perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Rumah Sakit juga merupakan salah
satu sarana kesehatan, dan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi utama
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan
bagi
pasien.
Upaya
kesehatan
tersebut
dilakukan
dengan
pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang
dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep inilah
yang menjadi pedoman dan pegangan tiap fasilitas kesehatan khususnya rumah
sakit ( Depkes, 2009).
2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi farmasi adalah bagian dari rumah sakit yang bertugas
menyelenggarakan, mengkoordinasi, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan
pelayanan faarmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah
sakit (Depkes, 2009). Instalasi farmasi rumah sakit bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan
paripurna,
mencakup
perencanaan, pengadaan,
commit to user
1
produksi,
penyimpanan
2
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembekalan kesehatan atau sediaan farmasi, dispensing obat berdasarkan resep
bagi pasien rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu dan pengendalian
distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit, pelayanan
farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup layanan langsung pada pasien dan
pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan
(Siregar dan Amalia, 2003).
3. Pengelolaan Obat Tahap Penggunanan
Pengelolaan obat di rumah sakit harus mendapatkan perhatian khusus dari
manajemen rumah sakit karena bila terjadi inefisiensi dalam pengelolaan obat
akan berdampak negatif tehadap citra buruk rumah sakit. Tujuan pengelolaan obat
yang baik di rumah sakit adalah ketersediaan obat setiap saat apabila diperlukan,
dalam jumlah yang cukup dengan mutu yang baik dan harga yang terjangkau
untuk mendukung pelayanan bermutu (Gunawan, 2007).
4. Penggunaan Obat Rasional
Penggunaan obat secara rasional adalah penggunaan obat yang tepat,
efektif, aman, dan juga ekonomis (Depkes, 2000). Pengobatan secara rasional
meliputi peresepan dengan tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, tepat interval
waktu pemberiannya, dan tepat lama pemberiannya (Priyadi dan Destiani, 2013).
Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika resiko yang mungkin terjadi tidak
imbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat
(Depkes, 2000).
Menurut Depkes (2000) penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional jika :
a. Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru
commit to user
2
3
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pemilihan obat tidak tepat, artinya obat yang dipilih bukan obat yag
terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling
ekonomis.
c. Cara penggunaan tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian,
frekuensi pemberian, dan lama pemberian.
d. Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada
keadaan-keadaan yang tidak memungkinkan penggunaan suatu obat atau
mengharuskan penyesuaian dosis, atau keadaan yang meningkatkan resiko
efek samping obat.
e. Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada
pasien atau keluarganya.
f. Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang tidak
diinginkan,
tidak
diperkirakan
sebelumnya
dan
tidak
dilakukan
pemantauan secara langsung atau tidak langsung.
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari
berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi, pola penggunaan obat yang
tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya
meningkatkan efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan,
meningkatnya resistensi antimikroba, dan sebagainya (Depkes, 2000).
5. Indikator Penggunaan Obat WHO 1993
Indikator adalah variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
keadaan dan memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran terhadap perubahanperubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Indikator tidak selalu menjelaskan
commit to user
3
4
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keadaan secara keseluruhan tetapi hanya memberikan petunjuk (indikasi) tentang
keadaan keseluruhan tersebut sebagai suatu pendugaan (proxy) (Depkes, 2003).
Suatu indikator memiliki persyaratan sebagai berikut (Depkes, 2003):
a. Sederhana, yaitu sederhana dalam pengumpulan data maupun dalam rumus
perhitungan untuk mendapatkannya.
b. Dapat diukur, yaitu indikator yang ditetapkan harus mempresentasikan
informasinya dan jelas ukurannya
c. Bermanfaat, yaitu bermanfaat dalam pengambilan keputusan
d. Dapat dipercaya, yaitu indikator yang ditetapkan harus dapat didukung oleh
pengumpulan data yang baik, benar dan teliti
e. Tepat waktu, yaitu dapat didukung oleh pengumpulan dan pengolahan data
serta pengemasan informasi yang waktunya sesuai dengan saat pengambilan
keputusan dilakukan
Pada tahun 1993, WHO mengeluarkan panduan indikator utama untuk
penilaian kerasionalan penggunaan obat. Indikator tersebut digunakan sebagai lini
pertama dalam penilaian penggunaan obat. Indikator tersebut terutama digunakan
di negara-negara berkembang. Indikator peresepan digunakan untuk melihat pola
penggunaan obat dan dapat menggambarkan secara langsung tentang penggunaan
obat yang tidak sesuai (WHO, 1993). Tujuan khusus indikator penggunaan obat
WHO 1993 adalah :
a.
