BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial mempunyai peranan
penting sebagai alat untuk melakukan kegiatan-kegiatan kebudayaan, sekaligus
juga merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Bahasa di samping dapat
menentukan jalan pikiran pemakainya atau penuturnya, juga sebagai bahasa
pengantar di masyarakat. Hal ini berarti bahwa bahasa yang dituturkan pada suatu
masyarakat tertentu mencerminkan pola pikir masyarakat penutur bahasa tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan Wijana (2010: 2) bahwa bahasa merupakan salah
satu alat yang paling penting yang dimiliki oleh manusia dalam mengembangkan
kebudayaan atau peradabannya. Sebab, hampir seluruh aktivitas manusia tidak
dapat dilepaskan dari kegiatan menggunakan bahasa. Sementara itu, Fernandes
(2008: 36) menyatakan bahwa bahasa mampu menguak kearifan lokal sebagai
cermin budaya masyarakat secara komunal.
Kearifan lokal merupakan ekspresi yang nyata dari alam pikiran
masyarakat yang akan mengabdikan sesuatu yang dianggap penting serta
memberikan banyak sumbangan terhadap kehidupan masyarakat. Kearifan lokal
tersebar di berbagai wilayah Nusantara, salah satu bentuk kearifan lokal itu dalam
masyarakat Mawasangka, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara
diekspresikan dalam wujud kaBanti manari (menari). Danandjaja (1994: 20)
menyatakan bahwa kearifan lokal diwariskan turun temurun secara lisan maupun
1
2
tertulis yang berfungsi sebagai perantara sosial-budaya masyarakat yang bertujuan
sebagai media pendidikan dan sebagai sarana persuasif masyarakat.
Sebagai salah satu bentuk kesenian rakyat yang diwariskan secara turuntemurun, kaBanti menari tidak diketahui secara pasti kapan lahir dan berkembang
di dalam masyarakat pendukungnya. Menurut Niampe dalam Udu (2009: 19),
kaBanti tersebut tergolong karya yang banyak jumlahnya dan populer di kalangan
pendukungnya. Penyebaran kaBanti menari yang sudah berlangsung lama, yang
meliputi seluruh Barata yang ada di kesultanan Buton, mulai dari Barata Muna
dan Barata Tiworo di barat sampai dengan Barata Kulisusu di utara dan Barata
Kaledupa di timur pulau Buton.
Sehubungan dengan itu, kaBanti manari (menari) yang dalam bahasa
Indonesia disebut nyanyian rakyat adalah salah satu unsur kebudayaan yang
mengandung pesan moral berupa nilai agama, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai
budaya, serta nilai kearifan lainnya. Sebagai salah satu bentuk budaya, kaBanti
menari bertujuan mengkomunikasikan pikiran masyarakat yang tumbuh dan
berkembang dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kaBanti menari tersebut
dapat dikategorikan sebagai bentuk kearifan lokal karena merupakan ungkapan
puisi tradisional sebagai cermin dari kebudayaan kolektif yang mengandung nilainilai tertentu.
Salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Mawasangka kabupaten Buton
Provinsi Sulawesi Tenggara adalah kaBanti manari. KaBanti menari merupakan
salah satu jenis kaBanti yang ditarikan oleh pelaku laki-laki maupun perempuan
sambil menyampaikan puisi lisan berbalas-balasan. Puisi lisan itu dinyanyikan
3
dengan diiringi musik tradisional berupa gendang atau gambus. Senada dengan
itu, Anceaux (1984:51) mendefinisikan kaBanti sebagai puisi, sajak, atau
nyanyian. Karena dimainkan dengan paduan inilah maka kaBanti menari juga
disebut sebagai total teater. Dikatakan sebagai total teater, karena pagelaran itu
mengadung aspek teatrikal, yaitu gerak, lagu atau nyanyian, joget, musik dan
ungkapan dalam bentuk puisi lisan. Dalam kaBanti menari tersebut mengandung
amanat
yang
dapat
disampaikan
berupa
ungkapan
bersenang-senang
antarpasangan yang sudah lanjut usia. Tujuannya adalah untuk menghibur,
memberikan kejenakaan hidup di antara kelompok sosial.
Sebagaimana kebiasaan masyarakat Mawasangka, khususnya desa Lanto
kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, setelah selesai acara pesta
pernikahan, pada malam harinya para kawula muda maupun orang tua akan
mengadakan pagelaran kaBanti menari. Namun, kaBanti menari pada mulanya
dilakukan tidak hanya dalam pernikahan, tetapi pada acara-acara lain, seperti pada
acara panen jagung muda. KaBanti menari tersebut berlangsung secara terus
menerus tanpa henti dengan syair-syair yang sambung menyambung
antara
penyanyi laki-laki dan perempuan. Pada saat itu, para penyanyi tersebut akan
melantunkan syair-syair kaBanti menari. Syair-syair kaBanti itu, penuh dengan
makna dan tidak terlepas dari ungkapan-ungkapan kebahasaan (kiasan) yang
berbentuk metafora.
Selain kaBanti menari, masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton juga
mengenal jenis-jenis kaBanti lainnya, seperti kaBanti kavekalolodo „pengantar
tidur‟, dan kaBantino ganda yang meliputi kaBantino saha „nyanyian untuk tokoh
4
adat‟, kaBantino Yisa „nyanyian pada saat anak dilahirkan‟, kaBantino hukumu
„nyanyian untuk hukum/tokoh adat‟, kaBantino kakalambea „nyanyian untuk
gadis pingitan, kaBantino anai moelu „nyanyian untuk anak yatim piatu‟, dan lain
sebagainya. Namun, dalam penelitian ini hanya difokuskan pada kaBanti menari
masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
Berikut ini salah satu contoh data wacana kaBanti manari (menari)
masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.
