studi kasus hydrops ascites pada kucing dan

advertisement
STUDI KASUS HYDROPS ASCITES PADA KUCING DAN
KAITANNYA DENGAN FELINE INFECTIOUS PERITONITIS
SITI ZAHRINA
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Kasus Hydrops
Ascites pada Kucing dan Kaitannya dengan Feline Infectious Peritonitis adalah
benar karya Saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulisan Saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Siti Zahrina
NIM B04120064
iv
v
ABSTRAK
SITI ZAHRINA. Studi Kasus Hydrops Ascites pada Kucing dan Kaitannya dengan
Feline Infectious Peritonitis. Dibimbing oleh SETYO WIDODO dan LENI
MAYLINA.
Feline Infectious Peritonitis (FIP) merupakan penyakit yang rentan terjadi
pada kucing yang pelihara lebih dari satu ekor dalam sebuah rumah tangga.
Kejadian FIP ini menular dan berakibat fatal. Tujuan dilakukannya penelitian ini
adalah mengidentifikasi kaitan antara gejala hydrops ascites dan insidensi
kecurigaan penyakit Feline Infectious Peritonitis (FIP). Studi kasus ini dilakukan
dengan mengumpulkan data sekunder dari sebuah klinik. Sebanyak 12 ekor kucing
dalam kasus yang diamati memiliki tiga gejala klinis utama, yaitu undulasi positif,
abdomen membesar, dan jaundice. Pengobatan hydrops ascites akan didiskusikan
lebih detail.
Kata kunci: Feline Infectious Peritonitis, hydrops ascites, kucing
ABSTRACT
SITI ZAHRINA. Case Study of Hydrops Ascites in Cats and Its Correlation with
Feline Infectious Peritonitis. Supervised by SETYO WIDODO and LENI
MAYLINA.
Feline Infectious Peritonitis (FIP) is a disease which is susceptible disease,
those happen in multiple cat household. FIP virus is highly virulence and fatal. The
aim of this study is to identify the correlation between hydrops ascites clinical sign
and the incidence of suspected Feline Infectious Peritonitis. This case study was
done using secondary data of hydrops ascites cases which went to a clinic. Twelve
cats examined were having abdominal undulant, enlargement of the abdomen, and
jaundice. The treatment of hydrops ascites will be discussed in detail.
Keywords: cat, Feline Infectious Peritonitis, hydrops ascites
vi
vii
STUDI KASUS HYDROPS ASCITES DAN KAITANNYA
DENGAN FELINE INFECTIOUS PERITONITIS
SITI ZAHRINA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
viii
x
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini. Judul skripsi yang
dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan pada tahun 2014 ini adalah “Studi
Kasus Hydrops Ascites pada Kucing dan Kaitannya dengan Feline Infectious
Peritonitis”. Adapun penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Drh Setyo Widodo, PhD selaku
Pembimbing I, Drh Leni Maylina, MSi selaku pembimbing II, Drh Amrozi, PhD
selaku Pembimbing Akademik serta seluruh staf di klinik praktek bersama Drh
Setyo Widodo dkk tempat data penelitian ini diambil. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada kedua orang tua, keluarga, Boki yang selalu menemani,
serta-serta teman-teman terutama penghuni kost New Arini dan CCA atas segala
do’a dan dukungannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Semoga Penulis dapat menghasilkan skripsi yang bermanfaat bagi Penulis
lain dan juga bagi Pembaca.
Bogor, September 2016
Siti Zahrina
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Homeostasis Cairan Tubuh dan Patogenesis Edema
Feline Infectious Peritonitis
Patogenesis
Gejala Klinis
Diagnosis
Prognosis
Terapi
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Materi dan Metode Pelaksanaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Klinis
Terapi FIP
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
xii
xiv
1
1
1
2
2
3
6
6
6
7
8
8
9
9
9
9
9
11
12
12
12
13
xiv
xv
DAFTAR TABEL
Karakteristik cairan
Gejala Klinis yang Ditemukan pada Kucing dengan Kecurigaan FIP
Terapi yang Telah Dilakukan pada Kucing dengan Kecurigaan FIP
3
10
11
xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing yang tergolong dalam ordo Carnivora, famili Felidae, dan genus Felis,
merupakan hewan yang banyak dipelihara di rumah. Kucing yang tinggal secara
berkelompok akan menjadi rentan populasinya bila salah satunya menderita
penyakit infeksius. Kedekatan manusia dengan kucing berkembang seiring dengan
pengetahuan-pengetahuan baru para pemilik kucing dalam manajemen dan
penanganan kesehatan kucing. Kedekatan ini membuka peluang ketergantungan
kucing akan nutrisi yang ideal dan berimplikasi kepada malnutrisi, misalkan
hydrops ascites dan mudah terserang penyakit infeksius seperti Feline Infectious
Peritonitis (FIP), Feline Enteric Viral Infection, Cat Influenza, atau Panleukopenia
jika pemeliharaannya bersifat multiple-cat.
Hydrops ascites merupakan kejadian akumulasi cairan abnormal pada rongga
abdomen (Neer 2009). Hydrops ascites menjadi gejala klinis yang sangat penting
untuk meneguhkan diagnosa suatu penyakit. Hydrops ascites dapat mengarahkan
diagnosa pada tiga kemungkinan penyebab gejala ini, yaitu hipoproteinemia,
Congestive Heart Failure (CHF) pada jantung bagian kanan, dan Chronic Renal
Failure (CRF). Prognosa hewan yang mengalami hydrops ascites tentu akan
berbeda tergantung dengan tingkat keparahan dan kesesuaian terapi untuk
mengeliminasi penyebab hydrops ascites.
FIP disebabkan oleh Feline Infectious Peritonitis Virus (FIPV), berasal dari
Famili coronavirus. FIPV merupakan mutasi dari Feline Enteric Coronavirus
(FECV) yang juga berasal dari famili coronavirus (Lappin 2001). Terdapat dua
bentuk FIP, yaitu tipe basah dan tipe kering. Hydrops ascites merupakan gejala
klinis yang penting pada FIP tipe basah. Akumulasi cairan dalam kasus FIP berbeda
dan unik dari jenis cairan tubuh lainnya, yaitu kekuningan dan tinggi protein
(Greene 2012), dan sering kali dijadikan pedoman dalam peneguhan diagnosa
kecurigaan penyakit FIP karena hingga saat ini sulit mendapatkan kit FIP test
secara resmi di Indonesia. Gejala ini sulit dikenali sedini mungkin oleh pemilik
hewan karena ukuran pembesaran yang tentu dan pengalaman untuk mengetahui
gejala ini tidak dimiliki semua pemilik hewan pelihara. Dikarenakan itu, diperlukan
pemahaman kejadian hydrops ascites oleh sebab lain, salah satunya adalah FIP tipe
basah
Tujuan Penelitian
Studi kasus ini bertujuan untuk mengidentifikasi gejala hydrops ascites secara
umum dan hydrops ascites pada penyakit Feline Infectious Peritonitis (FIP)
effusive type (tipe basah).