Mendapatkan gambaran keadaan saat tertentu atas pola penggunaan obat
pada fasilitas pelayanan kesehatan/dokter.
commit to user
4
5
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Membandingkan pola penggunaan obat pada fasilitas pelayanan
kesehatan/dokter satu dengan yang lain
c.
Penelitian berkala atas penggunaan obat spesifik
d.
Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat
Indikator penggunaan obat yang dikembangkan WHO digunakan sebagai
standar penggunaan obat pada pusat-pusat pelayanan kesehatan terdiri dari
indikator inti dan indikator komplementer. Indikator inti WHO 1993 dapat dilihat
pada tabel 1 (WHO, 1993) :
Tabel 1. Indikator inti (WHO, 1993) :
Indikator
Peresepan
Pelayanan
Fasilitas
Parameter Penilaian
Rata-rata jumlah item obat per lembar
resep
Persentase peresepan obat dengan
nama generik
Persentase peresepan antibiotik
Persentase peresepan sediaan injeksi
Persentase peresepan obat sesuai
dengan formularium rumah sakit
Rata-rata waktu untuk berkonsultasi
dengan dokter
Rata-rata waktu dispensing obat
Persentase obat yang diserahkan pada
pasien
Persentase obat yang telah dilabel
dengan benar
Persentase pasien yang paham akan
cara penggunaan obat yang benar
Ketersediaan formularium
Persentase ketersediaan obat-obat
kunci (drug of choice)
commit to user
5
Nilai
1,8-2,2
≥ 82%
≤ 22,70%
Seminimal mungkin
100%
2,3-6,3 menit
12,5-86,1 detik
100%
100%
100%
ada
100%
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6. Rata-Rata Jumlah Item Obat Per Lembar Resep
Indikator rata-rata jumlah item obat yang digunakan per lembar resep
digunakan untuk mengetahui terjadinya polifarmasi atau tidak. Resiko polifarmasi
yang berat adalah timbulnya efek samping dan terjadinya interaksi obat yang akan
meningkatkan secara konsisten dengan semakin banyaknya jumlah obat yang
diberikan kepada pasien. Polifarmasi adalah pengguanaan dua atau lebih obat
untuk satu diagnosis, atau penggunaan dua atau lebih obat dari kelas terapi yang
sama (Kingsbury et al, 2001). Menurut rekomendasi terbaik WHO rata-rata
jumlah item obat perlembar resep antara 1,8-2,2 (WHO, 1993).
Menurut Mansjoer dkk. (1999) merupakan pengobatan setiap gejala
terpisah sedangkan pengobatan terhadap penyakit primernya dapat mengatasi
semua gejala, sedangkan menurut Bushardt et al. (2008) menyebutkan cakupan
penggunaan obat yang mengarah pada tendensi polifarmasi yaitu ketika obat yang
diresepkan tidak sesuai diagnosis, banyak obat, duplikasi obat, interaksi obat, dua
atau lebih obat dari kelas terapi yang sama, dua obat untuk indikasi yang sama,
dan lebih dari lebih dari lima obat. Polifarmasi terjadi terutama jika pasien
menggunakan obat semakin banyak sehingga meningkatkan resiko interaksi obat
(Walker dan Edward, 2003).
7. Obat Generik
Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non
Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku
standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Depkes, 2010). Obat
yang beredar di pasaran umumnya berdasarkan atas nama dagang yang dipakai
commit to user
6
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oleh masing-masing produsennya. Karena tiap produsen jelas akan melakukan
promosi untuk masing-masing produknya, maka harga obat dengan nama dagang
umumnya lebih mahal. Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan untuk
mengendalikan harga obat dengan nama dagang yang umumnya lebih mahal.
Agar para dokter dan masyarakat dapat menerima dan menggunakan obat generik,
diperlukan langkah-langkah penegendalian mutu secara ketat (Depkes, 2000).
