BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada berbagai bidang khususnya kehidupan berorganisasi, faktor manusia merupakan masalah utama di setiap kegiatan yang ada di dalam organisasi, karena setiap kegiatan yang dilakukan di dalam organisasi diprakarsai oleh manusia. Organisasi merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, bekerja secara terus menerus untuk mencapai tujuan (Robbins, 2005). Semua tindakan yang diambil dalam setiap kegiatan diprakarsai dan ditentukan oleh manusia yang menjadi anggota perusahaan. Perusahaan membutuhkan sumber daya manusia yang potensial baik pemimpin maupun karyawan pada pola tugas dan pengawasan yang merupakan penentu tercapainya tujuan perusahaan. Sumber daya manusia merupakan aset yang berharga bagi perusahaan. Keberhasilan suatu perusahaan ditentuan dari kualitas orang-orang yang ada di dalamnya. Agar aktivitas manajemen berjalan dengan baik, perusahaan harus memiliki karyawan yang berpengetahuan dan berketerampilan tinggi serta memiliki usaha untuk mengelola perusahaan seoptimal mungkin sehingga kinerja karyawan meningkat. Menurut (Bernadin, 2006) kinerja mengarah pada outcomes yang dihasilkan dalam rentang waktu tertentu. Kinerja yang baik adalah kinerja yang optimal, yaitu kinerja yang sesuai standar organisasi dan mendukung tercapainya tujuan organisasi. Organisasi yang baik adalah organisasi yang berusaha meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya, karena hal tersebut merupakan faktor kunci untuk meningkatkan kinerja karyawan. 1 Peningkatan kinerja karyawan akan membawa kemajuan bagi perusahaan untuk dapat bertahan dalam suatu persaingan lingkungan bisnis yang tidak stabil. Oleh karena itu upaya-upaya untuk meningkatkan kinerja karyawan merupakan tantangan manajemen yang paling serius karena keberhasilan untuk mencapai tujuan dan kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada kualitas kinerja sumber daya manusia yang ada didalamnya. Kinerja karyawan yang tinggi sangatlah diharapkan oleh perusahaan. Semakin banyak karyawan yang mempunyai kinerja tinggi, maka produktivitas perusahaan secara keseluruhan akan meningkat sehingga perusahaan akan dapat bertahan dalam persaingan global. Kinerja mencerminkan ukuran keberhasilan suatu organisasi mencapai tujuan. Banyak peneliti telah berusaha menjawab pertanyaan variabel apa yang mempengaruhi kinerja seorang karyawan dengan menginvestigasi berbagai kemungkinan (Brown & Leigh, 1996; Lowe et al., 1996; Jug & Avolio, 2000; Bass et al., 2003; Parker et al., 2003; Soumendu & Arup, 2012). Para peneliti menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja karyawan yang berada dalam kontrol perusahaan dan terikat dengan kebijakan manajemen yang diambil oleh perusahaan. Variabel-variabel yang dimaksud adalah gaya kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis. Kepemimpinan adalah peran yang sangat penting dalam sebuah organisasi untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama. Gibson et al., (2000) berpendapat bahwa kepemimpinan adalah interaksi antara anggota kelompok, sedangkan pemimpin adalah agen perubahan, yaitu seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain di dalam suatu organisasi lebih besar dibandingkan dengan sekitarnya. 2 Organisasi membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk meraih efektivitas yang optimal. Menurut Liu et al., (2003) kepemimpinan memainkan peran dan aspek penting dalam mengelolah lingkungan kerja karyawan secara efektif. Wu et al., (2007) menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, terkait dengan kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut membentuk suatu pola atau tindakan tertentu. Bawahan yang puas dengan gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh atasan tidak hanya patuh terhadap perintah yang diberikan, namun juga akan memiliki keterlibatan lebih dalam organisasinya. Setiap pemimpin dalam memberikan