pula kelompok II terjadi penurunan waktu tempuh yang lebih besar dari (16,61±0,85) menjadi (14,92±0,42) dengan nilai (p = 0.000). nilai rerata sebelum perlakuan pada kedua kelompok tidak ada perbedaan (p = 0.914) kemudian setelah diberikannya perlakuan pada kedua kelompok terdapat perbedaan signifikan dan juga didapatkan nilai (p= 0,003) yang berarti terdapat perbedaan secara signifikan pada panurunan waktu tempuh pada kelompok I lebih menurun dibandingkan dengan kelompok II sehingga kelincahannya meningkat. Simpulan : Penambahan Proprioceptive Exercise Pada Intervensi Strengthening Exercise Terbukti Lebih Baik Daripada Strengthening Exercise Tunggal Dalam Meningkatkan Kelincahan Pada Pemain Sepakbola. Kata kunci: proprioceptive exercise/strengthening exercise/kelincahan/closed kinetic chain. viii ABSTRACT INTERVENTION IN ADDITION PROPRIOCEPTIVE EXERCISE TO STRENGTHENING EXERCISE FOR INCREASE AGILITY SOCCER PLAYERS Injuries in sport would lead to a reduction of proprioceptive awareness and muscle weakness. So it will be found postural instability, which leads to a sense of uncoordinated or loss of control of movements, It also affects the value of agility. so that the necessary training in the form of proprioceptive exercises and strengthening exercises to avoid injury while exercising. This study aims to determine the effect of addition of Proprioceptive Exercise Exercise More On Strengthening Interventions Improve Agility On Football Players. This research method is experimental clinical trials with pre and post test ramdomized two group design. Research carried out for 6 weeks. Samples of high school students N 5 Pekanbaru, consisting of 44 boys aged between 15-18 years, divided into two groups consisting of Group I treatment at strengthening exercise intervention was 22 people and group II proprioceptive exercise treatment in addition to the intervention strengthenng exercise amounted to 22 people as well. Measurement of the value of agility by using the Illinois Agility Run Test. The analysis showed an increase in the value of travel time agility significantly (p = 0.000) in both groups. In the first group decreased travel time mean values (16, 58 ± 0.80) to (15.43 ± 0.62). group II as well as a decline in travel time greater than (16.61 ± 0.85) to (14.92 ± 0.42) with values (p = 0.000). average value before treatment in both groups there was no difference (p = 0914) and then after treatment in both groups exerts a significant difference, and also obtained the value (p = 0.003), which means that there are significant differences in A decrease in travel time on more decreased compared to group I with group II this increasing agility. Conclusions: The addition of Proprioceptive Exercise On Strengthening Exercise Intervention Proven Better Than Single Strengthening Exercise In Improving Agility On Football Players. Keywords: proprioceptive exercise / strengthening exercise / agility / closed kinetic chain. ix RINGKASAN PENAMBAHAN PROPRIOCEPTIVE EXERCISE PADA INTERVENSI STRENGTHENING EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA PEMAIN SEPAKBOLA Kelincahan merupakan salah satu komponen fisik yang banyak dipergunakan dalam olahraga. Kelincahan pada umumnya didefinisikan sebagai kemampuan mengubah arah secara efektif dan cepat, sambil berlari hampir dalam keadaan penuh. Kelincahan terjadi karena gerakan tenaga yang eksplosif. Besarnya tenaga ditentukan oleh kekuatan dari kontraksi serabut otot. Kecepatan kontraksi otot tergantung dari daya serabut - serabut otot dan kecepatan transmisi impuls saraf. Seseorang yang mampu mengubah arah dari posisi ke posisi yang berbeda dalam kecepatan tinggi dengan koordinasi gerak yang baik berarti memiliki kelincahan cukup tinggi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental. Responden penelitian adalah anak laki-laki pemain sepakbola SMA N 5 Pekanbaru. Secara keseluruhan sampel berjumlah 44 orang yang berusia antara 15-18 tahun. Responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu 22 orang siswa merupakan kelompok perlakuan I dan 22 orang siswa menjadi kelompok perlakuan II. Sebelum dilakukan intervensi, terlebih dahulu dilakukan illinois agility run test yang dalam hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai kelincahan awal sampel. Ini dilakukan baik pada kelompok perlakuan I maupun kelompok perlakuan II, sehingga diperoleh hasil nilai kelincahan yang objektif. Kemudian responden dijadwalkan untuk melakukan intervensi strengthening exercise dan penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise dengan frekuensi tiga kali dalam seminggu selama 6 minggu dan dilakukan evaluasi pengukuran dengan mengunakan agility illinois run test kembali setiap minggunya. Adanya perbedaan pada penelitian ini dikarenakan pada sistem proprioceptive pada tingkat sadar otomatis mempengaruhi reflek kinerja otak memungkinkan fungsi locomotor agar bekerja dengan baik yang memberikan informasi kinestetik yang lebih besar terhadap sensorik halus dan kesadaran setiap saat. Hal tersebut mempengaruhi tonus otot serta otomatis mempengaruhi stabilisasi sendi dan terjadi pemeliharaan posisi tubuh yang seimbang dan akan menimbulkan kelincahan yang sangat baik. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa latihan dengan berdiri satu kaki dengan mata tertutup memiliki nilai konsentrasi yang tinggi menyebabkan proprioceptive bekerja lebih dominan sehingga terjadi peningkatan proprioceptive yang signifikan karena adanya adaptasi yang lebih baik terhadap saraf pusat dan perifer. Berdasarkan distribusi penyebaran nilai kelincahan sesuai illinois agility run ratings (seconds) sebelum perlakuan pada kelompok I berada pada penilaian dengan kategori bagus sekali (22,7%) dan setelah perlakuan pada kelompok I x meningkat ke kategori sangat baik (27,3%) sedangkan penilaian kelincahan sebelum perlakuan pada kelompok II berada pada kategori bagus sekali (20,5%) setelah perlakuan pada kelompok II berada pada kategori sangat baik (47,7%). Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan peningkatan nilai kelincahan yang diukur dengan menggunakan Illinois Agility Run Test sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok I dan kelompok II. Hasil analisis dengan uji statistik menunjukkan bahwa pada nilai rerata pre dan post kelompok 1 didapatkan nilai p = 0,000 hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, sedangkan pada nilai rerata pre dan post kelompok II didapatkan nilai p = 0,000 hal tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Kemudian pada perlakuan kelompok I dan kelompok II nilai pre didapatkan p = 0,914 dan pada perlakuan kelompok I dan kelompok II nilai post didapatkan p = 0,003 yang berarti adanya penurunan rerata pada variabel nilai kelincahan. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada nilai p < 0,05 yang berarti bahwa penambahan proprioceptive exercise lebih baik daripada intervensi strengthening exercise tunggal dalam meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola. xi DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM ............................................................................................ i PRASYARAT GELAR ..................................................................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................ v PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi ABSTRAK DAN RINGKASAN ...................................................................... viii DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 9 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 9 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 9 1.4.1 Manfaat Ilmiah ................................................................... 9 1.4.2 Manfaat Praktis .................................................................. 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kelincahan ................................................................. 2.1.1 Jenis Kelincahan ................................................................ 2.1.2 Faktor – Faktor yang mempengaruhi Kelincahan .............. 2.1.3 Fisiologi Otot ..................................................................... 2.2 Anatomi dan Biomekanik ............................................................ 2.3 Proprioceptive Exercise .............................................................. 2.3.1 Mekanisme Fisiologis Pemberian Proprioceptive Exercise untuk Meningkatkan Kelincahan ........................ 2.4 Strengthening Exercise ................................................................ 2.4.1 Faktor-faktor yang Penting Terhadap Peningkatan Strengthening Exercise ...................................................... 2.4.2 Perubahan sistem Neuromuskular dalam Peningkatan Kekuatan Otot .................................................................... 2.4.3 Mekanisme fisiologis pemberian Strengthening exercise untuk meningkatkan kelincahan......................................... 11 12 13 30 38 40 46 47 52 55 58 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir ...................................................................... 60 3.2 Kerangka Konsep Penelitian ....................................................... 62 3.3 Hipotesis ...................................................................................... 63 xii BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian .................................................................. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 4.2.1 Tempat Penelitian .............................................................. 4.2.2 Waktu Penelitian ................................................................ 4.3 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................... 4.4 Penentuan Sumber Data .............................................................. 4.4.1 Variabilitas Populasi .......................................................... 4.4.2 Sampel ................................................................................ 4.4.3 Kriteria Eligibilitas ............................................................. 4.4.4 Besar Sampel...................................................................... 4.4.5 Teknik Sampling ............................................................... 4.5 Variabel Penelitian ...................................................................... 4.5.1 Identifikasi Variabel .......................................................... 4.6 Definisi Operasional .................................................................... 4.7 Instrumen Penelitian .................................................................... 4.8 Alur Penelitian ............................................................................. 4.9 Analisis Data Penelitian .............................................................. 4.9.1 Uji Statistik ........................................................................ BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ............................................................................ 5.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian .......................................... 5.1.2 Uji Normalitas dan Homogenitas ....................................... 5.1.3 Uji Komparabilitas Data Nilai Kelincahan Sebelum Pada Perlakuan Kelompok I dan Kelompok II ........................... 5.1.4 Uji Beda Rerata Peningkatan Nilai Kelincahan Terhadap Kelompok Intervensi Strengthening Exercise dan Kelompok Penambahan Proprioceptive Exercise Pada Pemain Sepakbola. ............................................................. BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan ................................................................................. 6.2 Kondisi Subjek ............................................................................ 6.3 Efek Penambahan Proprioceptive Exercise pada Intervensi Strengthening Exercise lebih meningkatkan Kelincahan pada Pemain Sepakbola ....................................................................... 6.3 Keterbatasan Penelitian ............................................................... 64 65 65 65 65 66 66 66 66 67 68 69 69 69 75 76 77 77 79 79 81 82 83 84 84 85 87 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ...................................................................................... 89 7.2 Saran ............................................................................................ 89 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 90 LAMPIRAN ....................................................................................................... 94 xiii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Karakteristik Serat Otot Rangka ...................................................... 34 Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 .............................................................. 79 Tabel 5.2 Diskripsi Sampel Menurut Tinggi Badan (TB) Pada Kelompok Perlakuan I Dan Kelompok Perlakuan II ........................................ 79 Tabel 5.3 Diskripsi Sampel Menurut Berat Badan (BB) Pada Kelompok Perlakuan I Dan Kelompok Perlakuan II ......................................... 80 Tabel 5.4 Diskripsi sampel menurut nilai Illinois Agility Run Ratings (detik) 80 Tabel 5.5 Uji Normalitas dan Uji Homegentitas .............................................. 81 Tabel 5.6 Uji Komparabilitas Sebelum Pada Kelompok Perlakuan I dan II dengan Independent t-Test ............................................................... 82 Tabel 5.7 Uji Beda Rerata Peningkatan Nilai Kelincahan Terhadap Kelompok Intervensi Strengthening Exercise dan Kelompok Penambahan Proprioceptive Exercise Pada Pemain Sepakbola. ..... 83 xiv DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Proses Fisiologi Terjadinya Keseimbangan ................................ 21 Gambar 2.2 Garis Gravitasi ............................................................................. 27 Gambar 2.3 Perbedaan Posisi Aktin dan Miosin Saat Relaksasi an Kontraksi 32 Gambar 2.4 Hubungan Antara Dengan Muscle Fiber ..................................... 35 Gambar 2.5 Neuromuscular Junction ............................................................. 36 Gambar 2.6 Motor Neuron dan Serabut Otot ................................................. 37 Gambar 2.7 Lintasan Proprioceptive .............................................................. 42 Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ....................................................... 62 Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian ....................................................... 64 Gambar 4.2 Illinois Agility Run Test ............................................................... 70 Gambar 4.3 Strengthening exercise closed kinetic chain ................................ 72 Gambar 4.4 Strengthening exercise closed kinetic chain ................................ 72 Gambar 4.5 Strengthening exercise closed kinetic chain ................................ 72 Gambar 4.6 Strengthening exercise closed kinetic chain ................................ 73 Gambar 4.7 Proprioceptive exercise closed kinetic chain dilakukan dengan mata tertutup/ terpejam (side to side, one foot, squat) ................ 75 Gambar 4.8 Alur Penelitian ............................................................................. 76 xv DAFTAR GRAFIK Grafik 2.1 Besaran Elastic Resistance ............................................................... 