i iv. hasil l dan p embaha asan

advertisement
17
I HASIL
IV.
L DAN PEMBAHA
ASAN
4.1 Evaluasi Histopaatologi bursa Fabriciu
us
Secara umum
m lesio yangg ditemukan
n pada penggamatan hisstopatologi bursa
Fabricius adalah eddema, fokuss nekrotik folikel lim
mfoid, dan deplesi folikel
fo
limfoid. Tingkat
T
kepparahan lessio tersebutt dapat dikketahui denggan mengh
hitung
persentasee kejadian pada bursaa Fabricius.. Gambar 3 menunjukkkan lesio yang
terjadi padda bursa Fabbricius broiler yang diiinfeksi viruss AI H5N1.
Gambarr 3 Bursa Faabricius: edem
ma (panah merah),
m
fokuss nekrotik (paanah hitam),
deplesi folikel
f
limfooid (panah biiru), pada keelompok ayaam yang diin
nfeksi
virus H5N1 (K2), pew
warnaan HE
E, perbesaran 4x10.
4.1.11 Edema paada Bursa Fabricius
Edema adalah peniimbunan caairan secara berlebihann di antara sel-sel
s
tubuuh atau di dalam beerbagai ron
ngga tubuh.. Timbulnyya edema dapat
disebbabkan oleeh faktor-faaktor lokal mencakup tekanan hidrostatik dalam
d
mikrrosirkulasi dan permeabilitas dinding pem
mbuluh. Keenaikan tek
kanan
hidrostatik cennderung mem
maksa cairran masuk ke
k dalam rruang intersstisial
tubuuh (Price & Wilson 19995). Kejadian edema pada bursa Fabricius setiap
s
keloompok perlaakuan dalam
m penelitian
n ini dapat dilihat
d
pada ttabel 2.
18
Tabel 2 Persentase rataan edema pada bursa Fabricius
Perlakuan
Persentase Edema (%)
K1
20.00b
K2
100.00a
P1
50.00b
P2
20.00b
*Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10)
K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1
K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1
P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1
P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1
Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, hasil menunjukkan
bahwa perlakuan terhadap K1, P1 dan P2 tidak berbeda nyata dan ketiganya
berbeda nyata terhadap kelompok perlakuan K2. Hal ini berarti bahwa
perlakuan terhadap kelompok K1, P1 dan P2 memberikan pengaruh yang
sama (pada taraf nyata 10%), sedangkan perlakuan terhadap K2
memberikan pengaruh yang berbeda. Secara statistik dapat dinyatakan
perlakuan berpengaruh nyata terhadap terjadinya edema pada bursa
Fabricius. Persentase terjadinya edema paling tinggi diantara keempat
perlakuan tersebut adalah K2, sedangkan persentase edema paling rendah
adalah kelompok perlakuan K1 dan P2. Keadaan ini dapat dilihat pada
gambar 4.
120
Edema (%)
100
80
60
40
Edema (%)
20
0
K1
K2
P1
P2
Perlakuan
Gambar 4 Persentase rataan edema pada bursa Fabricius
19
Terjadinya edema dengan persentase tinggi pada kelompok
perlakuan K2 disebabkan oleh adanya infeksi virus AI H5N1 yang
menyebabkan terjadinya peradangan pada beberapa organ. Reaksi
peradangan yang terjadi pada infeksi virus AI H5N1 adalah bentuk akut.
Menurut Price dan Wilson (1995), edema adalah bagian yang menyolok dari
reaksi peradangan akut. Peristiwa penting pada peradangan akut adalah
perubahan permeabilitas pembuluh-pembuluh yang sangat kecil yang
mengakibatkan kebocoran protein. Hal ini kemudian diikuti oleh pergesaran
keseimbangan osmotik, dan air keluar bersama protein, sehingga
menimbulkan pembengkakan jaringan.
