E-GOVERNMENT SEBAGAI INOVASI PELAYANAN

advertisement
E-GOVERNMENT SEBAGAI INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI
INDONESIA
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN *)
Oleh:
Choirul Saleh**)
Abstract
One of duty and responsibility of a public sector organization is delivering its
service in satisfied manner. For those purpose, a public sector institution need a
modern and sophisticated Information Communication Technology (ICT)-based
infrastructure to realize its duties and responsibilities. As a developing country,
even though very late in its introduction of ICT, Indonesia also implemented that
technology as an innovation in its delivering services activities. The objective of
this paper is to describe and analyze the steps that were taken by Indonesia to
make its service delivery more innovative by implementation of ICT-based public
service. The paper used a case study on E-passport service. Though
incomprehensive, the case study was a evidence of low result of the e-government
implementation in Indonesia.
Key words: public service, innovation, e-government
Pendahuluan.
Penggunaan sarana internet di
dunia bisnis yang diistilahkan sebagai ecommerse yang telah diterapkan secara
meluas yang diliris jejak sekitar 2
dasawarsa yang lalu, secara ekonomis
telah membawa keberuntungan secara
memuaskan bagi mereka. Bertolak
daricerita keberhasilan sektor bisnis
itulah yang dijadikan sebagai inspirasi
baru dan mendorong para policymaker
pada organisasi sektor publik di
beberapa negara maju untuk melakukan
reformasi
organisasinya
dalam
menggunakan
ICTsebagai
sarana
kerjanya, terutama dalam meningkatkan
efisiensi dan efektivitas kerja organisasi
atau institusi mereka. Beberapa negara
yang pertama kali memanfaatkan
internet sebagai sarana kerja mereka, di
antaranya adalah AS dan Singapora serta
Inggris (Rhonda, 2009). Bahkan ketiga
negara tersebut tidak saja menggunakan
sarana ICT dalam meningkatkan
efisiensi dan efektivitas kerja yang
bersifat teknis, lebih dari itu mereka juga
memanfaatkanICTtersebut
secara
intensif
dalam
rangkameningkatan
kualitas
pelayanan
publik,
serta
meningkatkan akuntabilitas hampir di
seluruh bidang kegiatan mereka,
sehingga ketiga negara tersebut dianggap
sebagai negara-negara pioner di dalam
mengaplikasikan E-Government (EGov).
Menanggapi tentang besarnya
manfaat yang telah diraih oleh negaranegara maju melalui penerapan E-Gov
tersebut, Farazmand (2004) mengatakan
bahwa E-Gov yang sangat sarat dengan
ICT
itu,
di
samping
mampu
meningkatkan kuantitas dan kualitas
transaksi, lebih dari itu hal tersebut juga
merupakan cara
jitu yang mampu
mengefisienkan waktu, biaya serta dapat
menyederhanakan birokrasi berbelit
yang sering terjadi di dalam organisasi
_____________________
*) Telah disampaikan pada Seminar Nasional Jurusan Ilmu Administrasi Publik Dalam Rangka Dies
Natalis FIA UB ke 51 pada tanggal; 08 Oktober
762011
**) Dosen Tetap Jurusan Ilmu Administrasi Publik FIA UB Malang.
Choirul Saleh, E-Government Sebagai Inovasi Pelayanan Publik di Indonesia 77
pemerintahan.
Sehubungan
dengan
berbagai kelebihan atas penerapan EGov tersebut, baik secara langsung
maupun tidak langsung ternyata dapat
menumbuhkan
tingginya
tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap negara
atau pemerintah.
Walaupun
berbagai
bukti
nyatatersebut telah
memberikan
petunjukbahwa banyak negara maju
yang bisa memperoleh manfaat besar
atas pengaplikasian E-Gov, tetapi secara
umum banyak negara yang terlambat
mengadopsi ICT tersebut ke dalam tubuh
organisasi pemerintahannya, terutama
bagi negara-negara sedang berkembang,
sebagaimana halnya yang terjadi di
Indonesia hingga di pertengahan tahun
2011 saat ini. Jangankan untuk
menyelenggarakan program E-Gov,
bahkan untuk mengaplikasikan EService pun pada umumnya mereka
sangat terlambat, dengan berbagai alasan
yang seolah-olah kelihatan logis,
mengapa mereka tidak tidak segera
mengadopsi ICT secara konsekwen
dalam rangka meningkatkan kinerja
mereka, terutama dalam melakukan
public services delivery bagi warga
negaranya.
