LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. FA Umur : 21 thn Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Mahasiswa Alamat : Hila hila desa ekatiro kab. Bulukumba Agama : Islam No. RM : 64 11 33 Tanggal masuk : 09/12/2013 II. ANAMNESIS : Autoanamnesis Keluhan Utama : Bengkak seluruh badan Anamnesis Terpimpin : Pasien datang dengan keluhan utama bengkak seluruh badan yang dialami sejak ± 1 bulan SMRS. Awalnya bengkak pada kaki kemudian bengkak pada wajah, 2 hari terakhir bengkak pada scrotum dan … riwayat bengkak sebelumnya tidak ada. Tidak ada demam, riwayat demam tidak ada. Batuk dirasakan sejak mulai timbulnya bengkak, batuk tidak terus menerus, lendir berwarna putih, tidak ada darah, tidak ada riwayat batuk berdarah dan batuk lama, sesak napas sejak mulai timbulnya bengkak, sesak dipengaruhi oleh aktivitas, berkurang jika istirahat, tidak ada nyeri dada, tidak ada riwayat nyeri dada. Tidak ada nyeri ulu hati, ada mual, tidak ada muntah, riwayat muntah 4 hari yang lalu sebanyak 4 kali isi sisa makanan dan air, nafsu makan menurun. BAB : belum hari ini, riwayat BAB hitam. BAK : Kesan lancar, warna kuning jernih. Riwayat Penyakit Sebelumnya: - Riwayat hipertensi (-) - Riwayat DM (-) - Riwayat asam urat (-) - Riwayat kolesterol (-) 1 - Riwayat berobat di puskesmas di berikan obat furosemid. Riwayat berobat di dokter diberikan obat furosemid, metil prednisolon, dan spiranolectam Riwayat Psikososial: - Riwayat Minum Alkohol (-) - Riwayat Merokok (-) Riwayat keluarga: - Riwayat keluarga yang menderita penyakit dengan keluhan yang sama (-) III. STATUS PRESENT Sakit Sedang / Gizi Kurang / Sadar BB BB Koreksi = BB-(40%BB) = 72-(40% x 72)= 43.2 kg TB = 173 cm IMT = 14.44 Gizi kurang LP = = 72 kg Tanda vital : Tekanan Darah : 130/100 mmHg Nadi : 64 x/menit reguler, kuat angkat Pernapasan : 30 x/menit, Tipe : Thoracoabdominal Suhu : 37oC (axilla) IV. PEMERIKSAAN FISIS Kepala Ekspresi : Biasa Simetris muka : simetris kiri = kanan Deformitas : (-) Rambut : Hitam lurus, alopesia (-) Mata Eksoptalmus/Enoptalmus : (-) 2 Gerakan : ke segala arah Tekanan bola mata : dalam batas normal Kelopak Mata : edema palpebra (+) Konjungtiva : anemis (-) Sklera : ikterus (-) Kornea : jernih Pupil : bulat, isokor 2,5mm/2,5mm Reflex cahaya +/+ Telinga Pendengaran : dalam batas normal Tophi : (-) Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-) Hidung Perdarahan : (-) Sekret : (-) Mulut Bibir : pucat (-), kering (-) Lidah : kotor (-),tremor (-), hiperemis (-) Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-) Faring : hiperemis (-), Gigi geligi : caries (-) Gusi : perdarahan gusi (-) Leher Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran DVS : R+0 cm H2O Kaku kuduk : (-) Tumor : (-) Dada Inspeksi : 3 Bentuk : normochest, simetris kiri = kanan Pembuluh darah : tidak ada kelainan Buah dada : simetris kiri = kanan Sela iga : dalam batas normal Paru Palpasi : Nyeri tekan : (-/-) Massa tumor : (-/-) Fremitus raba : vocal fremitus menurun pada kedua basal paru Perkusi : Paru kiri : peralihan dari sonor ke pekak setinggi CV Th VII Paru kanan : peralihan dari sonor ke pekak setinggi CV Th VII Batas paru-hepar : ICS V-VI Batas paru belakang kanan : setinggi CV Th X Batas paru belakang kiri : setinggi CV Th XI Auskultasi : Bunyi pernapasan :Vesikuler, Bunyi pernafasan menurun setinggi CV Th VII bilateral Bunyi tambahan : Rh + + + + Wh Jantung Inspeksi : ictus cordis tidak tampak Palpasi : ictus cordis tidak teraba Perkusi :dalam batas normal batas atas jantung 4 : ICS II sinistra - - batas kanan jantung : ICS III-IV linea parasternalis dextra batas kiri jantung Auskultasi : ICS V linea midclavicularis sinistra : bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan (-) Perut Inspeksi : cembung, ikut gerak napas Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal Palpasi : NT (-) MT (-) Perkusi Hepar : tidak teraba Lien Ginjal : tidak teraba : tidak teraba : Asites, Shifting dullness (+) Alat kelamin : Skrotum edema (+) Ekstremitas Edema +/+ +/+ 5 V. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Jenis Pemerikaan Hasil (14/10/2013) Nilai Rujukan WBC 21.01Hx103/mm3 4 - 10 x 103/uL RBC 5.89x106/mm3 4–6 x 106/uL HGB 17.5 g/dL 14 - 18 g/dL HCT 51.8% 40 – 54% PLT 485x 103/mm3 150-400x103/uL SGOT 32 U/L <38 U/L SGPT 29 U/L <41 U/L PT 11.1 control 11.1 10-14 APTT 35.2 control 24.1 22.0-30.0 Ureum 115 mg/dL 10-50 mg/dL Kreatinin 2.3 mg/dL L(<1.3), P(<1.1) Natrium 135 136-145 mmol Kalium 4.44 3.5-4.5 mmol Klorida 114 97-111 mmol Protein total 4.2 g/dL 6.6-8.7 gr/dL Albumin 1.2 g/dL 3.5-5.0 gr/dL HbSAg Non Reactive Non Reactive Anti HCV Non Reactive Non Reactive GDS 91 mg/dL 140 mg/dL Kolesterol total 583 mg/dL < 200 mg/dL Kolesterol HDL 52 mg/dL L (>50), P mg/dL Kolesterol LDL 389 mg/dL < 130 mg/dL Trigliserida 487 mg/dL < 200 mg/dL 6 (>55) Pemeriksaan Penunjang Lainnya : Urinalisis tanggal 09-12-2013 Protein : +3/>=300 Glukosa : +/100 Bilirubin : +/1 Blood : +2/80 Sedimen eritrosit : 20 Analisi Gas Darah tanggal 14-10-2013 Kesan Foto thorax AP tanggal 09-12-2013 Kesan : Alkalosis Metabolik : - USG Abdomen Atas + Bawah tanggal 18-10-2013 Kesan : - Efusi pleura bilateral terutama kiri Efusi Pleura bilateral Ascites Protein Esbach tanggal 19-10-2013 Hasil : 3.8 gram/L/24 jam VI. ASSESMENT : - Edema anasarka e.c Susp. Sindrom Nefrotik VII. PLANNING Pengobatan : Oksigen 2-3 L/menit Diet rendah protein 0.8 mg/kgBB/hari, diet rendah garam <6 gram/hari Spronolakton 50 mg 1-0-0 Furosemide 40 mg 1-0-0 Metilprednisolon 0.8 mg/kgBB/hr Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv Captopril 6.25 mg 2x1 Balance cairan per hari 7 Mengukur berat badan dan lingkar perut per hari Konsul ke subdivisi Ginjal Hipertensi Konsul ke bagian THT Rencana pemeriksaan : o Biopsi Ginjal o EKG o ASTO VIII. PROGNOSIS Quad ad functionam : Bonam Quad ad sanationam : Bonam Quad ad vitam : Bonam IX. FOLLOW UP PASIEN TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER 10-12-2013 S: P: T:130/100 mmHg Bengkak pada wajah, scrotum, dan O2 3 Liter/menit N : 80 x/i tungkai, Sesak (+), Demam (+), Diet P : 24 x/i Nafsu makan menurun (+) gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 37.1⁰C BAB : biasa, BAK : kesan kurang gram/hari O: BB: 73 kg SS / GC / CM LP : 89 cm Anemis -/-, ikterus -/-, MT(-), NT(-), DVS protein 0,8 Furosemide 200 mg/24 jam/SP Paracetamol 1 amp /8 jam/ drips R+0 cmH2O rendah Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv Simvastatin 20 mg 0-0-1 BP : vesikuler BT : Rh -/-, Wh -/- Plan : BP menurun setinggi Th VII - 8 Darah Rutin, LED I/II, AGD, bilateral pada hemithorax basal PT, aPTT, GOT, GPT, Ureum, paru (S) Creatinin, Albumin, Protein BJ : I/II murni regular total, GDS, Kolesterol total, Peristaltik (+) kesan N, Asites, LDL, HDL, TG, elektrolit - Urinalisis - Foto thorax A : Suspek SN - Konsul THT 11/12/2013 S: P: T : 120/80 mmHg Sesak (+), Batuk (+), Demam (+), O2 3 Liter/menit N : 88 x/i nyeri menelan (+), Nafsu makan Diet P : 38 x/i menurun (+), kaki bengkak (+) gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 37,6⁰C BAB : biasa, BAK : kesan kurang gram/hari Shifting dullness (+) Ext : Edema +/+ BB: 83 kg LP : 91.5 cm O: protein Furosemide 200 mg/24 jam/SP Paracetamol 1 amp / 8 jam /drips Anemis -/-, ikterus -/-, NT(-), DVS R+0 Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv Simvastatin 20 mg 0-0-1 cmH2O BP : vesikuler, BT : Rh +/+, Wh -/- Plan : USG Abdomen, BP menurun setinggi Th VII bilateral BJ : I/II murni regular Peristaltik (+) kesan Shifting dullness (+) Ext : Edema +/+ A : Suspek SN Efusi pleura bilateral 9 N, 0.8 SS / GC / CM MT(-), rendah Protein Esbach, ASTO Laringitis 12/12/2013 S: T : 110/70 mmHg Sesak berkurang, Batuk berkurang, O2 3 Liter/menit (jika perlu) N : 88 x/i Demam (-), nyeri menelan (+), Diet P : 28 x/i Nafsu makan berkurang (+), kaki gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 36.5⁰C bengkak (+) gram/hari BB: 82.5 kg LP : 91 cm P: rendah protein BAB : biasa, BAK : kesan kurang Furosemide 40 mg 0-1-0 O: Spironolakton 25 mg 1-0-0 SS / GC / CM Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1 MT(-), NT(-), DVS 0.8 R+0 cmH2O Plan : Protein esbach, ASTO BP : vesikuler, BT : Rh -/-, Wh -/BP menurun setinggi Th VII bilateral BJ : I/II murni regular Peristaltik (+) kesan N, Asites (+) Shifting dullnes (+) Ext : Edema +/+ A : Suspek SN Efusi pleura bilateral Laringitis 17/10/2013 S: P: T : 100/70 mmHg Sesak berkurang, Batuk berkurang, O2 3 Liter/menit (jika perlu) N : 80 x/i Nyeri menelan (+), Nafsu makan Diet P : 24 x/i membaik, Kaki bengkak gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 36.2⁰C O: gram/hari SS / GC / CM 10 rendah protein Furosemide 40 mg 0-1-0 0.8 BB: 81.5 kg Anemis -/-, ikterus -/-, LP : 91 cm MT(-), NT(-), DVS Spironolakton 25 mg 1-0-0 R+0 Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv cmH2O Simvastatin 20 mg 0-0-1 BP : vesikuler, BT : Rh -/-, Wh -/- Plan : Protein Esbach, ASTO BP menurun setinggi Th VII bilateral BJ : I/II murni regular Peristaltik (+) kesan N, Asites (+) Shifting dullnes (+) Ext : Edema +/+ A : Suspek SN Efusi pleura bilateral Laringitis 18/10/2013 S: P: T : 100/70 mmHg Sesak (-), Batuk berkurang, Nyeri N : 80 x/i menelan P : 24 x/i membaik, Kaki bengkak tapi sudah gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 36.5⁰C berkurang gram/hari (+), Nafsu makan O: O2 3 Liter/menit (jika perlu) Diet rendah protein Furosemide 40 mg 0-1-0 BB: 81 kg SS / GC / CM Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv LP : 91 cm Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1 MT(-), NT(-), DVS R+0 cmH2O BP : vesikuler, Spironolakton 25 mg 1-0-0 Metilprednisolon 4 mg 7-0-0 (pertama BT : Rh -/-, Wh -/- diminum Plan: BJ : I/II murni regular Peristaltik (+) kesan N, Asites 11 4 tab, selang 1 jam diminum 3 tab) BP menurun setinggi Th VII bilateral 0.8 Konsul ke subdivisi GH (+) Ext : Edema +/+ A : SN Efusi pleura bilateral Laringitis 19/10/2013 S: P: T : 100/70 mmHg Sesak (-), Batuk berkurang, Nyeri N : 80 x/i menelan P : 24 x/i membaik, Kaki bengkak tapi sudah gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 36.5⁰C berkurang gram/hari (+), Nafsu makan O: O2 3 Liter/menit (jika perlu) Diet rendah protein Furosemide 40 mg 0-1-0 BB: 80 kg SS / GC / CM Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv LP : 90.5 cm Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1 MT(-), NT(-), DVS R+0 cmH2O BP : vesikuler, Spironolakton 25 mg 1-0-0 Metilprednisolon 4 mg 7-0-0 (pertama BT : Rh -/-, Wh -/- 0.8 diminum 4 tab, selang 1 jam diminum 3 tab) BP menurun setinggi Th VII bilateral Plan : Biopsi ginjal, ASTO BJ : I/II murni regular Peristaltik (+) kesan N, Asites (+) Shifting dullnes (+) Ext : Edema +/+ A : Sindrom Nefrotik Efusi pleura bilateral Laringitis 20/10/2013 S: P: T : 100/70 mmHg Sesak (-), Batuk berkurang, Nyeri N : 80 x/i menelan (+), Nafsu 12 makan O2 3 Liter/menit (jika perlu) Diet rendah protein 0.8 P : 24 x/i membaik, Kaki bengkak tapi sudah gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 36.5⁰C berkurang gram/hari O: Furosemide 40 mg 0-1-0 BB: 80 kg SS / GC / CM Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv LP : 90 cm Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1 MT(-), NT(-), DVS R+0 cmH2O BP : vesikuler, Spironolakton 50 mg 1-0-0 