Kelompok perlakuan P2 yang diberi ekstrak sambiloto sebelum
diinfeksi virus AI H5N1 menunjukkan persentase rendah terhadap
terjadinya edema. Hal ini disebabkan karena sambiloto memiliki zat aktif
berupa andrographolide sebagai zat anti inflamasi yang bekerja dengan cara
menstimulasi
kelenjar
adrenal
dalam
menghasilkan
hormon
glukokortikosteroid. Cunningham (1994) menyatakan bahwa hormon
glukokortikosteroid mempunyai peranan yang penting dalam proses respon
peradangan (inflamasi), migrasi leukosit, deposit fibrin, dan pembentukan
jaringan ikat. Glukokortikosteroid menghambat peradangan dengan cara
menghambat pembentukan media peradangan seperti prostaglandin,
thromboxanes dan leukotrienes yang mempengaruhi metabolisme asam
arachidonat induk semang.
4.1.2 Fokus Nekrotik Folikel Limfoid pada Bursa Fabricius
Menurut Sudiana (2008), nekrosis adalah kematian sel karena
adanya kerusakan sistem membran. Kerusakan membran ini disebabkan
adanya aktivitas suatu enzim lisozim. Aktivitas enzim lisozim dapat terjadi
karena adanya kerusakan sistem membran, oleh suatu faktor tertentu yang
menyebabkan membran pembungkus enzim lisozim tersebut mengalami
kebocoran. Adanya kebocoran ini mengakibatkan enzim lisozim tumpah ke
sitosol dan akhirnya mencerna protein-protein, baik yang berada pada
sitosol maupun protein-protein penyusun sistem membran dari sel tersebut.
20
Kejadian fokus nekrotik pada bursa Fabricius setiap kelompok perlakuan
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3 Persentase rataan fokus nekrotik pada bursa Fabricius
Perlakuan
Persentase Fokus Nekrotik (%)
K1
0.0000b
K2
2.0200a
P1
0.0000b
P2
0.0000b
*Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10)
K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1
K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1
P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1
P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1
Fokus nekrotik folikel limfoid bursa Fabricius hanya terjadi pada
perlakuan kelompok K2 dengan persentase kejadian 2,02%. Sedangkan pada
kelompok perlakuan K1, P1, dan P2 fokus nekrotik tidak terjadi atau 0%.
Secara statistik dapat dibuktikan bahwa kelompok perlakuan K1, P1, dan P2
berbeda nyata terhadap kelompok K2, dan dapat dinyatakan perlakuan
berpengaruh nyata terhadap fokus nekrotik. Tingginya persentase kejadian
fokus nekrotik pada folikel limfoid bursa Fabricius disebabkan oleh infeksi
virus AI H5N1, yang dapat dilihat pada gambar 5
Fokus Nekrotik (%)
2.5
2
1.5
1
Fokus Nekrotik (%)
0.5
0
K1
K2
P1
P2
Perlakuan
Gambar 5 Persentase rataan fokus nekrotik folikel limfoid pada bursa Fabricius
21
Kehadiran antigen virus AI H5N1 dalam penelitian ini menyebabkan
terjadinya fokus nekrotik pada folikel limfoid bursa Fabricius. Hal ini
terbukti dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa fokus nekrotik
ditemukan pada kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang ditantang virus AI
H5N1 tanpa diberi ekstrak sambiloto sebelumnya. Dalam keadaan nekrotik,
sitoplasma dari sel yang mengalami nekrosis akan terlihat lebih asidofilik
(merah). Perubahan warna ini disebabkan oleh denaturasi protein sitoplasma
dan kerusakan ribosom. Dalam kondisi normal, ribosom bertanggung jawab
terhadap warna basofil dari sel sitoplasma. Khromatin inti akan
menggumpal, inti mengecil dan berwarna biru, proses ini dinamakan
piknosis.
Inti
piknosis
dapat
pecah
menjadi
bagian-bagian
kecil
(karyoreksis) atau menghilang (karyolisis).
