STUDI KASUS HYDROPS ASCITES PADA KUCING DAN KAITANNYA DENGAN FELINE INFECTIOUS PERITONITIS SITI ZAHRINA DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016 ii iii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Hydrops Ascites pada Kucing dan Kaitannya dengan Feline Infectious Peritonitis adalah benar karya Saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulisan Saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2016 Siti Zahrina NIM B04120064 iv v ABSTRAK SITI ZAHRINA. Studi Kasus Hydrops Ascites pada Kucing dan Kaitannya dengan Feline Infectious Peritonitis. Dibimbing oleh SETYO WIDODO dan LENI MAYLINA. Feline Infectious Peritonitis (FIP) merupakan penyakit yang rentan terjadi pada kucing yang pelihara lebih dari satu ekor dalam sebuah rumah tangga. Kejadian FIP ini menular dan berakibat fatal. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah mengidentifikasi kaitan antara gejala hydrops ascites dan insidensi kecurigaan penyakit Feline Infectious Peritonitis (FIP). Studi kasus ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dari sebuah klinik. Sebanyak 12 ekor kucing dalam kasus yang diamati memiliki tiga gejala klinis utama, yaitu undulasi positif, abdomen membesar, dan jaundice. Pengobatan hydrops ascites akan didiskusikan lebih detail. Kata kunci: Feline Infectious Peritonitis, hydrops ascites, kucing ABSTRACT SITI ZAHRINA. Case Study of Hydrops Ascites in Cats and Its Correlation with Feline Infectious Peritonitis. Supervised by SETYO WIDODO and LENI MAYLINA. Feline Infectious Peritonitis (FIP) is a disease which is susceptible disease, those happen in multiple cat household. FIP virus is highly virulence and fatal. The aim of this study is to identify the correlation between hydrops ascites clinical sign and the incidence of suspected Feline Infectious Peritonitis. This case study was done using secondary data of hydrops ascites cases which went to a clinic. Twelve cats examined were having abdominal undulant, enlargement of the abdomen, and jaundice. The treatment of hydrops ascites will be discussed in detail. Keywords: cat, Feline Infectious Peritonitis, hydrops ascites vi vii STUDI KASUS HYDROPS ASCITES DAN KAITANNYA DENGAN FELINE INFECTIOUS PERITONITIS SITI ZAHRINA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016 viii x xi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini. Judul skripsi yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan pada tahun 2014 ini adalah “Studi Kasus Hydrops Ascites pada Kucing dan Kaitannya dengan Feline Infectious Peritonitis”. Adapun penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Setyo Widodo, PhD selaku Pembimbing I, Drh Leni Maylina, MSi selaku pembimbing II, Drh Amrozi, PhD selaku Pembimbing Akademik serta seluruh staf di klinik praktek bersama Drh Setyo Widodo dkk tempat data penelitian ini diambil. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, keluarga, Boki yang selalu menemani, serta-serta teman-teman terutama penghuni kost New Arini dan CCA atas segala do’a dan dukungannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga Penulis dapat menghasilkan skripsi yang bermanfaat bagi Penulis lain dan juga bagi Pembaca. Bogor, September 2016 Siti Zahrina xii xiii DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Homeostasis Cairan Tubuh dan Patogenesis Edema Feline Infectious Peritonitis Patogenesis Gejala Klinis Diagnosis Prognosis Terapi METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Materi dan Metode Pelaksanaan HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Klinis Terapi FIP SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xii xiv 1 1 1 2 2 3 6 6 6 7 8 8 9 9 9 9 9 11 12 12 12 13 xiv xv DAFTAR TABEL Karakteristik cairan Gejala Klinis yang Ditemukan pada Kucing dengan Kecurigaan FIP Terapi yang Telah Dilakukan pada Kucing dengan Kecurigaan FIP 3 10 11 xvi PENDAHULUAN Latar Belakang Kucing yang tergolong dalam ordo Carnivora, famili Felidae, dan genus Felis, merupakan hewan yang banyak dipelihara di rumah. Kucing yang tinggal secara berkelompok akan menjadi rentan populasinya bila salah satunya menderita penyakit infeksius. Kedekatan manusia dengan kucing berkembang seiring dengan pengetahuan-pengetahuan baru para pemilik kucing dalam manajemen dan penanganan kesehatan kucing. Kedekatan ini membuka peluang ketergantungan kucing akan nutrisi yang ideal dan berimplikasi kepada malnutrisi, misalkan hydrops ascites dan mudah terserang penyakit infeksius seperti Feline Infectious Peritonitis (FIP), Feline Enteric Viral Infection, Cat Influenza, atau Panleukopenia jika pemeliharaannya bersifat multiple-cat. Hydrops ascites merupakan kejadian akumulasi cairan abnormal pada rongga abdomen (Neer 2009). Hydrops ascites menjadi gejala klinis yang sangat penting untuk meneguhkan diagnosa suatu penyakit. Hydrops ascites dapat mengarahkan diagnosa pada tiga kemungkinan penyebab gejala ini, yaitu hipoproteinemia, Congestive Heart Failure (CHF) pada jantung bagian kanan, dan Chronic Renal Failure (CRF). Prognosa hewan yang mengalami hydrops ascites tentu akan berbeda tergantung dengan tingkat keparahan dan kesesuaian terapi untuk mengeliminasi penyebab hydrops ascites. FIP disebabkan oleh Feline Infectious Peritonitis Virus (FIPV), berasal dari Famili coronavirus. FIPV merupakan mutasi dari Feline Enteric Coronavirus (FECV) yang juga berasal dari famili coronavirus (Lappin 2001). Terdapat dua bentuk FIP, yaitu tipe basah dan tipe kering. Hydrops