17 I HASIL IV. L DAN PEMBAHA ASAN 4.1 Evaluasi Histopaatologi bursa Fabriciu us Secara umum m lesio yangg ditemukan n pada penggamatan hisstopatologi bursa Fabricius adalah eddema, fokuss nekrotik folikel lim mfoid, dan deplesi folikel fo limfoid. Tingkat T kepparahan lessio tersebutt dapat dikketahui denggan mengh hitung persentasee kejadian pada bursaa Fabricius.. Gambar 3 menunjukkkan lesio yang terjadi padda bursa Fabbricius broiler yang diiinfeksi viruss AI H5N1. Gambarr 3 Bursa Faabricius: edem ma (panah merah), m fokuss nekrotik (paanah hitam), deplesi folikel f limfooid (panah biiru), pada keelompok ayaam yang diin nfeksi virus H5N1 (K2), pew warnaan HE E, perbesaran 4x10. 4.1.11 Edema paada Bursa Fabricius Edema adalah peniimbunan caairan secara berlebihann di antara sel-sel s tubuuh atau di dalam beerbagai ron ngga tubuh.. Timbulnyya edema dapat disebbabkan oleeh faktor-faaktor lokal mencakup tekanan hidrostatik dalam d mikrrosirkulasi dan permeabilitas dinding pem mbuluh. Keenaikan tek kanan hidrostatik cennderung mem maksa cairran masuk ke k dalam rruang intersstisial tubuuh (Price & Wilson 19995). Kejadian edema pada bursa Fabricius setiap s keloompok perlaakuan dalam m penelitian n ini dapat dilihat d pada ttabel 2. 18 Tabel 2 Persentase rataan edema pada bursa Fabricius Perlakuan Persentase Edema (%) K1 20.00b K2 100.00a P1 50.00b P2 20.00b *Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10) K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1 P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1 Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, hasil menunjukkan bahwa perlakuan terhadap K1, P1 dan P2 tidak berbeda nyata dan ketiganya berbeda nyata terhadap kelompok perlakuan K2. Hal ini berarti bahwa perlakuan terhadap kelompok K1, P1 dan P2 memberikan pengaruh yang sama (pada taraf nyata 10%), sedangkan perlakuan terhadap K2 memberikan pengaruh yang berbeda. Secara statistik dapat dinyatakan perlakuan berpengaruh nyata terhadap terjadinya edema pada bursa Fabricius. Persentase terjadinya edema paling tinggi diantara keempat perlakuan tersebut adalah K2, sedangkan persentase edema paling rendah adalah kelompok perlakuan K1 dan P2. Keadaan ini dapat dilihat pada gambar 4. 120 Edema (%) 100 80 60 40 Edema (%) 20 0 K1 K2 P1 P2 Perlakuan Gambar 4 Persentase rataan edema pada bursa Fabricius 19 Terjadinya edema dengan persentase tinggi pada kelompok perlakuan K2 disebabkan oleh adanya infeksi virus AI H5N1 yang menyebabkan terjadinya peradangan pada beberapa organ. Reaksi peradangan yang terjadi pada infeksi virus AI H5N1 adalah bentuk akut. Menurut Price dan Wilson (1995), edema adalah bagian yang menyolok dari reaksi peradangan akut. Peristiwa penting pada peradangan akut adalah perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang mengakibatkan kebocoran protein. Hal ini kemudian diikuti oleh pergesaran keseimbangan osmotik, dan air keluar bersama protein, sehingga menimbulkan pembengkakan jaringan. Kelompok perlakuan P2 yang diberi ekstrak sambiloto sebelum diinfeksi virus AI H5N1 menunjukkan persentase rendah terhadap terjadinya edema. Hal ini disebabkan karena sambiloto memiliki zat aktif berupa andrographolide sebagai zat anti inflamasi yang bekerja dengan cara menstimulasi kelenjar adrenal dalam menghasilkan hormon glukokortikosteroid. Cunningham (1994) menyatakan bahwa hormon glukokortikosteroid mempunyai peranan yang penting dalam proses respon peradangan (inflamasi), migrasi leukosit, deposit fibrin, dan pembentukan jaringan ikat. Glukokortikosteroid menghambat peradangan dengan cara menghambat pembentukan media peradangan seperti prostaglandin, thromboxanes dan leukotrienes yang mempengaruhi metabolisme asam arachidonat induk semang. 