2
Manfaat Penelitian
Studi kasus ini bermanfaat memberikan informasi mengenai perjalanan
penyakit dan tata cara dalam mendiagnosa serta melakukan pengobatan pada kasus
hydrops ascites.
TINJAUAN PUSTAKA
Cairan tubuh merupakan larutan yang memiliki zat-zat terlarut seperti ion dan
bahan organik seperti protein plasma. Cairan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu
cairan intraseluler yang berada di dalam sel dan cairan ekstraseluler yang berada di
luar sel. Cairan ekstraselular terbagi lagi menjadi dua bagian, yaitu cairan
interstisial yang berada di antara sel pada jaringan dan plasma darah yang menjadi
bagian darah. Perpindahan air antara cairan intraseluler dan ekstraseluler dapat
terjadi melalui membran sel. Begitu pula antara cairan ekstraseluler dan cairan
interstisial yang dapat berpindah melalui pori-pori pada endotel kapiler. Air dan ion
dapat bergerak bebas melewati pori-pori, membawa cairan dari satu sisi ke sisi lain
agar tercipta equilibrium (Hill et al. 2012).
Distribusi cairan ekstraseluler dan intraseluler ditentukan oleh efek osmotik zat
terlarut. Cairan interstisial dan plasma ditentukan oleh keseimbangan hidrostatik
dan tekanan koloid yang melintasi membran kapiler. Asupan cairan dapat berasal
dari makanan atau minuman dan hasil metabolisme. Sementara pengeluaran cairan
berupa penguapan melalui paru-paru dan kulit, keringat, feses, dan urin. Materi
yang tidak dibutuhkan, baik berasal dari darah maupun sel, haruslah dikeluarkan.
Hal ini perlu agar rongga-rongga antar jaringan tidak terisi oleh cairan dan menjaga
jaringan dari tekanan eksternal. Terdapat dua mekanisme pengeluaran cairan ke
jaringan intertisial yaitu melalui kapiler dan pembuluh limfe (Tuttle dan Schottelius
1965).
Tekanan osmotik merupakan transpor aktif air melalui membran, baik
membran sel, epitelium, ataupun membran buatan. Terminologi ini juga berlaku
untuk pergerakan air dalam tubuh. Air akan bergerak dari keadaan hipoosmotik ke
hiperosmotik. Dan equilibrium akan tercapai ketika dua larutan menjadi isoosmotik
(Hill et al. 2012).
Fungsi ginjal sebagai organ yang berperan dalam pembentukan urin sangat
berperan penting dalam pengaturan cairan tubuh. Hormon yang terlibat dalam
mekanisme pengaturan air antara lain vasopressin dan aldosteron. Vasopressin
(antidiuretik hormon/ADH) memainkan kunci yang penting dalam resorpsi air,
produksi urin, pemekatan urin, dan kesetimbangan air. Rata-rata anjing atau kucing
sehat memiliki kapasitas untuk memproduksi urin dengan osmolalitas lebih dari
2000 mOsm/kg. Apabila kucing atau anjing mengalami defisiensi ADH kronis atau
tidak mampu merespon ADH, urin terlarut menjadi sekitar 20 mOsm/kg (Feldman
2010). Sementara hormon aldosteron berfungsi untuk menjaga homeostasis
3
natrium dan kalium (Swift 2010). Kedua hormon ini akan bersinergi untuk
mempertahankan kadar air dalam tubuh walaupun mekanisme kerjanya antagonis.
Homeostasis Cairan Tubuh dan Patogenesis Edema
Akumulasi cairan interstisial disebut edema. Akumulasi cairan pada rongga
organ (pericardium, pleura, dan peritoneum) dapat dikategorikan sebagai edema.
Edema (English American) atau oedema (English British), sebelumnya dikenal
sebagai hydropsy. Secara fisiologis, tubuh akan membatasi jumlah cairan yang
terkumpul. Matriks interstisial akan memiliki peran dalam mengatur regulasi
tekanan hidrostatik. Kondisi patofisiologi dapat memunculkan gejala klinis edema.
Abnormalitas yang umum menyebabkan edema adalah peningkatan luas
permukaan mikrovaskular dan dilatasi vaskular yang tidak sempurna, penurunan
tekanan osmotik koloid, peningkatan permeabilitas mikrovaskular terhadap air dan
protein, dan peningkatan tekanan hidrostatik vena (Herndon 2010).
Manifestasi klinis edema tergantung dari organ yang dipengaruhi, misalnya
sistem syaraf pusat, paru-paru, intestine, dan kulit (Herndon 2010). Akumulasi
cairan edema terdiri dari transudat, eksudat, cairan limfatik, darah, urin, atau cairan
empedu (Tasker dan Gunn-Moore 2000). Volume edema, baik sedikit maupun
banyak, merupakan temuan yang penting untuk mendukung diagnosis.
Pemeriksaan fisik yang baik, tes darah, dan evaluasi cairan edema akan mengarah
pada diagnosa yang tepat ataupun mengarah pada uji diagnosis yang lain. Edema
memiliki berbagai nama sesuai predileksi tempat terjadinya. Pada kejadian edema
dalam peritoneum disebut hydrops ascites. Jenis-jenis cairan yang dapat ditemukan
secara umum adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Karakteristik cairan
Transudate
Modified transudate
Berat Jenis
<1.018
1.018-1.025
Protein (g/dl)
<2.5
2.5-6.0
Jumlah Sel
<1000-2500
<7000 cells/mm3
3
nucleated cells/mm
(Shaw dan Ihle 2006)
exudate
>1.025
>2.5
>7000 cells/mm3
Secara umum, penyebab hydrops ascites dapat digolongkan menjadi tiga yaitu
hipoproteinemia, congestive heart failure (CHF), dan chronic renal failure (CRF).