ascites merupakan gejala klinis yang penting pada FIP tipe basah. Akumulasi cairan dalam kasus FIP berbeda dan unik dari jenis cairan tubuh lainnya, yaitu kekuningan dan tinggi protein (Greene 2012), dan sering kali dijadikan pedoman dalam peneguhan diagnosa kecurigaan penyakit FIP karena hingga saat ini sulit mendapatkan kit FIP test secara resmi di Indonesia. Gejala ini sulit dikenali sedini mungkin oleh pemilik hewan karena ukuran pembesaran yang tentu dan pengalaman untuk mengetahui gejala ini tidak dimiliki semua pemilik hewan pelihara. Dikarenakan itu, diperlukan pemahaman kejadian hydrops ascites oleh sebab lain, salah satunya adalah FIP tipe basah Tujuan Penelitian Studi kasus ini bertujuan untuk mengidentifikasi gejala hydrops ascites secara umum dan hydrops ascites pada penyakit Feline Infectious Peritonitis (FIP) effusive type (tipe basah). 2 Manfaat Penelitian Studi kasus ini bermanfaat memberikan informasi mengenai perjalanan penyakit dan tata cara dalam mendiagnosa serta melakukan pengobatan pada kasus hydrops ascites. TINJAUAN PUSTAKA Cairan tubuh merupakan larutan yang memiliki zat-zat terlarut seperti ion dan bahan organik seperti protein plasma. Cairan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu cairan intraseluler yang berada di dalam sel dan cairan ekstraseluler yang berada di luar sel. Cairan ekstraselular terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu cairan interstisial yang berada di antara sel pada jaringan dan plasma darah yang menjadi bagian darah. Perpindahan air antara cairan intraseluler dan ekstraseluler dapat terjadi melalui membran sel. Begitu pula antara cairan ekstraseluler dan cairan interstisial yang dapat berpindah melalui pori-pori pada endotel kapiler. Air dan ion dapat bergerak bebas melewati pori-pori, membawa cairan dari satu sisi ke sisi lain agar tercipta equilibrium (Hill et al. 2012). Distribusi cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh efek osmotik zat terlarut. Cairan interstisial dan plasma ditentukan oleh keseimbangan hidrostatik dan tekanan koloid yang melintasi membran kapiler. Asupan cairan dapat berasal dari makanan atau minuman dan hasil metabolisme. Sementara pengeluaran cairan berupa penguapan melalui paru-paru dan kulit, keringat, feses, dan urin. Materi yang tidak dibutuhkan, baik berasal dari darah maupun sel, haruslah dikeluarkan. Hal ini perlu agar rongga-rongga antar jaringan tidak terisi oleh cairan dan menjaga jaringan dari tekanan eksternal. Terdapat dua mekanisme pengeluaran cairan ke jaringan intertisial yaitu melalui kapiler dan pembuluh limfe (Tuttle dan Schottelius 1965). Tekanan osmotik merupakan transpor aktif air melalui membran, baik membran sel, epitelium, ataupun membran buatan. Terminologi ini juga berlaku untuk pergerakan air dalam tubuh. Air akan bergerak dari keadaan hipoosmotik ke hiperosmotik. Dan equilibrium akan tercapai ketika dua larutan menjadi isoosmotik (Hill et al. 2012). Fungsi ginjal sebagai organ yang berperan dalam pembentukan urin sangat berperan penting dalam pengaturan cairan tubuh. Hormon yang terlibat dalam mekanisme pengaturan air antara lain vasopressin dan aldosteron. Vasopressin (antidiuretik hormon/ADH) memainkan kunci yang penting dalam resorpsi air, produksi urin, pemekatan urin, dan kesetimbangan air. Rata-rata anjing atau kucing sehat memiliki kapasitas untuk memproduksi urin dengan osmolalitas lebih dari 2000 mOsm/kg. Apabila kucing atau anjing mengalami defisiensi ADH kronis atau tidak mampu merespon ADH, urin terlarut menjadi sekitar 20 mOsm/kg (Feldman 2010). Sementara hormon aldosteron berfungsi untuk menjaga homeostasis 3 natrium dan kalium (Swift 2010). Kedua hormon ini akan bersinergi untuk mempertahankan kadar air dalam tubuh walaupun mekanisme kerjanya antagonis. Homeostasis Cairan Tubuh dan Patogenesis Edema Akumulasi cairan interstisial disebut edema. Akumulasi cairan pada rongga organ (pericardium, pleura, dan peritoneum) dapat dikategorikan sebagai edema. Edema (English American) atau oedema (English British), sebelumnya dikenal sebagai hydropsy. Secara fisiologis, tubuh akan membatasi jumlah cairan yang terkumpul. Matriks interstisial akan memiliki peran dalam mengatur regulasi tekanan hidrostatik. Kondisi patofisiologi dapat memunculkan gejala klinis edema. Abnormalitas yang umum menyebabkan edema adalah peningkatan luas permukaan mikrovaskular dan dilatasi vaskular yang tidak sempurna, penurunan tekanan osmotik koloid, peningkatan permeabilitas mikrovaskular terhadap air dan protein, dan peningkatan tekanan hidrostatik vena (Herndon 2010). Manifestasi klinis edema tergantung dari organ yang dipengaruhi, misalnya sistem syaraf pusat, paru-paru, intestine, dan kulit (Herndon 2010). Akumulasi cairan edema terdiri dari transudat, eksudat, cairan limfatik, darah, urin, atau cairan empedu (Tasker dan Gunn-Moore 2000). Volume edema, baik sedikit maupun banyak, merupakan temuan yang penting untuk mendukung diagnosis. Pemeriksaan fisik yang baik, tes darah, dan evaluasi cairan edema akan mengarah pada diagnosa yang tepat ataupun mengarah pada uji diagnosis yang lain. Edema memiliki berbagai nama sesuai predileksi tempat terjadinya. Pada kejadian edema dalam peritoneum disebut hydrops ascites. Jenis-jenis cairan yang dapat ditemukan secara umum adalah sebagai berikut. Tabel 1 Karakteristik cairan Transudate Modified transudate Berat Jenis <1.018 1.018-1.025 Protein (g/dl) <2.5 2.5-6.0 Jumlah Sel <1000-2500 <7000 cells/mm3 3 nucleated cells/mm (Shaw dan Ihle 2006) exudate >1.025 >2.5 >7000 cells/mm3 Secara umum, penyebab hydrops ascites dapat digolongkan menjadi tiga yaitu hipoproteinemia, congestive heart failure (CHF), dan chronic renal failure (CRF). Ketiga penyebab ini berhubungan erat dengan mekanisme transportasi cairan dalam tubuh. Penyebab satu sama lain dapat saling berhubungan maupun berdiri sendiri. Menentukan penyebab hydrops ascites juga menjadi pedoman dalam menentukan terapi yang sesuai dengan kondisi pasien. Hipoproteinemia merupakan suatu keadaan di mana protein dalam tubuh berkurang. Kadar protein normal menurut Taylor et al. (2011) adalah 6-8 g/dl dan 4 kadar albumin 3.5-5 g/dl. Menurut Tams (2003), hipoproteinemia terjadi bila total protein serum <6 g/dl. Apabila total protein kurang dari 4.0 g/dl atau albumin kurang dari 1.5 g/dl maka diperlukan terapi cairan berupa koloid (Slatter 2003). Kekurangan protein dapat menyebabkan hydrops ascites karena integritas penyusun sel berkurang (Douglas 2003). Akumulasi cairan mula-mula akan ditangani oleh buluh limfatik. Bila keadaan semakin parah muncullah edema. Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan tidak hanya air tetapi juga albumin ditransportasikan ke luar pembuluh kapiler, menyebabkan penurunan efektivitas tekanan osmotik koloidal dalam menangani pengeluaran cairan dari rongga tubuh (Michell 2004). Congestive Heart Failure - Right atau gagal jantung kanan merupakan manifestasi dari ketidakmampuan jantung untuk memompa darah akibat adanya kelainan fungsi katup jantung. Kongesti muncul pada sebagian besar hewan dengan gagal jantung akibat tekanan vena yang berlebihan yang disebabkan oleh peningkatan volume plasma (retensi air dan natrium) dan penurunan kapasitas vena. Retensi air berhubungan dengan penurunan filtrasi ginjal dan hormon yang menstimulasi retensi air. Kelainan jantung sebelah kiri dapat menyebabkan munculnya edema dan tekanan pada paru-paru (Smith 2010). Sebagai manifestasi dari penyakit jantung, hydrops ascites sangat erat berhubungan dengan gagal jantung kanan atau biventricular atau ketidakseimbangan aliran vena menuju jantung kanan. Eksudat efusi abdomen, baik sepsis ataupun nonsepsis, merupakan karakteristik proses inflamasi yang melibatkan sebagian atau seluruh bagian rongga peritoneum. Penyebab efusi abdomen umumnya disebabkan oleh kenaikan tekanan hidrostatik vena. Peningkatan permeabilitas endotel juga memberi kontribusi terhadap pergerakan cairan transkapiler. Hydrops ascites yang terjadi diakibatkan oleh tingginya tekanan hidrostatik vena atau kapiler didasarkan pada letak lesio patologisnya. Selama pembentukan efusi abdomen, cairan akan didistribusikan dari pembuluh vaskular menuju rongga tubuh. Penurunan volume plasma kemudian akan menginduksi mekanisme untuk mengkompensasi keadaan ini (sistem Renin-Angotensin-Aldosterone dan pelepasan hormon antidiuretik) untuk meningkatkan total air dan sodium dalam tubuh. Penyebab tingginya tekanan hidrostatik dapat berupa masalah katup atau pembuluh vaskuler (kegagalan katup jantung atau abnormalitas systemic-to-pumonary shunt). Penyakit degenerasi katup atrioventricular dan endokarditis katup mitral atau aorta merupakan gejala yang muncul akibat overload CHF. Tekanan berlebihan terjadi ketika ventrikel berkontraksi untuk mengsirkulasikan darah. Penyebab umum tekanan berlebihan ventrikel adalah stenosis katup pulmonic atau (sub)aorta, hipertensi pulmoner, dan hipertensi sistemik. Tekanan berlebihan sistolik akan menstimulasi hipertrofi jantung dan kekakuan dinding ventrikel yang dapat mengarah pada iskemia. Keadaan ini juga akan mengakibatkan kontraktilitas jantung menurun. Chronic renal failure atau gagal ginjal kronis merupakan simptom yang dapat terjadi akibat kegagalan sistem endokrin, fungsi ekskresi, dan regulasi ginjal. Gangguan endokrin yang meluas dapat saja terjadi dan menyebabkan respon organ 5 target berkurang akibat keadaan uremik. Pada anjing dan kucing, gejala yang khas terjadi adalah polyuria dan polydipsia. Secara umum hipertensi dan edema tidaklah muncul bersamaan dalam satu keterkaitan. Edema merupakan akumulasi cairan interstisial dari plasma. Retensi natrium dan air sering kali menjadi penyebab utama terjadinya edema. Retensi inilah yang menyebabkan air tertahan dalam tubuh (Michell 2004). Abnormalitas ginjal baik secara struktural maupun fungsional yang terjadi pada salah satu atau kedua ginjal dengan periode yang diperpanjang, biasanya terjadi selama 3 bulan atau lebih. Anjing dan kucing dengan gagal ginjal kronis dapat dikategorikan dalam empat stadium. Keempat stadium ini didasarkan pada fungsi ginjal, proteinuria, dan tekanan darah. Pengkategorian ini dijadikan pedoman dalam menentukan diagnosis, prognosis, dan pengobatan. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada fungsi ginjal dapat diukur melalui perhitungan konsentrasi kreatinin serum. Nilai kreatinin serum pada kucing dengan gagal ginjal kronis stadium 1 hingga 4 secara berurutan adalah: <1.6 mg/dl, 1.6-2.8 mg/dl, 2.9-5.0 mg/dl, dan >5.0 mg/dl. Gagal ginjal kronis juga dikategorikan berdasarkan keparahan proteinuria diukur dengan rasio protein-kreatinin (UPC) di urin dan tekanan darah arterial. Nilai UPC digunakan untuk mengklasifikasikan pasien dalam kategori nonproteinuric, borderline proteinuric, dan proteinuric. Seekor kucing dikatakan proteinuric dengan nilai rasio UPC >0.4, borderline proteinuric 0.2-0.4, dan nonproteinuric <0.2. Apabila didapat hasil UPC mengalami kenaikan atau kurang dari 0.2, maka munculnya proteinuria harus dievaluasi 2 hingga 3 kali dalam jangka waktu 2 minggu. Dan tekanan arterial dihitung sebanyak 2 hingga 3 kali dalam beberapa minggu untuk menentukan pengklasifikasian berdasarkan tekanan darah. Pengklasifikasian seharusnya didasarkan nilai tekanan darah terendah. Stadium berdasarkan tekanan arterial terdiri dari stadium 0 sampai stadium 3. Nilai tekanan sistol/diastol stadium 0 hingga 3 secara berurutan adalah <150/<95 mmHg, 150-159/95-99 mmHg, 160-179/100-119 mmHg, dan ≥180/≥120 mmHg (Polzin 2011). Pengkategorian penyakit ginjal juga dapat dibagi menjadi 5. Stadium 5 atau stadium akhir dari gagal ginjal kronis ini ditandai dengan penurunan glomerular filtration rate (GFR) di bawah normal (90-120 ml/min/1.73m2) atau mencapai 10% saja (McPhatter 2012). Sumber cairan pada rongga abdomen dan rongga thoraks dapat bersumber dari efusi plasma dari pembuluh darah maupun transudat peritoneum yang mengalami peradangan. Cairan bersifat transudat pada rongga abdomen dapat berasal dari plasma yang berefusi dari pembuluh darah terutama akibat gangguan keseimbangan protein (Aswar 2009). FIPV menyebabkan peradangan pada pembuluh darah (vaskulitis). Virus ini menginfeksi pembuluh darah sehingga mengalami peradangan, degenerasi hingga rusak. Rusaknya pembuluh darah mengakibatkan terlepasnya cairan ke rongga tubuh, kemudian kerusakan pembuluh darah diatasi oleh pembentukan jaringan fibrinous oleh trombosit yang dampak negatifnya dapat menyebabkan thrombus hemoragi yang mengobstruksi pembuluh darah. Adanya obstruksi pada pembuluh darah kapiler menyebabkan serum darah merembes keluar menuju rongga tubuh seperti rongga abdomen atau rongga 6 thoraks. Akumulasi cairan pada rongga abdomen akan menyebabkan kerusakan pada permukaan peritoneum sehigga peritoneum mengalami peritonitis (Simons et al. 2005). Feline Infectious Peritonitis Patogenesis Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah penyakit viral yang disebabkan oleh coronavirus yang menyerang kucing pada segala umur dengan predisposisi pada hewan muda. FIP umumnya terjadi pada catteries (kucing ras), shelter, penampungan kucing dan koloni kucing bebas. Kejadian infeksi FIP bersifat enzootik, insidensi FIP dapat berbeda-beda setiap waktu. FIP ini menjadi salah satu penyakit viral yang penting pada kucing. FIP merupakan mutan dari Feline Coronavirus (FCoV) dan penyebab mutasinya masih menjadi perdebatan. Virus FIP dapat muncul akibat mutasi feline enteric coronavirus (FECV), FCoV merupakan virus yang umum ditemukan di seluruh dunia dan patogen yang tidak perlu diwaspadai. Sebuah studi memperkirakan bahwa setidaknya 80% dari kucing ras murni terinfeksi oleh FCoV (Berg et al. 2005). FECV dikeluarkan melalui feses kucing yang sehat dan normal pada lingkungan dengan kucing dalam jumlah besar (Pedersen et al. 2004) serta ditransmisikan melalui ingesti langsung feses atau litter terkontaminasi dan benda-benda lainnya (Pedersen et al 2004, 2008). FECV mutan dapat menyebabkan FIP dalam jumlah banyak selama masa inisiasi infeksi, saat replikasi FECV sangatlah tinggi (Pedersen et al 2008, Vogel et al 2010). Tetapi proporsi hewan terpapar virus menjadi FIP cukup kecil. Resistensi FIP kompleks dan melibatkan suseptibilitas genetik, usia saat terpapar dan banyaknya penyebab stres yang terjadi saat infeksi dan berpengaruh pada kemampuan individu untuk mengeliminasi virus. Periode waktu antara inisiasi paparan FECV dan gejala klinis dapat selama 2-3 minggu, beberapa bulan atau, sangat jarang, beberapa tahun (Pedersen 2014). Periode waktu ini merupakan saat virus mutan menjadi FIPV atau perubahan dari gejala subklinis menjadi klinis. Puncak dari onset merupakan akhir dari penyakit ini yang dapat diartikan kucing telah kalah dari penyakit yang menyerangnya ataupun kucing kembali normal yang merupakan kejadian yang langka. Lesio histopatologi pada FIP tipe basah (umumnya vasculitis) merupakan reaksi dari hipersensitivitas tipe III. Sementara pada FIP tipe kering (umumnya kumpulan granuloma) diagnosa lebih mengarah pada reaksi hipersensitivitas tipe IV. Berdasarkan informasi ini dan observasi lainnya muncullah hipotesis bahwa hewan dengan kekebalan berperantara sel yang lemah, diagnosa akan mengarah menuju FIP tipe basah. Hewan dengan kekebalan berperantara sel sedang sampai kuat akan menjadi FIP tipe kering. Dan kucing dengan kekebalan beperantara sel yang kuat dapat kebal terhadap FIP (Pedersen 1995). Gejala Klinis Gejala klinis yang ditimbulkan oleh FIP sangatlah luas dan bersifat sistemik. Lesio-lesio penyakit dapat ditemukan pada saluran pencernaan, sistem syaraf, 7 sistem pernapasan dan pada organ-organ saluran urinari. Lesio yang sangat luas menjadikan dokter hewan kesulitan untuk mendeteksi penyakit ini. Gejala awal penyakit juga ini sulit diidentifikasi karena tidak ada kekhususan. Kesalahan diagnosa dapat terjadi akibat gejala klinis yang tidak spesifik seperti hilang nafsu makan, depresi, rambut kasar dan demam (Simons et al. 2004). Perubahan patologi klinik yang terjadi adalah lymphopenia, neutrophilia, anemia, hyperproteinemia, dan hypergammaglobulinemia yang juga tidak patognomonis (Paltrinieri et al. 2001; Hartmann et al. 2003). Sebanyak 70% dari kucing berusia <1 tahun yang mengalami efusi pleura, disebabkan oleh FIP. Kemungkinan ini meningkat pada kucing ras dan kucing mixed-breed (Beatty dan Barrs 