Hasil pengamatan pada kelompok perlakuan P2 (ayam diinfeksi
virus AI H5N1 yang sebelumnya telah diberi ekstrak sambiloto)
menunjukkan bahwa tidak ditemukan terjadinya fokus nekrotik pada folikel
limfoid bursa Fabricius. Hal ini disebabkan karena pengaruh pemberian
ekstrak sambiloto yang memiliki kemampuan dalam mencegah terjadinya
nekrotik. Kematian sel pada fokus nekrotik disebabkan oleh kerusakan sel
dimana kebanyakan mekanisme kerusakan sel adalah melalui jalur langsung
radikal bebas. Menurut Arief (2010), ion radikal bebas mengaktifkan
oksigen menjadi superoksida, hidrogen peroksida, dan hidroksil. Molekul
radikal bebas memiliki ion tunggal yang tidak berpasangan pada orbit
terluarnya, bersifat tidak stabil dan dapat menyebabkan molekul di dekatnya
berubah menjadi radikal bebas juga, sehingga menyebabkan kerusakan yang
ditimbulkan bersifat meluas. Molekul radikal bebas menyebabkan
kerusakan sel dengan cara peroksidasi lipid membran, merusak asam
deoksiribonukleat (DNA), dan merusak protein (enzim seluler).
Molekul radikal bebas biasa ditemukan pada kerusakan salah
satunya akibat peradangan. Tubuh mempunyai beberapa mekanisme dalam
mengontrol dan memanfaatkan radikal bebas. Molekul radikal bebas dapat
dinetralkan oleh anti oksidan. Senyawa lain yang terkandung dalam tanaman
obat sambiloto adalah derivat fenol (flavonoid) yang memiliki aktivitas
22
antioksidan maupun immunomodulator sehingga mampu meningkatkan
ketahanan sel terhadap infeksi virus flu burung. Kadar senyawa tersebut
dalam ekstrak tanaman obat mempengaruhi kekuatan aktivitasnya dalam
penghambatan infeksi virus. Bila dalam ekstrak tanaman obat yang diteliti
mengandung senyawa yang dapat menghambat neuroamidase dan
hemaglutinin yang berikatan dengan reseptor pada permukaan sel inang atau
mempengaruhi kanal ion (protein M2), maka ekstrak tanaman obat tersebut
dapat menghambat infeksi virus flu burung (Menno et al. 2005).
4.1.3 Deplesi Folikel Limfoid
Dalam Febriana 2008, deplesi pada bursa Fabricius adalah suatu
keadaan dimana jumlah sel folikel limfoid berkurang yang ditunjukkan
dengan kerenggangan sel-sel limfoid dalam tiap folikel. Pengurangan
jumlah sel-sel limfoid disebabkan karena kerja bursa Fabricius dalam
membentuk antibodi sebagai sistem kekebalan, sehingga terjadi mobilisasi
sel limfosit B ke organ yang mengalami peradangan. Hasil pengamatan
histopatologi kejadian deplesi pada setiap kelompok perlakuan dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Persentase rataan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius
Perlakuan
Persentase Deplesi (%)
K1
19.31a
K2
52.21a
P1
32.45a
P2
25.90a
*Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.10)
K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1
K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1
P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1
P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1
23
Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan, hasil menunjukkan
bahwa perlakuan K1, K2, P1, dan P2 tidak berbeda nyata. Hal ini berarti
bahwa kelompok perlakuan K1, K2, P1, dan P2 memberikan pengaruh yang
sama (pada taraf nyata 10%), sehingga secara statistik dapat dinyatakan
perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap deplesi limfoid. Namun bila
dilihat dari tingkat persentase deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius,
kelompok perlakuan K2 memiliki persentase paling tinggi. Keadaan ini
dapat dilihat pada gambar 6.