Ketiga penyebab ini berhubungan erat dengan mekanisme transportasi cairan dalam
tubuh. Penyebab satu sama lain dapat saling berhubungan maupun berdiri sendiri.
Menentukan penyebab hydrops ascites juga menjadi pedoman dalam menentukan
terapi yang sesuai dengan kondisi pasien.
Hipoproteinemia merupakan suatu keadaan di mana protein dalam tubuh
berkurang. Kadar protein normal menurut Taylor et al. (2011) adalah 6-8 g/dl dan
4
kadar albumin 3.5-5 g/dl. Menurut Tams (2003), hipoproteinemia terjadi bila total
protein serum <6 g/dl. Apabila total protein kurang dari 4.0 g/dl atau albumin
kurang dari 1.5 g/dl maka diperlukan terapi cairan berupa koloid (Slatter 2003).
Kekurangan protein dapat menyebabkan hydrops ascites karena integritas
penyusun sel berkurang (Douglas 2003). Akumulasi cairan mula-mula akan
ditangani oleh buluh limfatik. Bila keadaan semakin parah muncullah edema.
Peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan tidak hanya air tetapi juga
albumin ditransportasikan ke luar pembuluh kapiler, menyebabkan penurunan
efektivitas tekanan osmotik koloidal dalam menangani pengeluaran cairan dari
rongga tubuh (Michell 2004).
Congestive Heart Failure - Right atau gagal jantung kanan merupakan
manifestasi dari ketidakmampuan jantung untuk memompa darah akibat adanya
kelainan fungsi katup jantung. Kongesti muncul pada sebagian besar hewan dengan
gagal jantung akibat tekanan vena yang berlebihan yang disebabkan oleh
peningkatan volume plasma (retensi air dan natrium) dan penurunan kapasitas
vena. Retensi air berhubungan dengan penurunan filtrasi ginjal dan hormon yang
menstimulasi retensi air. Kelainan jantung sebelah kiri dapat menyebabkan
munculnya edema dan tekanan pada paru-paru (Smith 2010).
Sebagai manifestasi dari penyakit jantung, hydrops ascites sangat erat
berhubungan dengan gagal jantung kanan atau biventricular atau
ketidakseimbangan aliran vena menuju jantung kanan. Eksudat efusi abdomen,
baik sepsis ataupun nonsepsis, merupakan karakteristik proses inflamasi yang
melibatkan sebagian atau seluruh bagian rongga peritoneum. Penyebab efusi
abdomen umumnya disebabkan oleh kenaikan tekanan hidrostatik vena.
Peningkatan permeabilitas endotel juga memberi kontribusi terhadap pergerakan
cairan transkapiler. Hydrops ascites yang terjadi diakibatkan oleh tingginya
tekanan hidrostatik vena atau kapiler didasarkan pada letak lesio patologisnya.
Selama pembentukan efusi abdomen, cairan akan didistribusikan dari pembuluh
vaskular menuju rongga tubuh. Penurunan volume plasma kemudian akan
menginduksi mekanisme untuk mengkompensasi keadaan ini (sistem
Renin-Angotensin-Aldosterone dan pelepasan hormon antidiuretik) untuk
meningkatkan total air dan sodium dalam tubuh.
Penyebab tingginya tekanan hidrostatik dapat berupa masalah katup atau
pembuluh
vaskuler
(kegagalan
katup
jantung
atau
abnormalitas
systemic-to-pumonary shunt). Penyakit degenerasi katup atrioventricular dan
endokarditis katup mitral atau aorta merupakan gejala yang muncul akibat overload
CHF. Tekanan berlebihan terjadi ketika ventrikel berkontraksi untuk
mengsirkulasikan darah. Penyebab umum tekanan berlebihan ventrikel adalah
stenosis katup pulmonic atau (sub)aorta, hipertensi pulmoner, dan hipertensi
sistemik. Tekanan berlebihan sistolik akan menstimulasi hipertrofi jantung dan
kekakuan dinding ventrikel yang dapat mengarah pada iskemia. Keadaan ini juga
akan mengakibatkan kontraktilitas jantung menurun.
Chronic renal failure atau gagal ginjal kronis merupakan simptom yang dapat
terjadi akibat kegagalan sistem endokrin, fungsi ekskresi, dan regulasi ginjal.
Gangguan endokrin yang meluas dapat saja terjadi dan menyebabkan respon organ
5
target berkurang akibat keadaan uremik. Pada anjing dan kucing, gejala yang khas
terjadi adalah polyuria dan polydipsia. Secara umum hipertensi dan edema tidaklah
muncul bersamaan dalam satu keterkaitan. Edema merupakan akumulasi cairan
interstisial dari plasma. Retensi natrium dan air sering kali menjadi penyebab utama
terjadinya edema. Retensi inilah yang menyebabkan air tertahan dalam tubuh
(Michell 2004).
Abnormalitas ginjal baik secara struktural maupun fungsional yang terjadi
pada salah satu atau kedua ginjal dengan periode yang diperpanjang, biasanya
terjadi selama 3 bulan atau lebih. Anjing dan kucing dengan gagal ginjal kronis
dapat dikategorikan dalam empat stadium. Keempat stadium ini didasarkan pada
fungsi ginjal, proteinuria, dan tekanan darah. Pengkategorian ini dijadikan
pedoman dalam menentukan diagnosis, prognosis, dan pengobatan. Stadium gagal
ginjal kronis didasarkan pada fungsi ginjal dapat diukur melalui perhitungan
konsentrasi kreatinin serum.
Nilai kreatinin serum pada kucing dengan gagal ginjal kronis stadium 1 hingga
4 secara berurutan adalah: <1.6 mg/dl, 1.6-2.8 mg/dl, 2.9-5.0 mg/dl, dan >5.0
mg/dl. Gagal ginjal kronis juga dikategorikan berdasarkan keparahan proteinuria
diukur dengan rasio protein-kreatinin (UPC) di urin dan tekanan darah arterial.
Nilai UPC digunakan untuk mengklasifikasikan pasien dalam kategori
nonproteinuric, borderline proteinuric, dan proteinuric. Seekor kucing dikatakan
proteinuric dengan nilai rasio UPC >0.4, borderline proteinuric 0.2-0.4, dan
nonproteinuric <0.2. Apabila didapat hasil UPC mengalami kenaikan atau kurang
dari 0.2, maka munculnya proteinuria harus dievaluasi 2 hingga 3 kali dalam jangka
waktu 2 minggu. Dan tekanan arterial dihitung sebanyak 2 hingga 3 kali dalam
beberapa minggu untuk menentukan pengklasifikasian berdasarkan tekanan darah.