2010). Kucing Birman telah diidentifikasi memiliki lima atau empat kromosom yang berbeda yang berhubungan dengan kerentanan terhadap FIP (Golovko et al. 2013). Kebanyakaan infeksi FECV secara klinis terlihat sebagai gastroenteritis yang bersifat self-limiting. Kadang-kadang, terjadi muntah dan diare yang akut, parah atau kronis dan tidak responsif terhadap pengobatan. Diagnosis Diagnosis yang dilakukan untuk mengidentifikasi hydrops ascites antara lain dilakukan dengan auskultasi abdomen, USG dan abdominocentesis. USG dapat membantu mengidentifikasi massa, abses, organomegaly, ataupun perubahan bentuk organ. Diagnosis yang mengarah pada kecurigaan FIP dapat dibuat dengan anamnesa pemilik dan gejala klinis yang timbul. Praktisi juga dapat menggunakan test kit FIP, melakukan pemeriksaan darah dan eksudat, serta menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Gejala yang dapat dideteksi antara lain kehilangan nafsu makan, depresi, rambut kasar, demam, diare akut atau kronis. Variasi gejala muncul sesuai dengan organ tempat virus menyerang. Mendiagnosa penyakit FIP dapat dilakukan dengan mengetahui jenis cairan efusi abdomen atau pleura. Cairan yang terakumulasi berupa eksudat. Karakteristik eksudat yang terakumulasi memiliki total protein tinggi (>35g/l) dan jumlah sel sedikit (<5000/μl). Pembentukan eksudat dapat ditemukan di peritoneum, pleura, dan rongga pericardiac (Beatty dan Barrs 2010). Proses identifikasi dapat diambil dari eksudat lokasi edema. Pengambilan cairan hydrops ascites dilakukan dengan teknik abdominocentesis. Abdominocentesis dilakukan untuk menganalisa akumulasi cairan untuk mengetahui karakteristiknya. Prosedur abdominocentesis terlebih dahulu dilakukan pencukuran di daerah umbilikal. Kateter atau needle dimasukkan perlahan ke rongga peritoneum pada bagian yang sudah terfiksasi. Cairan keluar dengan sendiri dari needle tanpa perlu aspirasi dengan syringe. Cairan yang keluar ditampung ke dalam tabung steril atau media kultur. Apabila cairan tidak keluar aspirasi perlahan-lahan dengan syringe steril 3.0 ml (Byers dan McMichael 2014). Diagnosa penyakit Feline Infectious Peritonits (FIP) dapat dilakukan dengan pendekatan berdasarkan etiopatogenesis dari penyakit ini. Feline Infectious Peritonitis Virus (FIPV) merupakan mutasi dari FCoV. Kedua virus ini identik satu sama lain baik secara fenotip maupun genotip, yang sudah dibuktikan dengan PCR. Pada sebuah catteries yang terjadi endemik, telah didapat titer FCoV yang tinggi 8 pada kucing sehat dan serologi negatif pada kucing yang sakit. Selain itu, negatif palsu dapat terjadi dari reaksi silang dengan coronavirus dari spesies lain, misalnya Canine Coronavirus (CCV) atau Transmissible Gastroenteritis Virus (TGEV). Walaupun RNA FCoV dapat ditemukan pada plasma hewan sehat yang berada di catteries endemis FECV, FCoV yang ditemukan pada area selain lumen intestinal diinterpretasikan sebagai FIPV, terutama bila ditemukan pada lesio atau cairan intestinal/pleural (Paltrinieri et al. 1999). Akumulasi cairan dalam kasus FIP tergolong ke dalam eksudat. Jenis cairan yang dapat ditemukan pada kecurigaan FIP adalah berwarna kekuningan, tinggi protein serta steril (Shaw dan Ihle 2006). Eksudat ini menjadi media diagnosa FIP yang saat ini paling sering dilakukan. Ketika cairan terbentuk, total protein umumnya sangat tinggi yang juga menggambarkan kenaikan serum protein. Pemeriksaan elektroforesis pada cairan efusi ataupun serum menunjukkan gejala polyclonal gammopathy. Bila cairan diambil dalam EDTA, terdapat gumpalan atau kumpulan fibrin dan kekentalan cairan sangat tinggi menyerupai cairan sinovial (De Nicola 2008). Menurut Paltrinieri et al. (1999), pada kucing yang dikonfirmasi menderita FIP, terdapat cairan kekuningan, kental, dan fibrinous pada abdomen sebanyak 63%, pada ruang thorax 22%, dan pada keduanya 15%. Tes immunohistokimia, misalnya pewarnaan immunoperoxidase, dapat mendeteksi antigen Feline Enteric Coronavirus (FCoV) pada jaringan. Pewarnaan ini tidak dapat membedakan antara FECV dan FIPV tetapi karena FIPV bereplikasi lebih aktif maka konsentrasi antigen yang tinggi dapat diinterpretasikan sebagai FIP (Hartmann 2005). Dan konsentrasi antigen virus lebih sedikit pada FIP tipe kering daripada FIP tipe basah (Pedersen 1995). Prognosis Menurut Foster dan Smith (2015), kucing dengan FIP tipe basah mati dalam waktu 2 bulan sejak gejala klinis muncul. Pada sebuah studi juga diketahui bahwa kucing dengan gejala non-effusive dapat hidup hingga 1 tahun dan memiliki survival rate hanya 5% (Pedersen 2014). Menurut Hartmann (2010), pada studi prospektif menggunakan 43 ekor kucing, survival time setelah konfirmasi diagnosa FIP (effusive) adalah 16 hari. Variasi masa hidup kucing sangat bergantung pada kondisi saat pertama kali didiagnosa FIP serta kekebalan tubuh inang, terutama kekebalan berperantara sel. Terapi Belum ada drug of choice untuk penyakit FIP. Terapi saat ini yang dilakukan merupakan terapi suportif untuk mengurangi gejala yang muncul. Beberapa jenis obat yang diberikan adalah diuretik, antibiotik serta obat immunosupresif. Diuretik diharapkan dapat memperkecil akumulasi cairan walaupun tidak dapat menyembuhkan penyebab hydrops ascites. Antibiotik merupakan obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dan dipilih berdasarkan lokasi obat tersebut bekerja. Sementara imunosupresif dapat memperlambat perkembangan penyakit tetapi tidak menyembuhkan. 