1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial mempunyai peranan penting sebagai alat untuk melakukan kegiatan-kegiatan kebudayaan, sekaligus juga merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Bahasa di samping dapat menentukan jalan pikiran pemakainya atau penuturnya, juga sebagai bahasa pengantar di masyarakat. Hal ini berarti bahwa bahasa yang dituturkan pada suatu masyarakat tertentu mencerminkan pola pikir masyarakat penutur bahasa tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Wijana (2010: 2) bahwa bahasa merupakan salah satu alat yang paling penting yang dimiliki oleh manusia dalam mengembangkan kebudayaan atau peradabannya. Sebab, hampir seluruh aktivitas manusia tidak dapat dilepaskan dari kegiatan menggunakan bahasa. Sementara itu, Fernandes (2008: 36) menyatakan bahwa bahasa mampu menguak kearifan lokal sebagai cermin budaya masyarakat secara komunal. Kearifan lokal merupakan ekspresi yang nyata dari alam pikiran masyarakat yang akan mengabdikan sesuatu yang dianggap penting serta memberikan banyak sumbangan terhadap kehidupan masyarakat. Kearifan lokal tersebar di berbagai wilayah Nusantara, salah satu bentuk kearifan lokal itu dalam masyarakat Mawasangka, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara diekspresikan dalam wujud kaBanti manari (menari). Danandjaja (1994: 20) menyatakan bahwa kearifan lokal diwariskan turun temurun secara lisan maupun 1 2 tertulis yang berfungsi sebagai perantara sosial-budaya masyarakat yang bertujuan sebagai media pendidikan dan sebagai sarana persuasif masyarakat. Sebagai salah satu bentuk kesenian rakyat yang diwariskan secara turuntemurun, kaBanti menari tidak diketahui secara pasti kapan lahir dan berkembang di dalam masyarakat pendukungnya. Menurut Niampe dalam Udu (2009: 19), kaBanti tersebut tergolong karya yang banyak jumlahnya dan populer di kalangan pendukungnya. Penyebaran kaBanti menari yang sudah berlangsung lama, yang meliputi seluruh Barata yang ada di kesultanan Buton, mulai dari Barata Muna dan Barata Tiworo di barat sampai dengan Barata Kulisusu di utara dan Barata Kaledupa di timur pulau Buton. Sehubungan dengan itu, kaBanti manari (menari) yang dalam bahasa Indonesia disebut nyanyian rakyat adalah salah satu unsur kebudayaan yang mengandung pesan moral berupa nilai agama, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai budaya, serta nilai kearifan lainnya. Sebagai salah satu bentuk budaya, kaBanti menari bertujuan mengkomunikasikan pikiran masyarakat yang tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kaBanti menari tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kearifan lokal karena merupakan ungkapan puisi tradisional sebagai cermin dari kebudayaan kolektif yang mengandung nilainilai tertentu. Salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara adalah kaBanti manari. KaBanti menari merupakan salah satu jenis kaBanti yang ditarikan oleh pelaku laki-laki maupun perempuan sambil menyampaikan puisi lisan berbalas-balasan. Puisi lisan itu dinyanyikan 3 dengan diiringi musik tradisional berupa gendang atau gambus. Senada dengan itu, Anceaux (1984:51) mendefinisikan kaBanti sebagai puisi, sajak, atau nyanyian. Karena dimainkan dengan paduan inilah maka kaBanti menari juga disebut sebagai total teater. Dikatakan sebagai total teater, karena pagelaran itu mengadung aspek teatrikal, yaitu gerak, lagu atau nyanyian, joget, musik dan ungkapan dalam bentuk puisi lisan. Dalam kaBanti menari tersebut mengandung amanat yang dapat disampaikan berupa ungkapan bersenang-senang antarpasangan yang sudah lanjut usia. Tujuannya adalah untuk menghibur, memberikan kejenakaan hidup di antara kelompok sosial. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Mawasangka, khususnya desa Lanto kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, setelah selesai acara pesta pernikahan, pada malam harinya para kawula muda maupun orang tua akan mengadakan pagelaran kaBanti menari. Namun, kaBanti menari pada mulanya dilakukan tidak hanya dalam pernikahan, tetapi pada acara-acara lain, seperti pada acara panen jagung muda. KaBanti menari tersebut berlangsung secara terus menerus tanpa henti dengan syair-syair yang sambung menyambung antara penyanyi laki-laki dan perempuan. Pada saat itu, para penyanyi tersebut akan melantunkan syair-syair kaBanti menari. Syair-syair kaBanti itu, penuh dengan makna dan tidak terlepas dari ungkapan-ungkapan kebahasaan (kiasan) yang berbentuk metafora. Selain kaBanti menari, masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton juga mengenal jenis-jenis kaBanti lainnya, seperti kaBanti kavekalolodo „pengantar tidur‟, dan kaBantino ganda yang meliputi kaBantino saha „nyanyian untuk tokoh 4 adat‟, kaBantino Yisa „nyanyian pada saat anak dilahirkan‟, kaBantino hukumu „nyanyian untuk hukum/tokoh adat‟, kaBantino kakalambea „nyanyian untuk gadis pingitan, kaBantino anai moelu „nyanyian untuk anak yatim piatu‟, dan lain sebagainya. Namun, dalam penelitian ini hanya difokuskan pada kaBanti menari masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Berikut ini salah satu contoh data wacana kaBanti manari (menari) masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. 