Pengklasifikasian seharusnya didasarkan nilai tekanan darah terendah. Stadium
berdasarkan tekanan arterial terdiri dari stadium 0 sampai stadium 3. Nilai tekanan
sistol/diastol stadium 0 hingga 3 secara berurutan adalah <150/<95 mmHg,
150-159/95-99 mmHg, 160-179/100-119 mmHg, dan ≥180/≥120 mmHg (Polzin
2011). Pengkategorian penyakit ginjal juga dapat dibagi menjadi 5. Stadium 5 atau
stadium akhir dari gagal ginjal kronis ini ditandai dengan penurunan glomerular
filtration rate (GFR) di bawah normal (90-120 ml/min/1.73m2) atau mencapai 10%
saja (McPhatter 2012).
Sumber cairan pada rongga abdomen dan rongga thoraks dapat bersumber dari
efusi plasma dari pembuluh darah maupun transudat peritoneum yang mengalami
peradangan. Cairan bersifat transudat pada rongga abdomen dapat berasal dari
plasma yang berefusi dari pembuluh darah terutama akibat gangguan
keseimbangan protein (Aswar 2009). FIPV menyebabkan peradangan pada
pembuluh darah (vaskulitis). Virus ini menginfeksi pembuluh darah sehingga
mengalami peradangan, degenerasi hingga rusak. Rusaknya pembuluh darah
mengakibatkan terlepasnya cairan ke rongga tubuh, kemudian kerusakan pembuluh
darah diatasi oleh pembentukan jaringan fibrinous oleh trombosit yang dampak
negatifnya dapat menyebabkan thrombus hemoragi yang mengobstruksi pembuluh
darah. Adanya obstruksi pada pembuluh darah kapiler menyebabkan serum darah
merembes keluar menuju rongga tubuh seperti rongga abdomen atau rongga
6
thoraks. Akumulasi cairan pada rongga abdomen akan menyebabkan kerusakan
pada permukaan peritoneum sehigga peritoneum mengalami peritonitis (Simons et
al. 2005).
Feline Infectious Peritonitis
Patogenesis
Feline Infectious Peritonitis (FIP) adalah penyakit viral yang disebabkan oleh
coronavirus yang menyerang kucing pada segala umur dengan predisposisi pada
hewan muda. FIP umumnya terjadi pada catteries (kucing ras), shelter,
penampungan kucing dan koloni kucing bebas. Kejadian infeksi FIP bersifat
enzootik, insidensi FIP dapat berbeda-beda setiap waktu. FIP ini menjadi salah satu
penyakit viral yang penting pada kucing. FIP merupakan mutan dari Feline
Coronavirus (FCoV) dan penyebab mutasinya masih menjadi perdebatan.
Virus FIP dapat muncul akibat mutasi feline enteric coronavirus (FECV),
FCoV merupakan virus yang umum ditemukan di seluruh dunia dan patogen yang
tidak perlu diwaspadai. Sebuah studi memperkirakan bahwa setidaknya 80% dari
kucing ras murni terinfeksi oleh FCoV (Berg et al. 2005). FECV dikeluarkan
melalui feses kucing yang sehat dan normal pada lingkungan dengan kucing dalam
jumlah besar (Pedersen et al. 2004) serta ditransmisikan melalui ingesti langsung
feses atau litter terkontaminasi dan benda-benda lainnya (Pedersen et al 2004,
2008). FECV mutan dapat menyebabkan FIP dalam jumlah banyak selama masa
inisiasi infeksi, saat replikasi FECV sangatlah tinggi (Pedersen et al 2008, Vogel et
al 2010). Tetapi proporsi hewan terpapar virus menjadi FIP cukup kecil. Resistensi
FIP kompleks dan melibatkan suseptibilitas genetik, usia saat terpapar dan
banyaknya penyebab stres yang terjadi saat infeksi dan berpengaruh pada
kemampuan individu untuk mengeliminasi virus. Periode waktu antara inisiasi
paparan FECV dan gejala klinis dapat selama 2-3 minggu, beberapa bulan atau,
sangat jarang, beberapa tahun (Pedersen 2014). Periode waktu ini merupakan saat
virus mutan menjadi FIPV atau perubahan dari gejala subklinis menjadi klinis.
Puncak dari onset merupakan akhir dari penyakit ini yang dapat diartikan kucing
telah kalah dari penyakit yang menyerangnya ataupun kucing kembali normal yang
merupakan kejadian yang langka.
Lesio histopatologi pada FIP tipe basah (umumnya vasculitis) merupakan
reaksi dari hipersensitivitas tipe III. Sementara pada FIP tipe kering (umumnya
kumpulan granuloma) diagnosa lebih mengarah pada reaksi hipersensitivitas tipe
IV. Berdasarkan informasi ini dan observasi lainnya muncullah hipotesis bahwa
hewan dengan kekebalan berperantara sel yang lemah, diagnosa akan mengarah
menuju FIP tipe basah. Hewan dengan kekebalan berperantara sel sedang sampai
kuat akan menjadi FIP tipe kering. Dan kucing dengan kekebalan beperantara sel
yang kuat dapat kebal terhadap FIP (Pedersen 1995).
Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh FIP sangatlah luas dan bersifat sistemik.
Lesio-lesio penyakit dapat ditemukan pada saluran pencernaan, sistem syaraf,
7
sistem pernapasan dan pada organ-organ saluran urinari. Lesio yang sangat luas
menjadikan dokter hewan kesulitan untuk mendeteksi penyakit ini. Gejala awal
penyakit juga ini sulit diidentifikasi karena tidak ada kekhususan. Kesalahan
diagnosa dapat terjadi akibat gejala klinis yang tidak spesifik seperti hilang nafsu
makan, depresi, rambut kasar dan demam (Simons et al. 2004). Perubahan patologi
klinik yang terjadi adalah lymphopenia, neutrophilia, anemia, hyperproteinemia,
dan hypergammaglobulinemia yang juga tidak patognomonis (Paltrinieri et al.