Tidak berbeda dengan negaranegara sedang berkambang pada
umumnya, Indonesia hingga saat ini juga
masih termasuk sebagai salah satu
negara yang sangat terlambat dalam
mengodopsi ICT sebagai sarana utama
dalam pelaksanaan kerjanya. Bahkan
berdasarkan UN Goverment Survey
(2008) Indonesia belum termasuk
sebagai salah satu dari 70 negara di
dunia yang memiliki tingkat kesiapan
dan kemampuan yang cukup dalam
mengimplementasikan prinsip-prinsip EGovke dalam kehidupan organisasi
pemerintahannya.
E-Govovernance Sebagai Tindakan
Inovatif Pelayanan Publik.
Sejak penggunaan ICT telah
merambah secara luas ke dalam
kehidupan organisasi sektor publik,
ternyata pemanfaatan teknologi tersebut
tidak hanya mampu menggiring atas
terjadinya pergeseran yang positif
dibidang
proses
dan
prosedur
penyusunan kebijakan publik, tetapi juga
mampu
menciptakan
terjadinya
peningkatan
tranparansi
dan
akuntabilitas hampir diseluruh fungsi
pemerintahan,
dan
dapat
pula
meningkatkan jumlah cost saving pada
kegiatan administrasi pemerintahan.
Bahkan lebih dari pada itu penerapan EGov
secara
kuantitatif
mampu
memperluas
cakupan
pelayanan,
sedangkan secara kualitatif juga sangat
efektif dalam menumbuhkan tingkat
kepuasan masyarakat penerima jasa
layanan yang disedikan oleh pihak
pemerintah
sebagai
provider-nya.
Dengan kata lain dapat pula dikatakan
bahwa penerapan E-Gov secara esensial
merupakan tindakan inovatif bagi
terselenggarakannya pelayanan publik
yang dapat menciptakan kepercayaan
dan kepuasan masyarakat kepada
pemerintah.Dalam hal ini Pathak et al
(2008: 68) pernah mengtakan sebagai
berikut;
E governance, reformers aspire to
reincorce the connection between
public officials and communities
thereby leading to a stronger,
more accuntable and inclusive
democracy. The success of EGovernance requires fondamental
chnges in how goverment works
and how people view the
provisions
throgh
which
government is helping them.
Memperhatikan pendapat yang
telah diutarakan oleh Pathak et al
tersebut di atas, dapatlah diambil sebuah
pemahaman bahwasannya penerapan EGov. pada saat ini tidak boleh dipandang
hanya
sebagai
bentuk-bentuk
penyelenggaraan pemerintahan berbasis
ICT dengan memanfaatkan jaringan
internet semata. Bahkan penerapan EGov. harus dipandang sebagai sebuah
model
aktivitas
kepemerintahaan
integratif yang dicirikan oleh adanya
sebuah jaringan proses aktivitas kerja
78 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
seluruh organisasi sektor publik yang
mampu
menciptakan
terjadinya
demokratisasi pemerintahan yang lebih
terpercaya, maupun berbagai aspek
tindakan pemerintah lainnya yang lebih
transparan, akuntabel, cepat, tepat,
akurat, mudah dan murah melalui
aplikasi ICT,karena kehadliran E-Gov.
ternyata mampu menciptakan serta
memperbaiki kualitas interaksi antara
pemerintah dengan berbagai pihak.
Menurut Rush & Kannan (2002)
berbagai interaksi yang lajim dapat
ditingkatkan kualitas interaksinya itu,
diantaranya adalah interaksi antara
pemerintah dengan warga negaraatau
Government to Citizen (G to C),
interaksi
pemerintah
dengan
swastaGovernment to Business (G to B),
serta interaksi yang terjadi antara
pemerintah
dengan
pemerintah
Government to Government (G to
G)maupun
bentuk-bentuk
interaksi
lainnya, baik yang berjalan secara
upward
interaction,downward
interaction maupun yang berjalan secara
lateral interaction sehingga dapat
mengefektifkan dan mengefisienkan
kinerja internal organisasi pemerintahan
yang lajim disebut sebagai internal
government operation (Backus; 20010).