1. L. mataku golayi santa mataku gula santan akundo pahia lau di belakang paria lau „Didepanku berkata manis, padahal dibelakangku berkata lain (pahit)‟ P. minei nekundoamu apuji mongkesa koa biar dibelakangmu saya puji kebagusanmu „Biar dibelakangmu saya tetap puji kegantenganmu‟ L. Bangunomo Dua seperti juga wamba lalo nowohae ae bicara perasaan siapa yang lihat „Itu hanya sebatas bahasa, perasaan seseorang siapa yang lihat‟ P. moha tonduno laloku moloDo nsoini fimu lihat tenggelamnya perasaanku tidur untuk mimpimu „Dalamnya perasaanku ini ketika kamu tidur akan hadir dalam mimpimu‟ L. no woha komo yinifi foga-fogampiyau dia lihat kamu mimpi geser-geser saya „Dalam mimpi saya, kamu selalu geser-geser saya‟ P. atumaBe mBaDa yitu paemo sohaea saya hindari badan itu bukan apa-apa lagi‟ „Saya hindari abang berarti saya tidak punya nilai lagi‟ 5 L. mau biar amateangko umondo ngkalisuau saya matikan kamu kamu kawin larikan saya „Biar saya sudah mati-matian, kamu tega larikan juga saya‟ P. toka akowabangko sapae sintu mpaemo saya bahasakan bahwa kamu tidak ada pilihan „Saya sudah bicarakan bahwa selain kamu tidak ada pilihan lagi‟ L. sumano tinda notantu aontoroana lalo yang penting jelas pasti tenang perasaan „Yang penting sudah jelas perasaan pasti tenang‟ Pada contoh (1) data wacana kaBanti menari di atas, bahasa yang digunakan oleh penyanyi laki-laki, dapat dikategorikan sebagai jenis bahasa yang bersifat metaforis. Dengan disampaikannya ungkapan tersebut, bisa diartikan sebagai gambaran bahwa masyarakat Mawasangka menganut sistem pertanian, di mana dalam wacana kaBanti menari itu menggunakan kata santa „air perasan kelapa‟ dan pahia „buah paria‟. Kedua kata tersebut merupakan salah satu hasil kebun masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kebahasaan (kiasan) tersebut, seperti pahia „paria‟ dan santa „air perasan kelapa‟ dan yang lain-lainnya menunjukan kondisi masyarakat Mawasangka pada umumnya bertani atau bercocok tanam. Hal seperti itu juga tercermin dari kebudayaan nenek moyang masyarakat Mawasangka pada zaman dahulu. Di samping itu, ungkapan berbalas yang ditarikan oleh pelaku laki-laki maupun perempuan dalam wacana kaBanti menari sebagaimana yang ditunjukkan pada contoh data di atas dapat memuat penggambaran keadaan masyarakat 6 penuturnya yang khas, terutama pada pandangan hidup dan ajaran lokal yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Dalam wacana kaBanti menari di atas, secara tersirat terdapat gambaran budaya, serta dapat mencerminkan pola pikir masyarakat Mawasangka yang terbuka terhadap sesuatu yang tidak melanggar adat dan agama. Apabila dilihat dari segi fungsinya, wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara berfungsi untuk menghaluskan kata-kata atau menyindir penyanyi perempuan dan/ataupun sebaliknya. Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat kita mengetahui bahwa pagelaran kaBanti manari (menari) ini selain memudahkan seseorang dalam menuangkan apa yang dirasakannya, juga dapat meningkatkan nilai moral dan mempertahankan nilai-nilai budaya yang sangat berharga, khususnya bagi masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan kata lain, ungkapan-ungkapan kebahasaan yang terdapat dalam nyanyian kaBanti menari tersebut mengandung nilai moral yang sangat tinggi dan dapat mencerminkan karakteristik budaya masyarakat Mawasangka. Ungkapan kebahasaan dalam kaBanti menari tersebut tidaklah disampaikan secara langsung melainkan menggunakan bahasa kias yang berbentuk metafora sehingga hal ini semakin menambah keindahan nyanyian tersebut. Keindahan nyanyian itu tentunya akan semakin menarik para pendengar atau penonton. Namun pada masa sekarang, pagelaran seni kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka, khususnya di desa Lanto Kabupaten Buton mulai jarang 7 digelar. Hal ini, karena adanya kehadiran alat hiburan lain yang dianggap modern telah menggeser posisi yang ditempati kaBanti menari sebagai seni pertunjukkan masyarakat Mawasangka, khususnya di desa lanto Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun demikian, kenangan masyarakat Mawasangka tentang kaBanti menari, khususnya dikalangan orang tua masih sangat kuat. Berbeda dengan kalangan generasi muda, khususnya para remaja Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang berada di desa Lanto justru berada dalam kenangan yang samar-samar, kurang mengetahui sejarah, bentuk, dan fungsi kaBanti menari itu sendiri. Di samping itu, tidak ditemukan lagi yang menggunakan syair-syair kaBanti menari dalam menyampaikan cinta kasih atau simpati terhadap lawan jenis mereka. Mereka kebanyakkan lebih senang menggunakan kata-kata yang secara langsung pengungkapannya, seperti nyanyian-nyanyian berbahasa Inggris yang bertemakan „cinta‟, yang isinya di samping menganut budaya dari daerah lain yang kemungkinan besar belum sesuai dengan budaya daerah setempat, juga bahasanya pun tampak vulgar. Sebagai salah satu contohnya, seorang remaja yang mengungkapkan perasaan cintanya secara langsung kepada lawan jenisnya dengan mengatakan I love you atau saya mencintaimu. Dengan demikian, wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi objek kajian yang menarik, karena pesan moral yang disampaikannya berupa anekdot-anekdot segar yang tidak menyindir secara langsung. Selain itu, pada wacana kaBanti menari itu, juga mengandung nilai-nilai budaya dan pandangan masyarakat setempat terhadap 8 kehidupan sehingga bisa diketahui kearifan lokal (lokal geniusi) yang terdapat pada masyarakat itu. Di samping itu, kajian ini diharapkan dapat mengungkapkan seluk beluk kebiasaan masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, khususnya masyarakat desa Lanto, termasuk aspek budaya berdasarkan kajian linguistiknya. 