L. mataku golayi santa
mataku gula santan
akundo
pahia lau
di belakang paria lau
„Didepanku berkata manis, padahal dibelakangku berkata lain (pahit)‟
P. minei nekundoamu apuji
mongkesa koa
biar dibelakangmu saya puji kebagusanmu
„Biar dibelakangmu saya tetap puji kegantenganmu‟
L. Bangunomo Dua
seperti
juga
wamba lalo
nowohae ae
bicara perasaan siapa yang lihat
„Itu hanya sebatas bahasa, perasaan seseorang siapa yang lihat‟
P. moha tonduno
laloku
moloDo nsoini fimu
lihat tenggelamnya perasaanku tidur
untuk mimpimu
„Dalamnya perasaanku ini ketika kamu tidur akan hadir dalam mimpimu‟
L. no woha komo yinifi foga-fogampiyau
dia lihat kamu mimpi geser-geser saya
„Dalam mimpi saya, kamu selalu geser-geser saya‟
P. atumaBe
mBaDa yitu paemo sohaea
saya hindari badan
itu bukan apa-apa lagi‟
„Saya hindari abang berarti saya tidak punya nilai lagi‟
5
L. mau
biar
amateangko
umondo
ngkalisuau
saya matikan kamu kamu kawin larikan saya
„Biar saya sudah mati-matian, kamu tega larikan juga saya‟
P. toka akowabangko sapae sintu mpaemo
saya bahasakan
bahwa kamu tidak ada pilihan
„Saya sudah bicarakan bahwa selain kamu tidak ada pilihan lagi‟
L. sumano
tinda notantu aontoroana lalo
yang penting jelas pasti
tenang
perasaan
„Yang penting sudah jelas perasaan pasti tenang‟
Pada contoh (1) data wacana kaBanti menari di atas, bahasa yang
digunakan oleh penyanyi laki-laki, dapat dikategorikan sebagai jenis bahasa yang
bersifat metaforis. Dengan disampaikannya ungkapan tersebut, bisa diartikan
sebagai gambaran bahwa masyarakat Mawasangka menganut sistem pertanian, di
mana dalam wacana kaBanti menari itu menggunakan kata santa „air perasan
kelapa‟ dan pahia „buah paria‟. Kedua kata tersebut merupakan salah satu hasil
kebun masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kebahasaan (kiasan) tersebut, seperti
pahia „paria‟ dan santa „air perasan kelapa‟ dan yang lain-lainnya menunjukan
kondisi masyarakat Mawasangka pada umumnya bertani atau bercocok tanam.
Hal seperti itu juga tercermin dari kebudayaan nenek moyang masyarakat
Mawasangka pada zaman dahulu.
Di samping itu, ungkapan berbalas yang ditarikan oleh pelaku laki-laki
maupun perempuan dalam wacana kaBanti menari sebagaimana yang ditunjukkan
pada contoh data di atas dapat memuat penggambaran keadaan masyarakat
6
penuturnya yang khas, terutama pada pandangan hidup dan ajaran lokal yang
berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam wacana kaBanti menari di atas, secara
tersirat terdapat gambaran budaya, serta dapat mencerminkan pola pikir
masyarakat Mawasangka yang terbuka terhadap sesuatu yang tidak melanggar
adat dan agama. Apabila dilihat dari segi fungsinya, wacana kaBanti menari pada
masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara berfungsi
untuk menghaluskan kata-kata atau menyindir penyanyi perempuan dan/ataupun
sebaliknya.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat kita mengetahui bahwa
pagelaran kaBanti manari (menari) ini selain memudahkan seseorang dalam
menuangkan apa yang dirasakannya, juga dapat meningkatkan nilai moral dan
mempertahankan nilai-nilai budaya yang sangat berharga, khususnya bagi
masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dan
masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan kata lain, ungkapan-ungkapan
kebahasaan yang terdapat dalam nyanyian kaBanti menari tersebut mengandung
nilai moral yang sangat tinggi dan dapat mencerminkan karakteristik budaya
masyarakat Mawasangka. Ungkapan kebahasaan dalam kaBanti menari tersebut
tidaklah disampaikan secara langsung melainkan menggunakan bahasa kias yang
berbentuk metafora sehingga hal ini semakin menambah keindahan nyanyian
tersebut. Keindahan nyanyian itu tentunya akan semakin menarik para pendengar
atau penonton.
Namun pada masa sekarang, pagelaran seni kaBanti menari pada
masyarakat Mawasangka, khususnya di desa Lanto Kabupaten Buton mulai jarang
7
digelar. Hal ini, karena adanya kehadiran alat hiburan lain yang dianggap modern
telah menggeser posisi yang ditempati kaBanti menari sebagai seni pertunjukkan
masyarakat Mawasangka, khususnya di desa lanto Kabupaten Buton Provinsi
Sulawesi Tenggara. Namun demikian, kenangan masyarakat Mawasangka tentang
kaBanti menari, khususnya dikalangan orang tua masih sangat kuat. Berbeda
dengan kalangan generasi muda, khususnya para remaja Mawasangka kabupaten
Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang berada di desa Lanto justru berada dalam
kenangan yang samar-samar, kurang mengetahui sejarah, bentuk, dan fungsi
kaBanti menari itu sendiri.
Di samping itu, tidak ditemukan lagi yang menggunakan syair-syair
kaBanti menari dalam menyampaikan cinta kasih atau simpati terhadap lawan
jenis mereka. Mereka kebanyakkan lebih senang menggunakan kata-kata yang
secara langsung pengungkapannya, seperti nyanyian-nyanyian berbahasa Inggris
yang bertemakan „cinta‟, yang isinya di samping menganut budaya dari daerah
lain yang kemungkinan besar belum sesuai dengan budaya daerah setempat, juga
bahasanya pun tampak vulgar. Sebagai salah satu contohnya, seorang remaja yang
mengungkapkan perasaan cintanya secara langsung kepada lawan jenisnya dengan
mengatakan I love you atau saya mencintaimu.