9 Terdapat kemajuan dalam pengobatan FIP saat ini yaitu penggunaan α interferon. Penggunaan α interferon manusia memiliki efek antivirus langsung dengan menginduksi kondisi antiviral pada sel yang mengandung α interferon yang berfungsi melindungi replikasi virus. Kucing yang diberi pengobatan dengan α interferon kombinasi dengan Propionibacterium acnes memiliki rata-rata angka harapan hidup yang secara signifikan diperpanjang beberapa hari (Hartmann et al. 2008). Interferon bersifat spesies spesifik dan feline interferon (FelFN) memiliki antigenisitas yang berbeda dengan interferon manusia. Replikasi FCoV dapat dihambat dengan FelFN- ω in vitro (Ishida et al. 2004). Kemajuan teknologi diagnostik memungkinkan dikembangkannya vaksin FIP, namun demikian hal ini masih mengundang kontroversi perlu atau tidaknya disediakan. Praktisi dapat saja memberikan vaksin FIP dengan berbagai pertimbangan dan kondisi pemeliharaan hewan. Pemberian vaksin FIP komersial melalui intranasal tidak direkomendasikan untuk semua jenis kucing. Apabila divaksin, kucing yang dipelihara baik single maupun multiple-cat akan berisiko menyebabkan FIP, maka vaksin ini tidak direkomendasikan. Tetapi bila penyakit FCoV mewabah pada lingkungan multiple-cat, vaksin dapat diberikan pada kucing yang sehat dan kucing yang baru dimasukkan untuk menurunkan insidensi FIP. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di praktek bersama Drh Setyo Widodo dkk. yang berlokasi di Jalan Pandu Raya 173, Tegal Gundil Bogor 16153, selama kasus terjadi tahun 2014. Materi dan Metode Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang dievaluasi di klinik pada kucing di tahun 2014 pada praktek bersama Drh Setyo Widodo dkk. Data kemudian dianalisis secara deskriptif. Sebanyak 12 ekor kucing dengan tiga gejala utama berupa undulasi positif, pembesaran abdomen, dan jaundice dipelajari selama kasus terjadi tahun 2014. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Klinis Sebanyak 12 ekor kucing dari data sekunder yang didapatkan di praktek bersama Drh Setyo Widodo dkk menderita hydrops ascites dan dibuktikan dengan undulasi positif, pembesaran abdomen serta jaundice dan dikonfirmasi tidak 10 menderita panleukopenia. Gejala ini juga disertai dengan gejala lainnya seperti tidak defekasi, feses lembek, mukosa pucat, lemas, dehidrasi, kehausan, dan nafsu makan menurun. Anamnesa yang didapat dari pemilik hewan dapat berupa kelemahan umum, lemas, nafsu makan menurun, dan dapat disertai atau tidak diare, jaundice, dan abdomen membesar. Palpasi dan auskultasi yang dilakukan pada area abdomen, area yang mengalami pembesaran, dan perkusi daerah thorax saat hewan diberdirikan merupakan cara untuk mendeteksi efusi dan edema subkutan (Ware 2007). Variasi gejala klinis dapat dilihat di dalam tabel 2. Tabel 2 Gejala Klinis yang Ditemukan pada Kucing dengan Kecurigaan FIP Simptom Kucing ke-n 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Undulasi positif √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Abdomen √ √ √ √ √ √ √ membesar Tidak defekasi √ Feses Lembek √ √ Jaundice √ √ √ √ √ Mukosa pucat √ Lemas √ √ Dehidrasi √ Kekurusan √ Nafsu makan √ √ √ menurun 12 √ Semua kucing menunjukkan gejala klinis undulasi abdomen positif. Setengah dari jumlah tersebut menunjukkan tanda jaundice dan 7 dari 12 kucing mengalami pembesaran abdomen. Gejala klinis lainnya bervariasi berupa tidak defekasi, diare, mukosa pucat, lemas, dehidrasi, kurus, dan nafsu makan menurun menjadi diagnosa yang menunjang dalam menentukan pengobatan dan memperkirakan prognosa. Gejala ini umum terjadi pada berbagai peyakit infeksius. Terdapat 2 hingga 5 variasi gejala klinis yang teramati pada kucing yang dicurigai menderita FIP. Pada kucing nomor 5 diketahui tanda tidak dapat defekasi dan pada kucing nomor 9 diketahui mengalami dehidrasi dan mukosa pucat. Keunggulan kasus ini adalah semua kucing menunjukkan undulasi positif yang artinya terdapat cairan atau materi cair di dalam abdomen. Secara teoritis terdapat tiga kejadian penyebab hydrops ascites yaitu hipoproteinemia, congestive heart failure dan chronic renal failure. Hipoproteinemia berhubungan dengan penurunan integrasi sel dan memicu kebocoran cairan ke daerah interstisial. Sementara congestive heart failure dan chronic renal failure menyebabkan retensi air dan natrium. Ketiga penyebab hydrops ascites ini dapat menjadi diferensial diagnosa hydrops ascites secara umum. Sedangkan pada FIP tipe basah, hydrops ascites disertai dengan tanda klinis undulasi positif, pembesaran abdomen, dan √ √ - 11 jaundice. Oleh karenanya kecurigaan atas infeksi FIP sangat besar bila gejala tersebut muncul. Hydrops ascites menjadi salah satu gejala klinis yang penting dalam diagnosa FIP tipe basah. Karakterisasi cairan tubuh menjadi penting apabila diperlukan mencari asal-usul penyakit. Identifikasi eksudat dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu: kriteria Light, gradien albumin serum cairan efusi, konsentrasi kolesterol cairan efusi, dan konsentrasi bilirubin serum pleura. Kriteria Light umumnya digunakan untuk membedakan antara eksudat dan transudat. Sementara pada pasien yang diterapi dengan diuretik efektif diuji dengan gradien albumin serum cairan efusi (Lasley et al 1995). Jenis hydrops ascites FIP berwarna kekuningan, tinggi protein, dan steril. Karakteristik inilah yang mengarahkan kecurigaan pada FIP. Jenis cairan hanya dapat dikonfirmasi bila dilakukan aspirasi seperti abdominocentesis. Akumulasi cairan tidak hanya