51 xvi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelincahan merupakan salah satu komponen fisik yang banyak dipergunakan dalam olahraga. Kelincahan pada umumnya didefinisikan sebagai kemampuan mengubah arah secara efektif dan cepat, sambil berlari hampir dalam keadaan penuh. Kelincahan terjadi karena gerakan tenaga yang eksplosif. Besarnya tenaga ditentukan oleh kekuatan dari kontraksi serabut otot. Kecepatan kontraksi otot tergantung dari daya serabut - serabut otot dan kecepatan transmisi impuls saraf. Seseorang yang mampu mengubah arah dari posisi ke posisi yang berbeda dalam kecepatan tinggi dengan koordinasi gerak yang baik berarti memiliki kelincahan cukup tinggi (Wahjoedi, 2001). Menurut Maksum (2007) kelincahan adalah kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk mengubah arah gerakan secara mendadak dalam kecepatan yang tinggi. Misalnya mampu berlari berbelok-belok, lari bolakbalik dalam jarak dan waktu tertentu, atau kemampuan berkelit dengan cepat dalam posisi tetap berdiri stabil. Kelincahan merupakan kombinasi antara kekuatan otot, fleksibilitas, kecepatan, keseimbangan, kecepatan reaksi, dan koordinasi neuromuskular. Pada masa sekarang ini banyak terjadi penurunan kelincahan yang terjadi akibat sedentary lifestyle yang di alami oleh remaja akan menggangu remaja tersebut dalam aktivitas fisiknya dan kemampuan dalam berolahraga ketika 1 2 berada dalam usia produktif. Sedentary lifestyle menyebabkan banyak remaja yang malas melakukan aktivitas olahraga hingga aktivitas fisik dikarenakan orang dengan sedentary lifestyle sering mengabaikan aktivitas fisik atau melakukan kegiatan yang tidak membutuhkan energi, hal ini dapat terlihat bahwa saat orang lebih suka duduk di depan televisi ataupun komputer. Keadaan lingkungan sekitar yang tidak mendukung dirinya dalam beraktifitas mengakibatkan penurunan komponen kebugaran yang ada di dalam tubuh remaja sehingga terjadi pula penurunan kualitas hidup. Hal ini juga menjadikan penurunan kemampuan fisiologis dari jaringan lunak dalam bekerja. Penurunan kemampuan fisiologis dari jaringan lunak tersebut mengakibatkan penurunan keterampilan dalam berolahraga salah satunya adalah penurunan kelincahan yang dapat menimbulkan cedera dalam olahraga (Charlotte, 2015). Cedera dalam berolahraga akan dapat mengakibatkan penurunan dari kesadaran proprioceptive dan kelemahan otot. Sehingga akan ditemukan ketidakstabilan postural, yang mengarah pada rasa yang tidak terkoordinasi atau hilangnya kontrol gerakan (Edson, 2010). Kelincahan sering dapat kita amati dalam situasi permainan sepakbola, misalnya seorang pemain yang tergelincir dan jatuh di lapangan, namun masih dapat menguasai bola dan mengoperkan bola tersebut dengan tepat kepada temannya. Dan sebaliknya, seorang pemain yang kurang lincah mengalami situasi yang sama kemungkinan besar tidak akan mampu 3 menguasai bola, namun kemungkinan justru akan mengalami cedera karena jatuh. Pada permainan sepakbola, kelincahan memiliki peran yang cukup penting dalam memperoleh kemenangan di dalam suatu pertandingan. Hal ini dikarenakan dengan karakteristik permainan sepakbola cepat dan terus bergerak, dimana tim memiliki kecepatan yang lebih baik, melakukan pergerakan yang lebih banyak, akan memiliki peluang yang lebih untuk dapat mencetak gol lebih banyak, yang pada akhirnya akan memenangkan pertandingan. Pemain sepakbola dalam hal ini yaitu pemain sepakbola amatir yang didefinisikan seseorang yang melakukan kegiatan olahraga karena didorong oleh kegemaran saja bukan untuk mencari nafkah. Menurut Herwin (2006), permainan sepakbola saat ini merupakan permainan yang atraktif dan menarik untuk ditonton. dengan durasi waktu permainan 2 kali 45 menit, banyak kemampuan teknik dan gaya permainan di tampilkan oleh seseorang pemain. Permainan sepakbola modern dewasa ini banyak diperagakan oleh pemain yang memiliki kemampuan teknik yang baik. Disamping itu kemampuan fisik merupakan kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh pemain untuk menunjang kemampuan lainnya. kondisi fisik tidak dapat ditingkatkan dan dikembangkan hanya dalam waktu sesaat atau dalam beberapa pertemuan saja, melainkan perlu dilakukan dalam jangka waktu relatif lama. Untuk mencapai kondisi fisik yang baik diperlukan latihan yang kontinyu dan progresif. 4 Salah satu teknik dasar yang cukup penting untuk dikuasai dalam permainan sepakbola adalah teknik dribbling (menggiring bola). Menurut Sucipto, (2008) menyatakan dribbling adalah : “menendang putus – putus atau pelan – pelan”. Dribbling dapat diartikan sebagai gerakan menggiring bola dengan menggunakan kaki, mendorong bola agar bergulir terus – menerus di atas tanah. Selain itu juga menyatakan bahwa. “menggiring bola adalah salah satu keterampilan individu yang sangat penting”. Pernyataan ini menunjukkan sangat pentingnya dribbling. Dribbling erat kaitannya dengan penguasaan bola di lapangan. Tim yang menguasai bola menunjukkan tim tersebut memiliki kualitas bermain yang lebih baik dipandang dari sudut kelincahan. Menurut Scheunemann, (2005) bahwa : memiliki skill menggiring bola memang penting, tapi pemain hendaknya tidak lupa bahwa menggiring bola sangat menguras tenaga dan sering kali memperlambat tempo permainan. Sedangkan menurut Koger (2007), menggiring bola atau (dribbling) adalah metode menggerakkan bola dari satu titik ke titik lain di lapangan dengan menggunakan kaki. Tujuan menggiring bola antara lain untuk mendekati jarak ke sasaran (gawang lawan), melewati hadangan lawan, mencari kesempatan untuk memberikan umpan dan menghambat permainan. Memiliki kemampuan dribbling yang baik sangat penting dalam permainan sepakbola. Kelincahan kaki merupakan hal yang sangat penting, dengan memiliki kelincahan kaki maka seorang pemain sepakbola akan bergerak ke segala arah dalam menggiring bola sehingga akan mampu menerobos 5 pertahanan lawan, untuk itu diperlukan latihan berupa proprioceptive exercise dan strengthening exercise. Proprioceptive exercise merangsang sistem saraf yang mendorong terjadinya respon otot dalam mengontrol sistem neuromuskuler. Proprioceptive dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular, dan sistem sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan proprioception adalah fungsi dari sistem sensorimotor, meliputi integrasi sensorik. Motorik, dan komponen pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem sensorimotor mencakup informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan dan geometri tulang yang terlibat dalam struktur setiap sendi. Mechanoreceptor sensorik khusus bertanggung jawab secara kuantitatif terhadap peristiwa hantaran mekanis yang terjadi dalam jaringan menjadi impuls saraf (Rienmann, 2002). Proprioceptor sensorik bertanggung jawab dalam sensasi yang ditemukan di otot, tendon, ligamen, persendian dan fascia. Proprioceptive dapat diartikan sebagai keseluruhan kesadaran dari posisi tubuh. Proprioceptive diatur oleh mekanisme saraf pusat dan saraf tepi yang datang terutama dari reseptor otot, tendon, ligamen, persendiaan dan fascia. Kesadaran posisi akan berpengaruh terhadap gerak yang akan dilakukan, gerak yang timbul tersebut akibat impuls yang diberikan stimulus yang diterima dari receptor yang selanjutnya informasi tersebut akan diolah di otak 6 yang kemudian informasi tersebut akan diteruskan oleh reseptor kembali ke bagian tubuh yang bersangkutan (Lephart, 2013). Proprioceptive exercise memfasilitasi otak, saraf, dan otot dalam berkomunikasi lebih baik agar benar mengidentifikasi posisi tubuh dan bagaimana tubuh bergerak. Dalam hal ini penulis memilih latihan proprioceptive exercise berupa closed kinetic chain exercise dimana bahwa latihan closed kinetic chain exercise memberikan umpan balik proprioceptive dan kinestetik lebih besar daripada open kinetic chain exercise. Menurut teori saat bergerak beberapa kelompok otot yang dilintasi untuk menerima impuls, sendi akan diaktifkan selama latihan closed kinetic chain exercise berlangsung sedangkan selama latihan open kinetic chain exercise reseptor sensorik, otot, jaringan intra artikular dan ekstra artikular diaktifkan dalam mengendalikan gerak (Kisner and Colby, 2007). Strengthening exercise (latihan penguatan) adalah perubahan peningkatan kekuatan otot pada latihan dengan beban yang terus meningkat dikarenakan adanya perubahan morfologikal otot, yaitu semakin besar diameter serabut otot maka otot akan semakin kuat, semakin besar otot terbentuk maka mitokondria akan semakin banyak (Ganong, 2010). Strengthening exercise dikenal dengan Progressive Resistance Exercise (PRE), yaitu dengan meningkatkan intensitasnya pada interval waktu yang pendek, kecepatan cepat dan kekuatan berubah-ubah sehingga bersifat anaerobik dan merangsang serabut saraf tipe IIA yang menghasilkan 7 tegangan yang besar dalam waktu singkat, mengarah pada aktifitas metabolik anaerob dan cepat lelah. Strengthening exercise mengarah kepada output tenaga dari suatu kontraksi otot dan secara langsung berhubungan dengan jumlah tension yang dihasilkan oleh kontraksi otot, dimana otot adalah sebagai salah satu komponen yang dapat menghasilkan suatu gerakan dan merupakan suatu jaringan yang terbesar dalam tubuh dan otot mempunyai kemampuan ekstensibilitas, elastisitas dan kontraktilitas (Kisner and Colby, 2007). Strengthening exercise memiliki kelebihan yaitu dapat meningkatkan kinerja otot, terjadinya peningkatan kekuatan pada jaringan ikat (tendon, ligamen dan jaringan ikat intramuskular), kepadatan mineral tulang menjadi lebih besar atau demineralisasi tulang kurang, penurunan stres selama aktivitas fisik, mengurangi risiko cedera jaringan lunak selama aktivitas fisik, memungkinkan terjadinya peningkatan kapasitas untuk memperbaiki dan menyembuhkan jaringan lunak dari kerusakan karena dampak positif pada proses perbaikan jaringan, dapat memungkinkan terjadi peningkatan keseimbangan tubuh, meningkatkan kinerja fisik dalam kehidupan seharihari, pekerjaan dan aktivitas rekreasi, terjadi perubahan positif dalam komposisi tubuh (peningkatan massa otot atau penurunan lemak tubuh), perasaan fisik menjadi lebih tenang, kemungkinan peningkatan persepsi kecacatan dan kualitas hidup menjadi lebih baik (Kisner and Colby, 2012). Menurut penelitian Minoonejad (2012), menyatakan bahwa strengthening exercise berupa closed kinetic chain exercise dan open kinetic 8 chain exercise, keduanya sama-sama efektive untuk strengthening exercise pada otot. Closed kinetic chain exercise adalah gerakan yang terjadi pada rangkaian gerak tertutup dimana gerakan tubuh lebih pada segmen distal tertentu. Sebagai contoh, gerakan closed kinetic chain terjadi pada posisi menumpu berat badan dimana kaki ditumpukkan dilantai dan otot mengangkat atau bagian bawah tubuh seperti memanjat gunung atau berjongkok. Closed kinetic chain exercise ditampilkan pada postur fungsional dengan beberapa derajat menumpu berat badan dan bisa meliputi gerakan konsentrik, eksentrik, atau isometrik. Berdasarkan pengalaman klinis, sebagian besar fisioterapi diklinik dan pelatih olahraga mengabungkan keduanya proprioceptive exercise dan strengthening exercise untuk dapat neningkatkan ataupun mengembalikan kondisi seorang atlit, klien atau pasien agar dapat melakukan aktivitas seharihari kembali. Sejumlah penelitian telah melihat efek dari proprioceptive exercise, strengthening exercise, atau mengkombinasikan keduanya untuk mengembalikan aktivitas fungsional serta meningkatkan kelincahan (Ross, 2006). Fisioterapi sebagai tenaga kesehatan yang berkompeten dibidangnya mempunyai peran yang sangat besar dalam menangani kondisi penurunan kelincahan yang disebabkan oleh faktor kecepatan, kekuatan otot, kecepatan reaksi, keseimbangan, fleksibilitas, dan kondisi neuromuskular. Pada penelitian ini penulis memberikan penambahan proprioceptive exercise pada 9 intervensi strengthening exercise lebih baik dalam upaya peningkatan kelincahan pada pemain sepakbola. 1.2 Rumusan Masalah Apakah penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise lebih meningkatkan kelincahan daripada intervensi strengthening exercise tunggal pada pemain sepakbola? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk membuktikan penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise lebih meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah Dari hasil penelitian diharapkan akan diperoleh informasi ilmiah tentang efek pemberian proprioceptive exercise dan intervensi strengthening exercise lebih meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola, serta mendapatkan penjelasan ilmiah bahwa efek aplikasi Penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise lebih meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kelincahan pemain sepakbola dengan diberikannya penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise yang menyatakan lebih 10 meningkatkan kelincahan daripada intervensi strengthening exercise tunggal, sehingga selanjutnya dapat di manfaatkan dalam menjaga serta meningkatkan kelincahan. 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kelincahan Kelincahan merupakan salah satu unsur kondisi fisik yang berperan penting dalam merespon suatu gerakan yang didapatkan dikarenakan harus mampu bergerak dengan cepat merubah arah atau melepaskan diri. Kelincahan didefinisikan sebagai kemapuan untuk mengubah kecepatan dan arah posisi tubuh atau bagian-bagiannya dengan cepat dan tepat, sementara perpindahannya dengan cepat tanpa kehilangan keseimbangannya (Ismaryati, 2008). Menurut Maksum (2007), Kelincahan adalah kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk mengubah arah gerakan secara mendadak dalam kecepatan yang sangat tinggi. Misalnya mampu berlari berbelok-belok, lari bolak-balik dalam jarak dan waktu tertentu, atau kemampuan berkelit dengan cepat dalam posisi tetap berdiri stabil. Maksum (2007), mengatakan bahwa komponen kelincahan erat kaitannya dengan komponen kecepatan dan koordinasi. Pendapat lain mengatakan bahwa kelincahan bagi seseorang sangat erat kaitannya dengan kamampuan melakukan gerakan mengubahubah arah dengan kecepatan yang tinggi (Purwanto, 2004). Menurut Sumiyarsono (2006) “kelincahan adalah kemampuan seseorang untuk berlari cepat dengan mengubah-ubah arahnya”. Kelincahan merupakan hal dasar yang dimiliki tubuh baik untuk beraktivitas fungsional, 11 12 kemampuan dalam berolahraga seperti kemampuan untuk gerakan cepat, dan berhenti mendadak, perubahan arah dengan cepat, efisien dan penyesuaian gerak kaki pada tubuh atau bagian tubuh pada saat melakukan gerakan saat aktivitas. Setiap individu dengan kelincahan yang baik memiliki kesempatan lebih baik untuk sukses dalam aktivitas fisik dibandingkan dengan individu yang memiliki kelincahan buruk. Dinyatakan demikian karena kelincahan sendiri merupakan aspek dari beberapa kondisi fisik yang harus dimiliki untuk meningkatkan performance dan menghindari cedera. 2.1.1 Jenis Kelincahan Menurut Ismaryati (2008) ditinjau dari keterlibatan atau perannya dalam beraktivitas, kelincahan dikelompokkan menjadi dua macam yaitu, kelincahan umum dan kelincahan khusus. Berdasarkan jenis kelincahan tersebut menunjukkan bahwa, kelincahan umum digunakan untuk aktivitas sehari-hari atau kegiatan olahraga secara umum. Sedangkan kelincahan khusus merupakan kelincahan yang bersifat khusus yang dibutuhkan dalam cabang olahraga tertentu. Kelincahan yang dibutuhkan memiliki karakteristik tertentu sesuai tuntutan cabang olahraga yang dipelajari. Menurut Purwanto (2004) bahwa seorang pemain yang mempunyai kelincahan yang baik akan memiliki keuntungan antara lain : mudah melakukan gerakan yang sulit, tidak mudah jatuh atau cedera, dan mendukung teknik-teknik yang digunakannya terutama teknik menggiring bola, ciri-ciri kelincahan dapat dilihat dari kemampuan 13 bergerak dengan cepat, mengubah arah dan posisi tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi dalam waktu yang relative singkat dan cepat. 2.1.2 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kelincahan Kelincahan merupakan kombinasi dari kekuatan otot, fleksibilitas, kecepatan, keseimbangan, kecepatan reaksi dan koordinasi neuromuskular. Dengan kata lain kelincahan juga dipengaruhi oleh faktor kekuatan otot, fleksibilitas, kecepatan, keseimbangan, kecepatan reaksi dan koordinasi neuromuskular. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan dalam tinggi atau rendahnya kemampuan kelincahan. a. Kekuatan Otot Kekuatan adalah kemampuan otot atau grup otot menghasilkan tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun statis (Kisner dan Colby, 2007). Kekuatan otot juga dapat diartikan sebagai kekuatan maksimal otot yang di tunjang oleh cross sectional otot yang merupakan otot untuk menahan beban maksimal pada aksis sendi. Otot dalam berkontraksi dan menghasilkan tegangan memerlukan suatu tenaga atau kekuatan. Kekuatan mengarah kepada output tenaga dari kontraksi otot dan secara langsung berhubungan dengan sejumlah tension yang dihasilkan oleh 14 kontraksi otot, sehingga meningkatkan kekuatan otot berupa level tension, hipertropi, dan recruitment serabut otot. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara fisiologi cross-sectional area dan tegangan maksimal otot ketika dilakukan stimulasi elektrik. Kekuatan otot-otot skeletal manusia dapat menghasilkan kekuatan kurang lebih 3-8 kg/cm2 pada cross–sectional area tanpa memperhatikan jenis kelamin (Lea, 2010). Namun variabilitas cross-sectional area pada suatu otot akan berbeda setiap saat karena pengaruh latihan inaktifitas. Kekuatan selain dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, dapat di pengaruhi juga oleh beberapa faktor, seperti: faktor biomekanik, neuromuskular (ukuran cross-sectional otot, motor unit recruitment, tipe kontraksi, jenis serabut otot, dan kecepatan kontraksi), faktor metabolisme (ketersediaan energi) dan faktor psikologis. Karena kekuatan merupakan salah satu komponen dari kecepatan, maka semakin besar kekuatan dalam suatu gerakan, semakin besar pula tenaga eksplosif yang terjadi sehingga akan mampu meningkatkan kelincahan. b. Fleksibilitas Fleksibilitas merupakan kemampuan untuk menggerakkan sendi-sendi dalam jangkauan gerakan penuh dan bebas. Keluwesan 15 otot dan kebebasan gerak persendian sering dikaitkan dengan hasil pergerakan yang terkoordinasi dan efisien. Kelenturan di arahkan kepada kebebasan luas gerak sendi atau ROM. Fleksibilitas menjadi faktor yang juga penting dalam mempengaruhi kelincahan. Semakin lentur jaringan otot atau jaringan yang secara bersama–sama bekerja seperti sendi, ligamen, dan tendon maka juga akan di dapat peningkatan kelincahan. Dalam hal latihan penguatan dan fleksibilitas keduanya memiliki saling keterkaitan. Secara otomatis, jika seseorang melakukan latihan penguatan juga berpengaruh terhadap fleksibilitas, begitu juga sebaliknya, jika seseorang melakukan latihan fleksibilitas juga akan berpengaruh terhadap kekuatannya. Kekuatan dan fleksibilitas merupakan komponen dari kecepatan, sehingga dapat mempengaruhi kelincahan. Mobilitas sendi sangat penting untuk memaksimalkan ruang gerak sendi, meningkatkan kinerja otot, mengurangi risiko cedera, dan memperbaiki nutrisi kartilago. latihan fleksibilitas, yang dilakukan pada latihan fisik tahap pertama, dapat meningkatkan panjang dan elastisitas otot dan jaringan sekitar sendi. c. Kecepatan Kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan gerakangerakan yang sejenis secara beturut-turut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, atau kemampuan untuk menempuh suatu 16 jarak dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kecepatan bukan hanya berarti menggerakkan anggota-anggota tubuh dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kecepatan tergantung dari faktor yang mempengaruhinya, yaitu kekuatan, waktu reaksi (reaction time), dan fleksibilitas (Willmore, 2004). d. Keseimbangan Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan tubuh ketika di tempatkan di berbagai posisi. Definisi menurut O’Sullivan (2004), keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan pusat gravitasi pada bidang tumpu terutama ketika saat posisi tegak. Selain itu menurut Ann Thomson (2003), keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan tubuh dalam posisi kesetimbangan maupun dalam keadaan statik atau dinamik, serta menggunakan aktivitas otot yang minimal. Keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan di dukung oleh sistem muskuloskleletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efisien. Keseimbangan merupakan integrasi yang kompleks dari sistem somatosensorik (visual, 17 vestibular, proprioceptive) dan motorik (musculoskeletal, otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur meliputi, basal ganglia, cerebellum, area asosiasi (Batson, 2009). 1. Keseimbangan terbagi atas dua kelompok, yaitu a) Keseimbangan statis: Kemampuan tubuh untuk menjaga kesetimbangan pada posisi tetap (sewaktu berdiri dengan satu kaki, berdiri diatas papan keseimbangan). b) Keseimbangan dinamis : Adalah kemampuan untuk mempertahankan kesetimbangan ketika bergerak. Keseimbangan dinamik adalah pemeliharaan pada tubuh melakukan gerakan atau saat berdiri pada landasan yang bergerak (dynamic standing) yang akan menempatkan ke dalam kondisi yang tidak stabil. Keseimbangan merupakan interaksi yang kompleks dari integrasi sistem sensorik (vestibular, visual, dan somatosensorik termasuk proprioceptive dan muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak lain) yang dimodifikasi / diatur dalam otak (kontrol motorik, sensorik, basal ganglia, cerebellum, area asosiasi) sebagai respon terhadap perubahan kondisi internal dan eksternal. Dipengaruhi juga oleh faktor 18 lain seperti, usia, motivasi, kognisi, lingkungan, kelelahan, pengaruh obat dan pengalaman terdahulu. 2. Fisiologi Keseimbangan Kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah menyanggah tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak. Banyak komponen fisiologis dari tubuh manusia memungkinkan kita untuk melakukan reaksi keseimbangan. Bagian paling penting adalah proprioceptive yang menjaga keseimbangan. Kemampuan untuk merasakan posisi bagian sendi atau tubuh dalam gerak (Brown et al, 2006). Beberapa jenis reseptor sensorik di seluruh kulit, otot, kapsul sendi, dan ligamen memberikan tubuh kemampuan untuk mengenali perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal pada setiap sendi dan akhirnya berpengaruh pada peningkatan keseimbangan. Konsep ini penting dalam pengaturan ortopedi klinis karena fakta bahwa meningkatkan kemampuan 19 keseimbangan pada atlet membantu mereka untuk mencapai kinerja atletik yang unggul (Riemann, 2002). Proprioception dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular, dan sistem sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan proprioception adalah fungsi dari sitem sensorimotor, meliputi integrasi sensorik. Motorik, dan komponen pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem sensori sensorimotor mencakup informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan dan geometri tulang yang terlibat dalam struktur setiap sendi. Mechanoreceptor sensorik khusus bertanggung jawab secara kuantitatif terhadap peristiwa hantaran mekanis yang terjadi dalam jaringan menjadi impuls saraf (Rienmann, 2002). Empat jenis utama dari mechanoreceptor yang membantu dalam proprioception yaitu, termasuk reseptor ruffini, reseptor pacinian, golgi tendon organ (GTO) dan muscle spindle ruffini dan pacinian reseptor berhubungan dengan sensasi sentuhan dan tekanan pada umumnya terletak di kulit (Shier et al, 2004). Reseptor ruffini dianggap sebagai reseptor statis dan dinamis berdasarkan ambang rendahnya, reseptor ini lambat mengadaptasi karakteristik. Melalui perubahan impuls 20 tekanan terjadi perubahan tarik statis dan dinamis pada kulit dan sangat sensitif terhadap peregangan, reseptor pacinian, agak cepat beradaptasi, namun reseptor dengan ambang batas rendah yang dianggap reseptor lebih dinamis (Rienmann, 2002). Sementara juga sensor tekanan, reseptor pacinian mendeteksi tekanan berat dan mengenali perubahan percepatan dan perlambatan gerak (Shier et al, 2004). Golgi tendon organ dan muscle spindle mempunyai peran yang lebih besar untuk mengetahui posisi sendi selama bergerak. Pertama GTOs berada dipersimpangan musculotendinous dan bertanggung jawab untuk memantau kekuatan kontraksi otot untuk mencegah otot dari kelebihan beban (Brown et al, 2006). Terhubung ke satu set serat otot dan diinervasi oleh neuron sensorik, GTOs memiliki ambang batas yang tinggi dan dirangsang oleh ketegangan otot yang meningkat. Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh system indera yang terdapat di tubuh manusia bekerja secara bersamaan jika salah satu system mengalami gangguan maka akan terjadi gangguan keseimbangan pada tubuh (imbalance), system indera yang mengatur/mengontrol keseimbangan seperti vestibular, dan somatosensorik (tactile & proprioceptive). visual, 21 Gambar 2.1 Proses Fisiologi Terjadinya Keseimbangan sumber : Anonim, 2015 3. Komponen-komponen pengontrol keseimbangan adalah: a. Sistem Informasi Sensoris Sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris (Chandler, 2000). b. Sistem vestibular Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan posisi kepala dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulo- 22 occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke cerebellum, formatio retikularis, thalamus dan korteks serebri. Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinthine, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural. c. Somatosensoris Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioceptive serta persepsi-kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioceptive menuju cerebellum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus. 23 Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovial dan ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang. d. Visual Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Cratty & Martin (1969) menyatakan bahwa keseimbangan akan terus berkembang sesuai umur, mata akan membantu agar tetap fokus pada titik utama untuk mempertahankan keseimbangan, dan sebagai monitor tubuh selama melakukan gerak statis atau dinamis. Penglihatan juga merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal dari obyek sesuai jarak pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat menyesuaikan atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan aktivitas sehingga memberikan kerja otot yang sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh. 24 e. Kekuatan otot (Muscle Strength) Kekuatan otot didefinisikan sebagai jumlah maksimum kekuatan yang dapat mengerahkan otot terhadap beberapa bentuk resistensi dalam sebuah gerakan. Hal ini berbeda untuk daya tahan otot, yang merupakan kontraksi otot ganda atau kontraksi otot terus – menerus selama periode waktu, misalnya selama berjalan, mendaki atau melakukan repetisi berganda misalkan dumbbell di gym (matt, 2009). Kekuatan otot umumnya diperlukan dalam melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat digambarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban eksternal (eksternal force) maupun beban internal (internal force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktifasi otot untuk melakukan kontraksi. Sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktifasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut. Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk mempertahankan keseimbangan tubuh saat 25 adanya gaya dari luar. Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya garvitasi serta beban eksternal lainnya yang secara terus menerus mempengaruhi posisi tubuh. f. Respon otot-otot postural yang sinergis (Postural muscles response synergies) Sebuah sinergi otot fungsional didefinisikan sebagai pola co-aktivasi otot direkrut oleh sinyal perintah saraf (Oveido, 2006). Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot – otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan jika respon dari otot-otot postural 26 bekerja secara sinergis sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot yang sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu. g. Adaptive systems Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan. h. Lingkup gerak sendi (Joint range of motion) Kemampuan sendi untuk membantu gerak tubuh dan mengarahkan gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi. Faktor - faktor yang mempengaruhi keseimbangan menurut Suhartono, 2005 adalah : a. Pusat gravitasi (Center of Gravity-COG) Pusat gravitasi terdapat pada semua obyek, pada benda, pusat gravitasi terletak tepat di tengah benda tersebut. Pusat gravitasi adalah titik utama pada tubuh yang akan mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang diantara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua. 27 Derajat stabilitas tubuh dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu: ketinggian dari titik pusat gravitasi dengan bidang tumpu, ukuran bidang tumpu, lokasi garis gravitasi dengan bidang tumpu, serta berat badan. b. Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG) Garis gravitasi merupakan garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu adalah menentukan derajat stabilitas tubuh. Gambar 2.2 Garis Gravitasi (Dhaenkpedro, 2009) c. Bidang tumpu (Base of Support-BOS) Bidang tumpu merupakan bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari 28 luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi. d. Kecepatan Reaksi Kecepatan reaksi adalah waktu yang diperlukan untuk memberikan respon kinetik setelah menerima suatu stimulus atau rangsangan. Karena melalui rangsangan (stimulus) reaksi tersebut mendapat sumber dari: pendengaran, pandangan (visual), rabaan maupun gabungan antara pendengaran dan rabaan (Wahjoedi, 2000). Berdasarkan penjelasan diatas jelas bahwa kecepatan reaksi sangatlah penting dalam kecepatan bergerak. Neurofisiologis melibatkan potensiasi (perubahan karakteristik kekuatan kecepatan komponen kontraktil otot yang disebabkan oleh bentangan aksi otot konsentris dengan menggunakan refleks regangan. Refleks regangan adalah respon paksa tubuh untuk stimulus eksternal yang membentang pada otot. Apabila waktu yang diperlukan untuk memberikan respon kinetik atas suatu stimulus atau rangsangan cepat, maka hal ini akan mengakibatkan terjadinya kecepatan dalam melakukan suatu pergerakan, yang akan meningkatkan kemampuan kelincahan. e. Koordinasi Neuromuscular Merupakan kemampuan untuk mengintegrasi indera (visual, auditori, dan proprioceptive untuk mengetahui jarak pada posisi tubuh) 29 dengan fungsi motorik untuk menghasilkan akurasi dan kemampuan bergerak. Selain itu masih terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi kelincahan, yaitu: 1. Usia Tes Shuttle Run 30 feet, menunjukkan bahwa anak laki-laki rata-rata makin bertambah baik mulai usia 12 tahun, sedang anak wanita tidak lagi bertambah baik setelah usia 13 tahun (M. Sajoto, 2005). 2. Jenis Kelamin Anak pria memperlihatkan kelincahan yang lebih baik daripada wanita sebelum mereka mencapai usia pubertas. Setelah pubertas perbedaan tersebut lebih mencolok. 3. Berat Badan Berat badan yang berlebihan secara langsung akan mengurangi kelincahan. Dimana berat badan yang berlebihan cenderung mengakibatkan muscle imbalance di bagian trunk. 4. Kelelahan Kelelahan dapat mempengaruhi kelincahan, karena orang yang lelah akan menurun kecepatan lari dan koordinasinya. Selain faktor – faktor diatas ada juga faktor –faktor lain yang dapat mempengaruhi kelincahan. Adapun faktor lain yang dapat mempengaruhi kelincahan menurut Depdiknas (2002), yaitu : 1. Tipe Tubuh 2. Orang yang tergolong mesomorf lebih tangkas dari pada eksomorf dan endomorf. 30 3. Umur 4. Kelincahan meningkat sampai kira-kira umur 12 tahun pada waktu mulai memasuki pertumbuhan cepat (rapid grow). Selama periode tersebut kelincahan tidak meningkat, bahkan menurun. Setelah melewati pertumbuhan cepat (rapid grow) kelincahan meningkat lagi sampai anak mencapai umur dewasa, kemudian menurun lagi menjelang umur lanjut. 5. Jenis Kelamin 6. Anak laki-laki memperlihatkan kelincahan sedikit lebih dari pada perempuan sebelum umur pubertas. Setelah umur pubertas perbedaan kelincahan lebih mencolok. 7. Berat Badan Berat badan mengurangi kelincahan. 2.1.3 Fisiologi Otot Jaringan otot terdiri dari sel – sel yang megkhususkan diri untuk berkontraksi dan menghasilkan gaya. Terdapat tiga jenis jaringan otot: otot rangka, yang menggerakkan tulang, otot jantung, yang memompa darah keluar jantung, dan otot polos, yang membungkus dan mengontrol gerakan isi organ berongga atau berbentuk tabung, misalnya gerakan makanan melalui saluran cerna. Dengan menggerakkan komponen – komponen intra sel tertentu, sel menghasilkan tegangan dan memendek, yaitu berkontraksi. Melalui kemampuan berkontraksinya yang berkembang sempurna, kelompok – kelompok sel otot yang bekerja sama dalam suatu otot dapat menghasilkan gerakan dan melakukan kerja (Sherwood, 2011). 31 Otot membentuk kelompok jaringan terbesar di tubuh, menghasilkan sekitar separuh dari berat tubuh. Otot rangka saja membentuk sekitar 40% berat tubuh pada pria dan 32% pada wanita, dengan otot polos dan otot jantung membentuk 10% lainnya dari berat total. Meskipun ketiga jenis otot secara struktural dan fungsional berbeda namun mereka dapat diklasifikasikan dalam dua cara berlainan berdasarkan karakteristik umumnya. Pertama, otot dikategorikan sebagai lurik atau serat lintang (otot rangka dan otot jantung) atau otot polos, bergantung pada ada dan tidaknya pita terang gelap bergantian, atau garis – garis, jika otot dilihat di bawah mikroskop cahaya. Kedua, otot dapat dikelompokkan sebagai volunter (otot rangka) atau involunter (otot jantung dan otot polos), masing – masing bergantung pada apakah otot tersebut disarafi oleh sistem saraf somatik dan berada dibawah kontrol kesadaran, atau disarafi oleh sistem saraf otonom dan tidak berada di bawah kontrol kesadaran meskipun otot rangka digolongkan sebagai volunter, karena dapat dikontrol oleh kesadaran, namun banyak aktivitas otot rangka juga berada dibawah kontrol involunter bawah - sadar, misalnya aktivitas yang berkaitan dengan postur, keseimbangan, dan gerakan stereotipikal seperti berjalan (Sherwood, 2011). Dilihat dengan mikroskop elektron, sebuah miofibril memperlihatkan pita gelap (pita A) dan pita terang (pita I) bergantian. Pita pada semua miofibril tersusun sejajar satu sama lain yang secara kolektif menghasilkan gambaran serat lintang atau lurik serat otot rangka seperti 32 terlihat dibawah ini. Tumpukan filamen tebal dan tipis bergantian yang sedikit tumpang tindih satu sama lain berperan menghasilkan gambaran pita A dan I (Sherwood, 2011). Gambar 2.3 Perbedaan Posisi Aktin dan Miosin Saat Relaksasi an Kontraksi Sumber: Raven and Johnson, 2005 Pita A dibentuk oleh tumpukan filamen tebal bersama dengan sebagian filamen tipis yang tumpang tindih dikedua ujung filamen tebal. Filamen tebal hanya terletak di dalam pita A dan terbentang di seluruh lebarnya; yaitu, kedua ujung filamen tebal di dalam suatu tumpukan mendefinisikan batas luar suatu pita A. Daerah yang lebih terang ditengah pita A, tempat yang tidak dicapai oleh filamen tipis, adalah zona H, hanya bagian tengah filamen tebal yang ditemukan di bagian. Suatu sistem protein penunjang manahan filamen – filamen tebal vertikal di dalam setiap tumpukan. Protein – protein ini dapat dilihat sebagai garis M, yang berjalan vertikal di bagian tengah pita A di dalam bagian tengah zona H (Sherwood, 2011). 