Pendek
kata,bahwa
dengan
kehadliran E-Gov. yang diaplikasikan
secara konsekwen oleh negara-negara
maju ternyata mampu membuka peluang
yang seluas-luasnya bagi negara itu
untuk melakukan perbaikan kinerja
mereka.
Mereka
dengan
sangat
meyakinkan telah melakukan pergeseran
pola kerja yang semula bersifat negatif
dan banyak mendapat kecamanan serta
menimbulkan kekecewaan warga negara
itu, telah menjelma menjadi pola kerja
yang penuh dengan pujian dan kepuasan
dari berbagai pihak karena kualitasnya
yang menjadi semakin meningkat
dengan terciptanya interaksi antara
pemerintah dengan masyarakat yang
semakin harmonis. Sementara itu kinerja
internal organisasi sektor publiknya juga
menjadi sangat efektif dan efisien
sehingga cost of public service delivery
yang ditanggung oleh masyarakat
menjadi sangat murah yang berdapak
positif pada peningkatan kualitas
interaksi yang terjadi antara negara
dengan warga masyarakatnya, baik
mereka
yang
berstatus
sebagai
users,citizenmaupun yang berstatus
sebagai customer. Menanggapi tentang
berbagai manfaat positif yang dapat
dirasakan oleh negara-negara maju yang
telah mengaplikasikan E-Gov. secara
konsekwen tersebut, Bhatnagar dalam
Pathak et al (2008) mengatakan “Online
system have not only helped achieve
efficiency gains by cutting overal time to
process applications but also made
transactions more traceable, transparent
and eaisier to access”.
Mengomentari
tentangberbagai
hasil dan dampak positif yang telah
dirasakan oleh berbagai negara maju
melalui penerapan E-Gov. tersebut,
Organization of Economic Cooperation
and Development (OECD) dalam UN
Government
Survey
(2008:
3)
mengatakan sebagai berikut;
Innovation in information and
communication technologies have
also provided an apportunity for
effective working modalities across
government agencies. Whereas at
an early stage ICT was viewed as
an important tool for improving
efficiency,
as
organizations
become more mature and more
complex, the role of ICT needs to
evolve
to
enable
onterorganizational linkages and, with
it, the need for e-government
coordination as such, ICT is being
viewed as a key tool to bring about
a change in service delivery.
Menyimak tentang apa yang
disampaikan oleh OECD tersebut,
memberikan pemahaman yang lengkap
bagi kita bahwa kehadliran E-Gov bagi
organisasi sektor publik atau organisasi
pemerintahan itu adalah merupakan
sebuah keniscayaan yang tidak mungkin
bisa dihindarkan, apabila negara itu
benar-benar memiliki keinginan yang
Choirul Saleh, E-Government Sebagai Inovasi Pelayanan Publik di Indonesia 79
kuat dalam rangka memperbaiki kualitas
kinerja mereka. Pada umumnya ada 3
(tiga) aspek dari kinerja organisasi sektor
publik yang mampu ditingkatkan
kualitasnya melalau penyelenggaraan EGov. yang meliputi:
- Penyerahan atau pemberian e-service
kepada masyarakat secara efisien,
efektif,
yang
dilakukan
oleh
pemerintah dengan memegang teguh
pada
prinsip-prinsip
equity,
impartiality dan equality.
- Peningkatan kepuasan bagi warga
negara maupun pihak swasta karena
adanya pelayanan pemerintah yang
dilakukan secara cepat, tepat dan
akurat karena proses pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah selalu
didasarkan pada sikap dan perilaku
public servants yang penuh semangat,
proaktif, progresif dan positif.
- Peningkatan kepercayaan masyarakat
kepada organisasi sektor publik,
karena adanya interaksi yang berjalan
secara
lancar,
transparan
dan
akuntabel.