60
Deplesi (%)
50
40
30
20
Deplesi (%)
10
0
K1
K2
P1
P2
Perlakuan
Gambar 6 Persentase rataan deplesi folikel limfoid pada bursa Fabricius
Tingginya tingkat deplesi K2 pada bursa Fabricius disebabkan
karena adanya infeksi virus AI H5N1. Akibat adanya infeksi virus AI
H5N1, bursa Fabricius akan membentuk antibodi sebagai sistem kekebalan,
sehingga terjadi mobilisasi sel limfosit B ke organ yang mengalami
peradangan. Hal tersebut menyebabkan deplesi dan pengecilan folikel
limfoid bursa Fabricius. Fungsi dari bursa Fabricius adalah sebagai tempat
pendewasaan dan diferensiasi sel limfosit B. Kemudian sel limfosit B akan
masuk ke dalam sirkulasi dan berperan untuk menerima atau memberi reaksi
terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
24
Menurut Tizard (1987) dalam Bunawan (2003) semakin sering organ
ini membentuk antibodi, maka akan menyebabkan deplesi dan pengecilan
folikel limfoid sehingga persentase berat bursa Fabricius menurun. Deplesi
folikel limfoid pada bursa Fabricius dapat menjadi faktor yang
menunjukkan perubahan dan tingkat kerusakan dari organ ini. Tabbu (2000)
menyatakan bahwa tingkat keparahan deplesi dipengaruhi oleh jumlah sel
yang mengalami nekrotik. Umumnya deplesi folikel bursa terjadi karena
nekrosis sel-sel limfosit B akibat kejadian imunosupresif.
Kelompok perlakuan P2 yaitu kelompok yang diberi ekstrak
sambiloto yang kemudian diinfeksi virus AI H5N1 menunjukkan tingkat
kejadian deplesi yang rendah. Hal ini disebabkan karena pemberian ekstrak
sambiloto yang mampu menahan peradangan akibat infeksi virus AI H5N1.
Salah satu fungsi sambiloto adalah sebagai sediaan antiviral. Menurut
Jassim dan Naji (2003), salah satu mekanisme kerja antiviral adalah
menghambat terjadinya perlekatan ke permukaan sel. Telah diketahui bahwa
setiap jenis virus memiliki molekul-molekul permukaan yang bervariasi,
yang menentukan kemampuannya untuk berlekatan (attachment) dengan
reseptor pada sel. Taha (2009) menyatakan bahwa mekanisme kerja dengan
menghambat terjadinya attachment merupakan mekanisme yang paling
mungkin terjadi dalam penelitian ini.
Akibat penghambatan terjadinya attachment virus AI H5N1 terhadap
sel target, menyebabkan peradangan akibat infeksi virus tidak terjadi dan
penurunan jumlah limfosit B, sehingga mobilisasi limfosit B oleh bursa
Fabricius tidak terjadi dan menurunkan terjadinya deplesi folikel limfoid.
Hal ini dibuktikan dalam Damayanti (2007) yang mengatakan bahwa
perlakuan menggunakan ekstrak sambiloto menunjukkan penurunan jumlah
limfosit. Ini berkaitan dengan hasil peningkatan heterofil sebagai lini
pertahanan pertama sehingga meminimalkan kejadian infeksi. Menurut
Tizard (1988) kejadian ini akan menurunkan produksi limfosit di limpa,
kelenjar limfe, timus, sumsum tulang belakang, tonsil dan bursa Fabricius
yang bekerja pada sistem pertahanan kerja spesifik.
25
4.2 Evaluasi Histopatologi Limpa
Tizzard (1988) dan Guyton (1998) mengelompokkan limpa sebagai salah
satu organ limfoid sekunder. Jaringan limfoid limpa berperan penting dalam
menahan agen yang berhasil mencapai sirkulasi darah untuk menahan invasi
organisme atau toksin sebelum menyebar lebih luas. Kehadiran suatu patogen
dalam tubuh dapat menyebabkan terjadinya lesio perubahan patologi pada organ
tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, secara umum lesio histopatologi yang
terjadi pada kelompok perlakuan adalah kongesti, deplesi, dan hemoragi.
Persentase rataan skoring lesio histopatologi limpa dalam penelitian ini disajikan
dalam tabel 5.