4.1.2 Fokus Nekrotik Folikel Limfoid pada Bursa Fabricius Menurut Sudiana (2008), nekrosis adalah kematian sel karena adanya kerusakan sistem membran. Kerusakan membran ini disebabkan adanya aktivitas suatu enzim lisozim. Aktivitas enzim lisozim dapat terjadi karena adanya kerusakan sistem membran, oleh suatu faktor tertentu yang menyebabkan membran pembungkus enzim lisozim tersebut mengalami kebocoran. Adanya kebocoran ini mengakibatkan enzim lisozim tumpah ke sitosol dan akhirnya mencerna protein-protein, baik yang berada pada sitosol maupun protein-protein penyusun sistem membran dari sel tersebut. 20 Kejadian fokus nekrotik pada bursa Fabricius setiap kelompok perlakuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3 Persentase rataan fokus nekrotik pada bursa Fabricius Perlakuan Persentase Fokus Nekrotik (%) K1 0.0000b K2 2.0200a P1 0.0000b P2 0.0000b *Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10) K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1 P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1 Fokus nekrotik folikel limfoid bursa Fabricius hanya terjadi pada perlakuan kelompok K2 dengan persentase kejadian 2,02%. Sedangkan pada kelompok perlakuan K1, P1, dan P2 fokus nekrotik tidak terjadi atau 0%. Secara statistik dapat dibuktikan bahwa kelompok perlakuan K1, P1, dan P2 berbeda nyata terhadap kelompok K2, dan dapat dinyatakan perlakuan berpengaruh nyata terhadap fokus nekrotik. Tingginya persentase kejadian fokus nekrotik pada folikel limfoid bursa Fabricius disebabkan oleh infeksi virus AI H5N1, yang dapat dilihat pada gambar 5 Fokus Nekrotik (%) 2.5 2 1.5 1 Fokus Nekrotik (%) 0.5 0 K1 K2 P1 P2 Perlakuan Gambar 5 Persentase rataan fokus nekrotik folikel limfoid pada bursa Fabricius 21 Kehadiran antigen virus AI H5N1 dalam penelitian ini menyebabkan terjadinya fokus nekrotik pada folikel limfoid bursa Fabricius. Hal ini terbukti dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa fokus nekrotik ditemukan pada kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang ditantang virus AI H5N1 tanpa diberi ekstrak sambiloto sebelumnya. Dalam keadaan nekrotik, sitoplasma dari sel yang mengalami nekrosis akan terlihat lebih asidofilik (merah). Perubahan warna ini disebabkan oleh denaturasi protein sitoplasma dan kerusakan ribosom. Dalam kondisi normal, ribosom bertanggung jawab terhadap warna basofil dari sel sitoplasma. Khromatin inti akan menggumpal, inti mengecil dan berwarna biru, proses ini dinamakan piknosis. Inti piknosis dapat pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyoreksis) atau menghilang (karyolisis). Hasil pengamatan pada kelompok perlakuan P2 (ayam diinfeksi virus AI H5N1 yang sebelumnya telah diberi ekstrak sambiloto) menunjukkan bahwa tidak ditemukan terjadinya fokus nekrotik pada folikel limfoid bursa Fabricius. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemberian ekstrak sambiloto yang memiliki kemampuan dalam mencegah terjadinya nekrotik. Kematian sel pada fokus nekrotik disebabkan oleh kerusakan sel dimana kebanyakan mekanisme kerusakan sel adalah melalui jalur langsung radikal bebas. Menurut Arief (2010), ion radikal bebas mengaktifkan oksigen menjadi superoksida, hidrogen peroksida, dan hidroksil. Molekul radikal bebas memiliki ion tunggal yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya, bersifat tidak stabil dan dapat menyebabkan molekul di dekatnya berubah menjadi radikal bebas juga, sehingga menyebabkan kerusakan yang ditimbulkan bersifat meluas. Molekul radikal bebas menyebabkan kerusakan sel dengan cara peroksidasi lipid membran, merusak asam deoksiribonukleat (DNA), dan merusak protein (enzim seluler). Molekul radikal bebas biasa ditemukan pada kerusakan salah satunya akibat peradangan. Tubuh mempunyai beberapa mekanisme dalam mengontrol dan memanfaatkan radikal bebas. Molekul radikal bebas dapat dinetralkan oleh anti oksidan. Senyawa lain yang terkandung dalam tanaman obat sambiloto adalah derivat fenol (flavonoid) yang memiliki aktivitas 22 antioksidan maupun immunomodulator sehingga mampu meningkatkan ketahanan sel terhadap infeksi virus flu burung. Kadar senyawa tersebut dalam ekstrak tanaman obat mempengaruhi kekuatan aktivitasnya dalam penghambatan infeksi virus. Bila dalam ekstrak tanaman obat yang diteliti mengandung senyawa yang dapat menghambat neuroamidase dan hemaglutinin yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel inang atau mempengaruhi kanal ion (protein M2), maka ekstrak tanaman obat tersebut dapat menghambat infeksi virus flu burung (Menno et al. 2005). 