Sementara itu menurut hasil
survey yang pernah dilakukan oleh
Pathak
et
al
(2008)
bahwa
pengaplikasian program E-Gov yang
dilakukan secara konsekwen itu ternyata
juga terbukti sangat ampuh dan efektif
untuk memberantas korupsi, khususnya
korupsi di bidang pemberian atau
penyerahan jasa pelayanan publik yang
dilakukan olehpihak pemerintah kepada
mereka yang membutuhkannya. Salah
satu bentuk korupsi bidang pelayanan
publik yang bisa diminimalisir secara
efektif melalui penyelenggaraan E-Gov
itu adalah apa yang lajim disebut sebagai
petty bureaucratic corruption maupun
yang
disebut
sebagai
low-level
administrative corruption (Pathak et al;
2008) yang sering dilakukan oleh
kelompok birokrat kelas bawah yang
oleh Lipsky (1980) diistilahkan sebagai
Street Level Bureaucrats.
Berkaca dari berbagai fakta
keberhasilan oleh negara-negara maju
dalam menerapakan E-Gov tersebut,
pada saat ini banyak negara-negara
sedang berkembang termasuk Indonesia
yang berusaha mengikuti langkahlangkah yang telah diambil oleh berbagai
negara maju tersebut, yakni mulai
berusaha untuk mengaplikasikan E-Gov
di Republik tercinta ini. Sudah barang
tentu bahwa Indonesia juga memiliki
harapan yang besar, bahwa dengan
diterapkannyaE-Govini juga akan dapat
membawa hembusan angin segar dan
kesuksesan yang memuaskan banyak
pihak,sebagaimana yang telah diraih
oleh berbagai negara maju yang telah
lebih dahulu menerapkan E-Gov di
negaranya. Dengan kata lain bahwa
Indonesia melalui E-Gov. nya juga
sangat
menaruh
harapan
untuk
dapatmeningkatkan efektivitas kerja,
efisiensi biaya, serta bertujuan untuk
mempermudah
dan
memperlancar
jalannya proses pelayanan publik bagi
warga negaranya, baik bagi mereka yang
berstatus sebagai citizens, client, users
maupun
customers.
Bahkan
melaluipenerapan E-Gov itu, Indonesia
juga memiliki cita-cita mulia untuk
menciptakan
tewujudnyaclean
government
atau
menekan
terjadinyakorupsi pelayan publik di
negeri ini.
Menakar Kesiapan Dan Kemampuan
Indonesia Dalam Mengaplikasikan EGovernment.
Sampai
dengan
selesainya
penulisan paper singkat ini, penulis
belum berhasil untuk mendapatkan
informasi yang akurat, tentang kapan
sesungguhnya peletakan fondasi pertama
atas penerapan E-Gov maupun E-Service
telah dimulai oleh Pemerintah Indonesia.
Namun berdasarkan data dari hasil
kajian yang telah dilakukan oleh UN
Government
Survey
(2008:
34)
menginformasikan bahwa penerapan EGov. yang telah dilakukan oleh
Indonesia menempati rangking ke 96
ditingkat Asia Tenggara pada tahun
2005. Bertolak dari informasi tersebut
menunjukkan bahwa penerapan E-Gov.
di Indonesia telah dimulai beberapa
80 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
tahun sebelum tahun itu, walaupun tidak
dapat menunjukkan secara pasti tahun
berapa program tersebut telah dimulai
kegiatannya. Ironisnya setelah penilaian
atau kajian yang dilakukan oleh UN
Government Survey tersebut berjalan
selama 3 (tiga) tahun, ternyata prestasi
Indonesia dalam mengaplikasikan EGovtidak
semakin
membaik,sebaliknyajustru
mengalami
penurunan yang sangat tajam, karena
kedudukan Indonesia pada tahun 2008
hanya berada pada rangking ke 106,
yang berarti dalam kurun waktu sekitar 3
tahun, penerapan E-Gov di Indonesia
telah mengalami penurunan sebesar 10
poin.