Tabel 5 Rataan skor histopatologi organ limpa dengan perbesaran objektif 10x
Perlakuan
Rataan Skor
K1
0.25b
K2
2.10d
P1
0.20a
P2
0.70c
*Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (p<0.05)
K1: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1
K2: Tanpa diberi ekstrak Sambiloto, diinfeksi virus AI H5N1
P1: Diberi ekstrak Sambiloto, tanpa diinfeksi virus AI H5N1
P2: Diberi ekstrak Sambiloto, dan diinfeksi virus AI H5N1
Rataan skoring tertinggi terhadap lesio histopatologi limpa adalah
kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang diinfeksi virus AI H5N1 tanpa diberi
ekstrak sambiloto. Kelompok perlakuan K2 berbeda nyata terhadap kelompok P2,
yang dibuktikan dengan tingkat lesio histopatologi yang lebih ringan
dibandingkan dengan K2. Lesio yang ditemukan pada kelompok perlakuan K2
adalah kongesti, hemoragi dan deplesi dalam jumlah banyak. Pada kelompok
perlakuan P2, lesio yang ditemukan adalah kongesti dan deplesi dalam jumlah
sedikit. Perbedaan lesio yang terjadi pada setiap ulangan dalam satu kelompok
perlakuan disebabkan karena kondisi setiap spesies yang berbeda-beda, sehingga
setiap spesies memiliki respon yang berbeda pula.
26
Kongesti yang ditemukan di limpa ada dua, yaitu kongesti pada vena dan
pada pulpa merah. Kongesti pada vena secara mikroskopis dalam penelitian ini
terlihat adanya akumulasi darah di dalam vena (Gambar 7), sedangkan kongesti
pada pulpa merah terlihat warna pulpa merah menjadi lebih pekat dan tebal
hampir di seluruh bagian limpa (Gambar 8). Kongesti adalah keadaan dimana
terdapat darah secara berlebihan di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu.
Secara mikroskopis kapiler-kapiler dalam jaringan melebar dan penuh darah. Pada
dasarnya terdapat dua mekanisme dimana kongesti dapat timbul yaitu kenaikan
jumlah darah yang mengalir daerah,atau penurunan jumlah darah yang mengalir di
daerah (Price & Wilson 1995). Menurut Lestari (2006) lesio pada limpa berupa
kongesti pada pulpa merah kemungkinan terjadi akibat hipertensi vena di daerah
limpa oleh sirosis hepatis atau obstruksi vena porta.
Lesio lain yang ditemukan adalah hemoragi dan deplesi. Hemoragi adalah
keluarnya darah dari vaskula (ekstravasasi) ke luar tubuh, ke dalam rongga tubuh
atau ke jaringan sekitarnya. Hemoragi dalam penelitian ini terlihat adanya
akumulasi darah di daerah pulpa merah yang menyebar hingga ke pulpa putih,
sehingga di dalam pulpa putih ditemukan adanya sel darah merah (Gambar 9).
Lesio hemoragi ditemukan pada kelompok perlakuan K2 yaitu ayam yang
diinfeksi virus AI H5N1 tanpa pemberian ekstrak sambiloto. Terbentuknya lesio
ini disebabkan oleh virus AI yang bereplikasi di endotel pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan rusaknya struktur vaskula atau sel-sel endotel pembuluh
darah. Menurut Radji 2006, salah satu tahap patogenesis infeksi virus AI yaitu
virus mengalami replikasi di dalam sel endotel dan menyebar melalui sistem
peredaran darah. Hal ini menyebabkan sel-sel endotel menjadi merenggang atau
dinding vaskula menjadi robek, sehingga darah dapat keluar melalui per reksis
atau per diapedesis.
Deplesi pulpa putih paling banyak ditemukan pada ayam kelompok
perlakuan K2. Limpa dalam keadaan normal secara mikroskpis terlihat adanya
batas antara pulpa putih dengan pulpa merah. Hartono (1995) menyatakan bahwa
pulpa putih merupakan jaringan limfoid pekat yang dikelilingi oleh selubung
(periarterial sheat), berbentuk lingkaran atau lonjong dengan interval tertentu
yang disebut dengan Limphonodus Corpusculus Malphigi. Lesio deplesi pulpa
27
putih dalam penelitian ini terlihat batas antara pulpa putih dengan pulpa merah
sudah tidak terlihat lagi, dan pulpa putih menyebar dan tidak berbentuk lagi
(Gambar 10). Hal ini dibuktikan oleh Budiantono (2005) yang mengatakan bahwa
lesi histopatologi limpa yang terinfeksi virus HPAI adalah deplesi folikel sampai
nekrosis, dimana di daerah sel-sel limfosit B banyak ditemukan sel-sel nekrosis.