Dengan demikian, wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka
Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi objek kajian yang
menarik, karena pesan moral yang disampaikannya berupa anekdot-anekdot segar
yang tidak menyindir secara langsung. Selain itu, pada wacana kaBanti menari itu,
juga mengandung nilai-nilai budaya dan pandangan masyarakat setempat terhadap
8
kehidupan sehingga bisa diketahui kearifan lokal (lokal geniusi) yang terdapat
pada masyarakat itu. Di samping itu, kajian ini diharapkan dapat mengungkapkan
seluk beluk kebiasaan masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi
Sulawesi Tenggara, khususnya masyarakat desa Lanto, termasuk aspek budaya
berdasarkan kajian linguistiknya.
1.2 Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang di atas, untuk menguak tradisi lisan
masyarakat Mawasangka, melalui fenomena bahasa wacana kaBanti menari, maka
penelitian ini membahas masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk dan struktur wacana kaBanti menari pada masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara?
2. Bagaimanakah fungsi wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka
kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara?
3. Bagaimanakah pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka
kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang tercermin dalam bahasa
wacana kaBanti menari?
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan
Penelitian ini bertujuan untuk membahas wacana kaBanti menari pada
masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
Alasannya, karena ujaran wacana kaBanti menari memiliki bentuk tidak seperti
kalimat biasa, sehingga perlu diketahui bagaimana struktur percakapan yang
9
terjadi bila menggunakan bentuk wacana kaBanti menari. Di samping itu,
penelitian tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana deskripsi
wacana kaBanti menari. Selain itu, terdapat pula tindakan-tindakan ujaran dalam
dalam wacana kaBanti menari yang dapat mencerminkan pandangan hidup dan
budaya lokal masyarakat Mawasangka, seperti meminta izin kepada tokoh-tokoh
masyarakat atau adat ketika akan mengadakan acara kaBanti menari.
Dengan demikian, penelitian ini hanya dibatasi dalam wacana kaBanti
menari pada masyarakat Mawasangka, yang berupa bentuk dan struktur wacana
kaBanti menari, fungsi wacana kaBanti menari, serta pandangan hidup dan
budaya lokal masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi
Tenggara yang tercermin dalam wacana kaBanti menari. Dalam hal ini, yang
dapat ditinjau adalah perilaku verbal berupa unit-unit lingual meliputi kosa kata,
rangkaian kata, klausa, kalimat, dan wacana. Adapun perilaku nonverbal adalah
berupa folklor yakni jenis tari, alat musik (gambus dan gendang) dan disertai
gerak lagu serta bahasa tubuh yang dapat bertujuan untuk memberikan hiburan
kepada masyarakat, khususnya masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton
Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka
yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk dan struktur wacana kaBanti menari pada masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara
10
2. Mendeskripsikan
fungsi
wacana
kaBanti
menari
pada
masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara
3. Mendeskripsikan pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka
kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang tercermin dalam wacana
kaBanti menari.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat teoretis
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berharga dan
bermanfaat bagi perkembangan teori linguistik atau sekurang-kurangnya dapat
memperkaya khasanah teori linguistik atau etnolinguistik. Selain itu, diharapkan
dapat menjadi bahan acuan atau pertimbangan bagi peneliti-peneliti lainnya di
masa yang akan datang.
1.5.2
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang
jelas
mengenai bentuk dan struktur wacana kaBanti menari pada masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Di samping itu,
manfaat bagi masyarakat, hasil penelitian ini memberi informasi kepada
masyarakat tentang tingkat ancaman terhadap kelangsungan hidup bahasa dan
budaya, khususnya pada wacana kaBanti menari. Dengan demikian, diharapkan
penutur bahasa Mawasangka menjadi lebih menyadari peran mereka sebagai
penentu pelestarian atau sebaliknya.
11
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian yang berhubungan dengan kaBanti telah banyak dilakukan,
baik kaBanti dalam bentuk lisan maupun kaBanti dalam bentuk tulisan (naskah).
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Udu (2006) dengan judul “Metafora dalam
KaBanti Pengantar Tidur”. Ia mengambil obyek tentang kaBanti yang merupakan
nyanyian rakyat untuk menidurkan anak. Penelitian ini mengungkapkan berbagai
hal tentang kehidupan penyanyi kaBanti, baik berupa pikiran, perasaan, budaya,
adat-istiadat, nasihat-nasihat, maupun kebiasaan-kebiasaan lain yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Wakatobi. Adapun perian yang
dihasilkan dari penelitian ini adalah mengenai unsur-unsur, makna, dan
pandangan budaya masyarakat Wangi-Wangi, kabupaten Wakatobi, Sulawesi
Tenggara. Perian yang kedua adalah mengenai jenis dan ciri khas metafora dalam
kaBanti.
Penelitian terhadap naskah “KaBanti Bula Malino” karya Haji Abdul
Ganiu telah dilakukan oleh La Niampe (1998). Dalam kajian ini, ia mengkaji
naskah KaBanti Bula Malino berdasarkan tinjauan sastranya, yakni melalui
suntingan teks disertai dengan aparat kritiknya pada enam teks varian KaBanti
Bula Malino. Hal serupa juga dilakukan pada naskah KaBanti Kaluku Panda oleh
Ali Rusdin (2002). Penelitian ini menemukan lima varian naskah itu, dengan
naskah A sebagai naskah landasannya.
Penelitian terhadap kaBanti sebagai tradisi lisan juga telah dilakukan oleh
Sulfiah (2002) di kecamatan Gu-Lakudo kabupaten Buton. Ia menganalisis
bentuk-bentuk kaBanti berdasarkan fungsinya. Ia mengklasifikasikan kaBanti ke
12
dalam tiga jenis berdasarkan fungsinya, yaitu kaBanti sebagai nasihat, kaBanti
sebagai sindiran, dan kaBanti sebagai pujian.