Metilprednisolon 4 mg 7-0-0 (pertama BT : Rh -/-, Wh -/- diminum 4 tab, selang 1 jam diminum 3 tab) BP menurun setinggi Th VII bilateral Plan : Biopsi Ginjal, ASTO BJ : I/II murni regular Peristaltik (+) kesan N, Asites (+) Shifting dullnes (+) Ext : Edema +/+ A : Sindrom Nefrotik Efusi pleura bilateral Laringitis 21/10/2013 S: P: T : 100/70 mmHg Batuk N : 80 x/i berkurang, Kaki bengkak tapi sudah Diet P : 28 x/i berkurang gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 36.5⁰C O: gram/hari berkurang, Nyeri menelan O2 3 Liter/menit (jika perlu) rendah protein SS / GC / CM Furosemide 40 mg 0-1-0 BB: 79 kg Anemis -/-, ikterus -/-, Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv LP : 90 cm MT(-), NT(-), DVS R+0 cmH2O BP : vesikuler, 0.8 Simvastatin 20 mg 0-0-1 Spironolakton 50 mg 1-0-0 Metilprednisolon 4 mg 7-0-0 BT : Rh -/-, Wh -/- (pertama BP menurun setinggi Th VII selang 1 jam diminum 3 tab) 13 diminum 4 tab, bilateral BJ : I/II murni regular Plan : Biopsi Ginjal, ASTO Peristaltik (+) kesan N, Asites (+) Shifting dullnes (+) Ext : Edema +/+ A : Sindrom Nefrotik Efusi pleura bilateral Laringitis 22/10/2013 S: P: T : 100/70 mmHg Sesak (-), Batuk (+) dahak (+), O2 3 Liter/menit (jika perlu) N : 80 x/i Nyeri menelan berkurang, Kaki Diet P : 24 x/i bengkak tapi sudah berkurang gr/kgBB/hr, rendah garam <6 S : 36.5⁰C O: gram/hari rendah protein SS / GC / CM Furosemide 40 mg 0-1-0 BB: 79 kg Anemis -/-, ikterus -/-, Simvastatin 20 mg 0-0-1 LP : 89 cm MT(-), NT(-), DVS R+0 cmH2O BP : vesikuler, BT : Rh -/-, Wh -/- Spironolakton 50 mg 1-0-0 Metilprednisolon 16 mg 2-0-0 Ambroxol tab 30 mg 3x1 Captopril 6.25 mg 2x1 BP menurun setinggi Th VII bilateral Plan : Biopsi Ginjal, ASTO BJ : I/II murni regular Peristaltik (+) kesan N, Asites (+) Shifting dullnes (+) Ext : Edema +/+ A : Suspek SN Efusi pleura bilateral Laringitis 14 0.8 X. RESUME Pasien laki-laki umur 49 tahun datang dengan keluhan utama dispnea yang dialami sejak ±2 hari sebelum Masuk RS. Ada DOE dan Orthopne. Batuk dirasakan ±2 hari sebelum Masuk RS. Ada nyeri ulu hati dan nafsu makan menurun. Ada disfagi, odinofagi dan odinofoni. Demam dialami sejak ±2 hari sebelum masuk RS, terus menerus, turun dengan pemberian paracetamol. Edema anasarka sejak ±2 tahun sebelum masuk RS, awalnya dimulai dari kaki kemudian naik ke perut dan wajah. Edema berkurang jika mengonsumsi obat herbal. BAB : ±3 hari sekali, warna kuning coklat, BAK : Kesan kurang, warna kuning jernih. Ada riwayat opname di RS Haji 1 bulan yang lalu dengan diagnosa Sindrom nefrotik. Riwayat pengobatan dengan herbal selama 2 tahun terakhir serta obat metilprednisolon dosis 4-4-4 yang didapat dari RS Haji, edema berkurang dengan obat tersebut, namun 5 hari terakhir pasien berhenti minum obat, edema muncul kembali dan semakin parah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 84 kali per menit reguler; kuat angkat, pernapasan 28 x/menit, tipe thoracoabdominal serta suhu 38,6oC (axilla). Pada wajah didapatkan edema palpebra. Pada palpasi thorax didapatkan vocal fremitus menurun pada kedua basal paru, pada perkusi didapatkan peralihan dari sonor ke pekak setinggi CV Th VII bilateral. Pada auskultasi didapatkan bunyi pernapasan menurun setinggi CV Th VII bilateral. Pada abdomen didapatkan asites dengan shifting dullness (+). pada skrotum dan extremitas juga didapatkan edema. Pada pemeriksaan penunjang diperoleh hasil laboratorium leukosit 20.41x103/uL, Hb 12.2 g/dL, protein total 4.2 g/dL, albumin 1.3 g/dL, kolesterol total 449 mg/dL, kolesterol HDL 42 mg/dL, kolesterol LDL 350 mg/dL, Trigliserida 225 mg/dL. Pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan adanya alkalosis metabolik. Pada pemeriksaan urinalisis diperoleh protein 500/++++ dan blood 50/+++. Pada pemeriksaan