1.2 Rumusan Masalah Merujuk pada latar belakang di atas, untuk menguak tradisi lisan masyarakat Mawasangka, melalui fenomena bahasa wacana kaBanti menari, maka penelitian ini membahas masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk dan struktur wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara? 2. Bagaimanakah fungsi wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara? 3. Bagaimanakah pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang tercermin dalam bahasa wacana kaBanti menari? 1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Penelitian ini bertujuan untuk membahas wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Alasannya, karena ujaran wacana kaBanti menari memiliki bentuk tidak seperti kalimat biasa, sehingga perlu diketahui bagaimana struktur percakapan yang 9 terjadi bila menggunakan bentuk wacana kaBanti menari. Di samping itu, penelitian tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana deskripsi wacana kaBanti menari. Selain itu, terdapat pula tindakan-tindakan ujaran dalam dalam wacana kaBanti menari yang dapat mencerminkan pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka, seperti meminta izin kepada tokoh-tokoh masyarakat atau adat ketika akan mengadakan acara kaBanti menari. Dengan demikian, penelitian ini hanya dibatasi dalam wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka, yang berupa bentuk dan struktur wacana kaBanti menari, fungsi wacana kaBanti menari, serta pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang tercermin dalam wacana kaBanti menari. Dalam hal ini, yang dapat ditinjau adalah perilaku verbal berupa unit-unit lingual meliputi kosa kata, rangkaian kata, klausa, kalimat, dan wacana. Adapun perilaku nonverbal adalah berupa folklor yakni jenis tari, alat musik (gambus dan gendang) dan disertai gerak lagu serta bahasa tubuh yang dapat bertujuan untuk memberikan hiburan kepada masyarakat, khususnya masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan bentuk dan struktur wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara 10 2. Mendeskripsikan fungsi wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara 3. Mendeskripsikan pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang tercermin dalam wacana kaBanti menari. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat teoretis Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berharga dan bermanfaat bagi perkembangan teori linguistik atau sekurang-kurangnya dapat memperkaya khasanah teori linguistik atau etnolinguistik. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan acuan atau pertimbangan bagi peneliti-peneliti lainnya di masa yang akan datang. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai bentuk dan struktur wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Di samping itu, manfaat bagi masyarakat, hasil penelitian ini memberi informasi kepada masyarakat tentang tingkat ancaman terhadap kelangsungan hidup bahasa dan budaya, khususnya pada wacana kaBanti menari. Dengan demikian, diharapkan penutur bahasa Mawasangka menjadi lebih menyadari peran mereka sebagai penentu pelestarian atau sebaliknya. 11 1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian yang berhubungan dengan kaBanti telah banyak dilakukan, baik kaBanti dalam bentuk lisan maupun kaBanti dalam bentuk tulisan (naskah). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Udu (2006) dengan judul “Metafora dalam KaBanti Pengantar Tidur”. Ia mengambil obyek tentang kaBanti yang merupakan nyanyian rakyat untuk menidurkan anak. Penelitian ini mengungkapkan berbagai hal tentang kehidupan penyanyi kaBanti, baik berupa pikiran, perasaan, budaya, adat-istiadat, nasihat-nasihat, maupun kebiasaan-kebiasaan lain yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Wakatobi. Adapun perian yang dihasilkan dari penelitian ini adalah mengenai unsur-unsur, makna, dan pandangan budaya masyarakat Wangi-Wangi, kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Perian yang kedua adalah mengenai jenis dan ciri khas metafora dalam kaBanti. Penelitian terhadap naskah “KaBanti Bula Malino” karya Haji Abdul Ganiu telah dilakukan oleh La Niampe (1998). Dalam kajian ini, ia mengkaji naskah KaBanti Bula Malino berdasarkan tinjauan sastranya, yakni melalui suntingan teks disertai dengan aparat kritiknya pada enam teks varian KaBanti Bula Malino. Hal serupa juga dilakukan pada naskah KaBanti Kaluku Panda oleh Ali Rusdin (2002). Penelitian ini menemukan lima varian naskah itu, dengan naskah A sebagai naskah landasannya. Penelitian terhadap kaBanti sebagai tradisi lisan juga telah dilakukan oleh Sulfiah (2002) di kecamatan Gu-Lakudo kabupaten Buton. Ia menganalisis bentuk-bentuk kaBanti berdasarkan fungsinya. Ia mengklasifikasikan kaBanti ke 12 dalam tiga jenis berdasarkan fungsinya, yaitu kaBanti sebagai nasihat, kaBanti sebagai sindiran, dan kaBanti sebagai pujian. Penelitian tentang struktur kaBanti yang dilakukan oleh La Hamudi (2000) di daerah Cia-Cia, kecamatan