terbatas pada rongga abdomen tetapi juga dapat terakumulasi di rongga dada dan bagian tubuh lainnya. Diagnosa juga dapat disertai dengan tes Complete Blood Count sebagaimana penurunan ataupun peningkatan sel darah putih akan mengarah pada sepsis. Biochemistry panel dan urinalisis dapat membantu diagnosa sepsis, gangguan hati kronis, obstruksi saluran urinari, hiperadrenocortism, hipoalbuminemia, dan protein-losing nephropathy (Chambers 2010). Terapi FIP Kucing yang diamati kemudian menjalani proses pengobatan. Beberapa ekor kucing mati dalam jangka waktu berbeda-beda dan sebagian tidak kembali sehingga tidak didapat keterangan yang lebih lanjut. Diketahui pula bahwa pada kucing no 7 mati setelah 8 bulan pengobatan sementara pada kucing no 8 mati setelah satu hari pengobatan. Variasi masa hidup yang berbeda sagat bergantung pada jenis kekebalan sel individu. Berikut adalah pengobatan yang dilakukan pada kucing dengan kecurigaan FIP. Tabel 3 Terapi yang Telah Dilakukan pada Kucing dengan Kecurigaan FIP Kucing ke-n Treatment 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 ® Furocemid √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ ® Kanamicin dexa √ √ ® Cefad MP √ ® Cetotaxime √ ® Lasix √ Dexamethason® abdominocentesis √ √ - 12 √ √ √ - Diuretik merupakan obat pilihan untuk menangani hydrops ascites. Mengurangi jumlah cairan retensi abdomen tidak hanya dengan obat tetapi juga 12 dapat dilakukan dengan abdominocentesis. Abdominocentesis dilakukan saat vesica urinaria kosong dan dikonfirmasi tidak ada massa intraabdominal. Abdominocentesis dapat dilakukan dengan posisi berdiri ataupun lateral recumbency dan terbaik dilakukan dengan bantuan USG (Rudloff 2010). Terapi secara relatif menunjukkan hasil yang baik dengan obat immunosupresif dan antiinflamasi dosis tinggi. Pada hampir setiap studi kasus dilaporkan telah digunakan glucocorticoid. Walaupun sampai saat ini belum ada studi mengenai kebenaran efektivitas glucocorticoid. Beberapa dokter hewan juga memberikan immunomodulator (promodulin, acemannan) untuk menangani kucing dengan FIP walaupun tidak ada kontrol terhadap efektivitas obat (Hartmann 2010). Ribavarin sebagai antiviral dan interferon α manusia rekombinan, keduanya menunjukkan aktivitas antiviral terhadap FIPV in vitro dan memiliki efek sinergistik (Chandler et al. 2004). Kanamicin dexa terdiri atas kanamycin dan dexamethasone. Kanamycin merupakan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Kanamycin menjadi salah satu pilihan obat dalam penanganan kasus peritonitis. Cefadroxil sebagaimana umum diketahui adalah antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri terutama pada saluran pernafasan, ginjal dan saluran urinari, kulit dan jaringan lunak, serta peradangan tonsil dan tenggorokan. Cefadroxil digunakan untuk menangani kejadian infeksi sekunder pada kejadian FIP yang disertai hydrops ascites. Hingga saat ini belum ditemukan drug of choice untuk mengatasi penyakit FIP. Terapi-terapi yang dilakukan merupakan terapi suportif. Kesembuhan dari penyakit virus sangat bergantung pada kekebalan tubuh inang. Terapi yang diperlukan antara lain pemberian antibiotik untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder, antiinflamasi, dan dilakukannya abdominocentesis. Vaksinasi sebagai salah satu bentuk pencegahan juga dapat dilakukan pada keadaan tertentu. Vaksinasi menunjukkan hasil positif untuk menurunkan insidensi bila hanya dilakukan pada kucing yang seronegative sebelum vaksinasi (Lappin 2001). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hydrops ascites dengan undulasi positif terjadi pada semua kucing yang diamati dan dicurigai sebagai kejadian FIP tipe basah. Terapi penunjang yang dilakukan dapat memperpanjang waktu hidup hewan. Saran Konfirmasi dapat dilakukan dengan test kit FIP untuk mempercepat diagnosis konfirmasi. 13 DAFTAR PUSTAKA Aswar. 2009. Studi kasus patologi feline infectious peritonitis pada anak kucing (Felis catus). Skripsi. Beatty J, Barrs V. 2010. Plerual Effusion in the Cat: A Practical Approach to Determining Aetiology. Doi:10.1016/j.jfms.2010.07.013. Berg A L, Ekman K, Belák S, Berg M. 2005. Cellular composition ad interferon-γ expression of the local inflammatory response in feline infectious peritonitis (FIP). Vet Microbiol. 111(2005) 15-23. Byers C G dan McMichael M. 2014. Handbook of Canine and Feline Emergency Protocols 2nd ed. McMichael M, editor. Illinois (US): Wiley %Sonc Inc. Chambers G. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine vol 2 7th ed. Ettinger SJ dan Feldman EC, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier. Chandler E A, Gaskell C J, dan Gaskell R M. 2004. Feline Medicine and TheTherapeutic 3rd ed. Iowa (US): Blackwell. De Nicola D B. 2008. Feline thoracic and abdominal effusion evaluation: common presentation. International Congress of the Italian Association of Companion Animal Veterinarians. Rimini (ITA): SCIVAC. Douglas S. 2003. Textbook of Small Animal Surgery 3rd ed. Philadelphia (US): Elsevier. Feldman E C. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine Vol 1 7th ed. Ettinger SJ dan Feldman EC, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier. Golovko L, Lyons LA, Liu H, Sorensen A, Wehnerr S, dan Pedersen NC. 2013. Genetic susceptibility to feline infectious peritonitis in Birman cats. Virus Research 175, 58-63. Greene. 