2001; Hartmann et al. 2003). Sebanyak 70% dari kucing berusia <1 tahun yang
mengalami efusi pleura, disebabkan oleh FIP. Kemungkinan ini meningkat pada
kucing ras dan kucing mixed-breed (Beatty dan Barrs 2010). Kucing Birman telah
diidentifikasi memiliki lima atau empat kromosom yang berbeda yang
berhubungan dengan kerentanan terhadap FIP (Golovko et al. 2013). Kebanyakaan
infeksi FECV secara klinis terlihat sebagai gastroenteritis yang bersifat
self-limiting. Kadang-kadang, terjadi muntah dan diare yang akut, parah atau kronis
dan tidak responsif terhadap pengobatan.
Diagnosis
Diagnosis yang dilakukan untuk mengidentifikasi hydrops ascites antara lain
dilakukan dengan auskultasi abdomen, USG dan abdominocentesis. USG dapat
membantu mengidentifikasi massa, abses, organomegaly, ataupun perubahan
bentuk organ. Diagnosis yang mengarah pada kecurigaan FIP dapat dibuat dengan
anamnesa pemilik dan gejala klinis yang timbul. Praktisi juga dapat menggunakan
test kit FIP, melakukan pemeriksaan darah dan eksudat, serta menggunakan
Polymerase Chain Reaction (PCR). Gejala yang dapat dideteksi antara lain
kehilangan nafsu makan, depresi, rambut kasar, demam, diare akut atau kronis.
Variasi gejala muncul sesuai dengan organ tempat virus menyerang.
Mendiagnosa penyakit FIP dapat dilakukan dengan mengetahui jenis cairan
efusi abdomen atau pleura. Cairan yang terakumulasi berupa eksudat. Karakteristik
eksudat yang terakumulasi memiliki total protein tinggi (>35g/l) dan jumlah sel
sedikit (<5000/μl). Pembentukan eksudat dapat ditemukan di peritoneum, pleura,
dan rongga pericardiac (Beatty dan Barrs 2010). Proses identifikasi dapat diambil
dari eksudat lokasi edema. Pengambilan cairan hydrops ascites dilakukan dengan
teknik abdominocentesis.
Abdominocentesis dilakukan untuk menganalisa akumulasi cairan untuk
mengetahui karakteristiknya. Prosedur abdominocentesis terlebih dahulu dilakukan
pencukuran di daerah umbilikal. Kateter atau needle dimasukkan perlahan ke
rongga peritoneum pada bagian yang sudah terfiksasi. Cairan keluar dengan sendiri
dari needle tanpa perlu aspirasi dengan syringe. Cairan yang keluar ditampung ke
dalam tabung steril atau media kultur. Apabila cairan tidak keluar aspirasi
perlahan-lahan dengan syringe steril 3.0 ml (Byers dan McMichael 2014).
Diagnosa penyakit Feline Infectious Peritonits (FIP) dapat dilakukan dengan
pendekatan berdasarkan etiopatogenesis dari penyakit ini. Feline Infectious
Peritonitis Virus (FIPV) merupakan mutasi dari FCoV. Kedua virus ini identik satu
sama lain baik secara fenotip maupun genotip, yang sudah dibuktikan dengan PCR.
Pada sebuah catteries yang terjadi endemik, telah didapat titer FCoV yang tinggi
8
pada kucing sehat dan serologi negatif pada kucing yang sakit. Selain itu, negatif
palsu dapat terjadi dari reaksi silang dengan coronavirus dari spesies lain, misalnya
Canine Coronavirus (CCV) atau Transmissible Gastroenteritis Virus (TGEV).
Walaupun RNA FCoV dapat ditemukan pada plasma hewan sehat yang berada di
catteries endemis FECV, FCoV yang ditemukan pada area selain lumen intestinal
diinterpretasikan sebagai FIPV, terutama bila ditemukan pada lesio atau cairan
intestinal/pleural (Paltrinieri et al. 1999).
Akumulasi cairan dalam kasus FIP tergolong ke dalam eksudat. Jenis cairan
yang dapat ditemukan pada kecurigaan FIP adalah berwarna kekuningan, tinggi
protein serta steril (Shaw dan Ihle 2006). Eksudat ini menjadi media diagnosa FIP
yang saat ini paling sering dilakukan. Ketika cairan terbentuk, total protein
umumnya sangat tinggi yang juga menggambarkan kenaikan serum protein.
Pemeriksaan elektroforesis pada cairan efusi ataupun serum menunjukkan gejala
polyclonal gammopathy. Bila cairan diambil dalam EDTA, terdapat gumpalan atau
kumpulan fibrin dan kekentalan cairan sangat tinggi menyerupai cairan sinovial
(De Nicola 2008). Menurut Paltrinieri et al. (1999), pada kucing yang dikonfirmasi
menderita FIP, terdapat cairan kekuningan, kental, dan fibrinous pada abdomen
sebanyak 63%, pada ruang thorax 22%, dan pada keduanya 15%.
Tes immunohistokimia, misalnya pewarnaan immunoperoxidase, dapat
mendeteksi antigen Feline Enteric Coronavirus (FCoV) pada jaringan. Pewarnaan
ini tidak dapat membedakan antara FECV dan FIPV tetapi karena FIPV bereplikasi
lebih aktif maka konsentrasi antigen yang tinggi dapat diinterpretasikan sebagai
FIP (Hartmann 2005). Dan konsentrasi antigen virus lebih sedikit pada FIP tipe
kering daripada FIP tipe basah (Pedersen 1995).
Prognosis
Menurut Foster dan Smith (2015), kucing dengan FIP tipe basah mati dalam
waktu 2 bulan sejak gejala klinis muncul. Pada sebuah studi juga diketahui bahwa
kucing dengan gejala non-effusive dapat hidup hingga 1 tahun dan memiliki
survival rate hanya 5% (Pedersen 2014). Menurut Hartmann (2010), pada studi
prospektif menggunakan 43 ekor kucing, survival time setelah konfirmasi diagnosa
FIP (effusive) adalah 16 hari. Variasi masa hidup kucing sangat bergantung pada
kondisi saat pertama kali didiagnosa FIP serta kekebalan tubuh inang, terutama
kekebalan berperantara sel.