4.1.3 Deplesi Folikel Limfoid Dalam Febriana 2008, deplesi pada bursa Fabricius adalah suatu keadaan dimana jumlah sel folikel limfoid berkurang yang ditunjukkan dengan kerenggangan sel-sel limfoid dalam tiap folikel. Pengurangan jumlah sel-sel limfoid disebabkan karena kerja bursa Fabricius dalam membentuk antibodi sebagai sistem kekebalan, sehingga terjadi mobilisasi sel limfosit B ke organ yang mengalami peradangan. Hasil pengamatan histopatologi kejadian deplesi pada setiap kelompok perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Persentase rataan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius Perlakuan Persentase Deplesi (%) K1 19.31a K2 52.21a P1 32.45a P2 25.90a *Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10) K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1 P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1 23 Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, hasil menunjukkan bahwa perlakuan K1, K2, P1, dan P2 tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa kelompok perlakuan K1, K2, P1, dan P2 memberikan pengaruh yang sama (pada taraf nyata 10%), sehingga secara statistik dapat dinyatakan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap deplesi limfoid. Namun bila dilihat dari tingkat persentase deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius, kelompok perlakuan K2 memiliki persentase paling tinggi. Keadaan ini dapat dilihat pada gambar 6. 60 Deplesi (%) 50 40 30 20 Deplesi (%) 10 0 K1 K2 P1 P2 Perlakuan Gambar 6 Persentase rataan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius Tingginya tingkat deplesi K2 pada bursa Fabricius disebabkan karena adanya infeksi virus AI H5N1. Akibat adanya infeksi virus AI H5N1, bursa Fabricius akan membentuk antibodi sebagai sistem kekebalan, sehingga terjadi mobilisasi sel limfosit B ke organ yang mengalami peradangan. Hal tersebut menyebabkan deplesi dan pengecilan folikel limfoid bursa Fabricius. Fungsi dari bursa Fabricius adalah sebagai tempat pendewasaan dan diferensiasi sel limfosit B. Kemudian sel limfosit B akan masuk ke dalam sirkulasi dan berperan untuk menerima atau memberi reaksi terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. 24 Menurut Tizard (1987) dalam Bunawan (2003) semakin sering organ ini membentuk antibodi, maka akan menyebabkan deplesi dan pengecilan folikel limfoid sehingga persentase berat bursa Fabricius menurun. Deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius dapat menjadi faktor yang menunjukkan perubahan dan tingkat kerusakan dari organ ini. Tabbu (2000) menyatakan bahwa tingkat keparahan deplesi dipengaruhi oleh jumlah sel yang mengalami nekrotik. Umumnya deplesi folikel bursa terjadi karena nekrosis sel-sel limfosit B akibat kejadian imunosupresif. Kelompok perlakuan P2 yaitu kelompok yang diberi ekstrak sambiloto yang kemudian diinfeksi virus AI H5N1 menunjukkan tingkat kejadian deplesi yang rendah. Hal ini disebabkan karena pemberian ekstrak sambiloto yang mampu menahan peradangan akibat infeksi virus AI H5N1. Salah satu fungsi sambiloto adalah sebagai sediaan antiviral. Menurut Jassim dan Naji (2003), salah satu mekanisme kerja antiviral adalah menghambat terjadinya perlekatan ke permukaan sel. Telah diketahui bahwa setiap jenis virus memiliki molekul-molekul permukaan yang bervariasi, yang menentukan kemampuannya untuk berlekatan (attachment) dengan reseptor pada sel. Taha (2009) menyatakan bahwa mekanisme kerja dengan menghambat terjadinya attachment merupakan mekanisme yang paling mungkin terjadi dalam penelitian ini. Akibat penghambatan terjadinya attachment virus AI H5N1 terhadap sel target, menyebabkan peradangan akibat infeksi virus tidak terjadi dan