33 Pita I terdiri dari bagian filamen tipis sisanya yang tidak menjulur ke dalam pita A. Di bagian tengah setiap pita I terlihat suatu garis vertikal pada garis Z. Daerah antara dua garis Z disebut sarkomer, yaitu unit fungsional otot rangka. Unit fungsional setiap organ adalah komponen terkecil yang dapat melakukan semua fungsi organ tersebut. Karena itu, sarkomer adalah komponen terkecil serat otot yang dapat berkontraksi. Garis Z adalah lempeng sitoskeleton gepeng yang menghubungkan filamen tipis dua sarkomer yang berdekatan. Setiap sarkomer dalam keadaan lemas memiliki lebar sekitar 2,5 µm dan terdiri dari satu pita A utuh dan separuh dari masing – masing dua pita I yang terletak di kedua sisi. Pita I mengandung hanya filamen tipis dari dua sarkomer yang berdekatan tetapi bukan panjang keseluruhan filamen – filamen ini. Selama pertumbuhan, otot bertambah panjang dengan menambahkan sarkomer baru di ujung miofibril, bukan dengan meningkatkan ukuran masing – masing sarkomer (Sherwood, 2011). Didalam gambar tidak diperlihatkan adanya untaian tunggal protein raksasa yang sangat elastik dan dikenal sebagai titin yang berjalan di kedua arah dari garis M di sepanjang filamen tebal ke garis Z di ujung sarkomer yang berlawanan. Titin adalah protein terbesar di tubuh, terbentuk dari hampir 30.000 asam amino. Protein ini memiliki dua fungsi: (1) bersama denga protein – protein garis M. Titin membantu menstabilkan posisi filamen tebal dalam kaitannya dengan filamen tipis; (2) berfungsi sebagai pegas, protein ini sangat meningkatkan kelenturan 34 otot yaitu, titin membantu otot yang teregang oleh gaya eksternal kembali secara pasif ke panjang istirahatnya ketika gaya tersebut dihilangkan, seperti pegas yang diregangkan (Sherwood, 2011). a. Karakteristik Tipe Serabut Otot Karakteristik tipe serabut otot memiliki peranan pada sifat kontraktil otot seperti kekuatan atau strenght, ketahanan atau endurance, tenaga atau power, kecepatan dan ketahanan terhadap kelelahan / fatique. Komposisi serabut otot terdiri serat merah dan putih. Seseorang yang memiliki lebih banyak serat otot berwarna merah lebih tepat untuk melakukan kegiatan bersifat aerobic, sedangkan yang lebih banyak memiliki serat otot rangka putih, lebih mampu melakukan kegiatan bersifat anaerobic (Brian Sharkey, 2003). Tabel 2.1 Karakteristik Serat Otot Rangka Karakteristik Aktivasi ATPase Miosin Kecepatan Kontraksi Resistansi Terhadap Kelelahan Kapasitas Fosforilasi Oksidatif Enzim Untuk Glikolisis Anaerob Mitokondria Kapiler Kandungan Mioglobin Warna Serat Kandungan Glikogen Jenis Serat Oksidatif Lambat (Tipe I) Rendah Lambat Tinggi Tinggi Oksidatif Cepat (Tipe IIa) Tinggi Cepat Sedang Tinggi Glikolitik Cepat (Tipe IIb) Tinggi Cepat Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi Banyak Banyak Tinggi Merah Rendah Banyak Banyak Tinggi Merah Sedang Sedikit Sedikit Rendah Putih Tinggi Sumber : Sherwood, 2010. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Serabut otot tipe I (slow twitch fiber) dan serabut otot tipe IIa-b (fast twich fiber) memiliki motor unit yang berbeda walaupun sama – sama terletak pada area anterior horn cell dari medulla spinalis. Setiap motor 35 unit hanya mengaktivasi jenis serabut otot yang sama sehingga tidak tumpang tindih antara serabut otot tipe I, IIa, Iib. Setiap otot pada manusia memiliki perbandingan 50:50 antara slow twitch fiber dan fast twitch fiber. Slow twitch fiber memiliki 100 serat per – unit serabut ototnya sedangkan fast twitch fiber memiliki 10.000 serat per – unit serabut ototnya (Campbell, 2013). Gambar 2.4 Hubungan Antara Dengan Muscle Fiber Sumber: Lopez 2014 Urutan perekrutan dimulai pada motor unit tipe I lalu maju ke motor unit tipe IIa dan berakhir pada motor unit tipe IIb. Baik jenis latihan yang bersifat mengaktivasi slow twitch fiber maupun fast twitch fiber, sama – sama akan melalui urutan perekrutan motor unit tersebut. Tetapi tetap ada perbedaan titik fokus pencapaian yang terjadi yaitu : ketika sedang mengaktivasi slow twitch fiber, memang akan melalui urutan tersebut tetapi fokus aktivasi serat otot lebih pada motor unit tipe I sedangkan saat mengaktivasi fast twitch fiber, urutan aktivasi tetap seperti 36 itu tetapi akan fokus pada motor unit tipe IIa-b dengan melewati tipe I secara singkat (Culcea, 2012). b. Sistem Neuromuskular Sistem neuromuskular berhubungan dengan tiga komponen yaitu saraf, neuromuscular junction, dan otot. Dalam hal ini mencakup sistem muskuloskeletal yang sangat erat kaitannya dengan sistem neuromuskular (proprioceptive) karena ada serabut saraf yang terhubung dengan otot yang disebut neuromuscular juntion yang akan menyampaikan impuls kepada otot untuk bereaksi (kontraksi maupun relaksasi) sehingga terbentuk aktivasi secara menyeluruh pada otot tersebut karena impuls yang kuat yang ditangkap oleh motor unit dan motor neuron yang mempersarafi otot tersebut (Budnik, 2006) Gambar 2.5 Neuromuskular Junction Sumber: Amato, 2008 Setiap otot memiliki motor unit yang terdiri dari anterior motor neuron (terdiri dari: slow twitch fiber dan fast twitch fiber). Tidak semua 37 motor unit pada serabut otot akan teraktivasi secara bersamaan. Hal ini berarti neuron mempersarafi slow twitch fiber dan fast twitch fiber akan secara selektif teraktivasi sesuai dengan impuls yang mengaktivasinya (Brown, 2007) Gambar 2.6 Motor Neuron dan Serabut Otot Sumber : Marieb, 2010. Human anatomy & physiology,9th edition. Setiap otot disarafi oleh sejumlah neuron motorik berbeda. Ketika masuk ke otot, sebuah neuron motorik membentuk cabang – cabang, dengan setiap terminal akson mensarafi satu serat otot. Satu neuron motorik mensarafi sejumlah serat otot, tetapi setiap serat otot hanya disarafi satu neuron motorik. Ketika suatu neuron motorik diaktifkan, semua serat otot yang disarafi akan terangsang untuk berkontraksi serentak. Kelompok komponen yang diaktifkan bersama ini (satu neuron motorik plus semua serat otot yang disarafi) disebut motor unit. Untuk kontraksi lemah suatu otot, hanya satu atau beberapa motor unit yang diaktifkan. Untuk kontraksi yang lebih kuat, lebih banyak motor unit yang direkrut, fenomena ini disebut recruitment motor unit. 38 Sistem saraf pusat dapat meningkatkan kekuatan kontraksi otot dengan mekanisme: meningkatkan jumlah motor unit yang diaktifkan (spatial recruitment motor unit) dan meningkatkan laju aktivasi / firing rate yang dimana pada setiap motor unit dirangsang untuk mengoptimalkan jumlah tegangan / tension yang dapat dicapai (temporal recruitment motor unit). Kedua mekanisme ini berjalan bersamaan. Mekanisme utamanya, aktivasi kontraksi otot yang belum mencapai kekuatan kontraksi maksimal menyebabkan penambahan recruitment motor unit, tetapi firing rate pada motor unit awal akan terekrut, peningkatan firing rate menjadi mekanisme yang mendominasi untuk meningkatkan kekuatan motorik. Pada tingkat ini dan seterusnya, motor unit dapat didorong untuk firing rate tahap kedua yang lebih besar dari 50 Hz (Sanbrink, 2012). 2.2 Anatomi dan Biomekanik Manusia sepanjang daur hidupnya tidak terlepas dari proses gerak. Mulai dari tingkatan mikroskopik atau gerakan yang terjadi pada tingkatan intra sel sampai gerak aktual yang setiap hari dilakukan oleh manusia saat beraktivitas. Kemampuan gerak dan keterampilan yang dimiliki merupakan hasil dari proses pembelajaran atau adaptasi terhadap lingkungan. Proprioceptive exercise dan strengthening exercise berfungsi untuk meningkatkan fleksibilitas, kekuatan otot, kecepatan reaksi, keseimbangan dan kooordinasi neuromuskular pada anggota gerak bawah. Proprioceptive 39 exercise dengan gerakan seperti menutup mata diatas wobble board memberikan penekanan yang lebih agar proprioceptive meningkat, sedangkan pelatihan dengan isotonik menggunakan elastic resistence untuk menghasilkan adaptasi otot terhadap stimulus training. Adaptasi yang terjadi adalah Hipertropi otot yaitu berkembangnya ketebalan otot dan meningkatnya diameter (massa) otot hal ini terjadi karena adanya ketegangan selama kontraksi yang memberikan stimulus untuk meningkatkan diameter serabut otot sehingga otot akan semakin kuat. Kelincahan sangat dibutuhkan ketika seseorang dalam berolahraga karena akan melakukan pergerakan dalam keadaan berdiri atau dalam keadaan berlari merubah arah secara cepat dan tepat. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan illinois agility run test merupakan pengukuran untuk menilai kelincahan dan bisa juga dijadikan latihan setelah dilakukan intervensi proprioceptive exercise dan strengthening exercise. Secara umum berlari akan menimbulkan kontraksi otot dan hal ini terjadi karena adanya proprioceptive yang bekerja pada saat proses berlari. Namun berlari dilapangan yang luas sangat berbeda dengan berlari dilintasan illinois agility run test. Berlari dilintasan illinois agility run test membutuhkan fleksibilitas, keseimbangan, kecepatan reaksi, kekuatan otot dan koordinasi neuromuscular hal tersebut membutuhkan juga konsentrasi yang tinggi dengan kata lain dibutuhkan adaptasi neuromuscular karena saat berlari bolak-balik diantara cone terjadi gerakan yang kompleks dengan cepat tanpa kehilangan keseimbangan. Adaptasi ini disebabkan 40 oleh adaptasi sistem persarafan (nervosum) yaitu terjadinya peningkatan persentase aktivasi motor unit, perubahan fungsi kontraktil yaitu peningkatan persentase gaya kontraksi (twitch torque), dan terjadi hipertropi otot serta terjadinya peningkatan pada koordinasi sistem neuromuskuler pada keterampilan fisik yang menghasilkan ketepatan gerak. Dalam hal ini keseimbangan merupakan interaksi yang kompleks dari integrasi atau interaksi sistem sensorik (vestibular, visual, somatosensorik serta proprioceptive) dan muskuloskeletal (otot, sendi, dan jaringan lunak) yang dimodifikasi atau diatur dalam otak (kontrol motorik, sensorik, basal ganglia, cerebellum, area asosiasi) sebagai respon terhadap perubahan kondisi internal dan eksternal. 2.3 Proprioceptive Exercise Proprioceptive exercise merangsang sistem saraf yang mendorong terjadinya respon Proprioceptive otot dalam mengontrol sistem neuromuskuler. umumnya didefinisikan sebagai kemampuan untuk menilai dimana masing-masing posisi ekstremitas berada tanpa bantuan indera penglihatan. Proprioceptive diatur oleh mekanisme saraf pusat dan saraf tepi yang datang terutama dari reseptor otot, tendon, ligamen, persendiaan dan fascia (Liu, 2013). Proprioceptive dapat juga diartikan sebagai keseluruhan kesadaran dari posisi tubuh. Kesadaran posisi akan berpengaruh terhadap gerak yang akan dilakukan, gerak yang timbul tersebut akibat impuls yang diberikan 41 stimulus yang diterima dari receptor yang selanjutnya informasi tersebut akan diolah di otak yang kemudian informasi tersebut akan diteruskan oleh reseptor kembali ke bagian tubuh yang bersangkutan. Proprioceptive merupakan rasa sentuhan atau tekanan pada sendi yang disusun oleh komponen pembentuk sendi dari tulang, ligamen dan otot serta jaringan spesifik lainnya. proprioceptive merupakan bagian dari somatosensoris dimana proprioceptive bekerjasama dengan persepsi dan taktil untuk memberikan informasi tentang daerah sekitar, kondisi permukaan sehingga dapat mengirimkan sinyal ke otak untuk mengatur perintah kepada otot dan sendi seberapa menggunakan kekuatan dan bagaimana menyikapi lingkungan. Proprioception memberikan gambaran sama seperti sistem kerja visual, dimana memberikan informasi tentang daerah sekitar, namun hal yang membedakannya adalah proprioceptive bekerja saat sebuah sendi terjadi kontak langsung dengan permukaan sebuah benda. Pada kondisi tanpa cahaya (visual gelap) tidak dapat memberikan banyak informasi untuk tubuh, maka proprioceptive bekerja lebih dominan saat sendi menyentuh atau terjadi tekanan langsung dengan permukaannya. Saat mata tertutup kaki masih bisa merasakan dimana kita berdiri sekarang, tempat miring, berbatu kasar atau datar, dll. Dari informasi yang diterima oleh golgi tendon dan muscle spindle terkumpul cukup baik selanjutnya neuron akan meneruskan untuk dikirim ke sistem saraf pusat melalui ganglion basalis hingga sampai ke sistem saraf pusat 42 seperti perjalanan di gambar kemudian otak menentukan bagaimana kita menyikapi terhadap permukaan tersebut (Kisner, 2007). Gambar 2.7 Lintasan Proprioceptive Sumber: Martin Riemer,2015 Reseptor yang diterima neuron saat menerima rangsangan sendi dikirim ke dua tempat yaitu ke korteks cerebri atau disebut dengan proprioceptive sadar karena dapat dikontrol penuh oleh otak baik penerimaan maupun pengembaliaan impuls ke afektor, dan kortek cerebellum biasa disebut dengan proprioceptive tak sadar atau bekerja otomatis (Scholary, 2011). Neuron yang dikirim melalui lintasan ke korteks cerebri memuat informasi lingkungan dikirim ke otak untuk mengatur kontraksi dan sistem tubuh, sedangkan neuron yang melalui korteks cerebri memuat informasi yang akan diberikan ke otak kecil untuk diolah sehingga hasil yang didapat adalah menjaga keseimbangan tubuh. 43 Cara penyampaian reseptor proprioceptive ke cortex cerebri menggunakan tiga neuron berbeda, neuron I sel berada di ganglion spinal akan dikirimkan melalui Proprioception dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular, dan sistem sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan proprioception adalah fungsi dari sitem sensorimotor, meliputi integrasi sensorik, motorik, dan komponen pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem sensorimotor mencakup informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan dan geometri tulang yang terlibat dalam struktur setiap sendi. Mechanoreceptor sensorik khusus bertanggung jawab secara kuantitatif terhadap peristiwa hantaran mekanis yang terjadi dalam jaringan menjadi impuls saraf (Rienmann, 2002). Proprioceptive merupakan bagian dari kontrol postural manusia yaitu fungsi yang kompleks yang mencakup komponen seperti deteksi gerakan serta respon otot bekerja menurut kesadaran untuk membangkitkan dan mengendalikan saat terjadinya gerakan. Reseptor proprioceptive berada di kulit, otot, sendi, ligamen dan tendon. Mereka memberikan informasi kepada CNS berkaitan dengan jaringan deformasi. Pada ujung ruffini terletak di kapsul sendi dan ligamen. Karena mechanoreseptor ini maksimal di rangsang pada sudut sendi tertentu serta menghubungkan sensasi posisi sendi dan perubahan posisi. 44 Proprioceptive berkaitan dengan dimana rasa posisi mekanoreseptor berada. Hal tersebut meliputi dua aspek yaitu posisi statis dan dinamis. dalam hal ini statis di definisikan yaitu memberikan orientasi sadar pada satu bagian tubuh yang lain sedangkan arti dinamis yaitu memberikan fasilitasi pada sebuah sistem neuromuskular berkaitan dengan tingkat dan arah gerakan kelincahan (Laskowski, 2012). Proprioceptive exercise sangat dianjurkan untuk meningkatkan proprioception untuk meningkatkan keseimbangan dan koordinasi sehingga tercapainya kelincahan yang baik (Elsevier, 2012). Dalam hal ini penulis memilih latihan proprioceptive exercise dengan wobble board berupa closed kinetic chain exercise dimana bahwa latihan closed kinetic chain exercise memberikan umpan balik proprioceptive dan kinestetik lebih besar daripada open kinetic chain exercise. Menurut teori saat bergerak beberapa kelompok otot yang dilintasi untuk menerima impuls, sendi akan diaktifkan selama latihan closed kinetic chain exercise berlangsung sedangkan selama latihan open kinetic chain exercise reseptor sensorik, otot, jaringan intra artikular dan ekstra artikular diaktifkan dalam mengendalikan gerak (Kisner and Colby, 2007). Aktifitas closed kinetic chain exercise dilakukan untuk menumpu berat badan, khusus untuk menstimulasi mechanoreseptor dan sekitar sendi maka latihan ini lebih efektif daripada open kinetic chain exercise. Dengan demikian akan menstimulasi kontraksi otot, menambah stabilitas sendi, 45 keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan kelincahan pada fungsional tubuh dengan menumpu berat badan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan wobble board (papan keseimbangan). Papan keseimbangan atau lebih dikenal di dunia fisioterapi dan olahraga yang disebut wobble board yaitu sebuah alat yang digunakan untuk melatih proprioceptive ekstremitas atas atau bawah (Kisner and Colby, 2007). Wobble board dapat digunakan sebagai alat ukur atau treatment keseimbangan, stabilisasi, dan koordinasi (Mattacola dan Dwyer, 2002). Latihan ini meningkatkan fungsi saraf proprioceptive dari sistem saraf pusat dan mengurangi waktu dalam merespon sehingga dapat memiliki kelincahan yang baik serta dapat melindungi diri dari cedera (McKeon dan Harte, 2008). Pengertian yang lain tentang wobble board adalah titik tumpu dari semua wobble board berbentuk setengah lingkaran atau semi bola, hal ini dapat memungkinkan papan bergerak ke segala arah, maju – mundur, kiri dan kanan berputar 360 derajat. Wobble board banyak digunakan untuk perkembangan anak, gymnasium, latihan olah raga, mencegah terjadinya cidera pada knee dan ankle, proses rehabilitasi setelah cidera hip, knee dan ankle serta biasa digunakan sebagai salah satu alat fisioterapi (Waddington et al, 2004). Latihan dengan menggunakan wobble board ini merupakan latihan stabiliasasi dinamic pada posisi tubuh statis yaitu kemampuan tubuh untuk menjaga stabilitas pada posisi tetap. Prinsip latihan ini adalah meningkatkan fungsi dari pengontrol keseimbangan tubuh yaitu sistem informasi sensoris, central processing, 46 dan affector untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Fungsi dari latihan ini meningkatkan proprioceptive, meningkatkan stabilitas tubuh, dan mengontrol postur alligment. 