Menurut Depkes (2000) agar upaya pemanfaatan obat generik dapat
mencapai tujuan yang diinginkan maka dibuatlah kebijakan yang mencakup
komponen-komponen berikut :
a.
Produksi obat generik dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
b.
Pengendalian mutu obat generik secara ketat
c.
Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan
d.
Peresepan berdasarkan nama generik, bukan nama dagang
e.
Pergantian (subsitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unitunit pelayanan kesehatan
f.
Informasi dan komunikasi menegenai obat generik bagi dokter dan
masyarakat luas secara berkesinambungan
g.
Pemantauan dan evaluasi penggunaan obat generik
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK. 02 02/Menkes/068/1/2010
mewajibkan dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis yang
bertugas di fasilitas kesehatan pemerintah menulis resep obat generik yang baik.
Menurut indikator peresepan WHO 1993, persentase pemakaian obat dengan
nama generik di unit pelayanan kesehatan adalah sebesar ≥82% (WHO, 1993).
commit to user
7
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kebijakan obat generik sering mendapat hambatan dari para dokter oleh
karena keraguan akan mutu produk. Untuk itu hasil dari pemeriksaan mutu dan
informasi-informasi mengenai obat generik ini harus selalu dikomunikasikan
kepada pemberi pelayanan maupun masyarakat. Namun, tidak akan membawa
manfaat untuk mengharuskan dokter menulis resep generik, jika kenyataan suplai
yang tersedia atau pemberian ke pasien masih dengan nama dagang. Dengan kata
lain, pelaksanaan program generik harus didukung oleh semua pihak yang terkait
(Depkes, 2000).
8. Antibiotik
Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Tjay dan Rahardja, 2007).
Diantara obat yang paling banyak digunakan secara tidak rasional ialah
antibiotika, yaitu penggunaan secara berlebihan, seperti penggunaan untuk
indikasi yang tidak jelas, penggunaan dalam dosis yang kurang, cara pemberian,
waktu dan lama pemberian antibiotika yang tidak memadai. Penggunaan
antibiotik yang tidak rasional dapat memberikan berbagai dampak negatif, antara
lain timbulnya efek samping atau toksisitas yang tidak perlu, mempercepat
terjadinya resisitensi, terjadinya resiko kegagalan terapi, bertambah beratnya
penyakit pasien dan bertambah lamanya pasien menderita serta meningkatkan
biaya pengobatan. Oleh karena itu WHO telah memprakarsai penggunaan obat
yang rasional (Anonim, 2009).
commit to user
8
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kombinasi penggunaan antibiotik dimaksudkan untuk meningkatkan
aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (sinergis), memperlambat dan
mengurangi resiko timbulnya resistensi (Depkes, 2011a). Karena itu, jika dokter
memberikan obat antibiotika, petunjuk pemakaiannya harus diperhatikan dan
harus diminum sampai habis. Pemakaian antibiotika tidak boleh sembarangan,
baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Hal itu menyebabkan antibiotika
tidak boleh dijual bebas melainkan harus dengan resep dokter. Penggunaan
antibiotika menurut indikator peresepan WHO di unit pelayanan kesehatan
sebaiknya ≤22,70% dari seluruh peresepan obat selama waktu tertentu (WHO,
1993).
9.
Sediaan injeksi
Sediaan injeksi didefinisikan secara luas adalah sediaan steril bebas
pirogen yang dimaksudkan untuk diberikan secara parenteral (Ansel, 1989).
Penggunaan
obat
sediaan
injeksi
memiliki
beberapa
kerugian
dalam
penggunaannya, seperti dapat menyebabkan sepsis akibat pemberian langsung ke
sirkulasi darah dan tidak steril, risiko kerusakan jaringan akibat iritasi lokal, harga
yang lebih mahal, serta sulit dalam koreksi dan penanganan jika terjadi kesalahan
pemberian (WHO, 1993). Menurut rekomendasi WHO, peresepan injeksi untuk
pasien rawat jalan seminimal mungkin (WHO, 1993).
commit to user
9
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
10. Profil Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sukoharjo didirikan sekitar tahun
1960 dengan nama DKR (Djawatan Kesehatan Rakyat) yang terdiri dari balai
pengobatan, juru imunisasi, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak) dan juru
malaria. DKR (Djawatan Kesehatan Rakyat) merupakan awal beroperasinya
RSUD Kabupaten Sukoharjo pada 14 Agustus 1960. Maksud didirikannya DKR
adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Sukoharjo dan
sekitarnya karena pada saat itu penyakit menular sedang mewabah. Pada
perkembangannya ternyata banyak masyarakat yang datang berobat ke DKR
tersebut, maka pada tahun 1995 dengan keputusan Menkes No.III/MENKES/1995
menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Sukoharjo.