Sampolawa, kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Ia menemukan beberapa hal tentang struktur kaBanti. Menurutnya, kaBanti terdiri atas bait-bait. Tiap-tiap bait terdiri atas dua baris dan tiap-tiap baris terdiri atas empat sampai enam kata atau frasa. Ia juga mengatakan bahwa panjang pendeknya nyanyian kaBanti akan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat menyanyikan kaBanti itu. KaBanti pada masyarakat Gu-Lakudo dan Cia-cia yang menjadi objek penelitian kedua peneliti di atas dikenal dengan sebutan kaBanci. Hal ini berkaitan dengan bahasa daerah pada kedua masyarakat itu, yakni bahasa Cia-cia dan bahasa Gu-Lakudo sedangkan dalam bahasa Wakatobi, dan Mawasangka tradisi lisan ini dikenal dengan sebutan kaBanti. Sementara itu, penelitian yang berkaitan dengan budaya yang terkadung dalam bahasa yang digunakan pada budaya rakyat atau masyarakat dan kesenian rakyat telah dikemukakan oleh beberapa peneliti, diantaranya. Kamaliana (2007) dengan judul “Berbalas Pantun dalam Pernikahan: Suatu Kajian Tindak Tutur Bahasa Melayu Sanggau, Kalimantan Barat”. Ia membahas tiga permasalahan diantaranya struktur wacana berbalas pantun dalam pernikahan, tindak tutur apa yang menjadi isi wacana berbalas pantun, serta pandangan hidup dan budaya lokal yang terefleksikan dalam tindak tutur wacana berbalas pantun pada penikahan Melayu Sanggau tersebut. Struktur wacana berbalas pantun dalam penikahan Sanggau berupa berbalas pantun satu arah; 13 tindak tutur wacana berbalas pantun dalam pernikahan Sanggau bisa dilihat dari setiap rangakaian pantun jual atau rangkaian pantun belinya. Satu rangkaian pantun mengandung satu tindak tutur utama, dan tindak tutur utama itu terdiri dari beberapa tindak tutur penunjang. Femmy Lumempouw (2002) menulis tentang “Penggunaan Bahasa dalam Tarian Maengket sebagai Pengungkap Pola Pikir Etnik Tonsea”. Dalam penelitiannya tersebut mengemukakan Maengket merupakan salah satu jenis tarian tradisional yang diiringi lagu dengan sekelompok penari, sambil menyanyi mereka membentuk lingkaran. Ia membagi tiga bagian dalam tarian tersebut, antara lain; (1) pujian kepada Allah yang Maha tinggi. Hal ini diungkapkan dengan syair yang banyak berisi istilah-istilah yang mengandung makna budaya dan mengungkapkan pola pikir etnik Tonsea; (2) permintaan kepada Allah yang Maha tinggi, di mana syair yang dinyanyikan berupa tanya jawab dari para petani pria dan wanita; dan (3) bersukaria memetik padi baru, syair yang dinyanyikan berupa tanya dan jawab. Aton Rustandi Mulyana (2004), denga judul “Pantun Sunda, Tutur Arkais yang Terpinggirkan”. Ia memaparkan tentang keberadaan pantun bagi petani Sunda yang memiliki akat ikatan masa yang cukup tua. Diduga awal kemunculan seni pantun tersebut seiring dengan hadirnya kegiatan pertanian, berladang, dan berhuma. Pantun Sunda bersifat monolog yang fungsional dan sangat terikat dengan aturan waktu, ruang, dan pelaku. Berdasarkan pada uraian tinjauan pustaka di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belum ditemukan adanya kajian etnolinguistik yang terfokus 14 pada wacana kaBanti menari masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. 1.7 Landasan Teori Adapun landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) studi etnolinguistik, (2) konsep kaBanti, (3) perihal wacana, (4) konsep bentuk, (5) fungsi bahasa, (6) perspektif budaya dan (7) konsep pola pikir. Berikut ini uraian ringkas dari masing-masing konsep tersebut. 1.7.1 Studi Etnolinguistik Studi etnolinguistik dapat pula disamakan atau disebut dengan studi linguistik antropologis (Kridalaksana, 2008: 59). Di samping itu, Kridalaksana (2008: 59) menjelaskan bahwa etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan yang belum mempunyai tulisan. Namun demikian, definisi tersebut pada perkembangannya meluas karena studi etnolinguistik tidak hanya dilakukan pada bahasa suku bangsa saja yang belum mengenal tulisan. Tetapi, juga dapat dilakukan pada suku bangsa yang sudah mengenal tulisan. Oleh karena itu, studi etnolinguistik pada suku yang telah mengenal tulisan ini dipusatkan pada hubungan yang terjalin antara bahasa dengan kebudayaan suku bangsa tersebut. Studi linguistik antropologis merupakan hasil perpaduan antara studi antropologi dan studi linguistik. Kedua disiplin ilmu ini berpadu menjadi studi linguistik antropologi, karena keduanya dapat memahami makna bahasa dalam 15 suatu masyarakat itu tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat setempat, hal ini karena keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Duranti (1997: 2) mengemukakan bahwa istilah etnolinguistik banyak dipergunakan di Eropa, sedangkan di Amerika lebih sering menggunakan istilah linguistik antropologis atau antropologi linguistis. Berdasarkan makna kata pembentuknya, yaitu etnos yang berarti bangsa dan linguistics yang berarti ilmu bahasa. Jadi, etnolinguistik adalah studi tentang bahasa pada suku bangsa tertentu yang belum mengenal tulisan. Foley (1997: 1) mengatakan bahwa linguistik antropologi adalah bagian dari linguistik yang memperhatikan kedudukan bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Salah satu aspek etnolinguistik yang menonjol adalah relativitas bahasa. relativitas bahasa adalah sebuah bagian dari aliran filsafat yang menyatakan bahwa pengalaman dalam ketertarikan