2.3.1 Mekanisme Fisiologis Pemberian Proprioceptive exercise untuk Meningkatkan Kelincahan Pada kelincahan salah satu komponen jaringan non-kontraktil yang diperlukan adalah ligamen, pada saat pemberian proprioceptive exercise, ligamen akan menstimulasi aktifitas biologi dengan cairan synovial yang membawa nutrisi pada bagian avaskuler dikartilago sendi. Hal ini akan meningkatkan tingkat keseimbangan dan kestabilan karena karena berefek langsung pada sistem neuromuskular dan muskuloskeletal (mengaktifkan kontraksi otot). Gerakan yang berulang (repetisi yang dilakukan) pada saat latihan akan meningkatkan mikrosirkulasi dan cairan yang keluar akan lebih banyak sehingga kadar air dan matriks pada jaringan dan jaringan menjadi lebih elastic dan kekuatan ligamen dalam mengikat sendi meningkat maka akan menimbulkan stabilitas yang lebih baik, yang selanjutnya juga akan meningkatkan performance seseorang dalam meningkatkan kemampuan kelincahan. Disamping ligamen, salah satu stabilisator tubuh yang juga berperan penting terhadap peningkatan kelincahan adalah sendi. Sendi merupakan salah satu stabilisator pasif yang diikat oleh ligamen. Pada kemampuan kelincahan diperlukan suatu kondisi sendi yang stabil dan tanpa ada keluhan seperti nyeri, karena jika terdapat keluhan tersebut akan mengurangi kemampuan sendi dalam melakukan suatu gerakan. Gerakan 47 yang dilakukan oleh sendi diperoleh melalui proprioceptive pada sendi tersebut maka ketika melakukan exercise, sendi lebih akan stabil karena ditunjang juga oleh kekuatan otot (penggerak sendi) dan stabilitas dari ligamen sehingga adanya peningkatan kelincahan. 2.4 Strengthening Exercise Strength (kekuatan) mengarah kepada output tenaga dari suatu kontraksi otot dan secara langsung berhubungan dengan jumlah tension yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Dimana otot adalah sebagai salah satu komponen yang dapat menghasilkan suatu gerakan dan merupakan suatu jaringan yang terbesar dalam tubuh. Otot mempunyai kemampuan untuk ekstensibilitas, elastisitas dan kontraktilitas. Strength (kekuatan) otot sangat bergantung pada diameter otot tersebut. Latihan yang sistematik dapat menghasilkan adaptasi otot terhadap stimulus training. Adaptasi yang terjadi adalah hipertropi otot, Hipertropi otot yaitu berkembangnya ketebalan otot dan meningkatnya diameter otot. Dampak dari latihan tersebut menjadikan setiap serabut otot akan meningkat massa dan jumlahnya. Hal tersebut terjadi karena adanya ketegangan selama kontraksi dapat memberikan stimulus untuk meningkatkan diameter serabut otot sehingga otot akan semakin kuat. Strengthening exercise merupakan peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik, dengan berlatih melawan tahanan, yang bertahap ditambah kekuatannya. Strengthening exercise adalah latihan penguatan pada otot yang menggunakan tahanan atau beban baik dari luar atau alat 48 maupun dari beban tubuh itu sendiri. Strengthening exercise dilakukan secara teratur, terencana, berulang – ulang dan semakin bertambah bebannya serta dimulai dari gerakan yang sederhana ke gerakan yang lebih kompleks. Strengthening exercises (latihan penguatan) untuk sistem muskular memiliki peran yang sangat penting (esensial) dalam fisioterapi dan dalam retraining (pemulihan). Pemahaman tentang metode training yang beragam merupakan kebutuhan yang paling penting untuk efektifitas kinerja otot. Kontraksi otot membutuhkan energi dan otot sebagai mesin pengubah energi kimia menjadi energi mekanik. Sumber energi yang didapat dan segera digunakan adalah derifat pospat organik berenergi tinggi yang terdapat dalam otot. Selain itu sumber utama energi diperoleh dari metabolisme intermedier karbohidrat lipid dan hidrolisis ATP yang menghasilkan energi untuk berkontraksi. Strengthening exercise dapat mencegah penurunan kekuatan otot dan mempertahankan massa otot. Strengthening exercise otot juga mampu mencegah penurunan massa tulang, meningkatkan metabolisme, dan dalam jangka waktu panjang dapat menurunkan tekanan darah. mengingat banyaknya manfaat yang diperoleh, disarankan untuk melakukan strengthening exercise yang ditargetkan pada otot-otot besar tungkai bawah. 49 Menurut penelitian Minoonejad (2012), menyatakan bahwa strengthening exercise berupa closed kinetic chain exercise dan open kinetic chain exercise, keduanya sama-sama efektive untuk strengtening exercise pada otot. Closed kinetic chain exercise adalah gerakan yang terjadi pada rangkaian gerak tertutup dimana gerakan tubuh lebih pada segmen distal tertentu. Sebagai contoh, gerakan closed kinetic chain terjadi pada posisi menumpu berat badan dimana kaki ditumpukkan dilantai dan otot mengangkat atau bagian bawah tubuh seperti memanjat gunung atau berjongkok. Closed kinetic chain exercise ditampilkan pada postur fungsional dengan beberapa derajat menumpu berat badan dan bisa meliputi gerakan konsentrik, eksentrik, atau isometrik. Penambahan beban otot pada closed kinetic chain exercise pada strengthening exercise juga akan memberikan pembebanan pada tulang, sendi dan jaringan lunak non kotraktil seperti ligamentum dan tendon serta capsul sendi. Pada dasarnya meningkatkan kekuatan otot berdasarkan prinsip overload. Dimana prinsip overload ini dilakukan secara meningkat (progresif) berarti beban dalam latihan mendekati maksimal dan secara bertahap terus meningkat, sebagai akibat kapasitas kekuatan otot seseorang semakin meningkat pula. Kekhususan overload adalah meningkatnya kekuatan, daya tahan dan hipertropi sebagai akibat meningkatnya intensitas kerja yang diberikan persatuan waktu, sehingga akan meningkatkan kekuatan otot. Dalam hal ini strengthening exercise menggunakan karet elastic resistance. Karet elastic resistance merupakan 50 karet berwarna dengan merk theraband salah satu produk dunia terkemuka. Latihan strengthening dengan elastic resistance adalah latihan isotonic dengan menggunakan theraband atau suatu alat berupa karet berwarna yang mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi. Sedangkan latihan isotonic sendiri adalah suatu bentuk latihan melawan tahanan atau beban yang konstan dan terjadi pemanjangan atau pemendekan otot dalam range of motion gerakan (Kisner and Colby, 2007). Theraband merupakan suatu produk bermerek terkemuka didunia. Secara progresif theraband memiliki ketahanan elastisitas yang cukup tinggi untuk rehabilitasi secara profesional, pelatihan atlet dan senam kebugaran dirumah. Theraband diproduksi dan dikembangkan oleh the hygenic corporation pada tahun 1978 dan sejak memperoleh reputasi internasional dengan terapis, ahli tulang, serta pelatih olahraga untuk kualitas dan efektivitas latihan yang didukung oleh American Physical Therapy Association (APTA). Theraband tersedia melalui jaringan internasional, rehabilitasi, latihan dan distributor produk olahraga, dokter, dan melalui outlet ritel online. Latihan dengan theraband digunakan sebagai alat untuk merehabilitasi, memulihkan otot dan fungsi tubuh, meningkatkan keseimbangan dan kekuatan. Elastic resisistance (theraband) exercise bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dinamik, endurance, dan power 51 otot dengan menggunakan tahanan yang berasal dari external force (Fleck, 2004). Grafik 2.1 Besaran Elastic Resistance Berdasarkan gambar diatas, dapat dilihat tolak ukur yang dapat digunakan sebagai pemilihan theraband yang tepat untuk latihan sesuai dengan warna yang terbagi berdasarkan berat dalam kilogram dan kekuatan panjang otot dalam satuan persen. Menurut Foran (2001) efek meningkatkan kekuatan dinamik pada otot sehingga power otot bertambah. Apabila power bertambah maka endurance dan keseimbangan akan bertambah pula. Pada peredaran darah akan meningkat karena vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu juga akan memperbaiki kekuatan, ukuran serta mencegah peradangan dan terjadinya peningkatan kelenturan jaringan. Dalam hal ini penelitian menggunakan kontraksi isotonik yang dalam aplikasinya mempunyai tahanan yang sama dari awal hingga akhir. 52 Kontraksi isotonik memiliki koordinasi neuromuskular yang lebih baik karena innervasi pada nerve musle lebih kompleks, dengan kata lain pada kontraksi isotonik lebih menerapkan prinsip motor performance. Latihan ini juga merupakan latihan yang dinamis maka dapat meningkatkan tekanan intramuskuler dan menyebabkan meningkatnya aliran darah, sehingga latihan ini tidak cepat menimbulkan kelelahan. 2.4.1 Faktor-faktor lain yang penting Terhadap Peningkatan Strengthening Exercise a. Recruitment motor unit Setiap otot terdiri dari sejumlah unit motorik yang bercampur baur, dimana motor unit adalah unit fungsional dari sistem neuromuscular yang terdiri dari anterior motor neuron yaitu terdiri dari axon, dendrit, serta badan sell dan serabut otot yang terdiri dari slow twitch fiber dan fast twitch fiber. Untuk menimbulkan kontraksi lemah pada suatu otot, hanya satu atau beberapa motor unit yang diaktifkan, sedangkan untuk kontraksi yang lebih kuat akan lebih banyak motor unit yang direkrut atau dirangsang untuk berkontraksi. Peningkatan recruitment motor unit akan meningkatkan kekuatan otot. Kontraksi otot dengan dengan tenaga kecil akan menghasilkan sedikit motor unit, tetapi kontraksi dengan tenaga besar akan menghasilkan banyak motor unit. Tidak semua motor unit pada serabut otot aktif pada saat yang sama. Pada kontrol neural slow twitch fiber dan fast twitch fiber akan memodulasi secara selektif jenis serabut yang 53 akan digunakan sesuai karakteristiknya. Jenis latihan akan mempengaruhi motor unit yang aktif, pada latihan untuk meningkatkan endurance akan lebih meningkatkan slow twitch fiber sedangkan pada resistance exercise atau latihan untuk meningkatkan kekuatan otot akan lebih mengaktifkan fast twitch fiber. 1. Hubungan antara panjang dengan tegangan otot pada saat berkontraksi. Otot menghasilkan tegangan yang tinggi pada saat terjadi sedikit perubahan panjang otot ketika berkontraksi. Tenaga kontraktil otot yang terbesar adalah ketika otot dalam keadaan ekstensi penuh, karena pada saat full ekstensi otot dalam keadaan 1/3 kali lebih panjang daripada saat istirahat. Tenaga pada otot dapat terus berkurang ketika otot berkontraksi (memendek). Ketika otot dalam kontraksi penuh maka tenaga kontraktil yang dihasilkan dapat berkurang sampai nol dan yang harus menjadi catatan adalah selama pemanjangan otot tenaga kontraktil tidak menghasilkan proporsi yang sama.ketegangan maksimum otot dapat dicapai pada saat panjang yang lebih besar saat otot berkontraksi. 2. Tipe kontraksi otot Otot mengeluarkan tenaga paling besar ketika kontraksi eksentrik atau memanjang melawan tahanan. Dan otot juga mengeluarkan tenaga lebih sedikit ketika kontraksi isometrik serta mengeluarkan 54 tenaga yang paling sedikit ketika kontraksi eksentrik yaitu memendek melawan beban. 3. Tipe serabut otot Karakteristik tipe serabut otot memiliki peran pada sifat kontraktil otot seperti kekuatan atau strenght, endurance, power, kecepatan dan ketahanan terhadap kelelahan / fatigue. Tipe IIA dan B (fast twitch fiber) memiliki kemampuan untuk menghasilkan sejumlah tegangan tetapi sangat cepat mengalami kelelahan/fatigue. Tipe I (slow twitch fiber) menghasilkan sedikit tegangan dan dilakukan lebih lambat dibandingkan tipe serabut II tetapi lebih tahan terhadap kelelahan / fatigue. 4. Ketersediaan energi dan aliran darah Tipe serabut otot yang predominan dan suplai darah yang adequat, serta transport oksigen dan nutrisi ke otot, akan mempengaruhi hasil tegangan otot dan kemampuan untuk melawan kelelahan / fatique. 5. Usia dan jenis kelamin Kekuatan otot pada pria muda hampir sama dengan wanita muda sampai menjelang usia puber. Setelah itu pria akan mengalami peningkatan kekuatan otot yang signifikan dibanding dengan wanita, dan perbedaan terbesar timbul selama usia pertengahan (30 sampai 50 tahun). Peningkatan kekuatan ini berkaitan dengan massa otot pria 50% lebih besar dibandingkan massa otot wanita. 55 Meskipun kekuatan otot menunjukkan keterkaitan usia dan jenis kelamin secara keseluruhan, banyak pengecualian yang dapat ditemukan karena variasi yang besar pada seseorang dalam menjaga kondisinya melalui latihan. 2.4.2 Perubahan Sistem Neuromuskular dalam Peningkatan Kekuatan Otot a. Hypertropi Otot Hypertropy otot atau pembesaran otot, merupakan hasil aktifitas muskular yang kuat dan berulang, bukan hasil aktifitas ringan. Jumlah serabut yang bertambah, tetapi ada peningkatan diameter dan panjang serabut yang juga berkaitan dengan peningkatan unsur –unsur filamen. Kapasitas kekuatan otot secara langsung berhubungan dengan fisiologi cross sectional area pada serabut otot. Meningkatnya kekuatan otot dan ukuran serabut otot skeletal disebut hypertropi. Faktor yang berperan pada hypertropi meliputi: peningkatan jumlah protein pada serabut otot, peningkatan kepadatan kapiler, perubahan biokimia pada serabut otot. Hypertropi otot yaitu bertambahnya ukuran serabut otot yang sebabkan : 1. Bertambahnya ukuran pada miofibril 2. Peningkatan elemen kontraktil (aktin-miosin) 3. Peningkatan densitas kapiler otot menjadikan muscular endurance meningkat 56 4. Peningkatan jumlah jaringan otot, misalnya tendon, ligamen, dan jaringan penunjang (conective tissue). Secara Biokimia hypertropi otot akan terlihat : 1. Peningkatan konsentrasi creatin, PC, ATP, dan Glycogen 2. Peningkatan enzim glycolitik (PFK, LDH, Hexokinase) 3. Peningkatan enzim pengaktif ATP (myokinase dan creatin fossokinase) 4. Peningkatan enzim pengaktif pada siklus krebs (Malat Dehidrogenase atau MDH dan Suksinat Dehidrogenase) 5. Penurunan sensitas mitokondria oleh karena peningkatan ukuran miofibril 6. Peningkatan serabut cepat (fast twitch fiber) b. Recruitment Faktor lain yang penting untuk meningkatkan kekuatan otot adalah peningkatan jumlah recruitmen motor unit. Banyaknya jumlah motor unit yang aktif akan menghasilkan kekuatan otot yang besar. Kekuatan otot dapat dicapai dengan cepat pada fase awal dari program resistance exercise yang mungkin lebih menghasilkan recruitment dari pada hypertropi. c. Fleksibilitas Kelenturan merupakan penunjang penting dalam melakukan gerakan yang nyaman dan merupakan salah satu komponen yang menentukan dalam aktivitas gerak manusia. Bagi non olahragawan 57 fleksibilitas dapat untuk menunjang aktivitas kegiatan sehari – hari sedangkan bagi olahragawan fleksibilitas juga sangat diperlukan. Fleksibilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk menampilkan suatu keterampilan yang memerlukan gerak sendi yang luas dan memudahkan dalam melakukan gerakan – gerakan yang cepat dan lincah. Fleksibilitas merupakan kemampuan untuk menggerakkan sendi – sendi dalam jangkauan gerakan penuh dan bebas. Fleksibilitas menunjukkan luasnya ruang pada persendiaan. Dengan fleksibilitas yang memadai seseorang dapat melaksanakan suatu gerakan (performa) yang memadai, Karena itu fleksibilitas merupakan unsur penting dari kebugaran jasmani yang terkait dengan kesehatan dan juga performa (Lutan, 2003). Rusli Lutan (2003) mendefinisikan fleksibilitas sebagai kemampuan dari sebuah sendi dan otot, serta tali sendi disekitanya untuk bergerak dengan leluasa dan nyaman dalam ruang gerak maksimal yang diharapkan. Fleksibilitas yang optimal memungkinkan sekelompok atau sendi untuk bergerak dengan efisien. Fleksibilitas dinamis adalah prestasi luas gerak sendi yang dapat dicapai saat tubuh bergerak cepat. Manfaat yang diperoleh dari latihan fleksibilitas akan membantu otot untuk rileks, meningkatkan kesehatan, menghilangkan otot kejang dan mengurangi potensi cedera (Lutan, 2003). 58 Fleksibilitas terkait dengan unit musculotendinosus yang melintasi bersama, berdasarkan kemampuannya untuk relaks atau berubah bentuk karena kekuatan peregangan. Arthrokinematik sendi bergerak (kemampuan permukaan sendi roll dan geser) serta kemampuan jaringan penghubung pariarticular untuk berubah bentuk juga mempengaruhi ROM sendi dan fleksibilitas keseluruhan individu (Kisner and Colby, 2007) Fleksibilitas juga merupakan faktor yang sangat penting dalam lompat jauh karena semakin lentur jaringan otot atau jaringan yang secara bersama – sama bekerja seperti sendi, ligament, dan tendon. 