Penelitian tentang struktur kaBanti yang dilakukan oleh La Hamudi
(2000) di daerah Cia-Cia, kecamatan Sampolawa, kabupaten Buton Sulawesi
Tenggara. Ia menemukan beberapa hal tentang struktur kaBanti. Menurutnya,
kaBanti terdiri atas bait-bait. Tiap-tiap bait terdiri atas dua baris dan tiap-tiap baris
terdiri atas empat sampai enam kata atau frasa. Ia juga mengatakan bahwa panjang
pendeknya nyanyian kaBanti akan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat
menyanyikan kaBanti itu. KaBanti pada masyarakat Gu-Lakudo dan Cia-cia yang
menjadi objek penelitian kedua peneliti di atas dikenal dengan sebutan kaBanci.
Hal ini berkaitan dengan bahasa daerah pada kedua masyarakat itu, yakni bahasa
Cia-cia dan bahasa Gu-Lakudo sedangkan dalam bahasa Wakatobi, dan
Mawasangka tradisi lisan ini dikenal dengan sebutan kaBanti.
Sementara itu, penelitian yang berkaitan dengan budaya yang terkadung
dalam bahasa yang digunakan pada budaya rakyat atau masyarakat dan kesenian
rakyat telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, diantaranya.
Kamaliana (2007) dengan judul “Berbalas Pantun dalam Pernikahan:
Suatu Kajian Tindak Tutur Bahasa Melayu Sanggau, Kalimantan Barat”. Ia
membahas tiga permasalahan diantaranya struktur wacana berbalas pantun dalam
pernikahan, tindak tutur apa yang menjadi isi wacana berbalas pantun, serta
pandangan hidup dan budaya lokal yang terefleksikan dalam tindak tutur wacana
berbalas pantun pada penikahan Melayu Sanggau tersebut. Struktur wacana
berbalas pantun dalam penikahan Sanggau berupa berbalas pantun satu arah;
13
tindak tutur wacana berbalas pantun dalam pernikahan Sanggau bisa dilihat dari
setiap rangakaian pantun jual atau rangkaian pantun belinya. Satu rangkaian
pantun mengandung satu tindak tutur utama, dan tindak tutur utama itu terdiri dari
beberapa tindak tutur penunjang.
Femmy Lumempouw (2002) menulis tentang “Penggunaan Bahasa
dalam Tarian Maengket sebagai Pengungkap Pola Pikir Etnik Tonsea”. Dalam
penelitiannya tersebut mengemukakan Maengket merupakan salah satu jenis
tarian tradisional yang diiringi lagu dengan sekelompok penari, sambil menyanyi
mereka membentuk lingkaran. Ia membagi tiga bagian dalam tarian tersebut,
antara lain; (1) pujian kepada Allah yang Maha tinggi. Hal ini diungkapkan
dengan syair yang banyak berisi istilah-istilah yang mengandung makna budaya
dan mengungkapkan pola pikir etnik Tonsea; (2) permintaan kepada Allah yang
Maha tinggi, di mana syair yang dinyanyikan berupa tanya jawab dari para petani
pria dan wanita; dan (3) bersukaria memetik padi baru, syair yang dinyanyikan
berupa tanya dan jawab.
Aton Rustandi Mulyana (2004), denga judul “Pantun Sunda, Tutur
Arkais yang Terpinggirkan”. Ia memaparkan tentang keberadaan pantun bagi
petani Sunda yang memiliki akat ikatan masa yang cukup tua. Diduga awal
kemunculan seni pantun tersebut seiring dengan hadirnya kegiatan pertanian,
berladang, dan berhuma. Pantun Sunda bersifat monolog yang fungsional dan
sangat terikat dengan aturan waktu, ruang, dan pelaku.
Berdasarkan pada uraian tinjauan pustaka di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa belum ditemukan adanya kajian etnolinguistik yang terfokus
14
pada wacana kaBanti menari masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi
Sulawesi Tenggara.
1.7 Landasan Teori
Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1)
studi etnolinguistik, (2) konsep kaBanti, (3) perihal wacana, (4) konsep bentuk,
(5) fungsi bahasa, (6) perspektif budaya dan (7) konsep pola pikir. Berikut ini
uraian ringkas dari masing-masing konsep tersebut.
1.7.1
Studi Etnolinguistik
Studi etnolinguistik dapat pula disamakan atau disebut dengan studi
linguistik antropologis (Kridalaksana, 2008: 59). Di samping itu, Kridalaksana
(2008: 59) menjelaskan bahwa etnolinguistik adalah cabang linguistik yang
menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan yang belum
mempunyai tulisan. Namun demikian, definisi tersebut pada perkembangannya
meluas karena studi etnolinguistik tidak hanya dilakukan pada bahasa suku bangsa
saja yang belum mengenal tulisan. Tetapi, juga dapat dilakukan pada suku bangsa
yang sudah mengenal tulisan. Oleh karena itu, studi etnolinguistik pada suku yang
telah mengenal tulisan ini dipusatkan pada hubungan yang terjalin antara bahasa
dengan kebudayaan suku bangsa tersebut.
Studi linguistik antropologis merupakan hasil perpaduan antara studi
antropologi dan studi linguistik. Kedua disiplin ilmu ini berpadu menjadi studi
linguistik antropologi, karena keduanya dapat memahami makna bahasa dalam
15
suatu masyarakat itu tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat setempat, hal
ini karena keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Duranti (1997: 2) mengemukakan bahwa istilah etnolinguistik banyak
dipergunakan di Eropa, sedangkan di Amerika lebih sering menggunakan istilah
linguistik antropologis atau antropologi linguistis. Berdasarkan makna kata
pembentuknya, yaitu etnos yang berarti bangsa dan linguistics yang berarti ilmu
bahasa. Jadi, etnolinguistik adalah studi tentang bahasa pada suku bangsa tertentu
yang belum mengenal tulisan. Foley (1997: 1) mengatakan bahwa linguistik
antropologi adalah bagian dari linguistik yang memperhatikan kedudukan bahasa
dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas.