Mengapa prestasi Indonesia dalam
mengaplikasikan E-Gov mengalami
kemerosotan yang drastis?, sementara itu
apabila dilihat secara faktual, bahwa
program penggunaan ICT pada berbagai
organisasi sektor publik di Indonesia
semakin tahun jumlahnya menjadi
semakin meningkat. Boleh jadi bahwa
secara kuantitatif jumlah organisasi
sektor publik di Indonesia yang
menerapkan E-Service sebagai embrio
dari penerapan E-Gov.memang semakin
besar jumlahnya, tetapi apabila dilihat
dari segi kualitas penerapannya,
sebagian besar dari mereka belum
menampakkan kondisidan prestasi kerja
yang
optimal,
apa
lagi
untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap organisasi sektor publik
penyedia jasa layanan pada khususnya
maupun kepercayaan publik terhadap
negara pada umumnya, ternyata masih
jauh dari harapan yang dinginkan.
Secara garis besar untuk menakar
tingkat kesiapan dan kemampuan
Indonesia dalam mengaplikasikan EGov. dapat dilihat melalui 3 (tiga) aspek
dasar yang terdiri dari:
1. Berdasarkan proses internal atas
penyelenggaraan
E-Gov.
terkait
dengan
pelaksanaan
pekerjaan
organisasi sektor publik “tertentu”
yang bertujuan to improving of
internal government operation yang
bermuara pada terciptannya proses
kerja yang tebih transparan, efisien
dan efektif sehingga dapat menekan
biaya operasional sampai pada batas
minimal yang paling rendah dengan
waktu pelaksanaan yang tercepat.
2. Berdasarkan output yang mampu
dihasilkan melalui penyelenggaraan
E-Gov.yang dapat menyederhanakan
dan mempermudah bagi pihak
masyarakat untuk mengakses jasa
layanan publik yang disediakan oleh
organisasi sektor publik sebagai
provider-nya,
sehingga
dapat
mempercepat dan meningkatkan
adanya
pemerintahan
yang
demokratis melalui penerapan ICT
sebagai basis dari penyelenggaraan EGov.
3. Berdasarkan outcome yang dapat
dilihat dari munculnya kepuasan
masyarakat penerima jasa layanan
yang berdampak pada meningkatnya
public trustpihak masyarakatterhadap
proses penyerahan jasa pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah,
karena proses penyerahan jasa
pelayanan
tersebut
benar-benar
diselenggarakan melalui prinsip a
better relationship between citizens
and government, yang bermuara
padasemakin
melemahnya
petty
bureaucratic corruption sampai pada
batas yang paling rendah yang biasa
dilakukan oleh low-level bureacratic
yang berhadapan langsung dengan
masyarakat penerima jasa layanan
publik.
Oleh karena penerapan E-Gov. di
negeri ini belum mampu menciptakan
atas ke 3 (tiga) aspek dasar tersebut
secara optimal apalagi ideal, maka
tidaklah berlebihan apabila pihak UN EGovernment
Surveymenilai
bahwa
penerapan E-Gov di Indonesia semakin
hari kualitasnya tidak menjadi semaikan
baik, dan justru berada pada posisi yang
sebaliknya. Hal ini mengandung
pengertian bahwa Indonesia belum
memiliki
kesiapan
dan
tingkat
kemampuan yang optimal dalam
menerapkan E-Govsecara konsekwen.