Perlakuan pada kelompok P2 menunjukkan bahwa lesio histopatologi
limpa lebih ringan dari kelompok K2. Hal ini disebabkan oleh pengaruh
pemberian ekstrak sambiloto dalam perlakuan. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa sambiloto adalah salah satu sediaan antiviral yang memiliki
mekanisme kerja dalam menghambat terjadinya infeksi virus AI H5N1. Dengan
hadirnya sambiloto sebagai antiviral, virus yang akan menginfeksi sel inang dapat
dihambat dengan beberapa mekanisme. Menurut Jassim dan Naji (2003),
mekanisme kerja antiviral terbagi menjadi tiga yaitu pertama, polifenol mengikat
protein selubung protein virus. Kedua, dengan cara berikatan dengan virus dan
atau protein dari membran sel inang, sehingga menahan absorbsi virus ke dalam
sel. Ketiga, polifenol menginaktifkan virus secara langsung dan atau menghambat
virus masuk ke dalam sel.
Beberapa penelitian terhadap tanaman obat sambiloto telah dilakukan
untuk membuktikan adanya potensi andrographolide sebagai anti viral.
Diantaranya adalah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak sambiloto
mampu melawan virus HIV. Salah satu cara menghentikan virus mematikan
tersebut adalah dari dalam sel tubuh manusia. Dalam sel tubuh itulah virus
memanfaatkan sel untuk bereplikasi. Sel tumbuh dan bereproduksi melalui tahaptahap tertentu yang disebut daur sel. Selama proses ini, pesan-pesan kimia dibawa
ke berbagai bagian sel sesuai fungsinya. Virus HIV mengganggu si pembawa
pesan untuk memproduksi partikel-partikel virus. Zat andrographolid pada
sambiloto mampu mencegah transmisi virus ke sel-sel lain, dan menghentikan
perkembangan
virus.
Andrographolid mampu
menghambat
enzim yang
mendorong pemindahan fosfat molekul penyimpan energi sel. Dalam daur sel,
fosfat dibuat atau diubah secara kimia sehingga menghasilkan energi. Energi
inilah yang digunakan untuk mengatur daur sel dan bereproduksi. Ekstrak
sambiloto mengganggu enzim yang mendukung reproduksi virus (Anonim 2010).
28
Taha (20009) dalam penelitianny
p
ya melalui studi in vitro tentangg potensi ek
kstrak
tanaman obat
o
sambiloto sebagaai alternatiff bahan obat flu buruung, mengaatakan
bahwa virrus flu buruung tidak daapat diinakttivasi oleh zat-zat aktiif yang ada pada
ekstrak sam
mbiloto, tettapi dihambbat untuk meenginfeksi sel.
s
Gam
mbar 7 Limppa: kongestii pembuluh darah
d
(
), pada
p
kelompook ayam
yang diinfeksi virrus H5N1 (K
K2), pewarnaaan HE, perbeesaran 40x10
0.
Gaambar 8 Limppa: kongesti pulpa merah
h ( ), padaa kelompok aayam yang
dibeeri ekstrak sambiloto
s
daan diinfeksi virus AI H5N1 (P2),
pew
warnaan HE, perbesaran 20x10.
2
29
Gaambar 9 Limppa: hemoragii ( ), padaa kelompok ayam
a
yang diiinfeksi
virus H5N
N1 (K2), pew
warnaan HE,, perbesaran 20x10.
Gaambar 10 Lim
mpa: deplesi pulpa putih ( ), pada kelompok
k
ayyam yang
diinfekssi virus H5N1 (K2),pewaarnaan HE,
perbesaaran 10x10.
Download