Salah satu aspek etnolinguistik yang menonjol adalah relativitas bahasa.
relativitas bahasa adalah sebuah bagian dari aliran filsafat yang menyatakan
bahwa pengalaman dalam ketertarikan manusia akan budaya memegang peranan
yang penting dan menentukan fungsi kognitif (Foley, 1997: 169).
Wilhelm Von Humboldt berhipotesis bahwa pola unik setiap bahasa
menjadikan pandangan yang berbeda mengenai dunia (Keesing, 1989: 87).
Hipotesis tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh seorang ahli antropologi
bernama Edward Sapir. Ia menyatakan bahwa dunia di mana masyarakat yang
berbeda tinggal adalah dunia yang berbeda. Pola-pola bahasa sangat penting
dalam membentuk berbagai dunia budaya yang berbeda.
Steinberg (2001: 245) menyatakan bahwa ada empat formulasi mengenai
hubungan antara bahasa, pikiran, dan budaya. Pertama, adalah ucapan yang
merupakan hal yang esensial bagi pikiran. Kedua, bahasa merupakan hal yang
16
esensial bagi pikiran. Ketiga, bahasa menentukan atau membentuk persepsi kita
tentang alam. Keempat, adalah bahasa menentukan atau membentuk pandangan
dunia kita. Oleh karena itu, peneliti dalam penelitian ini, akan mencoba untuk
mengemukakan keterkaitan antara bahasa, budaya, dan pikiran atau pandangan
tentang dunia yang melingkupi tradisi kaBanti
menari pada masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Di mana tradisi
tersebut berkaitan dengan pandangan masyarakat tentang dunia dan persepsi
tentang alam yang tercermin dalam bentuk kebahasaan yang ada di dalamnya.
Sementara itu, etnosains (ethnosciencei) adalah pengetahuan yang ada
atau dimiliki suatu bangsa atau lebih tepat suatu suku bangsa tertentu atau
subkultur tertentu (Ahimsa-Putra, 1985: 110). Sistem pengetahuan yang dimaksud
merupakan sistem pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, dan berbeda
dengan sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lainnya. etnosains
banyak memperhatikan kategorisasi-kategorisasi yang dimiliki oleh suatu
kebudayaan tertentu (Ahimsa-Putra, 1985: 118).
1.7. 2
Konsep KaBanti (Nyanyian Rakyat)
Secara etimologi kaBanti berasal dari bahasa Wolio, yang terdiri dari dua
morfem yaitu morfem terikat ka- dan morfem bebas Banti. Morfem terikat kadapat berfungsi sebagai pembentuk kata benda, sedangkan morfem bebas Banti
mengandung pengertian puisi. Jadi, kaBanti berarti “ikhwal puisi” (Niampe,
1997: 8).
17
Sementara itu, Nsaha (1978: 235) mengatakan bahwa kaBanti merupakan
mutiara-mutiara kebijaksanaan atau pernyataan rasa dalam bentuk yang amat
digemari dan mengena hingga di dasar hati, baik dalam situasi pembicaraan
umum maupun dalam suasana dari hati ke hati. Senada dengan itu, Taalami (2008,
lihat Udu, 2008: 59 dan Asrif, 2008) mengartikan kaBanti sebagai salah satu jenis
lagu yang berisi ungkapan perasaan (cinta kasih, sedih, kegembiraan, dan
kerinduan), juga nasihat.
Niampe (1999: 1) mendefinisikan kaBanti yang lebih luas lagi yaitu
bahwa kaBanti sebagai salah satu jenis kesusastraan yang berbentuk puisi yang
merupakan hasil pengolahan bebas dari kesusastraan bentuk prosa. Menurut
Niampe, petuah-petuah tentang tuntunan dan falsafah hidup yang dilandasi oleh
ajaran agama islam disampaikan melalui kesusastraan jenis kaBanti.
Pengertian
kesusastraan
yang
kaBanti
kadang
merupakan
dideskripsikan
senandung
falsafah
sebagai
hidup
pagelaran
yang
telah
terdokumentasi melalui naskah-naskah Buton. Selain kaBanti sebagai senandung
yang dibacakan dari naskah-naskah Buton, ada pula kaBanti yang disenandungkan
secara lisan dan spontanitas. Dari kedua pendeskripsian tentang kaBanti tersebut
dapat dipahami bahwa kaBanti memiliki dua pengertian sebagaimana yang telah
diuraikan di atas.
Dengan demikian, kaBanti dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis dan
tujuan yang berbeda pula. Kedua jenis kaBanti tersebut yaitu kaBanti yang berada
di dalam keraton Buton (naskah) dan kaBanti yang berada di luar keraton Buton
yang digelar diperkampungan pesisir pada acara-acara hiburan sosial. Isi kaBanti
18
di luar keraton yakni tentang ungkapan perasaan cinta-kasih, kesedihan,
kegembiraan, ataupun kerinduan, dan nasihat sedangkan kaBanti yang berada di
dalam keraton didefinisikan sebagai puisi yang berisi petuah-petuah tentang
tuntunan dan falsafah hidup yang dilandasi oleh ajaran agama Islam.
Dari perbedaan pengertian kaBanti seperti yang diuraikan di atas,
menandahkan bahwa masyarakat Buton memiliki, sekurangnya dua jenis kaBanti
yakni yang pertama kaBanti naskah yang selanjutnya disebut kaBanti keraton dan
yang kedua adalah kaBanti bukan naskah selanjutnya disebut kaBanti pesisir.
Namun, kedua jenis kaBanti tersebut tidak hanya berbeda pada aspek penciptaan,
isi, dan tempatnya saja, tetapi pada cara pendokumentasian dan pertunjukannya
pun berbeda pula.