Choirul Saleh, E-Government Sebagai Inovasi Pelayanan Publik di Indonesia 81
Berdasarkan
hasil
studiyang
pernah dilakukan oleh penulis, tentang
kualitas penyelenggaraan E-Passport
Servicesyang
diasumsikan
sebagai
langkah awal atas terbentuknya E-Gov di
negeri ini, baik dilihat berdasarkan
prosesnya, hasilnya maupun dari segi
dampaknya juga menunjukkan adanya
hasil yang kurang optimal. Ketidak
optimalan penyelenggaraan E-Passport
Services
yang
didesakkan
oleh
International
Civil
Assosiation
Organization(ICAO)kepada Indonesia
pada tahun 2006 itu, sampai dengan
kondisi awal tahun 2011 ternyata belum
bisa dilaksanakan secara tuntas, karena
Indonesia belum mampu menyelesaikan
aplikasi program E-Passport Services
secara menyeluruh sebagaimana tahaptahap yang telah ditetapkan, sehingga
sampai saat ini penerbitan E-Passport
Books yang berbasis micro chips belum
bisa diproduksi secara massal. Oleh
sebab itu dapatlah dikatakan bahwa
penerbitan E-Passport Book yang
dilakukan oleh Indoneia hingga saat ini,
secara teknis belum sesuai dengan
standard yang telah ditetapkan oleh
ICAO. Kendatipun hasil studi ini bukan
merupakan representasi dari keseluruhan
dari penyelenggaraan E-Service maupun
E-Gov. yang telah dilakukan oleh
Indonesia selama ini, setidaknya data
tersebut adalah merupakan salah satu
potret wajah dari sebuah proses
penyelenggaraan E-Gov yang oleh
Indonesia belum bisa diimplementasikan
tuntas dan konsekwen, apabila kurang
tepat
untuk
disebut
sebagai
penyelenggaraan E-Gov. yang masih
dilakukan setengah hati.
Adapun indikator yang dijadikan
sebagai tolok ukur oleh UN Government
Survey dalam menilai tingkat kesiapan
dan kemampuan sebuah negara dalam
mengimplementasikan
E-Govyang
disebut sebagai phases of web measure
index, UN Government Survey (2008:
17)itu adalah berupa tahapan penerapan
E-Gov yang dilakukan oleh sebuah
negara yang terdiri dari;a) emerging
stage, b) enhance stage, c) interactive
stage, d) transactional stage, dan e)
connected stage. Sementara itu agak
berbeda dengan apa yang disusun oleh
pihak UN Goverment Survey, Sakowitcz
mengidentifikasi
kesiapan
dan
kemampuan sebuah negara dalam
mengimplementasikan
EGovberdasarkan 4 (empat) tahapan yang
meliputi;a)information available on-line,
b) one-way interaction, c) two way
interaction and d) full on-line
transactioin, including delivery and
payment.
Meskipun antaraUN Government
Survey dan Sakowitcz menggunakan
indikator tahapan penyelenggaraan EGov saling berbeda antara satu dengan
lainnya, tetapi keduanya memiliki
indikator yang hampir sama ketika
mereka melihat proses penerapan EGovyang dilakukan oleh sebuah lembaga
atau institusi sektor publik yang
bertindak sebagai providers dalam
memberikan jasa pelayanan publik
kepada
pihak-pihak
yang
membutuhkannya. Beberapa kesamaan
process indicatorsyang dimaksud oleh
kedua pihak tersebut di antaranya
adalah; there are available on-line 24h/7
days, ease of use and one-stop shop
(Sakowitcz; 2003) dan (UN Government
Survey; 2008).Tanpa harus memaparkan
secara rinci dan detil tentang tahapan
pelaksanaan E-Gov yang telah dicapai
oleh Indonesia, maupun kemampuan
Indonesia dalam melakukan proses
pemberian jasa layanan berbasis ICT
sebagaimana
yang
disusun
dan
diutarakan oleh UN Government Survey
maupun
Sakowitcz, yang jelas
Indonesia hanya menempati urutan yang
ke 106 di tingkat Asia Tenggara pada
tahun 2008 yang lalu.
Kondisi yang semacam ini baik
secara langsung maupun tidak langsung
mengadung pengertian bahwa Indonesia
belum bisa mencapai tahapan yang
tertinggi dengan proses pemberian jasa
pelayanankepada masyarakat yang masih
relatif
sulit,
lamban,
kurang
menyenangkan dan tidak berjalan secara
terpadu dalam kurun waktu 24 jam/hari
82 Jurnal Ilmiah Administrasi Publik Vol. XIII, No. 1, Juni 2012
selama 1 (satu) minggu penuh tanpa
berhenti. Terlebih lagi apabila penerepan
E-Gov. tersebut dihubungkan dengan
menurunnya angka korupsi sebagaimana
yang terjadi di Fiji dan Etiopia ( Pathak;
2008) maka Indonesia masih berada
pada
kondisi
yang
sangat
memprihatinkan, sebab E-Gov. yang
telah diaplikasikan selama ini tidak
berdampak
sedikitpun
terhadap
terjadinya penurunan angka korupsi di
negeri ini. Oleh sebab itu dilihat dari sisi
penerapan E-Gov, masih banyak
Pekerjaan Rumah (PR)yang harus segera
diselesaikan oleh Indonesia agar
pelaksanaan E-Gov benar-benar dapat
menghasilkan sesuatu yang positif di
segala bidang sebagaimana yang telah
terjadi diberbagai negara lainnya.