manusia akan budaya memegang peranan yang penting dan menentukan fungsi kognitif (Foley, 1997: 169). Wilhelm Von Humboldt berhipotesis bahwa pola unik setiap bahasa menjadikan pandangan yang berbeda mengenai dunia (Keesing, 1989: 87). Hipotesis tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh seorang ahli antropologi bernama Edward Sapir. Ia menyatakan bahwa dunia di mana masyarakat yang berbeda tinggal adalah dunia yang berbeda. Pola-pola bahasa sangat penting dalam membentuk berbagai dunia budaya yang berbeda. Steinberg (2001: 245) menyatakan bahwa ada empat formulasi mengenai hubungan antara bahasa, pikiran, dan budaya. Pertama, adalah ucapan yang merupakan hal yang esensial bagi pikiran. Kedua, bahasa merupakan hal yang 16 esensial bagi pikiran. Ketiga, bahasa menentukan atau membentuk persepsi kita tentang alam. Keempat, adalah bahasa menentukan atau membentuk pandangan dunia kita. Oleh karena itu, peneliti dalam penelitian ini, akan mencoba untuk mengemukakan keterkaitan antara bahasa, budaya, dan pikiran atau pandangan tentang dunia yang melingkupi tradisi kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Di mana tradisi tersebut berkaitan dengan pandangan masyarakat tentang dunia dan persepsi tentang alam yang tercermin dalam bentuk kebahasaan yang ada di dalamnya. Sementara itu, etnosains (ethnosciencei) adalah pengetahuan yang ada atau dimiliki suatu bangsa atau lebih tepat suatu suku bangsa tertentu atau subkultur tertentu (Ahimsa-Putra, 1985: 110). Sistem pengetahuan yang dimaksud merupakan sistem pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, dan berbeda dengan sistem pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lainnya. etnosains banyak memperhatikan kategorisasi-kategorisasi yang dimiliki oleh suatu kebudayaan tertentu (Ahimsa-Putra, 1985: 118). 1.7. 2 Konsep KaBanti (Nyanyian Rakyat) Secara etimologi kaBanti berasal dari bahasa Wolio, yang terdiri dari dua morfem yaitu morfem terikat ka- dan morfem bebas Banti. Morfem terikat kadapat berfungsi sebagai pembentuk kata benda, sedangkan morfem bebas Banti mengandung pengertian puisi. Jadi, kaBanti berarti “ikhwal puisi” (Niampe, 1997: 8). 17 Sementara itu, Nsaha (1978: 235) mengatakan bahwa kaBanti merupakan mutiara-mutiara kebijaksanaan atau pernyataan rasa dalam bentuk yang amat digemari dan mengena hingga di dasar hati, baik dalam situasi pembicaraan umum maupun dalam suasana dari hati ke hati. Senada dengan itu, Taalami (2008, lihat Udu, 2008: 59 dan Asrif, 2008) mengartikan kaBanti sebagai salah satu jenis lagu yang berisi ungkapan perasaan (cinta kasih, sedih, kegembiraan, dan kerinduan), juga nasihat. Niampe (1999: 1) mendefinisikan kaBanti yang lebih luas lagi yaitu bahwa kaBanti sebagai salah satu jenis kesusastraan yang berbentuk puisi yang merupakan hasil pengolahan bebas dari kesusastraan bentuk prosa. Menurut Niampe, petuah-petuah tentang tuntunan dan falsafah hidup yang dilandasi oleh ajaran agama islam disampaikan melalui kesusastraan jenis kaBanti. Pengertian kesusastraan yang kaBanti kadang merupakan dideskripsikan senandung falsafah sebagai hidup pagelaran yang telah terdokumentasi melalui naskah-naskah Buton. Selain kaBanti sebagai senandung yang dibacakan dari naskah-naskah Buton, ada pula kaBanti yang disenandungkan secara lisan dan spontanitas. Dari kedua pendeskripsian tentang kaBanti tersebut dapat dipahami bahwa kaBanti memiliki dua pengertian sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian, kaBanti dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis dan tujuan yang berbeda pula. Kedua jenis kaBanti tersebut yaitu kaBanti yang berada di dalam keraton Buton (naskah) dan kaBanti yang berada di luar keraton Buton yang digelar diperkampungan pesisir pada acara-acara hiburan sosial. Isi kaBanti 18 di luar keraton yakni tentang ungkapan perasaan cinta-kasih, kesedihan, kegembiraan, ataupun kerinduan, dan nasihat sedangkan kaBanti yang berada di dalam keraton didefinisikan sebagai puisi yang berisi petuah-petuah tentang tuntunan dan falsafah hidup yang dilandasi oleh ajaran agama Islam. Dari perbedaan pengertian kaBanti seperti yang diuraikan di atas, menandahkan bahwa masyarakat Buton memiliki, sekurangnya dua jenis kaBanti yakni yang pertama kaBanti naskah yang selanjutnya disebut kaBanti keraton dan yang kedua adalah kaBanti bukan naskah selanjutnya disebut kaBanti pesisir. Namun, kedua jenis kaBanti tersebut tidak hanya berbeda pada aspek penciptaan, isi, dan tempatnya saja, tetapi pada cara pendokumentasian dan pertunjukannya pun berbeda pula. 1.7.3 Perihal Wacana Djajasudarma (1994: 4) mengatakan bahwa wacana rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulis. Pada umumnya, wacana mengasumsikan adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Sementara itu, He (2001:429) merumuskan wacana sebagai istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena linguistik dalam konteks pemahaman, situasi dan budaya berdasarkan penggunaannya dan mengidentifikasi sumber-sumber linguistik yang membentuk tuturan (seperti identitas, peranan, aktivitas, kelompok penutur, emosi, pengetahuan). 19 Selanjutnya, Crystal (2001:118) menyatakan bahwa wacana merupakan istilah yang digunakan dalam linguistik yang mengacu pada rangkaian bahasa yang berkesinambungan (khususnya lisan) yang lebih luas daripada kalimat. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa wacana sebagai satuan (unit) perilaku adalah seperangkat ujaran yang berhubungan dengan segala kejadian tutur yang dapat dikenali seperti percakapan, lelucon, khotbah dan wawancara. Dari sudut pandang sosiolinguistik, wacana dianalisis berdasarkan klasifikasi fungsinya dengan referen tertentu seperti jenis subjek masalah, situasi dan sifat para penuturnya. Samsuri (1998: 1) dalam Sumarlam (2003: 8) menyatakan bahwa wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Dalam komunikasi tersebut dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula menggunakan bahasa tulisan. Secara garis besar Sumarlam (2003: 1) membagi wacana menjadi dua bagian, yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Istilah wacana sering digunakan dalam pengertian yang sama dengan teks. Kedua istilah tersebut menunjuk pada satu unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Kesatuan dalam wacana menurut Halliday dan Hasan (1976: 1) adalah kesatuan yang bersifat semantis. Oleh karena itu, sebuah wacana tidak harus selalu direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat, melainkan dapat juga dijumpai dalam sebuah kalimat, klausa, frase, ataupun kata yang diikuti oleh konteks dan situasinya. Jika kita kembali pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, maka realisasi dalam bentuk komunikasi tidak hanya dapat diwujudkan dalam bentuk percakapan, tetapi juga bisa berupa tulisan pada buku, cerita pada novel, laporanlaporan yang bersifat ilmiah, pembicaraan di depan umum, teks-teks bacaan, dan 20 lain-lain. Dengan demikian, Rani, dkk (2006: 25) mengatakan bahwa ada bermacam-macam cara untuk membuat klasifikasi wacana. Pengklasifikasian wacana bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Dilihat dari bentuk saluran yang digunakan, dikenal wacana lisan dan tulisan. Dilihat dari jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi dikenal ada wacana monolog, dialog, dan polilog, sedangkan dari tujuan berkomunikasi, ada wacana deskripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi. 1.7.4 Konsep Bentuk Bentuk (form) diartikan sebagai realitas kombinasi unit-unit di dalam suatu bahasa (matthews, 1997). Ini berarti bentuk adalah struktur yang berada dalam sistem (noth, 1990). Sehubungan dengan itu, bentuk yang dimaksudkan dalam tulisan ini mencakup jenis dan struktur. Jenis ini diidentifikasi berdasarkan cara penutur/pembicara mengekspresikan sesuatu hal secara verbal atau dengan menggunakan bahasa (Halliday, 1992). Cara ekspresi yang dimaksud berkaitan dengan suasana dan norma (Ola, 2005). Sementara strktur kaBanti menari berkaitan dengan pemanfaatan unsur-unsur kebahasaan (strktur kebahasaan) dengan menyiratkan makna tertentu dan juga tentang bagian-bagian (susunan) yang membangunnya (struktur penuturan). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kaBanti menari merupakan salah satu bentuk penggunaan unsur-unsur linguistik dan mempunyai susunan penuturan yang khas (bdk. Ola, 2005). Struktur penuturan kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka Kabupaten 21 Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dibentuk oleh unsur pembuka, unsur isi/tubuh, dan unsur penutup (Saputra, 2007). Bentuk-bentuk linguistik adalah bentuk budaya yang digunakan berdasarkan kesepakatan guyub tutur dan semua bentuk linguistik (struktur morfem, morfologi, dan sintaksis) itu merupakan subkelas dari kategori bentukbentuk budaya (Bock, 1972, dalam Ola, 2005: 113). Unsur-unsur linguistik yang khas pada kaBanti menari masyarakat Mawasangka mencakup (1) aspek fonologis; (2) tata bahasa (konstruksi kalimat dan wacana); dan kosa kata (leksikon). Namun, dalam tulisan ini, yang menjadi fokus analisis adalah berupa aspek kohesi leksikal dan kohesi gramatikal. 1.7.5 Fungsi Bahasa Dengan mengacu pada uraian di atas, untuk mengkaji wacana kaBanti menari dalam masyarakat Mawasangka Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara tidak lepas dari fungsi utama bahasa yaitu sebagai alat komunikasi. Selain itu, bahasa juga memiliki fungsi ekspresif, yaitu dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penuturnya, kata-kata sumpah serapah dan kata-kata seru adalah contoh yang paling jelas dalam hal ini. Fungsi yang ketiga adalah fungsi direktif, yaitu jika kita hendak mempengaruhi perilaku atau sikap orang lain, misalnya memerintah dan memohon, yang dikatakan secara langsung. Fungsi ekspresif juga meliputi penggunaan bahasa dalam puisi, namun Leech cenderung menyimpulkan penggunaan bahasa dalam puisi sebagai fungsi estetik (Leech, 2003:64). 22 Pendapat lain tentang fungsi bahasa dikemukakan oleh Karl Buhler dalam Halliday dan Hasan (1994: 21) yang membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri, si penutur, bahasa konatif yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara, dan bahasa representational yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya atau apa saja selain si pembicara atau lawan bicara. Pendapat Buhler ini kemudian diperluas oleh Roman Jakobson dalam Halliday dan Hasan (1994: 21) dengan menambahkan tiga fungsi lagi yaitu fungsi poetik yang terarah pada pesannya, fungsi transaksional yang terarah pada sarananya, dan fungsi metalinguistik yang terarah pada kodenya atau lambangnya. Desmond Morris dalam Halliday dan Hasan (1994: 21) juga mengelompokkan fungsi bahasa menjadi empat macam yaitu information talking, mood talking, exploratory talking, dan grooming talking. Information talking adalah fungsi pertukaran keterangan. Mood talking berfungsi sama dengan fungsi ekspresif yang dikemukakan oleh Buhler. Exploratory talking sebagai ujaran untuk kepentingan ujaran (fungsi estetis dan fungsi drama). Grooming talking adalah tuturan yang sopan dan tidak berarti dalam peristiwa sosial yang maksudnya kerukunan melalui percakapan. Menurut Vestergaard dan Schroder (dalam Abdul Rani, 2006: 20), fungsi bahasa seperti berikut. 