penurunan jumlah limfosit B, sehingga mobilisasi limfosit B oleh bursa Fabricius tidak terjadi dan menurunkan terjadinya deplesi folikel limfoid. Hal ini dibuktikan dalam Damayanti (2007) yang mengatakan bahwa perlakuan menggunakan ekstrak sambiloto menunjukkan penurunan jumlah limfosit. Ini berkaitan dengan hasil peningkatan heterofil sebagai lini pertahanan pertama sehingga meminimalkan kejadian infeksi. Menurut Tizard (1988) kejadian ini akan menurunkan produksi limfosit di limpa, kelenjar limfe, timus, sumsum tulang belakang, tonsil dan bursa Fabricius yang bekerja pada sistem pertahanan kerja spesifik. 25 4.2 Evaluasi Histopatologi Limpa Tizzard (1988) dan Guyton (1998) mengelompokkan limpa sebagai salah satu organ limfoid sekunder. Jaringan limfoid limpa berperan penting dalam menahan agen yang berhasil mencapai sirkulasi darah untuk menahan invasi organisme atau toksin sebelum menyebar lebih luas. Kehadiran suatu patogen dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya lesio perubahan patologi pada organ tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum lesio histopatologi yang terjadi pada kelompok perlakuan adalah kongesti, deplesi, dan hemoragi. Persentase rataan skoring lesio histopatologi limpa dalam penelitian ini disajikan dalam tabel 5. Tabel 5 Rataan skor histopatologi organ limpa dengan perbesaran objektif 10x Perlakuan Rataan Skor K1 0.25b K2 2.10d P1 0.20a P2 0.70c *Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.05) K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1 P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1 P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1 Rataan skoring tertinggi terhadap lesio histopatologi limpa adalah kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang diinfeksi virus AI H5N1 tanpa diberi ekstrak sambiloto. Kelompok perlakuan K2 berbeda nyata terhadap kelompok P2, yang dibuktikan dengan tingkat lesio histopatologi yang lebih ringan dibandingkan dengan K2. Lesio yang ditemukan pada kelompok perlakuan K2 adalah kongesti, hemoragi dan deplesi dalam jumlah banyak. Pada kelompok perlakuan P2, lesio yang ditemukan adalah kongesti dan deplesi dalam jumlah sedikit. Perbedaan lesio yang terjadi pada setiap ulangan dalam satu kelompok perlakuan disebabkan karena kondisi setiap spesies yang berbeda-beda, sehingga setiap spesies memiliki respon yang berbeda pula. 26 Kongesti yang ditemukan di limpa ada dua, yaitu kongesti pada vena dan pada pulpa merah. Kongesti pada vena secara mikroskopis dalam penelitian ini terlihat adanya akumulasi darah di dalam vena (Gambar 7), sedangkan kongesti pada pulpa merah terlihat warna pulpa merah menjadi lebih pekat dan tebal hampir di seluruh bagian limpa (Gambar 8). Kongesti adalah keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Secara mikroskopis kapiler-kapiler dalam jaringan melebar dan penuh darah. Pada dasarnya terdapat dua mekanisme dimana kongesti dapat timbul yaitu kenaikan jumlah darah yang mengalir daerah,atau penurunan jumlah darah yang mengalir di daerah (Price & Wilson 1995). Menurut Lestari (2006) lesio pada limpa berupa kongesti pada pulpa merah kemungkinan terjadi akibat hipertensi vena di daerah limpa oleh sirosis hepatis atau obstruksi vena porta. Lesio lain yang ditemukan adalah hemoragi dan deplesi. Hemoragi adalah keluarnya darah dari vaskula (ekstravasasi) ke luar tubuh, ke dalam rongga tubuh atau ke jaringan sekitarnya. Hemoragi dalam penelitian ini terlihat adanya akumulasi darah di daerah pulpa merah yang menyebar hingga ke pulpa putih, sehingga di dalam pulpa putih ditemukan adanya sel darah merah (Gambar 9). Lesio hemoragi ditemukan pada kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang diinfeksi virus AI H5N1 tanpa pemberian ekstrak sambiloto. Terbentuknya lesio ini disebabkan oleh virus AI yang bereplikasi di endotel pembuluh darah, sehingga mengakibatkan rusaknya struktur vaskula atau sel-sel endotel pembuluh darah. Menurut Radji 2006, salah satu tahap patogenesis