2.4.3 Mekanisme Fisiologis pemberian strengthening exercise untuk meningkatkan kelincahan. Pemberian strengthening exercise dengan theraband adalah berupa latihan isotonic yaitu suatu bentuk latihan melawan tahanan atau beban yang konstan dan terjadi pemanjangan atau pemendekan otot dalam range of motion gerakan dengan menggunakan theraband. Strengthening exercise sangat bergantung pada diameter otot tersebut serta mempengaruhi kekuatan otot. Latihan yang sistematik dapat menghasilkan adaptasi otot terhadap stimulus training. Adaptasi yang terjadi adalah Hipertropi otot – hipertropi otot adalah berkembangnya ketebalan otot dan meningkatnya diameter otot. Dampak dari Strengthening exercise adalah setiap serabut otot akan meningkat massanya. Peningkatan jumlah serabut otot juga dapat terjadi. Adanya 59 ketegangan selama kontraksi dapat memberikan stimulus untuk meningkatkan diameter otot sehingga meningkatkan kelincahan. Pada dasarnya meningkatkan kekuatan otot berdasarkan prinsip overload. Dimana prinsip overload ini dilakukan secara meningkat (progresif) berarti beban dalam latihan mendekati maksimal dan secara bertahap terus meningkat, sebagai akibat kapasitas kekuatan otot seseorang semakin meningkat pula. Kekhususan overload adalah meningkatnya kekuatan, daya tahan dan hipertropi sebagai akibat meningkatnya intensitas kerja yang diberikan persatuan waktu, sehingga akan meningkatkan kekuatan otot. 60 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir Kelincahan pada penampilan saat aktivitas fisik merupakan suatu kinerja interaksi antar sistem neuromuskular yang dapat menghasilkan kemampuan tubuh atau bagian tubuh untuk mengubah arah gerakan secara mendadak dalam kecepatan yang tinggi. Misalnya mampu berlari berbelokbelok, lari bolak-balik dalam jarak dan waktu tertentu, atau kemampuan berkelit dengan cepat dalam posisi tetap berdiri stabil. Kelincahan sangat diperlukan sekali pada saat terjadinya pergerakan tubuh yang cepat dan mendadak seperti pada saat berolahraga yang membutuhkan kecepatan dalam bergerak dan membutuhkan kecepatan reaksinya terhadap suatu rangsang yang diperlukan. Dalam hal ini proprioceptor juga sangat berperan. Proprioceptive sensorik bertanggung jawab dalam sensasi yang ditemukan di otot, tendon, ligamen, persendian dan fascia. Proprioception dapat didefinisikan sebagai kesadaran dimana posisi ekstremitas dan gerakan juga merupakan variasi khusus dari modalitas sensorik yang mencakup sensasi gerakan bersama (kinesthesia) dan posisi sendi (joint position sense). Proprioceptive exercise (dengan menggunakan wobble board) merupakan latihan pada permukaan yang tidak stabil yang dapat merangsang mechanoreceptor sehingga mengaktifkan joint sense atau dikenal dengan istilah rasa pada sendi dimana sangat berpengaruh terhadap jaringan intrafusal 60 61 (myofibril) dan serabut ekstrafusal (golgi tendon organ) sebab rangsangan yang diterima oleh neuromuscular junction akan mengaktifasi serabut myofibril memerintahkan otot segera berkontraksi sesuai kebutuhan, disamping itu joint sense akan membagi tekanan sama rata keseluruh area sehingga dapat menginhibisi serabut ekstrafusal untuk mengendalikan tonus otot. Strengthening exercise (latihan penguatan) untuk sistem muskular memiliki peran yang sangat penting (esensial) dalam fisioterapi dan dalam retraining (pemulihan) dan penting untuk efektifitas kinerja otot. Strengthening exercise akan sangat mempengaruhi diameter otot. Latihan yang sistematik dapat menghasilkan adaptasi otot terhadap stimulus training. Adaptasi yang terjadi adalah Hipertropi otot – hipertropi otot adalah berkembangnya ketebalan otot dan meningkatnya diameter otot. Dampak dari latihan tersebut adalah setiap serabut otot akan meningkat massanya. Peningkatan jumlah serabut otot juga dapat terjadi. Adanya ketegangan selama kontraksi dapat memberikan stimulus untuk meningkatkan diameter otot. Berdasarkan pengalaman klinis, sebagian besar fisioterapi diklinik dan pelatih olahraga mengabungkan keduanya proprioceptive exercise dan strengthening exercise untuk dapat meningkatkan ataupun mengembalikan kondisi seorang atlit, klien atau pasien agar dapat melakukan aktivitas seharihari kembali. Sejumlah penelitian telah melihat efek dari proprioceptive exercise, strengthening exercise, atau mengkombinasikan keduanya untuk kelincahan pada pemain sepakbola. 59 3.2 Kerangka Konsep Penelitian Strengthening Exercise Proprioceptive exercise Meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot Meningkatkan koordinasi neuromucular Meningkatkan stabilisasi Meningkatkan fleksibilitas Meningkatkan kecepatan reaksi peningkatan aktifitas neuromuscular junctoin peningkatan kecepatan konduktifitas saraf peningkatan koordinasi neuromuscular peningkatan kecepatan reaksi peningkatan kekuatan otot peningkatan keseimbangan Peningkatan adaptasi sistem neuromuskuler Meningkatkat diameter/massa otot Meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian 62 63 3.3 Hipotesis Penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise lebih baik daripada intervensi strengthening exercise tunggal dalam meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola. 64 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang dipilih untuk penelitian ini adalah penelitian eksperimen untuk menggambarkan karakteristik responden, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah Ramdomized pre and post test two with two group design yaitu membandingkan antara perlakuaan terhadap dua kelompok. Kelompok pertama yaitu penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening execise. Kelompok kedua yaitu hanya pemberian strengthening exercise saja untuk meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola. P1 O1 P o o o S O2 R P2 O3 O4 Gambar 4.1. Bagan Rancangan Penelitian Keterangan: P = Populasi. S = Sampel. R = Randomisasi. O1 = Pre test illinois agility run test P1 = Strengthening exercise O2 = Post test illinois agility run test O3 = Pre test illinois agility run test P2 = Penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise O4 = Post test illinois agility run test 64 65 Penelitian ini bersifat true experimental karena sampel diambil secara random dari populasi dan sampel dialokasikan secara random menjadi kelompok kontrol (kelompok perlakuan I) dan kelompok perlakuan (kelompok perlakuan II). Subjek penelitian dibagi dua kelompok, Kelompok perlakuan I adalah subjek yang mendapatkan latihan strengthening exercise sedangkan kelompok perlakuan II adalah subjek yang mendapatkan proprioceptive dan intervensi strengthening exercise. Sebelum perlakuan dan pada akhir penelitian kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II dilakukan pengukuran nilai kelincahan dengan Illinois Agility Run Test Hasil pengukuran akan dianalisa dengan uji statistik yang tepat pada kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II sebelum dan sesudah 6 minggu perlakuan. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 4.2.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMA N 5 Pekanbaru Jalan. Bawal no 43 Kelurahan Wonorejo Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru. 4.2.2 Waktu Penelitian 24 Maret sampai 05 Mei 2015. 4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian yang akan diteliti adalah dengan batas-batas penelitian dilakukan terhadap semua pemain sepakbola SMA Negeri 5 Pekanbaru. 66 4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1 Variabilitas Populasi a. Populasi target : adalah pemain sepakbola pekanbaru b. Populasi terjangkau : adalah pemain sepakbola SMA N 5 Pekanbaru. Bersedia menjadi sampel untuk melakukan program latihan dalam waktu 6 Minggu, mulai dari 24 Maret sampai 05 Mei 2015. 4.4.2 Sampel Adalah jumlah subjek yang diambil dari populasi terjangkau, disesuaikan dengan kriteria inklusi yang dibahas dalam kriteria eligibilitas. 4.4.3 Kriteria Eligibilitas Adalah kriteria pemilihan yang membatasi karakteristik populasi terjangkau. a. Kriteria inklusi: Yang dimasukkan sebagai sampel penelitian dalam penelitian ini harus memenuhi krtiteria inklusi sebagai berikut: 1. Pemain sepakbola 2. Usia 15-20 tahun 3. Bisa bekerja sama. 4. Memiliki keinginan meningkatkan kelincahan saat bertanding 5. Tidak memiliki keluhan nyeri karena suatu penyakit/ tidak didapati kelainan 67 6. Bersedia menjadi sampel dan mengisi, menanda tangani dan mengumpulkan kembali inform consent kepada peneliti. b. Kriteria eksklusi: 1. Tidak sedang mengalami cedera pada tungkai menyebabkan keterbatasan ROM. 2. Tidak sedang mengalami pasca operasi pada tungkai c. Kriteria drop out: Adalah sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Pasien tidak kooperatif dan tidak memenuhi program terapi yang sudah dijadwalkan. 2. Tidak mengikuti pelatihan sesuai prosedur pelatihan. 4.4.4 Besar Sampel Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian ini berdasarkan rumus Pocock (2008): 2 2 n , 2 1 2 Keterangan : n = Jumlah Sampel = Simpang baku (standard deviation) = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05) = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20) ( , ) = Interval kepercayaan 7,9 1 = Rerata nilai pada kelompok kontrol sebelum perlakuan 2 = Rerata nilai pada kelompok perlakuan sesudah perlakuan 68 Berdasarkan hasil penelitian terdahulu mengenai agility pada tahun 2014 didapatkan hasil rerata μ1 = 18,4 dan standar deviasi σ = 1,8 dengan nilai harapansetelah intervensi terdapat peningkatan sebesar 10% didapatkan rerata μ2 = 20,24. Setelah disubstitusikan ke dalam rumus Pocock dapat dihitung sebagai berikut : 2(1,8)2 n x 10,5 (20,24 18,4)2 n 6,48 x 10,5 3,3856 n = 20,09 Maka jumlah sampel minimal dalam penelitian ini dibulatkan menjadi 20 orang. 4.4.5 Teknik Sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah pemain sepakbola. Sampel yang dipilih dibagi menjadi dua kelompok, secara acak masing-masing terdiri dari 22 sampel sesuai dengan penghitungan rumus Pocock. Kelompok I sebagai kelompok kontrol (kelompok perlakuan I) yang mendapatkan intervensi strengthening exercise, dan kelompok II sebagai kelompok perlakuan (kelompok perlakuan II) yang mendapatkan penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise. 69 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi Variabel Yang termasuk dalam klasifikasi variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel bebas (independent variable): Dalam penelitian ini adalah intervensi strengthening exercise, proprioceptive exercise. 2. Variabel tergantung (dependent variable): adalah penilaian kelincahan siswa SMA N 5 Pekanbaru yang diukur dengan menggunakan Agility Illinois Run Test. 4.6 Definisi Operasional Yang termasuk di dalam definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kelincahan merupakan salah satu unsur kondisi fisik yang berperan penting dalam merespon suatu gerakan yang didapatkan dikarenakan harus mampu bergerak dengan cepat merubah arah atau melepaskan diri. Pada permainan sepakbola, kelincahan memiliki peran yang cukup penting dalam memperoleh kemenangan di dalam suatu pertandingan. Hal ini dikarenakan dengan karakteristik permainan sepakbola cepat dan terus bergerak, dimana tim memiliki kecepatan yang lebih baik, melakukan pergerakan yang lebih banyak, akan memiliki peluang yang lebih untuk dapat mencetak gol lebih banyak, yang pada akhirnya akan memenangkan pertandingan. Dalam hal ini kelincahan diukur dengan illinois agility run test, adapun prosedur pelaksaan pengukurannya sebagai berikut: 70 1. Tandai lapangan atau lahan yang permukaannya datar dengan ukuran 5 X 10 meter lalu letakkan cone pada setiap ujungnya, dan diberi tanda start dan finish. 2. Letakkan 4 cone lainnya pada pertengahan lapangan dari dan diberi jarak 3,3 meter 3. Sample melakukan test dimulai dari start dalam posisi telungkup dibawah tanah, kepala sejajar dengan garis start. 4. Sample pada saat melakukan diberi aba-aba pluit atau go 5. Ketika aba-aba “Ya” sample berlari secara maksimal dengan arah seperti dalam gambar “illinois agility run test” dibawah mulai dari start sampai dengan garis finish. 6. Seiring itu dicatat waktu dengan menggunakan stopwatch Gambar 4.2 Illinois Agility Run Test Michele A Raya, 2012 b. Strengthening exercise merupakan latihan penguatan untuk sistem muskular memiliki peran yang sangat penting (esensial) dalam fisioterapi dan dalam retraining (pemulihan) dan penting untuk efektifitas kinerja otot. Strengthening exercise mempengaruhi diameter otot. Latihan yang 71 sistematik dapat menghasilkan adaptasi otot terhadap stimulus training. Adaptasi yang terjadi adalah hipertropi otot, yaitu berkembangnya ketebalan otot dan meningkatnya diameter otot. Strengthening exercise berupa closed kinetic chain exercise sangat efektif untuk penguatan otot. Closed kinetic chain exercise adalah gerakan yang terjadi pada rangkaian gerak tertutup dimana gerakan tubuh lebih pada segmen distal tertentu. Closed kinetic chain exercise ditampilkan pada postur fungsional dengan beberapa derajat menumpu berat badan dan bisa meliputi gerakan konsentrik, eksentrik, atau isometrik. Penambahan beban otot pada closed kinetic chain exercise pada strengthening exercise juga akan memberikan pembebanan pada tulang, sendi dan jaringan lunak non kotraktil seperti ligamentum dan tendon serta capsul sendi. Adapun prosedure pelaksaannya sebagai berikut: Latihan penguatan dengan menggunakan elastic resistance, posisi subjek berdiri dengan kedua kakinya dan posisi badan tegak lurus kemudian pasien tersebut diberikan penjelasan oleh fisioterapis untuk menggerakkan kakinya ke depan dan belakang, ke samping kanan dan kiri. Fisioterapis melihat kekuatan pasien tersebut dalam pertahanan posisinya pada waktu otot bergerak kontraksi Latihan ini dilakukan 1 menit. 72 Gambar 4.3 Strengthening exercise closed kinetic chain Sumber : Kisner and Colby, 2012 Gambar 4.4 Strengthening exercise closed kinetic chain Sumber : KyungMo Han and Mark D Ricard, 2011 Gambar 4.5 Strengthening exercise closed kinetic chain Sumber : Kyungmo Han and Mark D Ricard, 2011 73 Gambar 4.6 Strengthening exercise closed kinetic chain Sumber : Kyungmo Han and Mark D Ricard, 2011 1. Dosis Latihan a. Frekuensi : 3x seminggu b. Intensitas : 3 set latihan (meningkat) c. Time 1 : 1 menit d. Repetisi : 15 X pengulangan Sample memiliki waktu istirahat 30 detik antara latihan dan waktu istirahat 2 menit antara set. c. Penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise merupakan latihan yang dapat meningkatkan fungsi saraf proprioceptive dari sistem saraf pusat dan mengurangi waktu dalam merespon sehingga dapat memiliki kelincahan yang baik serta dapat melindungi diri dari cedera, meningkatkan stabilitas tubuh, dan mengontrol postur alligment tubuh. dikombinasikan dengan strengthening exercise yang bertujuan untuk penguatan otot dengan latihan berupa resisted exercise. 74 Proprioceptive exercise memfasilitasi otak, saraf, dan otot dalam berkomunikasi lebih baik agar benar mengidentifikasi posisi tubuh dan bagaimana tubuh bergerak. Dalam hal ini penulis memilih latihan proprioceptive exercise berupa closed kinetic chain exercise dimana bahwa latihan closed kinetic chain exercise memberikan umpan balik proprioceptive dan kinestetik lebih besar daripada open kinetic chain exercise. Menurut teori saat bergerak beberapa kelompok otot yang dilintasi untuk menerima impuls, sendi akan diaktifkan selama latihan closed kinetic chain exercise berlangsung sedangkan selama latihan open kinetic chain exercise reseptor sensorik, otot, jaringan intra artikular dan ekstra artikular diaktifkan dalam mengendalikan gerak (Kisner and Colby, 2007). Adapun teknik latihan proprioceptive exercise closed chain dengan menggunakan wobble board sebagai berikut: Latihan balance board (side to side, one foot, squat) : Latihan stabilisasi dinamis dengan menggunakan wobble board, posisi pasien berdiri kemudian pada semua gerakan dilakukan dalam keadaan mata tertutup dengan kedua kakinya berdiri dan posisi badan tegak lurus diatas wobble kemudian pasien tersebut diberikan penjelasan oleh fisioterapis untuk menggerakkan kakinya ke samping kanan-kiri, berdiri di atas satu kaki, dan berjongkok. Fisioterapis melihat tingkat stabilitas pasien tersebut dalam pertahanan posisinya. 