1. Fungsi Ekspresif. Fungsi ini mengarah pada penyampai pesan. Bahasa digunakan untuk mengekspresikan emosi, keinginan dan perasaan penyampai pesan. 23 2. Fungsi direktif. Fungsi ini mempergunakan bahasa untuk mempengaruhi orang lain, baik emosinya, perasaannya maupun tingkah lakunya. Misalnya memberi keterangan, mengundang, memerintah, mengingatkan dan mengecam. 3. Fungsi informasional. Bahasa berfokus pada makna. Fungsi bahasa tersebut digunakan untuk menginformasikan sesuatu, misalnya melaporkan, mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengonfirmasikan sesuatu. Makna (informasi atau ide) kalimat-kalimat di dalam wacana menjadi fokus. 4. Fungsi metalingual. Bahasa berfokus pada kode. Dalam fungsi tersebut, bahasa digunakan untuk menyatakan sesuatu tentang bahasa. Kode bahasa digunakan untuk melambangkan kode yang lain. 5. Fungsi interaksional. Bahasa berfokus pada saluran. Fungsi interaksional bahasa digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan, dan mengakhiri suatu kontak komunikasi antara penyampai pesan dan penerima pesan. 6. Fungsi kontekstual. Bahasa berfokus pada konteks pemakaian bahasa. 7. Fungsi puitik. Bahasa berorientasi pada kode dan makna secara simultan. Maksudnya, kode kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat mewadahi makna yang hendak disampaikan oleh sumber pesan. 1.7.6 Perspektif Budaya Duranti (1997: 24) mengemukakan pendapatnya mengenai budaya merupakan sesuatu yang dipelajari, ditransmisikan, dan diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, baik melalui tindakan-tindakan maupun melalui interaksi secara langsung. Di samping itu, ia menambahkan bahwa manusia akan 24 menerima dan mempelajari budaya masyarakat di mana ia tinggal melalui bahasa. Hal ini dapat menyebabkan para pakar antropologi berupaya menggunakan berbagai bahasa untuk menjelajahi struktur dunia konseptual bangsa-bangsa di dunia. Hubungan bahasa dan kebudayaan di kalangan ahli antropologi, sosiologi dan bahasa bukanlah merupakan hal yang baru, tetapi sejauh mana bahasa membentuk dan mengontrol pemikiran para penuturnya melalui persyaratan perseptual yang dibuatnya dan sejauh mana bahasa merefleksikan pandangan mereka tentang dunianya, masih sering dipertentangkan. Namun demikian, pasti terdapat korelasi antara bentuk dan isi bahasa dengan kepercayaan dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat (Ibrahim, 1994:45). Di samping itu, W. Goodenough dalam Duranti (1997: 27) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan atau sistem ide. Dalam defenisi ini, makna yang diberikan oleh pendukung kebudayaan turut diperhitungkan, bahkan menduduki posisi yang penting. Hal ini sejalan dengan tujuan etnolinguistik yang menganggap penting tiap fakta kebahasaan beserta makna yang terkandung di dalamnya, yang dituturkan oleh informan atau pemiliki suatu kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan merupakan kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan, dan lainlain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Tylor, 1871 dikutip Haviland, 1999 : 219). Oleh karena itu, warisan yang telah turun temurunkan oleh 25 nenek moyang, termasuk kaBanti menari dalam budaya masyarakat Mawasangka sangat penting untuk dilestarikan. 1.7.7 Konsep Pola Pikir Ahimsa-Putra (1985: 107) mengatakan bahwa pola pikir adalah sebuah pengetahuan suatu masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip yang sebagaimana dinyatakan melalui bahasa. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam lingkungan manusia. dari nama-nama itu dapat diketahui patokan apa yang dapat dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi-klasifikasi, yang berarti juga dapat diketahui “pandangan dunia‟ pendukung kebudayaan. Sementara itu, Casson (1981: 75) mendefenisikan pola pikir sebagai inferensi atau integrasi kategori konsep yang diperoleh melalui tindak klasifikasi yang hasilnya merupakan bentuk skemata. 1.8 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Gunarwan, (2001: 19) menjelaskan bahwa data kualitatif adalah data yang dikumpulkan dengan tidak dihitung jumlah atau kekerapan munculnya, tetapi peristiwa dan fenomena yang dikaji dan ditelaah secara mendalam. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta kebahasaan yang ada fenomena yang memang secara empiris hidup pada penuturnya. 26 Metode ini memuat tahapan strategis yang terbagi atas tiga bagian yaitu metode pengumpulan data, analisis data, dan penyajian analisis data (Sudaryanto, 1993:57). 