1.7.3
Perihal Wacana
Djajasudarma (1994: 4) mengatakan bahwa wacana rekaman kebahasaan
yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa
lisan dan bahasa tulis. Pada umumnya, wacana mengasumsikan adanya penyapa
(addressor) dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penyapa adalah
pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Sementara itu, He (2001:429)
merumuskan wacana sebagai istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan
fenomena linguistik dalam konteks pemahaman, situasi dan budaya berdasarkan
penggunaannya dan mengidentifikasi sumber-sumber linguistik yang membentuk
tuturan (seperti identitas, peranan, aktivitas, kelompok penutur, emosi,
pengetahuan).
19
Selanjutnya, Crystal (2001:118) menyatakan bahwa wacana merupakan
istilah yang digunakan dalam linguistik yang mengacu pada rangkaian bahasa
yang berkesinambungan (khususnya lisan) yang lebih luas daripada kalimat.
Lebih jauh lagi dikatakan bahwa wacana sebagai satuan (unit) perilaku adalah
seperangkat ujaran yang berhubungan dengan segala kejadian tutur yang dapat
dikenali seperti percakapan, lelucon, khotbah dan wawancara. Dari sudut pandang
sosiolinguistik, wacana dianalisis berdasarkan klasifikasi fungsinya dengan
referen tertentu seperti jenis subjek masalah, situasi dan sifat para penuturnya.
Samsuri (1998: 1) dalam Sumarlam (2003: 8) menyatakan bahwa wacana
ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Dalam
komunikasi tersebut dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula
menggunakan bahasa tulisan. Secara garis besar Sumarlam (2003: 1) membagi
wacana menjadi dua bagian, yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Istilah wacana
sering digunakan dalam pengertian yang sama dengan teks. Kedua istilah tersebut
menunjuk pada satu unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Kesatuan dalam
wacana menurut Halliday dan Hasan (1976: 1) adalah kesatuan yang bersifat
semantis. Oleh karena itu, sebuah wacana tidak harus selalu direalisasikan dalam
bentuk rangkaian kalimat, melainkan dapat juga dijumpai dalam sebuah kalimat,
klausa, frase, ataupun kata yang diikuti oleh konteks dan situasinya.
Jika kita kembali pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, maka
realisasi dalam bentuk komunikasi tidak hanya dapat diwujudkan dalam bentuk
percakapan, tetapi juga bisa berupa tulisan pada buku, cerita pada novel, laporanlaporan yang bersifat ilmiah, pembicaraan di depan umum, teks-teks bacaan, dan
20
lain-lain. Dengan demikian, Rani, dkk (2006: 25) mengatakan bahwa ada
bermacam-macam cara untuk membuat klasifikasi wacana. Pengklasifikasian
wacana bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari bentuk
saluran yang digunakan, dikenal wacana lisan dan tulisan. Dilihat dari jumlah
peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi dikenal ada wacana
monolog, dialog, dan polilog, sedangkan dari tujuan berkomunikasi, ada wacana
deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi.
1.7.4 Konsep Bentuk
Bentuk (form) diartikan sebagai realitas kombinasi unit-unit di dalam
suatu bahasa (matthews, 1997). Ini berarti bentuk adalah struktur yang berada
dalam sistem (noth, 1990). Sehubungan dengan itu, bentuk yang dimaksudkan
dalam tulisan ini mencakup jenis dan struktur. Jenis ini diidentifikasi berdasarkan
cara penutur/pembicara mengekspresikan sesuatu hal secara verbal atau dengan
menggunakan bahasa (Halliday, 1992). Cara ekspresi yang dimaksud berkaitan
dengan suasana dan norma (Ola, 2005). Sementara strktur kaBanti menari
berkaitan dengan pemanfaatan unsur-unsur kebahasaan (strktur kebahasaan)
dengan menyiratkan makna tertentu dan juga tentang bagian-bagian (susunan)
yang membangunnya (struktur penuturan). Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa kaBanti menari merupakan salah satu bentuk penggunaan unsur-unsur
linguistik dan mempunyai susunan penuturan yang khas (bdk. Ola, 2005).
Struktur penuturan kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka Kabupaten
21
Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dibentuk oleh unsur pembuka, unsur isi/tubuh,
dan unsur penutup (Saputra, 2007).
Bentuk-bentuk linguistik adalah bentuk budaya yang digunakan
berdasarkan kesepakatan guyub tutur dan semua bentuk linguistik (struktur
morfem, morfologi, dan sintaksis) itu merupakan subkelas dari kategori bentukbentuk budaya (Bock, 1972, dalam Ola, 2005: 113). Unsur-unsur linguistik yang
khas pada kaBanti menari masyarakat Mawasangka mencakup (1) aspek
fonologis; (2) tata bahasa (konstruksi kalimat dan wacana); dan kosa kata
(leksikon). Namun, dalam tulisan ini, yang menjadi fokus analisis adalah berupa
aspek kohesi leksikal dan kohesi gramatikal.
1.7.5 Fungsi Bahasa
Dengan mengacu pada uraian di atas, untuk mengkaji wacana kaBanti
menari dalam masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi
Tenggara tidak lepas dari fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi.
Selain itu, bahasa juga memiliki fungsi ekspresif, yaitu dapat dipakai untuk
mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya, kata-kata sumpah serapah dan
kata-kata seru adalah contoh yang paling jelas dalam hal ini. Fungsi yang ketiga
adalah fungsi direktif, yaitu jika kita hendak mempengaruhi perilaku atau sikap
orang lain, misalnya memerintah dan memohon, yang dikatakan secara langsung.
Fungsi ekspresif juga meliputi penggunaan bahasa dalam puisi, namun Leech
cenderung menyimpulkan penggunaan bahasa dalam puisi sebagai fungsi estetik
(Leech, 2003:64).