2012. Infectious Disease of the Dog and Cat 4th ed. Missouri (US): Elsevier Saunder. Hartmann K, Binder C, Hirschberger J, Cole D, Reinacher M, Schroo S, Frost J, Egberink H, Luts H, Hermanns W. 2003. Comparison of different test to diagose feline infectious peritonitis. J Vet Intern Med 2003;17:781-790. Hartmann K, Ritz S. 2008. Treatment of cats with feline infectious peritonitis. J Vet Immunol Immunopathol 123(2008) 172-175. Hartmann K. 2005. Feline infectious peritonitis. Veterinary Clin of North America; Small Anim Pract 2005;35(1):39-79. Hartmann K. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine vol 1 7th ed. Ettinger S J dan Feldman E C, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier. Herndon W E. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine vol 1 7th ed. Ettinger S J dan Feldman E C, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier. Hill R W, Wyse G A, dan Anderson M. 2012. Animal Physiology 3rd ed. Sunderland (US): Sinauer. Ishida T, Shibanai A, Tanaka S, Uchida K, Mochizuki M. 2004. Use of recombinant feline interferon and glucocorticoid in the treatment of feline infectious peritonitis. J Feline Med Surg (2004) 6 , 107-109. McPhatter L. 2012. Nutrition Therapy for Chronic Kidney Disease. Thomas L K dan Othersen J B, editor. Boca Raton (US): CRC Press. 14 Michell A R. 2004. Physiology and pathophysiology of the internal environment. dalam Veterinary Medicine. Editor Dunlop RH, Malbert SH. Iowa (US): Blackwell Lappin M R. 2001. Feline Internal Medicine Secrets. Philadephia (US): Medical Publisher. Neer TM. 2009. Small Animal Medical Diagnosis 3rd ed. Lorenz MD, Neer TM, dan DeMars PM, editor. Iowa (US): Blackwell Paltrinieri S, Margherita C P, dan Giorgio C. 1999. In vivo diagnosis of feline infectious peritonitis by comparison of protein content, cytology, and direct immuofluorescence test on peritoneal and pleural effusions. J vet diagn invest. 11:358-361 (1999). Paltrinieri S, Grieco V, Comazzi S, Cammarata PM. 2001. Laboratory profiles in cats with different pathological and immunohistochemical findings due to feline infectious peritonitis (FIP). J Feline Med Surg. 3: 149-159. Pedersen NC. 1995. An overview of feline enteric coronavirus and innfectious peritonitis virus infection. Fel pract 1995 23:7-20. Pedersen NC. 2014. An update of feline infectious peritnitis: diagnostic and therapeutic. Vet Journal. 201(2014) 133-141. Pedersen NC, Allen CE, Lyons LA. 2008. Pathogenesis of feline enteric coronavirus infection. J Feline Med Surgi. 10(6): 529-41. Pedersen NC, Sato R, Foley JE, Poland AM. 2004. Common virus infection on cats berfore and after being placed in shelters, with emphassis on feline enteric coronavirus. Journal of Feline Med and Surg. 10 529-541. Polzin DJ. 2011. Veterinary Clinics of North America Small Animal Practices: Kidney Diseases and Renal Replacement Therapies. Acierno M J dan Labato M A, editor. Philadelphia (US): Saunders Elsevier. Rudloff E. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine Vol 1 7th ed. Ettinger S J dan Feldman AC, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier. Shaw D, Ihle S. 1965. Small Animal Internal Medicine. Iowa (US): Blackwell. Simons FA, Vennema H, dan Rofina JE. 2005. A mRNA s. PCR for the diagnosis of feline infectious peritonitis. J Virological Methods.;124(1/2):111-116. Slatter D. 2003. Textbook of Small Animal Surgery 3rd ed. Philadelphia (US): Saunders. Smith M M. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine vol 2 7th ed. Ettinger S J dan Feldman E C, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier. Swift S. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine Vol 2 7th ed. Ettinger S J dan Feldman E C, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier. Tams T R. 2003. Handbook of Small Animal Gastroenterology 2nd ed. Tams T R, editor. Missouri (US): Saunders Tasker S, Gunn-Moore D. 2000. Differential diagnosis of ascites in cats. In Pract. Vol 22(8): 472-479. Taylor C, Lillis C, LeMone P dan Lynn P. 2011. Fundamentals of Nursing 7th ed. Philadelphia (US): Lippincott Williams &Wilkins. Tuttle WW, Schottelius BA. 1965. The Textbook of Physiology. St. Louis (US): Mosby Comp. Vogel L, Van der Lubben M, Te Lintelo EG, Bekker CPJ, Geerts T, Schuijff LS, Grnwis GCM Egberink HF, Rottier PJM. 2010. Pathogenis characteristic of persistent feline enteric coronavirus infection in cats. Vet Research. 41 71. 15 Ware WA. 2007. Cardiovasular Disease in Small Animal Medicine. London (UK): Manson Publishing. 16 17 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Siti Zahrina yang dilahirkan di Bandung pada tanggal 6 Oktober 1993. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah penulis bernama Imam Santoso dan Ibu penulis bernama Iin Indrawati (alm). Penulis merupakan alumni dari SMPN 5 Bandung dan SMAN 22 Bandung. Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun 2012 melalui jalur SNMPTN Undangan. Kegiatan penulis di luar akademik yaitu sebagai ketua divisi pendidikan pada Himpunan Minat Profesi Ruminansia, Fakultas Kedokteran, Institut Pertanian Bogor tahun 2014-2015, anggota divisi PSDM Paguyuban Mahasiswa Bandung 2013-2014, anggota divisi Infokom 2014-2015 DKM An-Nahl FKH IPB, anggota Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi Pengabdian Masyarakat FKH IPB tahun 2015, serta acara kepanitiaan lain pada acara-acara kampus. Penulis pernah mendapatkan beasiswa dari Pengembangan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2014 dan beasiswa Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2015.