1.9 Pendekatan Penelitian Pendekatan etnolinguistik dipilih sebagai pendekatan karena disiplin ilmu ini mempunyai pemahaman bahwa bahasa itu sebagai rangkaian praktik-praktik kebudayaan yang memainkan peranan esensial dalam mediasi ide-ide dan aspekaspek material dari keberadaan dunia. Melalui pendekatan etnolinguistik diharapkan mampu menguraikan kehidupan sosial-budaya masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun demikian, pandangan ini berawal dari asumsi teoritis yaitu kata-kata dan penemuanpenemuan empirik bahwa tanda-tanda linguistik adalah sebagai repsentase dunia yang nyata (Kramsch, 2000: 3). 1.9.1 Sumber Data Data penelitian berupa tuturan lisan wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Data atau sumber informasi yang berkaitan dengan penelitian ini diperoleh dari orang-orang yang masih mengamalkan syair-syair kaBanti menari serta masih menjaga puisi tradisional yang berbentuk kaBanti menari tersebut. Secara kontekstual, untuk menghendaki adanya perwujudan data-data bahasa apa adanya melalui pengamatan secara langsung tindak tutur masyarakat setempat (Kushartanti, dkk., 2005: 232). Kata-kata dan tindakan orang-orang yang 27 diwancarai merupakan sumber data utama, yang dapat dikumpulkan melalui rekaman, proses tersebut berperan serta dan merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan bertanya (Moleong, 2005: 157). 1.9.2 Metode Pengumpulan Data Secara umum, data yang diperoleh dalam penelitian adalah data primer. Data primer adalah data yang dapat diperoleh dengan memanfaatkan metode simak bebas libat cakap (Sudaryanto, 1993), dengan menerapkan teknik rekam, teknik simak, dan teknik catat. Setelah teknik tersebut dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah memilih dan memilah data sekaligus dilakukan pengklasifikasian data guna mendapatkan data yang optimal. Selain itu, data tentang kebudayaan yang dapat digunakan sebagai referen aktivitas budaya dan pandangan hidup keseharian masyarakat dikumpulkan dengan metode partisipasi observasi (Spradley, 1979). Oleh sebab itu, penulis harus terlibat aktif berpartisipasi dengan masyarakat Mawasangka dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penulis mudah melakukan analisis pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka bila dilihat dari wacana kaBanti menari. 1.9.3 Metode Analisis Data Setelah data terkumpul, dilakukan identifikasi bahasa berupa proses penerjemahan. Proses tersebut dituntut selalu ada dalam melakukan penelitian lapangan untuk menemukan pandangan dunia (penemuan) dan menulis deskripsi budaya (Spradley, 1997: 89). Selanjutnya, data dianalisis untuk mengarah pada 28 penemuan sistem budaya tertentu melalui penafsiran dan penyimpulan. Dalam menganalisis data mengenai wacana kaBanti menari pada masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan beberapa tahap, yaitu (1) terjemahan harfiah dan bebas; (2) analisis bentuk dan struktur wacana kaBanti menari; (3) analisis fungsi wacana kaBanti menari; serta pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara yang tercermin dalam wacana kaBanti menari. Proses terjemahan data-data tersebut berupa terjemahan harfiah dan bebas. Proses yang pertama dilakukan dengan menuliskan kata per kata bahasa asli kemudian di bawahnya bahasa terjemahan (bahasa Indonesia). Hal ini dilakukan untuk melihat (i) arti kata itu sendiri, (ii) susunan kata dalam kalimat panjang apabila data-data yang diterjemahkan berupa kalimat-kalimat bahasa asli (wacana kaBanti menari). Hal ini dilakukan agar pembaca atau peminat lainnya akan mengetahui makna yang terkandung pada kalimat-kalimat (wacana kaBanti menari) tersebut. Dengan demikian, wacana kaBanti manari (menari) dalam masyarakat Mawasangka kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara, untuk mengetahui pandangan hidup dan budaya lokal masyarakat Mawasangka dilakukan dengan melalui gabungan perspektif penyelidikan etnometodologi dan etnokomunikasi. 1.9.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Dalam penyajian hasil analisis data, peneliti mempresentasikan dan mendeskripsikan berbagai bentuk atau struktur wacana kaBanti menari, fungsi wacana kaBanti menari dalam setiap proses komunikasi pada peristiwa dalam 29 wacana kaBanti menari secara informal yakni dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993: 145 dan Mashun, 2005: 255). 1.9.5 Penetapan Lokasi Penelitian Desa yang ditetapkan sebagai lokasi penelitian adalah desa Lanto, desa Lalibo, dan desa Lantongau kecamatan Mawasangka Tengah kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. 1.9.6 Informan Informan adalah orang yang dapat memberi informasi yang berkaitan dengan obyek penelitian. Pemilihan informan didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka adalah orang atau warga masyarakat yang memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai obyek yang diteliti. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ditentukan beberapa kriteria informan yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi, diantaranya. 1. Penutur asli dan berdomisili di lokasi penelitian 2. Pelaku seni pertunjukan kaBanti menari. 3. Jarang meninggalkan daerah/lokasi penelitian dalam waktu yang terlalu lama 4. Komunikatif sehingga mudah memahami apa yang diajukan peneliti 5. Berusia 35-70 tahun, karena usia ini masih produktif dan aktif dalam kegiatan masyarakat 6. Sehat jasmani dan rohani, artinya tidak cacat dalam organ bicara serta waras atau tidak gila (Konisi, 2002:12-13).