22
Pendapat lain tentang fungsi bahasa dikemukakan oleh Karl Buhler dalam
Halliday dan Hasan (1994: 21) yang membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa
ekspresif yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri, si penutur, bahasa konatif
yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara, dan bahasa representational yaitu
bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya atau apa saja selain si pembicara atau
lawan bicara. Pendapat Buhler ini kemudian diperluas oleh Roman Jakobson
dalam Halliday dan Hasan (1994: 21) dengan menambahkan tiga fungsi lagi yaitu
fungsi poetik yang terarah pada pesannya, fungsi transaksional yang terarah pada
sarananya, dan fungsi metalinguistik yang terarah pada kodenya atau lambangnya.
Desmond Morris
dalam
Halliday dan
Hasan (1994:
21)
juga
mengelompokkan fungsi bahasa menjadi empat macam yaitu information talking,
mood talking, exploratory talking, dan grooming talking. Information talking
adalah fungsi pertukaran keterangan. Mood talking berfungsi sama dengan fungsi
ekspresif yang dikemukakan oleh Buhler. Exploratory talking sebagai ujaran
untuk kepentingan ujaran (fungsi estetis dan fungsi drama). Grooming talking
adalah tuturan yang sopan dan tidak berarti dalam peristiwa sosial yang
maksudnya kerukunan melalui percakapan.
Menurut Vestergaard dan Schroder (dalam Abdul Rani, 2006: 20), fungsi
bahasa seperti berikut.
1. Fungsi Ekspresif. Fungsi ini mengarah pada penyampai pesan. Bahasa
digunakan untuk mengekspresikan emosi, keinginan dan perasaan penyampai
pesan.
23
2. Fungsi direktif. Fungsi ini mempergunakan bahasa untuk mempengaruhi
orang lain, baik emosinya, perasaannya maupun tingkah lakunya. Misalnya
memberi
keterangan,
mengundang,
memerintah,
mengingatkan
dan
mengecam.
3.
Fungsi informasional. Bahasa berfokus pada makna. Fungsi bahasa tersebut
digunakan
untuk
menginformasikan
sesuatu,
misalnya
melaporkan,
mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengonfirmasikan sesuatu. Makna
(informasi atau ide) kalimat-kalimat di dalam wacana menjadi fokus.
4.
Fungsi metalingual. Bahasa berfokus pada kode. Dalam fungsi tersebut,
bahasa digunakan untuk menyatakan sesuatu tentang bahasa. Kode bahasa
digunakan untuk melambangkan kode yang lain.
5.
Fungsi interaksional. Bahasa berfokus pada saluran. Fungsi interaksional
bahasa digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan, dan mengakhiri
suatu kontak komunikasi antara penyampai pesan dan penerima pesan.
6.
Fungsi kontekstual. Bahasa berfokus pada konteks pemakaian bahasa.
7.
Fungsi puitik. Bahasa berorientasi pada kode dan makna secara simultan.
Maksudnya, kode kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat mewadahi
makna yang hendak disampaikan oleh sumber pesan.
1.7.6
Perspektif Budaya
Duranti (1997: 24) mengemukakan pendapatnya mengenai budaya
merupakan sesuatu yang dipelajari, ditransmisikan, dan diteruskan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya, baik melalui tindakan-tindakan maupun melalui
interaksi secara langsung. Di samping itu, ia menambahkan bahwa manusia akan
24
menerima dan mempelajari budaya masyarakat di mana ia tinggal melalui bahasa.
Hal ini dapat menyebabkan para pakar antropologi berupaya menggunakan
berbagai bahasa untuk menjelajahi struktur dunia konseptual bangsa-bangsa di
dunia.
Hubungan bahasa dan kebudayaan di kalangan ahli antropologi, sosiologi
dan bahasa bukanlah merupakan hal yang baru, tetapi sejauh mana bahasa
membentuk dan mengontrol pemikiran para penuturnya melalui persyaratan
perseptual yang dibuatnya dan sejauh mana bahasa merefleksikan pandangan
mereka tentang dunianya, masih sering dipertentangkan. Namun demikian, pasti
terdapat korelasi antara bentuk dan isi bahasa dengan kepercayaan dan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat (Ibrahim, 1994:45).
Di samping itu, W. Goodenough dalam Duranti (1997: 27) menyatakan
bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan atau sistem ide. Dalam
defenisi ini, makna yang diberikan oleh pendukung kebudayaan turut
diperhitungkan, bahkan menduduki posisi yang penting. Hal ini sejalan dengan
tujuan etnolinguistik yang menganggap penting tiap fakta kebahasaan beserta
makna yang terkandung di dalamnya, yang dituturkan oleh informan atau pemiliki
suatu kebudayaan.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lainlain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor, 1871 dikutip
Haviland, 1999 : 219). Oleh karena itu, warisan yang telah turun temurunkan oleh
25
nenek moyang, termasuk kaBanti menari dalam budaya masyarakat Mawasangka
sangat penting untuk dilestarikan.
1.7.7 Konsep Pola Pikir
Ahimsa-Putra (1985: 107) mengatakan bahwa pola pikir adalah sebuah
pengetahuan suatu masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi,
aturan-aturan, prinsip-prinsip yang sebagaimana dinyatakan melalui bahasa.
Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam
lingkungan manusia. dari nama-nama itu dapat diketahui patokan apa yang dapat
dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi-klasifikasi, yang berarti
juga dapat diketahui “pandangan dunia‟ pendukung kebudayaan. Sementara itu,
Casson (1981: 75) mendefenisikan pola pikir sebagai inferensi atau integrasi
kategori konsep yang diperoleh melalui tindak klasifikasi yang hasilnya
merupakan bentuk skemata.
1.8 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif.
Gunarwan, (2001: 19) menjelaskan bahwa data kualitatif adalah data yang
dikumpulkan dengan tidak dihitung jumlah atau kekerapan munculnya, tetapi
peristiwa dan fenomena yang dikaji dan ditelaah secara mendalam. Penelitian ini
mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta kebahasaan
yang ada fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya.
26
Metode ini memuat tahapan strategis yang terbagi atas tiga bagian yaitu
metode pengumpulan data, analisis data, dan penyajian analisis data (Sudaryanto,
1993:57).