Terapi
Belum ada drug of choice untuk penyakit FIP. Terapi saat ini yang dilakukan
merupakan terapi suportif untuk mengurangi gejala yang muncul. Beberapa jenis
obat yang diberikan adalah diuretik, antibiotik serta obat immunosupresif. Diuretik
diharapkan dapat memperkecil akumulasi cairan walaupun tidak dapat
menyembuhkan penyebab hydrops ascites. Antibiotik merupakan obat yang
digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dan dipilih berdasarkan
lokasi obat tersebut bekerja. Sementara imunosupresif dapat memperlambat
perkembangan penyakit tetapi tidak menyembuhkan.
9
Terdapat kemajuan dalam pengobatan FIP saat ini yaitu penggunaan α
interferon. Penggunaan α interferon manusia memiliki efek antivirus langsung
dengan menginduksi kondisi antiviral pada sel yang mengandung α interferon yang
berfungsi melindungi replikasi virus. Kucing yang diberi pengobatan dengan α
interferon kombinasi dengan Propionibacterium acnes memiliki rata-rata angka
harapan hidup yang secara signifikan diperpanjang beberapa hari (Hartmann et al.
2008). Interferon bersifat spesies spesifik dan feline interferon (FelFN) memiliki
antigenisitas yang berbeda dengan interferon manusia. Replikasi FCoV dapat
dihambat dengan FelFN- ω in vitro (Ishida et al. 2004).
Kemajuan teknologi diagnostik memungkinkan dikembangkannya vaksin
FIP, namun demikian hal ini masih mengundang kontroversi perlu atau tidaknya
disediakan. Praktisi dapat saja memberikan vaksin FIP dengan berbagai
pertimbangan dan kondisi pemeliharaan hewan. Pemberian vaksin FIP komersial
melalui intranasal tidak direkomendasikan untuk semua jenis kucing. Apabila
divaksin, kucing yang dipelihara baik single maupun multiple-cat akan berisiko
menyebabkan FIP, maka vaksin ini tidak direkomendasikan. Tetapi bila penyakit
FCoV mewabah pada lingkungan multiple-cat, vaksin dapat diberikan pada kucing
yang sehat dan kucing yang baru dimasukkan untuk menurunkan insidensi FIP.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di praktek bersama Drh Setyo Widodo dkk. yang
berlokasi di Jalan Pandu Raya 173, Tegal Gundil Bogor 16153, selama kasus terjadi
tahun 2014.
Materi dan Metode Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang dievaluasi
di klinik pada kucing di tahun 2014 pada praktek bersama Drh Setyo Widodo dkk.
Data kemudian dianalisis secara deskriptif. Sebanyak 12 ekor kucing dengan tiga
gejala utama berupa undulasi positif, pembesaran abdomen, dan jaundice
dipelajari selama kasus terjadi tahun 2014.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala Klinis
Sebanyak 12 ekor kucing dari data sekunder yang didapatkan di praktek
bersama Drh Setyo Widodo dkk menderita hydrops ascites dan dibuktikan dengan
undulasi positif, pembesaran abdomen serta jaundice dan dikonfirmasi tidak
10
menderita panleukopenia. Gejala ini juga disertai dengan gejala lainnya seperti
tidak defekasi, feses lembek, mukosa pucat, lemas, dehidrasi, kehausan, dan nafsu
makan menurun.
Anamnesa yang didapat dari pemilik hewan dapat berupa kelemahan umum,
lemas, nafsu makan menurun, dan dapat disertai atau tidak diare, jaundice, dan
abdomen membesar. Palpasi dan auskultasi yang dilakukan pada area abdomen,
area yang mengalami pembesaran, dan perkusi daerah thorax saat hewan
diberdirikan merupakan cara untuk mendeteksi efusi dan edema subkutan (Ware
2007). Variasi gejala klinis dapat dilihat di dalam tabel 2.
Tabel 2 Gejala Klinis yang Ditemukan pada Kucing dengan Kecurigaan FIP
Simptom
Kucing ke-n
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
Undulasi positif
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Abdomen
√
√
√
√
√
√
√
membesar
Tidak defekasi
√
Feses Lembek
√
√
Jaundice
√
√
√
√
√
Mukosa pucat
√
Lemas
√
√
Dehidrasi
√
Kekurusan
√
Nafsu makan
√
√
√
menurun
12
√
Semua kucing menunjukkan gejala klinis undulasi abdomen positif. Setengah
dari jumlah tersebut menunjukkan tanda jaundice dan 7 dari 12 kucing mengalami
pembesaran abdomen. Gejala klinis lainnya bervariasi berupa tidak defekasi, diare,
mukosa pucat, lemas, dehidrasi, kurus, dan nafsu makan menurun menjadi
diagnosa yang menunjang dalam menentukan pengobatan dan memperkirakan
prognosa. Gejala ini umum terjadi pada berbagai peyakit infeksius. Terdapat 2
hingga 5 variasi gejala klinis yang teramati pada kucing yang dicurigai menderita
FIP. Pada kucing nomor 5 diketahui tanda tidak dapat defekasi dan pada kucing
nomor 9 diketahui mengalami dehidrasi dan mukosa pucat.
Keunggulan kasus ini adalah semua kucing menunjukkan undulasi positif
yang artinya terdapat cairan atau materi cair di dalam abdomen. Secara teoritis
terdapat tiga kejadian penyebab hydrops ascites yaitu hipoproteinemia, congestive
heart failure dan chronic renal failure. Hipoproteinemia berhubungan dengan
penurunan integrasi sel dan memicu kebocoran cairan ke daerah interstisial.
Sementara congestive heart failure dan chronic renal failure menyebabkan retensi
air dan natrium. Ketiga penyebab hydrops ascites ini dapat menjadi diferensial
diagnosa hydrops ascites secara umum. Sedangkan pada FIP tipe basah, hydrops
ascites disertai dengan tanda klinis undulasi positif, pembesaran abdomen, dan
√
√
-
11
jaundice. Oleh karenanya kecurigaan atas infeksi FIP sangat besar bila gejala
tersebut muncul.