infeksi virus AI yaitu virus mengalami replikasi di dalam sel endotel dan menyebar melalui sistem peredaran darah. Hal ini menyebabkan sel-sel endotel menjadi merenggang atau dinding vaskula menjadi robek, sehingga darah dapat keluar melalui per reksis atau per diapedesis. Deplesi pulpa putih paling banyak ditemukan pada ayam kelompok perlakuan K2. Limpa dalam keadaan normal secara mikroskpis terlihat adanya batas antara pulpa putih dengan pulpa merah. Hartono (1995) menyatakan bahwa pulpa putih merupakan jaringan limfoid pekat yang dikelilingi oleh selubung (periarterial sheat), berbentuk lingkaran atau lonjong dengan interval tertentu yang disebut dengan Limphonodus Corpusculus Malphigi. Lesio deplesi pulpa 27 putih dalam penelitian ini terlihat batas antara pulpa putih dengan pulpa merah sudah tidak terlihat lagi, dan pulpa putih menyebar dan tidak berbentuk lagi (Gambar 10). Hal ini dibuktikan oleh Budiantono (2005) yang mengatakan bahwa lesi histopatologi limpa yang terinfeksi virus HPAI adalah deplesi folikel sampai nekrosis, dimana di daerah sel-sel limfosit B banyak ditemukan sel-sel nekrosis. Perlakuan pada kelompok P2 menunjukkan bahwa lesio histopatologi limpa lebih ringan dari kelompok K2. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pemberian ekstrak sambiloto dalam perlakuan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa sambiloto adalah salah satu sediaan antiviral yang memiliki mekanisme kerja dalam menghambat terjadinya infeksi virus AI H5N1. Dengan hadirnya sambiloto sebagai antiviral, virus yang akan menginfeksi sel inang dapat dihambat dengan beberapa mekanisme. Menurut Jassim dan Naji (2003), mekanisme kerja antiviral terbagi menjadi tiga yaitu pertama, polifenol mengikat protein selubung protein virus. Kedua, dengan cara berikatan dengan virus dan atau protein dari membran sel inang, sehingga menahan absorbsi virus ke dalam sel. Ketiga, polifenol menginaktifkan virus secara langsung dan atau menghambat virus masuk ke dalam sel. Beberapa penelitian terhadap tanaman obat sambiloto telah dilakukan untuk membuktikan adanya potensi andrographolide sebagai anti viral. Diantaranya adalah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak sambiloto mampu melawan virus HIV. Salah satu cara menghentikan virus mematikan tersebut adalah dari dalam sel tubuh manusia. Dalam sel tubuh itulah virus memanfaatkan sel untuk bereplikasi. Sel tumbuh dan bereproduksi melalui tahaptahap tertentu yang disebut daur sel. Selama proses ini, pesan-pesan kimia dibawa ke berbagai bagian sel sesuai fungsinya. Virus HIV mengganggu si pembawa pesan untuk memproduksi partikel-partikel virus. Zat andrographolid pada sambiloto mampu mencegah transmisi virus ke sel-sel lain, dan menghentikan perkembangan virus. Andrographolid mampu menghambat enzim yang mendorong pemindahan fosfat molekul penyimpan energi sel. Dalam daur sel, fosfat dibuat atau diubah secara kimia sehingga menghasilkan energi. Energi inilah yang digunakan untuk mengatur daur sel dan bereproduksi. Ekstrak sambiloto mengganggu enzim yang mendukung reproduksi virus (Anonim 2010). 28 Taha (20009) dalam penelitianny p ya melalui studi in vitro tentangg potensi ek kstrak tanaman obat o sambiloto sebagaai alternatiff bahan obat flu buruung, mengaatakan bahwa virrus flu buruung tidak daapat diinakttivasi oleh zat-zat aktiif yang ada pada ekstrak sam mbiloto, tettapi dihambbat untuk meenginfeksi sel. s Gam mbar 7 Limppa: kongestii pembuluh darah d ( ), pada p kelompook ayam yang diinfeksi virrus H5N1 (K K2), pewarnaaan HE, perbeesaran 40x10 0. Gaambar 8 Limppa: kongesti pulpa merah h ( ), padaa kelompok aayam yang dibeeri ekstrak sambiloto s daan diinfeksi virus AI H5N1 (P2), pew warnaan HE, perbesaran 20x10. 2 29 Gaambar 9 Limppa: hemoragii ( ), padaa kelompok ayam a yang diiinfeksi virus H5N N1 (K2), pew warnaan HE,, perbesaran 20x10. Gaambar 10 Lim mpa: deplesi pulpa putih ( ), pada kelompok k ayyam yang diinfekssi virus H5N1 (K2),pewaarnaan HE, perbesaaran 10x10.