1.9 Pendekatan Penelitian
Pendekatan etnolinguistik dipilih sebagai pendekatan karena disiplin ilmu
ini mempunyai pemahaman bahwa bahasa itu sebagai rangkaian praktik-praktik
kebudayaan yang memainkan peranan esensial dalam mediasi ide-ide dan aspekaspek material dari keberadaan dunia. Melalui pendekatan etnolinguistik
diharapkan
mampu
menguraikan
kehidupan
sosial-budaya
masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun demikian,
pandangan ini berawal dari asumsi teoritis yaitu kata-kata dan penemuanpenemuan empirik bahwa tanda-tanda linguistik adalah sebagai repsentase dunia
yang nyata (Kramsch, 2000: 3).
1.9.1 Sumber Data
Data penelitian berupa tuturan lisan wacana kaBanti menari pada
masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Data atau
sumber informasi yang berkaitan dengan penelitian ini diperoleh dari orang-orang
yang masih mengamalkan syair-syair kaBanti menari serta masih menjaga puisi
tradisional yang berbentuk kaBanti menari tersebut.
Secara kontekstual, untuk menghendaki adanya perwujudan data-data
bahasa apa adanya melalui pengamatan secara langsung tindak tutur masyarakat
setempat (Kushartanti, dkk., 2005: 232). Kata-kata dan tindakan orang-orang yang
27
diwancarai merupakan sumber data utama, yang dapat dikumpulkan melalui
rekaman, proses tersebut berperan serta dan merupakan hasil usaha gabungan dari
kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya (Moleong, 2005: 157).
1.9.2
Metode Pengumpulan Data
Secara umum, data yang diperoleh dalam penelitian adalah data primer.
Data primer adalah data yang dapat diperoleh dengan memanfaatkan metode
simak bebas libat cakap (Sudaryanto, 1993), dengan menerapkan teknik rekam,
teknik simak, dan teknik catat. Setelah teknik tersebut dilakukan, maka langkah
selanjutnya
adalah
memilih
dan
memilah
data
sekaligus
dilakukan
pengklasifikasian data guna mendapatkan data yang optimal.
Selain itu, data tentang kebudayaan yang dapat digunakan sebagai
referen
aktivitas
budaya
dan
pandangan
hidup
keseharian
masyarakat
dikumpulkan dengan metode partisipasi observasi (Spradley, 1979). Oleh sebab
itu, penulis harus terlibat aktif berpartisipasi dengan masyarakat Mawasangka
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penulis mudah melakukan analisis
pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka bila dilihat dari
wacana kaBanti menari.
1.9.3 Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, dilakukan identifikasi bahasa berupa proses
penerjemahan. Proses tersebut dituntut selalu ada dalam melakukan penelitian
lapangan untuk menemukan pandangan dunia (penemuan) dan menulis deskripsi
budaya (Spradley, 1997: 89). Selanjutnya, data dianalisis untuk mengarah pada
28
penemuan sistem budaya tertentu melalui penafsiran dan penyimpulan. Dalam
menganalisis
data mengenai
wacana
kaBanti
menari pada masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan beberapa
tahap, yaitu (1) terjemahan harfiah dan bebas; (2) analisis bentuk dan struktur
wacana kaBanti menari; (3) analisis fungsi wacana kaBanti menari; serta
pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka kabupaten Buton
Provinsi Sulawesi Tenggara yang tercermin dalam wacana kaBanti menari.
Proses terjemahan data-data tersebut berupa terjemahan harfiah dan
bebas. Proses yang pertama dilakukan dengan menuliskan kata per kata bahasa
asli kemudian di bawahnya bahasa terjemahan (bahasa Indonesia). Hal ini
dilakukan untuk melihat (i) arti kata itu sendiri, (ii) susunan kata dalam kalimat
panjang apabila data-data yang diterjemahkan berupa kalimat-kalimat bahasa asli
(wacana kaBanti menari). Hal ini dilakukan agar pembaca atau peminat lainnya
akan mengetahui makna yang terkandung pada kalimat-kalimat (wacana kaBanti
menari) tersebut.
Dengan demikian, wacana kaBanti manari (menari) dalam masyarakat
Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, untuk mengetahui
pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka dilakukan dengan
melalui gabungan perspektif penyelidikan etnometodologi dan etnokomunikasi.
1.9.4
Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Dalam penyajian hasil analisis data, peneliti mempresentasikan dan
mendeskripsikan berbagai bentuk atau struktur wacana kaBanti menari, fungsi
wacana kaBanti menari dalam setiap proses komunikasi pada peristiwa dalam
29
wacana kaBanti menari secara informal yakni dengan menggunakan kata-kata
biasa (Sudaryanto, 1993: 145 dan Mashun, 2005: 255).
1.9.5 Penetapan Lokasi Penelitian
Desa yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian adalah desa Lanto, desa
Lalibo, dan desa Lantongau kecamatan Mawasangka Tengah kabupaten Buton
Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.9.6 Informan
Informan adalah orang yang dapat memberi informasi yang berkaitan
dengan obyek penelitian. Pemilihan informan didasarkan pada pertimbangan
bahwa mereka adalah orang atau warga masyarakat yang memiliki pengalaman
atau pengetahuan mengenai obyek yang diteliti. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini ditentukan beberapa kriteria informan yang dapat dijadikan sebagai sumber
informasi, diantaranya.
1. Penutur asli dan berdomisili di lokasi penelitian
2. Pelaku seni pertunjukan kaBanti menari.
3. Jarang meninggalkan daerah/lokasi penelitian dalam waktu yang terlalu lama
4. Komunikatif sehingga mudah memahami apa yang diajukan peneliti
5. Berusia 35-70 tahun, karena usia ini masih produktif dan aktif dalam kegiatan
masyarakat
6. Sehat jasmani dan rohani, artinya tidak cacat dalam organ bicara serta waras
atau tidak gila (Konisi, 2002:12-13).
Download