perhatiannya untuk membina, menggerakan dan mengarahkan semua karyawan di lingkungan perusahaan memiliki pola yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu disebabkan oleh gaya kepemimpinan yang berbeda-beda pula tiap pemimpinnya. Para pemimpin sering memilih gaya kepemimpinan tertentu yang mewakili kebutuhan dan keinginan, nilai dan motivasi, serta aspirasi dan ekspektasi dari kedua belah pihak, yaitu pemimpin dan karyawan (Howell dan Avolio, 1993; Hartog et al., 1997). Menurut Bass dan Avolio (1990), gaya kepemimpinan dapat dikategorikan menjadi dua gaya utama yaitu kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional. Kedua gaya kepemimpinan tersebut penting dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi karyawan dalam rangka mencapai strategi dan tujuan perusahaan (Howell dan Avolio, 1993; Ismail et al., 2011). Dewasa ini, banyak perusahaan yang mengubah paradigma gaya kepemimpinan mereka, dari kepemimpinan transaksional ke kepemimpinan transformasional sebagai salah satu cara untuk mencapai strategi dan tujuan perusahaan (Bass, 1999; Howell dan Avolio, 1993; Ismail et al., 2011). Gaya kepemimpinan 3 transaksional menekankan pada proses pertukaran dengan karyawan, dimana pemimpin akan memberikan penghargaan atau hukuman berdasarkan hasil kinerja karyawan. Proses pertukaran ini dapat menjadi konstruktif dan korektif. Pertukaran korektif melibatkan perilaku para pemimpin, dimana pemimpin selalu berpartisipasi untuk memperbaiki kesalahan, baik sebelum maupun sesudah terjadi kesalahan. Pertukaran konstruktif menekankan pada imbalan kontigen, dimana para pemimpin menjanjikan sebuah imbalan kepada karyawan mereka sebagai bentuk apresiasi pada kinerja yang memuaskan dan akan memberikan imbalan tersebut ketika tercapai (Robbins et al., 2005). Pemimpin transaksional menekankan pada standar kerja dan tujuan berorientasi tugas. Jika terjadi kesalahan, seorang pemimpin transaksional akan mengambil tindakan yang seringkali memiliki konotasi negatif, contohnya dengan memberikan hukuman kepada karyawannya (Emery dan Barker, 2007). Gaya kepemimpinan transaksional tidak cocok untuk diterapkan di lingkungan perusahaan yang stabil (Robbins et al., 2005). Gaya kepemimpinan transformasional seorang pemimpin ditunjukan dengan kemampuannya dalam memberikan insprasi motivasi kepada karyawan sehingga mereka dapat menunjukan kinerja yang lebih baik lagi. Gaya kepemimpinan transformasional fokus pada kualitas hubungan antara pemimpin dengan karyawan, seperti membangun kepercayaan antara pemimpin dengan karyawan, membangun budaya demokratis, dan memberikan perhatian secara spesifik kepada masing - masing karyawan (Avolio et al., 1999). Gaya kepemimpinan transformasional merupakan gaya memimpin seorang yang akan mengembangkan potensi karyawannya, kebutuhan yang lebih tinggi, sistem nilai yang baik, moralitas, dan motivasi. Ketika pengembangan ini terjadi, hal ini akan mampu memotivasi karyawan untuk bersedia mengubah tujuan dan keyakinan mereka serta lebih 4 melihat kebutuhan pribadi mereka dengan mencapai kebutuhan organisasi (Bass, 1999; Bycio et al., 1995). Pemimpin yang transformasional diharapkan dapat membantu bawahan memberikan kinerja yang terbaik dalam pekerjaannya. Penelitian bidang kepemimpinan sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Lowe et al., 1996; Jug & Avolio, 2000; Wang et al., 2005; Bass et al., 2003), menunjukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh positif terhadap kinerja. Hasil penelitian (Lowe et. al., 1996), menunjukan adanya pengaruh positif kepemimpinan transformasional terhadap kinerja, hasil penelitian ini didukung oleh penelitian (Bass et al., 2003). Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukan temuan yang sama, namun demikian penelitian (Lowe et. al., 1996) merupakan penelitian dengan menggunakan sampel pegawai pada perusahaan privat, sedangkan penelitian (Bass et al., 2003) mengunakan sampel prajurit militer pada organisasi militer. Pengaruh kepemimpinan transformasional tidak hanya terjadi pada organisasi privat saja melainkan terjadi pula pada organisasi militer. Hal ini menunjukan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan variabel independen yang kuat dan menentukan keberhasilan pencapaian kinerja karyawan yang maksimal. Selain kepemimpinan transformasional, faktor lain yang berperan mempengaruhi kinerja karyawan adalah iklim psikologis (psychological climate). Iklim psikologis memiliki arti penting baik bagi perusahaan maupun bagi karyawan. Iklim psikologis dalam bekerja mengarah pada bagaimana suatu lingkungan organisasional diterima dan diinterprestasikan oleh para karyawannya. Menurut Kahn (1990), jika karyawan merasakan adanya potensi bagi terpenuhinya kebutuhan psikologis mereka di tempat 5 kerjanya maka mereka akan mengikutsertakan diri mereka secara lebih utuh serta memberikan banyak waktu dan tenaga dalam organisasi atau perusahaan (Brown dan Leigh, 1990). Dengan demikian, interprestasi yang berbeda-beda dari masing-masing karyawan terhadap lingkungan kerjanya dapat menyebabkan perbedaan kinerja dan keterlibatan kerja satu sama lain. Ini berarti bahwa hal di atas ikut berperan penting bagi peningkatan produktivitas dan daya saing perusahaan. Kinerja yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kerja sehingga akan memberikan pengaruh yang positif pada peningkatan daya saing perusahaan. Secara tidak langsung, hal tersebut ikut menentukan masa depan perusahaan di masa mendatang. Iklim psikologis memberi kontribusi terhadap pembentukan sikap kerja, dimana salah satunya keterlibatan kerja guna meningkatkan kinerja karyawan sehingga tercapai tujuan perusahaan (Parker et al., 2003). Iklim psikologis adalah persepsi atas karakteristik situasi yang memiliki makna psikologis dan dapat mempengaruhi perilaku serta sikap individu anggota organisasi. Brown dan Leigh (1996) menjelaskan bahwa iklim psikologis menunjukan bagaimana lingkungan organisasi dipersepsikan dan diinterprestasikan oleh para karyawan. Iklim psikologis merupakan atribut individual, dengan pengukuran mengenai persepsi secara psikologis bermakna bagi individu, bukannya mengukur ciri-ciri konkrit dari suatu organisasi. Iklim psikologis sangat penting untuk dipelajari karena persepsi dan penilaian karyawan adalah faktor yang mempengaruhi respon perilaku, bukannya keberadaan lingkungan tersebut secara langsung. Iklim yang menguntungkan (favorable) akan menghasilkan pemecahan masalah secara terbuka, sikap loyal, kerjasama yang baik, meningkatkan motivasi dan kepuasan 6 kerja serta kesediaan individu untuk berusaha maksimal dalam bekerja (French, 1974). Iklim yang tidak menguntungkan (unfavorable) mengakibatkan tingkat stres yang tinggi, waktu kerja dipakai untuk berbincang bincang, kecenderungan untuk berpindah pekerjaan, absen dengan alasan sakit, berkurangnya komunikasi dengan atasan, dan rendahnya kepuasan kerja, merupakan deskripsi dari rendahnya kinerja kerja. Lingkungan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan psikologis seperti kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan untuk berkembang, dan kebutuhan akan hubungan sosial akan dinilai positif oleh karyawan. Karyawan yang merasa diperhatikan dan dihargai, berkembang menjadi lebih baik karena telah mempelajari hal-hal baru dan melakukan sesuatu yang bermanfaat, serta memperoleh identitas dan hubungan sosial yang bermakna, cenderung berupaya lebih keras untuk mewujudkan tujuan organisasi dan memiliki keterlibatan kerja yang tinggi (Brown dan Leigh, 1996). Solomon et al., (1998) mengatakan bahwa iklim psikologis merupakan interprestasi kongnitif individu atas situasi dalam organisasi, dimana melalui iklim dapat diperoleh petunjuk mengenai harapan organisasi atas perilaku sehingga individu kemudian berusaha mengatur tingkah laku agar sesuai dengan yang diharapkan. Upaya untuk mengatur tingkah laku agar sesuai dengan yang diharapkan, khususnya untuk hubungan kerja antara karyawan dengan pemimpin, diharapkan mewujudkan kerja sama yang serasi. Dengan demikian, organisasi yang harmonis dengan tingkah laku sesuai yang diharapkan dapat mewujudkan kinerja yang semakin lebih baik pada diri karyawan. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Parker et al., 2001) menunjukan iklim psikologi memiliki hubungan positif dengan kinerja karyawan. Penelitian yang dilakukan (Parker et al., 2003) juga menghasilkan kesimpulan bahwa iklim psikologis memiliki 7 hubungan positif dengan perilaku organisasi, diantaranya kepuasan kerja, komitmen organisasi, keterlibatan kerja, motivasi karyawan, dan kinerja karyawan. Soummendu dan Arup (2012) mengemukakan bahwa organisasi perlu menciptakan iklim yang positif, dimana karyawan dapat merasa dihargai. Selanjutnya pemimpin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, sehingga karyawan dapat belajar dan tumbuh didalam organisasi. Bersama-sama menghasilkan kepuasan karyawan yang pada akhirnya akan mengarah ke tingkat kinerja karyawan yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukan oleh (Soummendu dan Arup, 2012) bahwa seorang karyawan yang puas dengan pekerjaannya, dengan kata lain menikmati kepuasan kerja pasti tidak akan lari ke status quonya, dan akan menyusun strategi untuk mempertahankan tingkat kepuasan kerjanya yang tinggi dengan menampilkan perbaikan terus menerus berkaitan dengan kinerja yang mencerminkan keseluruhan pekerjaannya sebagai karyawan. Penelitian tentang gaya kepemimpinan transformasional, iklim psikologis, dan kinerja karyawan menemukan hubungan positif yang signifikan antara variabel-variabel (Soummendu dan Arup, 2012). Selain itu, penelitian tentang gaya kepemimpinan, iklim psikologis, dan kinerja karyawan yang dilakukan oleh (Soummendu dan Arup, 2012) mengenai lintas budaya atas teori individualis dan kolektivis dengan model gaya kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis menguji hasil kinerja karyawan di negara yang tergolong memiliki tingkat kolektivitas yang tinggi seperti di India dibandingkan dengan penelitian di negara yang tergolong tingkat individual yang tinggi seperti Amerika. Penelitian yang dilakukan di Indonesia mungkin memberikan hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya karena Indonesia merupakan negara yang tergolong negara dengan kolektivitas yang 8 tinggi. Dengan demikian mungkin gaya kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis memiliki pengaruh yang lebih tinggi pada kinerja karyawan di Indonesia. Dari penjelasan latar belakang di atas, hal ini yang menjadikan peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh perilaku kepemimpinan transformasional dan iklim psikologis pada kinerja karyawan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dianggap mendasar yaitu: 1. Apakah perilaku kepemimpinan transformasional memiliki dampak positif pada kinerja? 2. Apakah iklim psikologis memiliki dampak positif pada kinerja? 1.3 Tujuan Penelitian Dari latar belakang dan perumusan masalah dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk menganalisis adanya dampak positif perilaku kepemimpinan transformasional pada kinerja karyawan. 2. Untuk menganalisis adanya dampak positif iklim psikologis pada kinerja karyawan. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dibahas penelitian ini, maka manfaat penelitian ini adalah: 9 1. Manfaat teoritis, dimaksudkan untuk memperkaya studi tentang manajemen, khususnya yang terkait dengan perilaku kepemimpinan transformasional, iklim psikologis, dan kinerja karyawan. 2. Manfaat praktis, yaitu untuk dapat memberikan masukan yang berarti bagi manajemen perusahaan mengenai persepsi perilaku kepemimpinan transformasional, iklim psikologis, dan kinerja karyawan. 3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian yang akan datang. 10