Masih
relatif
rendahnya
kemampuan
Indonesia
dalam
mengaplikasikan E-Gov ini salah satu
diantaranya adalah diakibatkan oleh
rendahnya kualitas Sumber Daya
Aparatur (SDA) yang yang secara teknis
diberi kepercayaan atau kewenangan
dalam mengoperasional E-Gov dalam
menjalankan tugas mereka sehari-hari.
Banyak
para
pemerhati
tentang
pelaksanaan E-Gov di Indonesia yang
mengambil sebuah kesimpulan bahwa
rendahnya kemampuan Indonesia dalam
menerapkan E-Govselama ini adalah
merupakan
akibat
dari
masih
rendahnyaICT literacy yang masih
melekat pada SDA, karena mereka
belum memiliki profesionalitas ataupun
kompetensi yang cukup memadai
dibidang penerapanICT, karena hanya
dengan
berbekal
profesionalitas
kompetensi
itulah
yang
dapat
mengakibatkan
seseorang
dapat
melakukan pekerjaan secara efisien,
efektif dan ekonomis. Mungkin saja
sinyalemen yang semacam ini tidak
terlalu salah, apabila kita melihat kondisi
SDA yang bekerja pada organisasi sektor
publik di Indonesia sekitar 5 tahun atau
10 tahun yang lalu, tetapi sinyalemen
yang semacam ini barang kali sudah
kurang tepat lagi apabila digunakan
untuk menganalisis keadaan SDA yang
bekerja pada organisasi sektor publik di
indonesia ada pada saat ini. Dalam hal
ini Witthon (2007) tidak menafikkan
bahwa pelaksanaan kerja secara efisien,
efektif dan ekonomis memang bisa
diraih oleh para SDA yang memiliki
profesionalitas dan kompetensi teknis
yang
tinggi.
Namun
demikian,
selanjutnya Ia mengatakakan bahwa
prinsip 3E yang terdiri dari efisiensi,
efektifitas
dan
ekonomis
dalam
penyelenggaraan administrasi publik
tidaklah cukup, oleh sebab itu harus
ditambah dengan 1 prinsi E lagi yang Ia
sebut sebagai professional ethic atau
ethical competence.
Apabila
profesionalitas
dan
kompetensi teknis adalah merupakan
prasyarat yang harus dimiliki oleh para
SDA dalam mengaplikasikan E-Gov
demi terwujudnya kualitas kerja yang
dapat menciptakan terjadinya penurunan
biaya operasional, percepatan waktu
pelayanan
dan
lain
sebagainya,
sedangkan professional ethic atau ethical
competence sangat mujarab dalam
menciptakan attitude dan aptitudeketika
mereka menjalin interaksi dengan pihak
users, client, customer maupun citizen,
sehingga interaksi pemerintah dengan
warga negara maupun pihak swasta
menjadi lebih baik, yang secara tidak
langsung juga dapat menekan terjadinya
tindak kejahatan korupsi yang biasa
dilakukan oleh para bureacrats yang
tidak
bertanggungjawab
dalam
memberikan jasa pelayanan publik bagi
mereka
yang
membutuhkannya.
Sehubungan dengan hal tersebut
dapatlah diambil sebuah pemahaman
bahwa dalam rangka meningkatkan
kemampuan
Indonesia
dalam
mengaplikasikan E-Gov tidak saja harus
ditempuh
melalui
peningkatan
kompetensi dan profesionalitas teknis
bagi SDA-nya saja, melainkan lebih dari
itu juga harus ditempuh dengan cara
melakukan perbaikanterhadap etika
profesionalitas
atau
perbaikan
padakompetensi etik yang telah mereka
miliki selama ini.