75 Gambar 4.7 Proprioceptive exercise closed kinetic chain dilakukan dengan mata tertutup/ terpejam (side to side, one foot, squat) Sumber : Carolin Pelletier, 2012 1. Dosis Latihan a. Frekuensi : 3x seminggu b. Intensitas : 2 set latihan (meningkat) c. Time 1 : 30 detik 4.7 Instrumen Penelitian Peneliti mempersiapkan alat dan bahan untuk penelitian antara lain 1) formulir penelitian dan alat tulis, 2) alat pemeriksa antara lain: Stetoskop, tensimeter, timbangan pengukur berat badan, meteran pengukur tinggi badan, stopwatch, wobble board, theraband, cone, pluit, alat dokumentasi. Sedangkan urutun-urutan kerja sebagai berikut (1) subyek yang datang mengambil formulir penelitian (2) sebelum dilakukan penelitian subyek diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian (3) subyek yang memenuhi kriteria inklusi, kemudian peneliti atau yang membantu mengumpulkan data peneliti dengan malakukan pemeriksaan subyektif 76 (anamnesis) data yang dikumpulkan antara lain adalah Karakteristik subyek (yang terdiri dari : nama, umur, tinggi badan, berat badan). Kamera digital / kamera handphone yang digunakan untuk mendokumentasikan setiap kegiatan yang berkaitan dengan penelitian ini 4.8 Alur Penelitian Pemain Sepakbola S R Penambahan Proprioceptive Exercise pada intervensi Strengthening Exercise Strengthening Exercise Pre test illinois agility run test Pre test illinois agility run test Post test illinois agility run test Post test illinois agility run test Gambar 4.8 Alur Penelitian 77 4.9 Analisis Data Penelitian 4.9.1 Uji Statistik Dalam menganalisa data yang telah diperoleh, maka peneliti menggunakan beberapa uji statistik, yaitu: a. Deskriptif statistik untuk memberikan gambaran tentang karakterisitik sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan nilai-nilai rerata dan standar deviasi. Hal ini dapat menjelaskan variasi sampel secara b. Uji normalitas data kelincahan menggunakan uji saphiro wilk test. Dimana sampel dikatakan berdistribusi normal jika nilai p > 0,05. c. uji homogenitas data usia, berat badan, kelincahan kelompok I dan II menggunakan Levene’s Test untuk mengetahui varians data subjek penelitian. Data dikatakan homogen jika nilai p > 0,05. d. Uji komparasi data pada kedua kelompok perlakuan sebelum perlakuan dengan menggunakan uji independent t-test, dikatakan komparabel jika nilai p > 0,05. e. Uji beda 1. Uji beda data yang digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan nilai kelincahan antara sample yang diberikan perlakuan pada kelompok 1 sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok I dengan menggunakan dengan uji paired sample t test karena data berdistribusi normal, nilai p < 0,05 78 2. Uji beda data yang digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan antara sample yang diberikan perlakuan pada kelompok II sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok II dengan menggunakan dengan uji wilcoxon karena data berdistribusi tidak normal, nilai p> 0,05 3. Uji beda data yang digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan antara sample sebelum diberikan perlakuan pada kelompok 1 dan kelompok 2, dengan menggunakan dengan uji independent t test karena data berdistribusi normal, nilai p < 0,05 4. Uji beda data yang digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan antara sample sesudah perlakuan pada kelompok 1 dan kelompok 2, dengan menggunakan uji mann whitney karena data berdistribusi tidak normal, nilai p > 0,05 79 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Hasil Penelitian Hasil penelitian pada bab ini menyajikan analisis efektifitas penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise lebih meningkatkan daripada hanya strengthening exercise terhadap peningkatan kelincahan pada pemain sepakbola. Hasil perhitungan dari penelitian ini disajikan berikut ini. 5.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian Hasil deskripsi karakteristik subjek penelitian disajikan pada tabel-tabel berikut ini. Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 Usia (Tahun) 15 16 17 18 Jumlah Perlakuan I n (%) 0 0 9 41 12 54,5 1 4,5 22 100 Perlakuan II n (%) 1 4,5 10 45,5 10 45,5 1 4,5 22 100 n 1 19 22 2 44 Total (%) 2,3 43,2 50 4,5 100 Berdasarkan Tabel 5.1 usia sampel dominan 17 tahun (50%) Tabel 5.2 Diskripsi Sampel Menurut Tinggi Badan (cm) Pada Kelompok Perlakuan I Dan Kelompok Perlakuan II Tinggi badan (Kg) 155-159 160-164 165-169 170-174 175-179 180-184 Jumlah Perlakuan I n (%) 1 4,55 2 9,09 4 18,18 7 31,82 8 36,36 0 0 22 100 Perlakuan II n (%) 0 0 2 9,09 6 27,27 6 27,27 4 18,18 4 18,18 22 100 79 n 1 4 10 13 12 4 44 Total (%) 2,273 9,091 22,727 29,545 27,273 9,091 100 80 Berdasarkan Tabel 5.2 pada kelompok perlakuan I tidak ada sampel dengan tinggi badan 180-184 cm. Pada kelompok perlakuan II tidak ada sampel dengan tinggi badan 155-159 cm. Dalam penelitian ini sebagian besar sampel memiliki tinggi badan 170-174cm sebesar 29,545 %. Tabel 5.3 Diskripsi Sampel Menurut Berat Badan (Kg) Pada Kelompok Perlakuan I Dan Kelompok Perlakuan II Berat Badan (Kg) 50-59 60-69 70-79 80-89 Jumlah Perlakuan I n (%) 15 68,18 3 13,64 4 18,18 0 0 22 100 Perlakuan II n (%) 15 68,18 6 27,27 1 4,55 0 0 22 100 n 30 9 5 0 44 Total (%) 68,182 20,455 11,364 0 100 Berdasarkan Tabel 5.3 dalam penelitian ini 68,182 % sampel memiliki berat badan pada rentang 50-59 kg. Tabel 5.4 Diskripsi Sampel Menurut Nilai Illinois Agility Run Ratings (detik) Rating (Male) Sangat Baik (<15,2) Bagus Sekali (16,1-15,2) Baik (18,1-16,2) Sedang (18,3-18,2) Perlu perbaikan (>18,3) Jumlah Pre Perlakuan I n (%) 1 2,3 Pre Perlakuan II n (%) 2 4,5 Total n 3 (%) 6,8 Post Perlakuan I n (%) 12 27,3 Post Perlakuan II n (%) 21 47,7 10 22,7 9 20,5 19 43,2 9 20,5 1 9 2 20,5 4,5 11 0 25 0 20 2 45,5 4,5 1 0 2,3 0 0 0 0 0 0 0 0 22 50 22 50 44 100 22 Total n 33 (%) 75 2,3 10 22,8 0 0 0 0 1 0 2,3 0 0 0 0 0 0 50 22 50 44 100 Berdasarkan Tabel 5.4 nilai kelincahan sebelum perlakuan pada kelompok I berada pada penilaian dengan kategori bagus sekali 81 (22,7%) dan setelah perlakuan pada kelompok I meningkat ke kategori sangat baik (27,3%) sedangkan penilaian kelincahan sebelum perlakuan pada kelompok II berada pada kategori bagus sekali (20,5%) setelah perlakuan pada kelompok II berada pada kategori sangat baik (47,7%). Hal ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan peningkatan nilai kelincahan yang diukur dengan menggunakan Illinois Agility Run Test sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok I dan kelompok II. 5.1.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Untuk menentukan jenis uji statistik komparasi yang akan digunakan untuk membandingkan hasil pre test dan post test antara perlakuan kelompok 1 dan kelompok 2 maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Saphiro Wilk Test, sedangkan uji homogenitas varian data dengan menggunakan uji Levene’s Test yang akan disajikan pada tabel 5.5 sebagai berikut: Tabel 5.5 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Variable Pre test Post test Selisih p. Uji Normalitas (Shapiro-Wilk Test) Perlakuan 1 Perlakuan 2 (n=22) (n=22) 0,649 0,523 0,881 0,035 0,000 0,006 p. Uji Homogenitas (Levene’s Test) 0,864 Tabel 5.5 menunjukkan bahwa hasil penelitian didapatkan hasil uji normalitas dengan menggunakan Uji Shapiro Wilk Test pada semua variabel pre test dan post test pada kedua kelompok data adalah 82 p > 0,05 maka data disimpulkan berdistribusi normal, uji pengaruh yang digunakan adalah Uji Beda Dua Sampel berpasangan (Paired sample t-test) untuk mengetahui uji hipotesis I dan uji hipotesis II, dan uji homogenitas dengan menggunakan uji levene’s tes of varian pada semua variabel pre test pada ke dua kelompok data adalah p > 0,05 maka data disimpulkan homogen. 5.1.3 Pengaruh Perlakuan Nilai Kelincahan Sebelum Pada Perlakuan Kelompok I dan Kelompok II Uji ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan nilai rerata kelincahan sebelum perlakuan pada kelompok I (intervensi strengthening exercise) dan kelompok II (penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise). Maka pada masingmasing kelompok ini dilakukan uji Independent t-Test. yang disajikan pada Tabel 5.6 sebagai berikut: Tabel 5.6 Pengaruh Perlakuan Nilai Kelincahan Sebelum Pada Kelompok I dan II dengan Independent t-Test Variabel Sebelum Perlakuan Kelompok Perlakuan I Rerata SB (detik) (detik) 16,58 0,80 Kelompok Perlakuan II Rerata SB (detik) (detik) 16,61 0,85 P-value 0,864 Tabel 5.6 diatas menunjukkan bahwa nilai p= 0,864 sehingga data tersebut dinyatakan komparabel (p>0,05). 83 5.1.4 Pengaruh Perlakuan Nilai Kelincahan Terhadap Kelompok I (Intervensi Strengthening Exercise) dan Kelompok II (Penambahan Proprioceptive Exercise) Pada Pemain Sepakbola. Uji ini untuk mengetahui pengaruh perlakuan nilai kelincahan sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok I dan kelompok II dengan menggunakan paired sample t-test yang disajikan pada tabel 5.7 sebagai berikut: Tabel 5.7 Pengaruh Perlakuan Nilai Kelincahan Terhadap Kelompok I dan Kelompok II Pada Pemain Sepakbola. Kelincahan (detik) Kelompok I Kelompok II P Pre test (Rerata ± SB) 16,58±0,80 16,61±0,85 0,914*** Post test (Rerata ± SB) 15,43±0.62 14,92±0.42 0,003**** P 0,000 * 0,000 ** Keterangan : P* : dilakukan dengan uji Paired t test P** : dilakukan dengan uji Wilcoxon P*** : dilakukan dengan uji Indepandent t test P**** : dilakukan dengan uji Mann whitney Tabel 5.7 di atas menunjukkan bahwa pada nilai rerata pre dan post kelompok 1 didapatkan nilai p = 0,000 hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, sedangkan pada nilai rerata pre dan post kelompok II didapatkan nilai p = 0,000 hal tersebut juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Kemudian pada perlakuan kelompok I dan kelompok II nilai pre didapatkan p = 0,914 dan pada perlakuan kelompok I dan kelompok II nilai post didapatkan p = 0,003 yang berarti adanya penurunan rerata pada variable nilai kelincahan. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada nilai p < 0,05. 84 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pembahasan Penelitian Hasil penelitian pada bab ini menyajikan analisis efektifitas penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise lebih meningkatkan daripada strengthening exercise tunggal terhadap peningkatan kelincahan pada pemain sepakbola. Hasil perhitungan dari penelitian ini disajikan berikut ini. 6.2 Kondisi Subjek Jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 44 orang berasal dari Siswa SMA N 5 Pekanbaru, Sampel seluruhnya laki – laki. Umur siswa yang menjadi responden pada penelitian ini adalah 15-18 tahun. Pada kelompok kontrol yang diberikan intervensi strengthening exercise berjumlah 22 orang dan pada kelompok perlakuan yang diberikan penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise berjumlah 22 orang juga. Kelincahan diakui sebagai kemampuan untuk mempertahankan posisi dan kontrol saat bergerak cepat dan mengubah arah sebagai respon terhadap stimulus. Hal ini sangat terkait dengan faktor kecepatan, kekuatan otot, kecepatan reaksi, keseimbangan, fleksibilitas, dan kondisi neuromuskular yang menjadi kamampuan seorang atlit yang menjadi penentu kinerja saat olahraga di lapangan seperti sepakbola (Eugenia Gortsila, 2013). Aktivitas fisik mempengaruhi karakter fisik dan pertumbuhan yang cepat dalam 84 85 pengembangan otot pada tingkat yang lebih cepat dan segera. Perubahan ini dimulai sekitar usia 10 tahun terjadi pada anak laki-laki (Olukunmi, 2013). Komponen keterampilan meliputi kelincahan, keseimbangan, koordinasi kecepatan, kekuatan dan waktu reaksi (Tajudeen, 2013). Umur, berat badan, tinggi badan, diukur guna mengetahui kategori kebugaran fisik dalam memenuhi kriteria populasi sampel penelitian (Daniel, 2014). Latihan dan olahraga merupakan bagian penting dari masa kanak – kanak dan remaja, pembelajaran dalam olahraga ini berlaku sepanjang hidup baik ketika berolahraga secara individu maupun tim. Anak-anak atau remaja yang membangun kebiasaan olahraga teratur idealnya akan terus mereka lakukan hingga dewasa sehingga mereka akan memiliki tekananan darah maupun denyut nadi normal. Hal ini sesuai dengan rekomendasi pusat pengendalian dan pencegahan penyakit American academy of pediatrics yang merekomendasikan bahwa semua anak usia sekolah agar berpartisipasi setidaknya dalam waktu 60 menit dari aktivitas sedang hingga aktivitas fisik sesuai dengan tahapan perkembangannya yang kuat setiap harinya (Katherine, 2009). 6.3 Efek Penambahan Proprioceptive Exercise pada Intervensi Strengthening Exercise lebih meningkatkan Kelincahan pada Pemain Sepakbola Dari hasil uji hipotesis dengan menggunakan Mann-Whitney Test seperti pada tabel 5.7 diperoleh hasil nilai p=0,003 (p<0,05), ini berarti adanya perbedaan peningkatan kelincahan yang bermakna. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penambahan proprioceptive exercise pada 86 intervensi strengthening exercise terbukti dalam meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola. Adanya perbedaan pada penelitian ini dikarenakan pada sistem proprioceptive pada tingkat sadar otomatis mempengaruhi reflek kinerja otak memungkinkan fungsi locomotor agar bekerja dengan baik yang memberikan informasi kinestetik terhadap sensorik halus dan kesadaran setiap saat. Hal tersebut mempengaruhi tonus otot serta otomatis mempengaruhi stabilisasi sendi dan terjadi pemeliharaan posisi tubuh yang seimbang dan akan menimbulkan kelincahan yang sangat baik. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa latihan dengan berdiri satu kaki dengan mata tertutup memiliki nilai konsentrasi yang tinggi menyebabkan proprioceptive bekerja lebih dominan sehingga terjadi peningkatan proprioceptive yang signifikan karena adanya adaptasi yang lebih baik terhadap saraf pusat dan perifer (adriana L, 2012). Menurut penelitian Witvrouw (2004) penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise dengan closed kinetic chain exercise sangat efektif karena setiap segmen tubuh bergerak menerima kekuatan yang sama sehingga akan menyebabkan recruitment otot yang dirangsang oleh otak bekerja dengan reflek yang sangat baik. Menurut penelitian Minoonejad (2012), menyatakan bahwa strengthening exercise berupa closed kinetic chain exercise dan open kinetic chain exercise, keduanya sama-sama efektif untuk strengthening exercise pada otot. Dampak dari Strengthening exercise adalah setiap serabut otot akan 87 meningkat massa dan jumlahnya karena adanya ketegangan selama kontraksi yang memberikan stimulus untuk meningkatkan diameter otot sehingga dapat meningkatkan kelincahan. Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa latihan penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise dapat meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola. Hal tersebut terbukti sama dengan penelitian yang dilakukan Gaurav, Pooja, Shishir dan Tanvi (2013), dalam penelitiannya mengenai efek pemberian intervensi strengthening exercise dengan menggunakan theraband dan proprioceptive exercise dengan menggunakan wobble board mampu signifikan meningkatkan keseimbangan sehingga terjadi peningkatan kelincahan pada atlet. 6.4 Keterbatasan Penelitian Meskipun berbagai upaya telah dilakukan agar mendapat data yang akurat, namun demikian adanya berbagai keterbatasan yang bersifat teknis maupun non teknis, Perlu dikemukakan berberapa keterbatasan yang muncul dalam penelitian ini, diantaranya adalah sebagai beriku: 6.4.1 Peneliti hanya menghubungkan dua variabel bebas strengthening exercise dan proprioceptive yaitu intervensi exercise terhadap kelincahan. 6.4.2 Peneliti tidak dapat mengontrol sampel apakah sebelum dilakukan tes sampel melakukan aktivitas berat atau tidak. 88 6.4.3 Terbatasnya jumlah siswa yang menjadi sampel. 6.4.4 Tidak diperhitungkan masalah kondisi fisik dan mental pada waktu melaksanakan tes. 89 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise terbukti lebih baik daripada strengthening exercise tunggal dalam meningkatkan kelincahan pada pemain sepakbola. 7.2 Saran Berdasarkan simpulan penelitian, Disarankan beberapa hal yang berkaitan dengan peningkatan kelincahan pada pemain sepakbola. a. Penambahan proprioceptive exercise pada intervensi strengthening exercise dapat menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan kelincahan. b. Perlu dilakukan meta analisis atas hasil-hasil penelitian yang telah ada di Indonesia. c. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan mengaplikasikan metode latihan yang sama terhadap sampel yang lebih banyak dan menggunakan Illinois Agility Run Test. 89 90 DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2015. Proses Fisiologi Terjadinya Keseimbangan. Available at: http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-786-1413682297bab%20ii.pdf (diakses 25 Januari 2015). Adriana, L. 2012. Snezana, B., Meta, Z., Lepa, R., Kristina P. 2012. Effect of Training Balance Skill among Sport. Available at: acta.junis.ni.ac.rs/pe/pe201203/pe201203-09.pdf (diakses 02 juli 2015). Caroline Pelletier. 2012. Strengthening, Stretching and Proprioceptive Program for Injure Prevention. Charlotte, S. 2015. Balance and Aging. Available at: http://vestibular.org/sites/default/files/page_files/Documents/Balance%20a nd%20Aging.pdf ( diakses pada 2 januari 2015). Depdiknas. 2002. Seleksi dan Penelusuran Minat dan Bakat Olahraga. Jakarta: Direktorat Olahraga Pelajar dan Mahasiswa. Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional. Edson, C. 2010. Proprioceptive and Strength Endurance Training Prevent Soccer Injuries. Available at: http://www.unip.br/comunicacao/publicacoes/ics/edicoes /2010/02_abr-jun/V28_n2_2010_p187-190.pdf. (diakses pada 5 januari 2015). Foran, B. 2001. The Scientific and Clinical Application of Elastic Resistance. Gaurav, S., Pooja, A., Shishir, N dan Tanvi, A . 