Hydrops ascites menjadi salah satu gejala klinis yang penting dalam diagnosa
FIP tipe basah. Karakterisasi cairan tubuh menjadi penting apabila diperlukan
mencari asal-usul penyakit. Identifikasi eksudat dapat dilakukan dengan 4 cara,
yaitu: kriteria Light, gradien albumin serum cairan efusi, konsentrasi kolesterol
cairan efusi, dan konsentrasi bilirubin serum pleura. Kriteria Light umumnya
digunakan untuk membedakan antara eksudat dan transudat. Sementara pada
pasien yang diterapi dengan diuretik efektif diuji dengan gradien albumin serum
cairan efusi (Lasley et al 1995). Jenis hydrops ascites FIP berwarna kekuningan,
tinggi protein, dan steril. Karakteristik inilah yang mengarahkan kecurigaan pada
FIP. Jenis cairan hanya dapat dikonfirmasi bila dilakukan aspirasi seperti
abdominocentesis. Akumulasi cairan tidak hanya terbatas pada rongga abdomen
tetapi juga dapat terakumulasi di rongga dada dan bagian tubuh lainnya.
Diagnosa juga dapat disertai dengan tes Complete Blood Count sebagaimana
penurunan ataupun peningkatan sel darah putih akan mengarah pada sepsis.
Biochemistry panel dan urinalisis dapat membantu diagnosa sepsis, gangguan hati
kronis, obstruksi saluran urinari, hiperadrenocortism, hipoalbuminemia, dan
protein-losing nephropathy (Chambers 2010).
Terapi FIP
Kucing yang diamati kemudian menjalani proses pengobatan. Beberapa ekor
kucing mati dalam jangka waktu berbeda-beda dan sebagian tidak kembali
sehingga tidak didapat keterangan yang lebih lanjut. Diketahui pula bahwa pada
kucing no 7 mati setelah 8 bulan pengobatan sementara pada kucing no 8 mati
setelah satu hari pengobatan. Variasi masa hidup yang berbeda sagat bergantung
pada jenis kekebalan sel individu. Berikut adalah pengobatan yang dilakukan pada
kucing dengan kecurigaan FIP.
Tabel 3 Terapi yang Telah Dilakukan pada Kucing dengan Kecurigaan FIP
Kucing ke-n
Treatment
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
®
Furocemid
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
®
Kanamicin dexa
√
√
®
Cefad MP
√
®
Cetotaxime
√
®
Lasix
√
Dexamethason®
abdominocentesis
√
√
-
12
√
√
√
-
Diuretik merupakan obat pilihan untuk menangani hydrops ascites.
Mengurangi jumlah cairan retensi abdomen tidak hanya dengan obat tetapi juga
12
dapat dilakukan dengan abdominocentesis. Abdominocentesis dilakukan saat
vesica urinaria kosong dan dikonfirmasi tidak ada massa intraabdominal.
Abdominocentesis dapat dilakukan dengan posisi berdiri ataupun lateral
recumbency dan terbaik dilakukan dengan bantuan USG (Rudloff 2010).
Terapi secara relatif menunjukkan hasil yang baik dengan obat
immunosupresif dan antiinflamasi dosis tinggi. Pada hampir setiap studi kasus
dilaporkan telah digunakan glucocorticoid. Walaupun sampai saat ini belum ada
studi mengenai kebenaran efektivitas glucocorticoid. Beberapa dokter hewan juga
memberikan immunomodulator (promodulin, acemannan) untuk menangani
kucing dengan FIP walaupun tidak ada kontrol terhadap efektivitas obat (Hartmann
2010). Ribavarin sebagai antiviral dan interferon α manusia rekombinan, keduanya
menunjukkan aktivitas antiviral terhadap FIPV in vitro dan memiliki efek
sinergistik (Chandler et al. 2004).
Kanamicin dexa terdiri atas kanamycin dan dexamethasone. Kanamycin
merupakan antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. Kanamycin menjadi salah
satu pilihan obat dalam penanganan kasus peritonitis. Cefadroxil sebagaimana
umum diketahui adalah antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri
terutama pada saluran pernafasan, ginjal dan saluran urinari, kulit dan jaringan
lunak, serta peradangan tonsil dan tenggorokan. Cefadroxil digunakan untuk
menangani kejadian infeksi sekunder pada kejadian FIP yang disertai hydrops
ascites.
Hingga saat ini belum ditemukan drug of choice untuk mengatasi penyakit FIP.
Terapi-terapi yang dilakukan merupakan terapi suportif. Kesembuhan dari penyakit
virus sangat bergantung pada kekebalan tubuh inang. Terapi yang diperlukan antara
lain pemberian antibiotik untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder,
antiinflamasi, dan dilakukannya abdominocentesis. Vaksinasi sebagai salah satu
bentuk pencegahan juga dapat dilakukan pada keadaan tertentu. Vaksinasi
menunjukkan hasil positif untuk menurunkan insidensi bila hanya dilakukan pada
kucing yang seronegative sebelum vaksinasi (Lappin 2001).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hydrops ascites dengan undulasi positif terjadi pada semua kucing yang
diamati dan dicurigai sebagai kejadian FIP tipe basah. Terapi penunjang yang
dilakukan dapat memperpanjang waktu hidup hewan.
Saran
Konfirmasi dapat dilakukan dengan test kit FIP untuk mempercepat diagnosis
konfirmasi.
13
DAFTAR PUSTAKA
Aswar. 2009. Studi kasus patologi feline infectious peritonitis pada anak kucing
(Felis catus). Skripsi.
Beatty J, Barrs V. 2010. Plerual Effusion in the Cat: A Practical Approach to
Determining Aetiology. Doi:10.1016/j.jfms.2010.07.013.
Berg A L, Ekman K, Belák S, Berg M. 2005. Cellular composition ad
interferon-γ expression of the local inflammatory response in feline
infectious peritonitis (FIP). Vet Microbiol. 111(2005) 15-23.
Byers C G dan McMichael M. 2014. Handbook of Canine and Feline Emergency
Protocols 2nd ed. McMichael M, editor. Illinois (US): Wiley %Sonc Inc.
Chambers G. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine vol 2 7th ed. Ettinger
SJ dan Feldman EC, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Chandler E A, Gaskell C J, dan Gaskell R M. 2004. Feline Medicine and
TheTherapeutic 3rd ed. Iowa (US): Blackwell.
De Nicola D B. 2008. Feline thoracic and abdominal effusion evaluation:
common presentation. International Congress of the Italian Association of
Companion Animal Veterinarians. Rimini (ITA): SCIVAC.
Douglas S. 2003. Textbook of Small Animal Surgery 3rd ed. Philadelphia (US):
Elsevier.
Feldman E C. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine Vol 1 7th ed. Ettinger
SJ dan Feldman EC, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Golovko L, Lyons LA, Liu H, Sorensen A, Wehnerr S, dan Pedersen NC. 2013.