foto thorax diperoleh kesan Efusi pleura bilateral dan Dilatatio et elongatio aortae. Pemeriksaan USG abdomen didapatkan kesan Efusi pleura bilateral dan ascites. Pada pemeriksaan protein esbach diperoleh hasil 3.8 gram/L/24 jam 15 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, maka pasien didiagnosis Sindrom Nefrotik. XI. DISKUSI Pasien laki-laki umur 49 tahun datang dengan keluhan utama sesak napas, maka kita dapat memikirkan berbagai kemungkinan. Sesak napas dapat berasal dari paru dan non paru. Dari paru misalnya asma, PPOK, TB paru, efusi pleura. Dari non paru misalnya pada gagal jantung, anemia, asidosis metabolik. Pada anamnesis, sesak nafas dialami sejak ±2 hari sebelum masuk RS. Ada DOE dan Orthopnea tapi tidak ada PND. Batuk dirasakan ±2 hari sebelum Masuk RS, tidak ada lendir dan darah, tidak ada riwayat batuk berdarah dan batuk lama, tidak ada riwayat alergi dan asma. Pada pemeriksaan thorax didapatkan rhonki pada kedua lapangan paru dan adanya bunyi pernafasan yang menurun setinggi CV Th VII bilateral. Pada foto thorax dan USG abdomen didapatkan kesan efusi pleura bilateral. Sehingga bisa dipikirkan bahwa penyebab sesak pada pasien ini adalah adanya cairan pada cavum pleura atau efusi pleura serta edema paru akut. Pada pasien ini didapatkan adanya keluhan badan bengkak sejak ±2 tahun sebelum masuk RS, awalnya dimulai dari kaki kemudian naik ke perut dan wajah. Bengkak pada badan berkurang jika mengonsumsi obat herbal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya edema palpebra, asites serta edema pada extremitas. Adanya edema generalisata pada pasien ini bisa mengarahkan diagnosa pada berbagai kemungkinan misalnya sindrom nefrotik, GGA oliguria, Gagal jantung kongestif, Sirosis Hepatis, Kwashiorkor. Berdasarkan hasil laboratorium darah didapatkan albumin 1.3 g/dL, protein total 4.2 g/dL, Kolesterol total 449 mg/dL, kolesterol HDL 42 mg/dL, kolesterol LDL 350 mg/dL dan trigliserida 225mg/dL. Hasil pemeriksaan urinalisis didapatkan protein 500/++++ dan blood 50/+++. Pemeriksaan protein esbach diperoleh hasil 3.8 gram/L/24 jam. Karena hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini memenuhi Kriteria diagnosis sindrom nefrotik yaitu adanya edema anasarka, proteinuria masif (≥3.5 g/hari), hipoalbuminemia (<3,5 gr/dL), dan hiperkolestrolemia, maka diagnosis pasien ini diarahkan pada sindrom nefrotik. 16 Proteinuria pada pasien ini disebabkan karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein yaitu berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada Sindrom Nefrotik kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu sehingga protein dapat lolos pada saat proses filtrasi glomerulus. Hipoalbuminemia pada pasien ini disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proximal. Hipoalbuminemia juga dapat menyebabkan efusi pleura oleh karena terjadi penurunan tekanan koloid osmotik vaskular pleura. Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Hiperlipidemia disebabkan oleh meningkatnya LDL (Low Density Lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. Pasien ini mengeluhkan nyeri dan sulit menelan disertai suara serak yang mengarahkan diagnosis Laringitis. Hal ini bisa berhubungan dengan penyakit SN yang diderita. Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral , seluler dan gangguan sistem komplemen. Pengobatan pada SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan non spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Pada praktek sehari- 17 hari, intake protein yang direkomendasikan untuk penderita sindrom nefrotik yaitu 0,8-1 g/kg/hari, dengan anjuran asupan protein berasal dari protein nabati dan protein dari ikan. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacammacam, di antaranya pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya. Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan. Untuk terapi suportif/simtomatik ACE inhibitor diindikasikan untuk mengurangi proteinuria, pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari. Pemberian spironolakton dapat ditambahkan dengan dosis 1-2 mg/kg per hari. Komplikasi sindrom nefrotik yang bisa terjadi yaitu keseimbangan nitrogen menjadi negatif, tromboemboli, kekurangan vitamin D, infeksi serta gangguan fungsi ginjal. Keseimbangan nitrogen merupakan salah satu komplikasi SN yang terjadi oleh karena proteinuria yang masif. Tromboemboli bisa terjadi karena adanya peningkatan koagulasi intravaskular, kelainan ini disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Kekurangan vitamin D juga merupakan komplikasi SN. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan gangguan sistem komplemen. Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. 18 TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif (≥ 3,5 g/hari), hipoalbuminemia (<3.5 g/dl), hiperkolesterolemia dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. 1,2, 3 Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN yang berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada SN.Umumnya pada SN fungsi ginjal normal kecuali pada sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan respon yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lagi dapat berkembang menjadi kronik.1,2,3 19 II. ETIOLOGI Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik. Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN Primer, GN lesi minimal(GNLM), Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN Membranosa (GNMN), dan GN membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. a. Penyebab Primer Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome nefrotik idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi :1,2,3 1. GN lesi minimal (GNLM) 2. Glomerulosklerosis fokal (GSF) 3. GN membranosa (GNMN) 4. GN Membranoproliferatif (GNMP) 5. GN proliferatif lain b. Penyebab Sekunder1,2,3 1. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra, skistosoma 2. Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma :paru, payudara, colon, myeloma multiple, karsinoma ginjal 3. Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease) 4. Metabolik : Diabetes militus, amylodosis 20 5. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril, heroin 6. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang sensitive terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsy), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy. III. EPIDEMIOLOGI Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada usia 2-7 tahun. Rasio laki-laki : perempuan= 2:1, sedangkan pada masa remaja dan dewasa rasio ini berkisar 1:1. Biasanya 1 dari 4 penderita sindrom nefrotik adalah penderita dengan usia>60 tahun. Namun secara tepatnya insiden dan prevalensi sindrom nefrotik pada lansia tidak diketahui karena sering terjadi salah diagnosa2 IV. PATOFISIOLOGI a. Proteinuria Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus ( kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh besarnya molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Proteinuria sebagian berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuria glomerular) dan hanya sebagaian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrane basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin1 b. Hipoalbuminemia Hipoalbumin disebabka oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat ( namun tidak memadai untuk mengganti kehilagan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun1 21 Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan hipoalbumineia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar tubuh dan menigkatkan edema.1,2 c. Hiperlipidemia Kolesterol serum, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein), trigliserida meningkat sedangkan HDL (high density lipoprotein) dapat meningkat, normal atau meningkat.Hal ini disebabkan sintesis hipotprotein lipid disintesis oleh penurunan katabolisme di perifer.Peningkatan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.1,2 d. Hiperkoagulabilitas Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C, dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya factor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya factor zymogen.1,2,3 V. TANDA DAN GEJALA Gejala pertama yang muncul meliputi anorexia,rasa lemah, urin berbusa (disebabkan oleh konsentrasi urin yang tinggi). Retensi cairan menyebabkan sesak nafas (efusi pleura), oligouri, arthralgia, ortostatik hipotensi, dan nyeri abdomen (ascites). Untuk tanda dan gejala yang lain timbul akibat komplikasi dari sindrom nefrotik.1 VI. DIAGNOSA Diagnosa SN dibuat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dimana didapatkan hasil pemeriksaan laboratorium berupa proteinuria massif >3.5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), 22 hipoalbuminemia <3.5 g/dl, edema, hiperlipidemia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan seperti venerologi diperlukan untuk menegakkan diagnosa thrombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.1,2,3 VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan penunjang berikut: a) Urinalisis Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalam nephrotic range.2 b) Pemeriksaan sedimen urin Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.2 c) Pengukuran protein urin Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau single spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama 23 keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤ 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.2, 8 Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak ≥ 3g.2,8 d) USG renal Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.2 e) Biopsi ginjal Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN congenital, onset usia> 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat manifestasi nefritik signifikan.Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya, biopsy mungkin diperlukan untuk diagnosis.Penegakan diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosisfokal, karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.2 f) Darah: Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:2 - Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml) - Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml) - ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal. VIII. PENATALAKSANAAN Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan imunosupresif dan atau imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik. Penatalaksanaan ini meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, serta mencegah dan mengatasi penyulit.2,5 24 Terapi Kortikosteroid Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Pengobatan dengan kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.2,5 Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.2,5 Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.5 Terapi suportif/simtomatik Proteinuria ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan insufisiensi ginjal moderat sampai berat. Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan karena tidak memberikan progres yang baik.1,4 Edema Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN yang disertai dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat memperburuk gejala tersebut. Pada edema sedang atau 25 edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari. Pemberian spironolakton dapat ditambahkan bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per hari. Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik dengan infus albumin. Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1-2 mg/kg intravena. Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran cairan ke dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload). Penderita yang mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.1,2,5 Dietetik Intake sodium harus dikurangi minimal 6 gram/hari untuk meminimalkan edema dan hipertensi dan untuk memberikan efek potensiasi dengan ACE inhibitor dan ARB. Intake protein pada sindrom nefrotik masih menjadi perdebatan. Beberapa studi menunjukkan bahwa diet tinggi protein tidak efektif untuk mengoreksi hipoalbuminemia. Bahkan peningkatan intake protein cenderung meningkatkan proteinuria dan hiuperfiltrasi glomerulus. Justru, diet rendah protein (<0,8 g/kg/hari) mempunyai efek anti proteinuria yang cukup berarti. Pada praktek sehari-hari, intake protein yang direkomendasikan yaitu 0,81 g/kg/hari, dengan anjuran asupan protein berasal dari protein nabati dan protein dari ikan. Suplementasi albumin tidak ada manfaatnya dan tidak direkomendasikan, kecuali pada kasus hipovolemia yang berat. IX. KOMPLIKASI 1. Infeksi Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan peritonitis. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi adalah infeksi gram negative. 2. Hipertensi 26 Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi sebagai akibat efek samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan golongan inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic blockers.1,2,5 3. Hipovolemia Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen.Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan.1,2,5 4. Tromboemboli Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena.1,2,5 5. Hiperlipidemia Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar 27 kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum jelas. Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan.1,2,5 X. PROGNOSIS Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada SN. Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN bergantung pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa pemberian kortikosteroid.2 Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang mengalami frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit ginjal kronik dapat muncul pada 25-30 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10 tahun.2 Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki kemungkinan relaps yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal sangat baik, dengan resiko rendah untuk gagal ginjal.2 Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus.2,4 28 Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik. Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal dan komplikasi sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi terkait pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian imunosupressive.2 Penderita SN non relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita relaps sering dan dependen steroid merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko besar untuk memperoleh efek samping steroid. SN resisten steroid mempunyai prognosis yang paling buruk.2,5 Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang menyertainya. Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung tingkat mortalitas. Biasanya, ada respon yang baik terhadap blockade angiotensin, dengan penurunan proteinuria, dan level subnefrotik. Jarang terjadi remisi nyata. Resiko penyakit kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa pasien akan membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal.2 29