2013. Comparative Analysis Of Effectiveness Of Conventional Proprioceptive Training and Multistation Proprioceptive Training On Vertical Jump Performance In Indian Basketball Players. Available at: http://medind.nic.in/jau/t13/i2/jaut13i2p97.pdf (diakses 01 Juni 2015). Ganong.W.F 2010, Review of medical physiology, Ganong’s.23rd edition. New York: The McGraw-Hill Companies.Inc. Herwin. 2006. Jurnal Latihan Fisik Untuk Usia Muda. FIK UNY. Ismaryati. 2008. Tes dan Pengukuran Olahraga. Surakarta: Sebelas Maret Universitas Press. Kisner, C and Allen,L. 2007. Therapeutic Exercise. Davis Company. Philadelphia. 90 91 Kisner, C. and Colby, L. A., 1996. Therapeutic Exercise Foundation and Technique; Third Edition, F. A. Davis Company, Philadelphia. Koger, R. 2007. Latihan Dasar Andal SepakBola Remaja. Klaten: Saka Mitra Kompetensi. Kyungmo Han and Mark, D. Ricard. 2011. Effets Of 4 Weeks Of Resistance Training on Ankle- Evertor Strength and Latency. Elastic- Lephart, S.M., Pincivero, D.M., Giraldo, J.L., Fu, FH. 2013. The role of Propriception in the Management and Rehabilitation Of Athletic Injuries. Am J Sports Med. Lopez, R.2014. Orderly Recruitmen of Muscle Fiber: Muscle Fibers Activation, available at: http://www.nutridesk.com.au/orderly-recuitment-of-musclefibers.phtml. (diakses 06 Januari 2015). Maksum. A. dan Toho C. M. 2007. Sport Development Index. Jakarta: PT. Index. Marieb, E.N., Hoen, K. 2010. Human Anatomy & physiology, 9th edition. San fransisco: Pearson Benjamin Cummings. Martin, R. 2015.defensive activation during the rubber owership versus proprioceptive Available at: www.sciencedirect.com/science.article/pii/s03010511150001040. (diakses 24 januari 2015). Michele A. R. Robert. S. Gailey. Ignacio A.Gaunaurd.,Daniel M.Jayne., 2014 Comparison of three agility tests with male servicemembers: Edgren Side Step Test, T-Test, and Illinois Agility Test. Available at: http://www.rehab.research.va.gov/jour/2013/507/jrrd-2012-05-0096.html. Mielke, D. 2007. Dasar – Dasar Sepakbola. Bandung: Pakar Raya. Mills, Jonathan, D, Jack, E and Taunton,William A.Mills. The effect of a 10-week training regimen on lumbo-pelvic stability and athletic performance in female athletes: A randomized-controlled trial *.2005. Mogler Cristian. 2008. Adolescence: The Physical, Cognitive, Social, Personality, Moral and Faith Development of Adolescence, Scholar Research Paper Edition.Germany: Grin Verlag. Minoonejad, H, Ebrahimi, E. R., Rajabi, M. H., Alizadeh, A.A., Jamshidi, A., Azhari and E.Fatehi. 2012. Combined open and closed kinetic chain exercise. 92 Purwanto, N. 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya. Olukunmi, Sarajudeen, Lanre Olaitan, Olusesi and Tajudeen Olarewaju Ibrahim, 2013 Physical Characteristic and Fitness Level of Secondary School Student in Kwara, Nigeria. O’Sullivan, D. 2004. Complexity Science and Human Geography, Transactions of Institute of British Geography. Pauole, K, Madole K, Garhammer J, Lacourse M and Rozenek R., Reliability and validity of the T-Test as a measure of agility, leg power, and leg speed in college aged men and women. J Strength Cond Res. 2000;14(4):443–50.. Raven and Johnson. 2005. Biolgy.2nd ed.Mosby College Publishing,Toronto. Resistance Band and Tubing Instruction Manual, 2012. Available at: http://idscribd.com/doc/22745627/Theraband-exercise-manual. Riemann, BL and Lephart, SM. 2002. The Sensory Motor System Part II: The Role of Proprioception in Motor Control and Functional Joint Stability. Available at : http://www.pitt.edu/~neurolab/publications/2002/Articles/RiemannBL_20 02_JAthlTrain_The%20sensorimotor%20system,%20part%20IIthe%20role%20of%20proprioception%20in%20motor%20control%20and %20functional%20joint%20stability.pdf (diakses pada 25 januari 2015.). Ross, F. 2006. Functional Instability in Non Contact ankle ligamen Injuries. Lutan, R. 2003. Menuju Sehat dan Bugar. Jakarta: Direktorat Jenderal Olahraga. Depdiknas. Sajoto. 1998. Peningkatan dan Pembinaan Kekuatan Kondisi Fisik Dalam Olahraga. Semarang: Dahara Prize. Scheunemann, T. 2005 Dasar Sepakbola Modern. Malang: Dioma. Sharkey, Brian J. 2003. Kebugaran dan Kesehatan (Terjemahan dari buku Fitnesh and Health). Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Sharma. 2011. A Study of Body Mass Index in Relation to Motor Fittnes Components of School Going Children Involved in Physical Activities. Sherwood Lauralee. 2010. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 93 Sherwood Lauralee. 2011. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Penerbit buku kedokteran EGC: jakarta. Sucipto. 2008. Sepakbola latihan dan strategi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sucipto. 2000. Sepakbola. Bandung: FPOK UPI. Sumiyarsono. 2006. Teori dan Metodologi Melatih Fisik Bolabasket. Yogyakarta: FIK UNY. Wahjoedi. 2000. Landasan Evaluasi Pendidikan Jasmani. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wiley. 2010 Agility. New Jersey. Available http://www.rci.rutgers.edu/~uzwiak/AnatPhys/APFallLect13.html. at: William E Prentice. 2014. Open Versus Closed Kinetic Chain Exercise In Rehabilitation. Winter, EM. 2007,Sport and Exercise Physiology Testing, Volume Irouttledge Tatlor & Francis Grap, London. Witvrouw, E. 2004. Open Versus Closed Kinetic Chain Exercise. ucsf.edu/sites/ptrehab.ucsf.edu/files/documents/Open versus Closed Kinetic Chain Exercises for Patellofemoral Pain Syndrome_Tsai.pdf. Wahjoedi. 2001. Landasan Evaluasi Pendidikan Jasmani. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 94 LAMPIRAN 95 RAHASIA Hanya untuk Keperluan Penelitian PERSETUJUAN TINDAKAN FISIOTERAPI (INFORMED CONSENT) MENGIKUTI PROGRAM PENELITIAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Umur : Jenis Kelamin : (L/P) Alamat : Setelah mendapat penjelasan dari peneliti atau membantunya, tentang maksud / tujuan penelitian, cara pelaksanaan dan konsekuensinya, demi manfaat yang sebesar-besarnya bagi pemeliharaan kesehatan saya dan bagi kemajuan upaya pelayanan, dengan ini saya menyatakan : 1. Memahami sepenuhnya maksud dan tujuan penelitian, prosedur penelitian dan segala konsekuensinya. 2. Bersedia menyampaikan informasi dengan sejujur- jujurnya tentang segala hal yang berkaitan dengan keluhan yang saya derita. 3. Bersedia mengikuti dan melaksanakan petunjuk serta program penelitian yang diberikan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab secara rutin. 4. Bersedia menghubungi peneliti bila ada hal-hal yang kurang dipahami maupun melaporkan hal-hal yang berkembang saat penelitian. 5. Bersedia sewaktu-waktu dihubungi atau dikunjungi oleh peneliti guna penyempurnaan penelitian ini. 6. Tidak membebani peneliti berkaitan dengan biaya pengobatan, tindakan atas keluhan yang saya derita dalam penyelenggaraan penelitian ini. 7. Bersedia mengikuti penelitian ini secara tidak terpaksa dan sampai selesai. Peneliti Pekanbaru,.....2015 Subjek Peneliti (ISMANINGSIH) (........................................) 96 RAHASIA Hanya untuk Keperluan Penelitian KUESIONER PENELITIAN PENAMBAHAN PROPRIOCEPTIVE EXERCISE PADA INTERVENSI STRENGTHENING EXERCISE LEBIH MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA PEMAIN SEPAKBOLA I. DATA PASIEN No Responden Nama Umur Jenis Kelamin Alamat No Telp Tekanan Darah Nadi Tinggi Badan Berat Badan IMT : : : : (L/P) : : : : : : : Mm Hg /menit cm kg Isilah pertanyaan dibawah ini sesuai dengan keadaan anda dengan benar. 1. Saya tidak memiliki masalah baik rasa sakit dan gerak pada anggota badan bagian bawah saya ( ya/ tidak ) 2. Saya tidak sedang atau pernah mengalami gejala stroke ( ya/ tidak ) 3. Saya sedang sehat, tanpa ada gangguan lain baik badan maupun pikiran saya ( ya/ tidak ) 4. Saya mampu dan mengerti apa yang menjadi instruksi bagi saya ( ya/ tidak ) Demikian saya telah menjawab dan memberikan keterangan mengenai diri saya dengan sebenar-benarnya. Tanpa sesuatu apapun yang saya sembunyikan. Pekanbaru, …….2015 (………..…………………………) 97 M.F 98 M.F 99 M.R 100 M.R 101 Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian Tim Sepakbola SMA N 5 Pekanbaru Tim SMA N 5 Pekanbaru saat beristirahat disela-sela waktu latihan 102 Tim saat akan Memulai latihan Lapangan yang didesain untuk Lintasan Illinois Agility Run Test 103 Sampel saat berlari dilintasan Illinois Agility Run Test p Pemberian Proprioceptive Exercise 104 Pemberian Intervensi Stengthening Exercise 105 Ketua Tim PS SMAN 5 Pekanbaru di 106 107 Data-data Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 Nama IRA M. R D NA MF NE KG RN M ZM BWJ AN FR MA RM HF MPY IA MR RT NRP GP BC RNF HA M F RA AN DR AP IR AQG R IS WH MFD Umur Berat Tinggi Tekanan Denyut badan Darah Nadi 17 17 16 17 17 16 16 17 16 16 16 17 16 16 17 16 17 17 17 16 15 18 17 16 16 17 16 17 17 16 17 17 17 16 73 46 48 56 53 56 70 55 65 54 55 60 53 50 55 50 55 50 63 55 52 55 50 55 57 54 52 56 50 52 60 69 70 51 1,75 1,57 1,6 1,77 1,68 1,78 1,75 1,7 1,78 1,68 1,7 1,7 1,71 1,71 1,75 1,6 1,75 1,68 1,78 1,7 1,65 1,71 1,7 1,62 1,67 1,68 1,69 1,78 1,75 1,65 1,75 1,8 1,8 1,68 120/80 120/90 110/80 110/90 110/70 120/80 110/80 120/80 110/90 120/80 110/80 120/80 120/80 120/80 120/90 120/80 120/80 110/80 120/80 120/80 120/80 120/80 110/80 110/80 110/80 110/80 120/90 120/80 120/80 110/80 110/80 120/70 120/80 120/70 60 60 60 40 60 60 55 60 60 40 56 40 60 50 40 60 60 60 55 40 60 60 40 40 60 60 60 60 60 60 60 40 40 50 Indeks Massa Tubuh 24 19 19 18 19 18 23 19 21 19 19 21 18 17 18 20 18 18 20 19 19 19 17 21 20 19 18 18 16 19 20 21 22 18 108 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 47 DIY YIN A AH AH AR MZR MIR AA MFR RW RI 17 17 18 17 16 17 16 16 17 16 16 17 52 57 68 53 50 50 65 65 68 55 65 50 1,73 1,63 1,8 1,76 1,72 1,7 1,7 1,8 1,75 1,73 1,72 1,71 110/90 110/80 120/90 120/80 110/80 120/90 110/80 120/90 120/80 120/80 120/80 120/80 40 60 60 60 40 50 40 60 40 40 55 60 17 21 21 17 17 17 22 20 22 18 22 17 109 Hasil Tes Agility Run Illinois Tes pada responden dengan Pemberian Strengthening Exercise dilakukan 3 kali seminggu, selama 6 minggu pengawasan. (kelompok I). No Nama Pre I Post 1 Post 2 Post 3 Post 4 Post 5 Post 6 1 IRA 16.75 16.73 16.70 16.65 16.50 16.48 16.10 2 MRD 17.43 17.41 17.09 16.80 15.00 14.90 14.36 3 MA 17.13 17.12 17.05 17.10 16.06 16.00 15.70 4 M F 16.16 16.10 16.06 15.85 15.41 15.48 15.10 5 N E 16.52 16.49 16.30 16.00 15.90 15.80 15.24 6 KG 15.74 15.72 15.59 15.60 16.03 16.02 15.57 7 R N 17.67 17.65 17.55 17.50 17.00 16.80 16.22 8 M ZM 16.22 16.20 16.10 15.93 15.50 15.45 15.18 9 B W J 16.71 16.69 16.65 16.50 16.20 16.15 15.86 10 AN 15.27 15.25 15.22 15.18 15.10 15.05 14.76 11 FR 15.80 15.78 15.70 15.45 16.18 16.15 15.59 12 MA 17.37 17.35 17.33 17.27 17.10 17.00 16.75 13 14 RM H F 17.20 16.33 17.18 16.30 17.15 16.25 16.83 16.20 16.22 16.00 16.20 15.89 15.47 15.22 15 M PY 15.71 15.71 15.69 15.50 15.45 15.40 15.10 16 IA 17.23 17.21 17.19 17.10 16.75 16.60 16.05 17 MR 18.24 18.22 18.20 18.15 16.90 15.09 14.55 18 RT 15.44 15.40 15.37 15.35 15.18 15.16 14.58 19 NR 16.45 16.43 16.40 16.30 16.12 16.06 15.57 20 GP 17.50 17.48 17.45 17.40 17.38 17.25 16.40 21 BC 16.20 16.17 16.13 16.00 15.80 15.74 15.15 22 R 15.75 15.73 15.50 15.88 15.70 15.44 15.05 110 Hasil Tes Agility Illinois Run Tes pada responden dengan Penambahan Proprioceptive Exercise pada Strengthening Exercise dilakukan 3 kali seminggu, selama 6 minggu pengawasan. (kelompok II). No Nama Pre I Post 1 Post 2 Post 3 Post 4 Post 5 Post 6 1 H A 16.10 16.05 16.00 15.90 15.87 15.68 15.05 2 MF 16.20 16.11 15.59 15.50 15.45 15.34 15.10 3 R A 15.30 15.20 15.017 15.05 15.00 14.90 14.48 4 A IN 15.83 15.79 15.60 15.55 15.47 15.27 15.05 5 D R 18.48 15.60 15.47 15.40 15.38 15.15 14.80 6 A P 16.30 16.05 15.80 15.75 15.60 15.26 15.00 7 IR 17.25 16.50 15.50 15.45 15.38 15.18 14.76 8 AQS 18.25 16.65 16.40 16.35 16.27 16.02 15.55 9 R 15.44 15.30 15.15 15.10 15.00 14.80 14.35 10 IS 17.36 17.15 17.10 17.00 16..86 16.58 15.22 11 WH 16.05 16.00 15.80 15.65 15.57 15.25 14.99 12 M. F D 17.15 16.50 16.22 16.20 16.09 15.87 15.38 13 14 DI Y 17.40 17.20 16.50 16.47 14.78 16.20 14.60 16.10 14.48 15.80 14.40 14.38 14.35 14.26 15 A 16.31 16.12 16.07 16.04 15.78 15.65 15.27 16 A 16.70 16.65 15.74 15.65 15.55 15.46 15.15 17 AH 15.55 15.20 15.00 14.90 14.65 14.48 14.27 18 AR 16.80 16.65 16.50 16.25 16.18 15.90 15.40 19 MZR 16.40 16.10 15.94 15.87 15.63 15.26 15.05 20 MIR 16.78 16.60 16.43 16.31 16.10 15.80 15.45 21 AA 17.00 16.90 16.75 16.48 16.34 16.20 15.15 22 MFR 15.57 15.32 15.22 15.02 14.89 14.64 14.28 111 110 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia, Berat Badan, Tinggi Badan, Tekanan Darah Sistole, Tekanan Darah Diastole, Denyut Nadi dan Indeks Masa Tubuh Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances F umur kelompok 1 dan kelompok 2 Equal variances assumed berat badan kelompok 1 dan kelompok 2 Equal variances assumed tinggi badan kelompok 1 dan kelompok 2 Equal variances assumed Sig. .774 t .384 Equal variances not assumed Mean Difference Std. Error Difference 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper .720 42 .476 .136 .190 -.246 .720 41.133 .476 .136 .190 -.246 .519 .519 1.364 2.069 -2.813 5.540 .659 42 .514 .659 41.922 .514 1.364 2.069 -2.813 5.540 1.815 .185 1.360 42 .181 .04955 .03643 -.02397 .12306 1.360 25.862 .186 .04955 .03643 -.02535 .12444 -.333 42 .740 -.182 .545 -1.282 .919 -.333 41.144 .740 -.182 .545 -1.283 .919 -.917 42 .365 -1.364 1.488 -4.366 1.639 -.917 41.814 .365 -1.364 1.488 -4.367 1.639 .000 42 1.000 .000 1.556 -3.140 3.140 .000 40.698 1.000 .000 1.556 -3.143 3.143 -1.264 42 .213 -3.455 2.732 -8.968 2.059 -1.264 41.085 .213 -3.455 2.732 -8.972 2.063 Equal variances not assumed 2.727 tekanan darah sistole Equal variances assumed kelompok 1 dan kelompok Equal variances not assumed 2 2.625 .113 tekanan darah diastole Equal variances assumed kelompok 1 dan kelompok Equal variances not assumed 2 .507 .481 Equal variances not assumed Sig. (2-tailed) .374 Equal variances not assumed Equal variances assumed df .808 indeks masa tubuh Equal variances assumed kelompok 1 dan kelompok Equal variances not assumed 2 denyut nadi kelompok 1 dan kelompok 2 t-test for Equality of Means 3.764 .106 .059 112 3 113 Frequencies FREQUENCIES VARIABLES=pre1 pre2 post1 post2 /ORDER=ANALYSIS. [DataSet1] D:\MY Thesis\dat freq.sav Statistics pre kelompok 1 N pre kelompok 2 post kelompok 1 post kelompok 2 Valid 22 22 22 22 Missing 22 22 22 22 Valid Percent Cumulative Percent Frequency Table pre kelompok 1 Frequency Valid Missing Percent excellent 1 2.3 4.5 4.5 very good 10 22.7 45.5 50.0 good 9 20.5 40.9 90.9 fair 2 4.5 9.1 100.0 Total 22 50.0 100.0 System 22 50.0 44 100.0 Total pre kelompok 2 Frequency Valid Missing Total Percent Valid Percent Cumulative Percent excellent 2 4.5 9.1 9.1 very good 9 20.5 40.9 50.0 good 11 25.0 50.0 100.0 Total 22 50.0 100.0 System 22 50.0 44 100.0 114 post kelompok 1 Frequency Valid Missing Percent Valid Percent Cumulative Percent excellent 12 27.3 54.5 54.5 very good 9 20.5 40.9 95.5 good 1 2.3 4.5 100.0 Total 22 50.0 100.0 System 22 50.0 44 100.0 Total post kelompok 2 Frequency Valid Missing Total Percent Valid Percent Cumulative Percent excellent 21 47.7 95.5 95.5 very good 1 2.3 4.5 100.0 Total 22 50.0 100.0 System 22 50.0 44 100.0 115 Uji Normalitas Tests of Normality a Kolmogorov-Smirnov Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. pre kelompok 1 .115 22 .200 * .967 22 .649 pre kelompok 2 .096 22 .200 * .962 22 .523 post kelompok 1 .123 22 .200 * .978 22 .881 post kelompok 2 .198 22 .025 .903 22 .035 a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance. 112 Uji Homogenitas Data Kelincahan dengan Levene’s Test Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the F pre kelompok 1 dan 2 Equal variances assumed Equal variances not assumed Sig. .030 t .864 -.109 df Sig. (2- Mean Std. Error tailed) Difference Difference Difference Lower Upper 42 .914 -.02727 .25105 -.53392 .47937 -.109 41.819 .914 -.02727 .25105 -.53398 .47944 110 111 Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval Mean Std. Std. Error Deviation Mean of the Difference Lower Upper Sig. (2t df tailed) Pair 1 Data sebelum intervensi strengthening exercise - Data sesudah intervensi strengthening exercise 1.14773 .82290 .17544 .78287 1.51258 6.542 21 .000 112 Uji Wilcoxon b Test Statistics post kelompok 2 - pre kelompok 2 Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Based on positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test a -4.107 .000 114 Uji Independent t test Independent Samples Test Levene's Test for Equality t-test for Equality of Means of Variances 95% Confidence Interval of the Sig. t df Sig. (2-tailed) Mean Std. Error F pre kelompok 1 dan 2 Equal variances assumed Equal variances not assumed .030 .864 Difference Difference Difference Lower Upper -.109 42 .914 -.02727 .25105 -.53392 .47937 -.109 41.819 .914 -.02727 .25105 -.53398 .47944 112 113 a Test Statistics Data sesudah kelompok perlakan 1 dan 2 Mann-Whitney U 116.500 Wilcoxon W 369.500 Z Asymp. Sig. (2-tailed) -2.948 .003 a. Grouping Variable: kelompok 1 dan 2