Genetic susceptibility to feline infectious peritonitis in Birman cats. Virus
Research 175, 58-63.
Greene. 2012. Infectious Disease of the Dog and Cat 4th ed. Missouri (US): Elsevier
Saunder.
Hartmann K, Binder C, Hirschberger J, Cole D, Reinacher M, Schroo S, Frost J,
Egberink H, Luts H, Hermanns W. 2003. Comparison of different test to
diagose feline infectious peritonitis. J Vet Intern Med 2003;17:781-790.
Hartmann K, Ritz S. 2008. Treatment of cats with feline infectious peritonitis. J Vet
Immunol Immunopathol 123(2008) 172-175.
Hartmann K. 2005. Feline infectious peritonitis. Veterinary Clin of North America;
Small Anim Pract 2005;35(1):39-79.
Hartmann K. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine vol 1 7th ed. Ettinger
S J dan Feldman E C, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Herndon W E. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine vol 1 7th ed. Ettinger
S J dan Feldman E C, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Hill R W, Wyse G A, dan Anderson M. 2012. Animal Physiology 3rd ed. Sunderland
(US): Sinauer.
Ishida T, Shibanai A, Tanaka S, Uchida K, Mochizuki M. 2004. Use of
recombinant feline interferon and glucocorticoid in the treatment of feline
infectious peritonitis. J Feline Med Surg (2004) 6 , 107-109.
McPhatter L. 2012. Nutrition Therapy for Chronic Kidney Disease. Thomas L K
dan Othersen J B, editor. Boca Raton (US): CRC Press.
14
Michell A R. 2004. Physiology and pathophysiology of the internal environment.
dalam Veterinary Medicine. Editor Dunlop RH, Malbert SH. Iowa (US):
Blackwell
Lappin M R. 2001. Feline Internal Medicine Secrets. Philadephia (US): Medical
Publisher.
Neer TM. 2009. Small Animal Medical Diagnosis 3rd ed. Lorenz MD, Neer TM,
dan DeMars PM, editor. Iowa (US): Blackwell
Paltrinieri S, Margherita C P, dan Giorgio C. 1999. In vivo diagnosis of feline
infectious peritonitis by comparison of protein content, cytology, and
direct immuofluorescence test on peritoneal and pleural effusions. J vet
diagn invest. 11:358-361 (1999).
Paltrinieri S, Grieco V, Comazzi S, Cammarata PM. 2001. Laboratory profiles in
cats with different pathological and immunohistochemical findings due to
feline infectious peritonitis (FIP). J Feline Med Surg. 3: 149-159.
Pedersen NC. 1995. An overview of feline enteric coronavirus and innfectious
peritonitis virus infection. Fel pract 1995 23:7-20.
Pedersen NC. 2014. An update of feline infectious peritnitis: diagnostic and
therapeutic. Vet Journal. 201(2014) 133-141.
Pedersen NC, Allen CE, Lyons LA. 2008. Pathogenesis of feline enteric
coronavirus infection. J Feline Med Surgi. 10(6): 529-41.
Pedersen NC, Sato R, Foley JE, Poland AM. 2004. Common virus infection on
cats berfore and after being placed in shelters, with emphassis on feline
enteric coronavirus. Journal of Feline Med and Surg. 10 529-541.
Polzin DJ. 2011. Veterinary Clinics of North America Small Animal Practices:
Kidney Diseases and Renal Replacement Therapies. Acierno M J dan Labato
M A, editor. Philadelphia (US): Saunders Elsevier.
Rudloff E. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine Vol 1 7th ed. Ettinger S J
dan Feldman AC, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Shaw D, Ihle S. 1965. Small Animal Internal Medicine. Iowa (US): Blackwell.
Simons FA, Vennema H, dan Rofina JE. 2005. A mRNA s. PCR for the diagnosis of
feline infectious peritonitis. J Virological Methods.;124(1/2):111-116.
Slatter D. 2003. Textbook of Small Animal Surgery 3rd ed. Philadelphia (US):
Saunders.
Smith M M. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine vol 2 7th ed. Ettinger S
J dan Feldman E C, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Swift S. 2010. Textbook of Veterinary Internal Medicine Vol 2 7th ed. Ettinger S J
dan Feldman E C, editor. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Tams T R. 2003. Handbook of Small Animal Gastroenterology 2nd ed. Tams T R,
editor. Missouri (US): Saunders
Tasker S, Gunn-Moore D. 2000. Differential diagnosis of ascites in cats. In Pract.
Vol 22(8): 472-479.
Taylor C, Lillis C, LeMone P dan Lynn P. 2011. Fundamentals of Nursing 7th ed.
Philadelphia (US): Lippincott Williams &Wilkins.
Tuttle WW, Schottelius BA. 1965. The Textbook of Physiology. St. Louis (US):
Mosby Comp.
Vogel L, Van der Lubben M, Te Lintelo EG, Bekker CPJ, Geerts T, Schuijff LS,
Grnwis GCM Egberink HF, Rottier PJM. 2010. Pathogenis characteristic of
persistent feline enteric coronavirus infection in cats. Vet Research. 41 71.
15
Ware WA. 2007. Cardiovasular Disease in Small Animal Medicine. London (UK):
Manson Publishing.
16
17
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Siti Zahrina yang dilahirkan di Bandung pada tanggal 6
Oktober 1993. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah penulis
bernama Imam Santoso dan Ibu penulis bernama Iin Indrawati (alm). Penulis
merupakan alumni dari SMPN 5 Bandung dan SMAN 22 Bandung. Penulis masuk
ke Institut Pertanian Bogor dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan pada tahun
2012 melalui jalur SNMPTN Undangan.
Kegiatan penulis di luar akademik yaitu sebagai ketua divisi pendidikan pada
Himpunan Minat Profesi Ruminansia, Fakultas Kedokteran, Institut Pertanian
Bogor tahun 2014-2015, anggota divisi PSDM Paguyuban Mahasiswa Bandung
2013-2014, anggota divisi Infokom 2014-2015 DKM An-Nahl FKH IPB, anggota
Publikasi, Dokumentasi, dan Dekorasi Pengabdian Masyarakat FKH IPB tahun
2015, serta acara kepanitiaan lain pada acara-acara kampus. Penulis pernah
mendapatkan beasiswa dari Pengembangan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2014
dan beasiswa Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 2015.
Download