Sejak tahun 1995 dengan Perda No. 18 tahun 1995 ditetapkan organisasi
dan tata kerja Rumah Sakit Umum Daerah Tingkat II Sukoharjo atau disingkat
RSU Dati II Sukoharjo dan diakui sebagai RS tipe C. Satu tahun setelah itu,
tepatnya 1996 berpredikat RSU Sayang Bayi. Setelah itu mengikuti Standarisasi
Rumah Sakit melalui KARS dan pada tahun 1999 terakreditasi 5 bidang
pelayanan, menyusul kemudian tahun 2003 terakreditasi 12 bidang pelayanan.
Hingga pada akhirnya Lulus Akreditasi Penuh Tingkat Lengkap dengan 16 bidang
pelayanan pada tahun 2008.
Tahun 2003 dengan Perda No. 09 tahun 2003 dari RSU Kabupaten
Sukoharjo menjadi Badan RSUD Sukoharjo. Cakupan Badan RSUD Sukoharjo ±
4 kecamatan yaitu: Kecamatan Sukoharjo, Kecamatan Bendosari, Kecamatan
Mojolaban, Kecamatan Nguter. Pada tahun 2008 berubah namanya menjadi
commit to user
10
11
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
RSUD Kabupaten Sukoharjo sesuai dengan Perda No. 4 tahun 2008. Pada bulan
Juli 2009, RSUD Kabupaten Sukoharjo telah divisitasi dari Depkes RI dengan
predikat layak menjadi RS kelas B Non Pendidikan dan pada akhirnya pada bulan
September 2009 ditetapkan dengan Kep. Menkes.No829/Menkes/SK/IX/2009
menjadi RS B Non Pendidikan. Pada tanggal 27 Agustus 2011 dengan keputusan
Bupati No.900/542/2011 ditetapkan menjadi RS BLUD.
commit to user
11
12
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. KERANGKA PEMIKIRAN
Pengobatan adalah hal penting dalam
mencegah dan mengobati penyakit untuk
memelihara kesehatan. Kualitas dan
efektivitas
pengobatan
dilihat
dari
rasionalitas peresepan obat, meliputi
pemberian obat sesuai dengan kebutuhan
klinik pasien, dosis yang sesuai dan
periode waktu tertentu, serta dengan biaya
serendah mungkin.
Penggunaan obat yang tidak
rasional memberikan dampak
berupa pemborosan anggaran dana,
kemungkinan terjadinya efek
samping yang tidak diharapkan,
timbulnya resistensi obat dan
interaksi obat.
Penilaian terhadap rasionalitas obat dapat dilihat dari
indikator peresepan. Mengacu pada Indikator peresepan
WHO 1993 :
1.
2.
3.
4.
Rata-rata jumlah item obat per lembar resep.
Persentase peresepan obat dengan nama generik.
Persentase peresepan antibiotik.
Persentase peresepan sediaan injeksi.
Tidak Sesuai Indikator
Sesuai Indikator
Tidak Rasional
Rasional
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran
commit to user
12
13
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. KETERANGAN EMPIRIK
Dalam penelitian yang dilakukan Desalegn (2013) mengenai penilaian
penggunaan obat pada pasien dengan menggunakan indikator peresepan di
beberapa Rumah Sakit di Etiopia Selatan memperoleh hasil rata-rata jumlah item
obat per resep 1,9,
persentase peresepan obat dengan nama generik 98,7%,
persentase penggunaan antibiotik 58,1%, persentase peresepan injeksi 38,1 %,
persentase peresepan obat sesuai dengan formularium rumah sakit 98,7%.
commit to user
13
Download