Choirul Saleh, E-Government Sebagai Inovasi Pelayanan Publik di Indonesia 83
Kesimpulan.
Dewasa ini intensitas penggunaan
ICT di dalam organisasi sektor publik
yang diistilahkan sebagai E-Gov.
semakin hari menjadi semakin tak
terhidarkan. Bahkan penggunaan E-Gov.
sudah dianggap sebagai representasi dari
kemampuan organisasi pemerintah di
dalam meningkatkan proses penyerahan
pelayanan publik di segala bidang. Oleh
sebab itu, sangatlah beralasan apabila
penerapan E-Gov. lebih dianggap
sebagai proses otomatisasi yang harus
dilakukan oleh organisasi pemerintah
dalam memberikan jasa pelayanan
kepada publik secara lebih efisien,
efektif, dan transparan serta tepat
sasaran. Sudah barang tentu bahwa
berbagai anggapan tersebut bermuara
dari berbagai fakta keberhasilan
gemilang yang pernah dicapai oleh
negara-negara maju dalam menerapkan
E-Gov. diseluruh sektor organisasi
pemerintahan yang dimilikinya.
Namun demikian, ketika E-Gov.
tersebut diimplementasikan di negaranegara
sedang
berkembang,
sebagaimana halnya yang dilakukan oleh
Indonesia, ternyata hasilnya tidak seefektif sebagaimana yang terjadi pada
negara-negara maju, apabila kurang tepat
untuk dikatakan gagal. Efisiensi,
efektivitas dan perbaikan kinerja internal
organisasi akibat penerapan E-Gov.
sebagaimana yang dirasakan oleh
negara-negara maju tersebut, ternyata
belum
bisa
diwujudkan
akibat
diterapkannya E-Gov. Demikian pula
hanya dengan perbaikan interaksi antara
pemerintah dengan warga negaranya
ternyata juga belum tumbuh secara
sempurna, dan penurunan tindakan yang
bersifat koruptif juga masih belum
kentara. Berdasarkan beberapa studi
yang pernah dilakukan menunjukkan
bahwa belum optimalnya hasil atas
penerapan E-Gov tersebut, salah satu
diantaranya adalah disebabkan oleh
masih rendahnya profesionalitas dan
kompetensi SDA yang ada. Namun yang
perlu digaris bawahi di sini adalah
profesionalitas dan kompetensi yang
dimaksud bukan semata-mata terletak
pada kompetensi teknis, melainkan lebih
disebabkan oleh rendahnya kompetensi
etis yang sangat berpengaruh dalam
membentuk perilaku mereka dalam
menjalankan sebuah pekerjaan yang
menjadi tanggungjawabnya.
Daftar Pustaka
Ancarani, Alessandro, 2005, Towards
Quality E-Service In The Public
sector, The Evolution of Web Sites In
The local Public Sercice Sector,
Managing Service Quality, Vol 15 No
1, Pp. 6-23, Emerald Group
Publishing Ltd.
Backus, M, 2001, E-Governance and
Developing Countries – Introduction
and Examples, IICD Research Report
No 3.
Farazman, A, 2004, Innovation In
Strategic
Human
Resource
Management, Building Capacity In
The Age of Globalization, Public
Organization Review, 4, 3-24.
Joseph, Rhonda, C, 2009, E-Government
And E-HRM In The Public Sector,
dalam Enciclopedia of Human
Resource
Management
System,:
Challenges in HRM, Hersly New
York,
Information
Science
Refference, Publisher.
Lipsky, M., 1980, Street Level
Bureaucracy, Dilemmas Of Individual
In Public Services, Russell Sage
Foundation, New York.
Pathak, R., D, et al (2008), EGovernance, Corruption and Public
Service Delivery: A Comparative
Study of Fiji and Ethiopia, JOAAC,
Vol 3 No. 1.
Sakowitcz, Marcin, 2003, How to
Evaluate E-Government?, Different
Methodologies and Methods, Warsaw
School of Economics, Departement of
Public
Administration,
Email:
[email protected], downloaded
19 January 2010.
United Nation, 2008, UN E-Goverment
Survey From E-Government to
Connected
Governance,
UN,
Publication
Download