MEMBACA YOUTH CULTURE PADA LAGU

advertisement
MEMBACA YOUTH CULTURE PADA LAGU-LAGU WARKOP
Oleh: Mohammad Zaki Ath Thaariq (070810463)
ABSTRAK
Fokus studi ini adalah pembacaan secara mendalam dan kritis tentang bagaimana grup
Warkop mewacanakan resistensi youth culture pada lagu-lagu mereka. Berpijak pada konsepsi
pemuda sebagai subkultur maka jawaban penelitian ini akan ditentukan dari bagaimana Warkop
mewacanakan budaya dominan, bagaimana Warkop mewacanakan pemuda sebagai sub kultur,
serta relasi uasa diantara keduanya. Resistensi yang terkandung dalam teks ini dalam
penyampaiannya tak lepas dari formasi diskursif dari pelibat wacana, dan refleksi sosiokultural.
Dengan demikian peneliti menggunakan metode Analisis Wacana Kritis dalam penelitian ini.
Dari hasil analisis data didapatkan bahwa bagaimana Warkop mewacanakan pemuda semuanya
melenceng dari tujuan semula, yaitu melawan budaya dominan yang mendominasi. Banyak dari
hasil analisa menunjukkan bahwa dalam suatu posisi Warkop justru melemahkan subkultur
pemuda dengan komedi satir yang diterapkan dalam lagu-lagu Warkop.
Kata kunci : youth culture, subkultur, Warkop, musik
PENDAHULUAN
Penelitian ini merupakan pembacaan secara mendalam dan kritis tentang bagaimana grup
Warkop mewacanakan resistensi youth culture pada lagu-lagu mereka. Lagu-lagu yang menjadi
teks peneliti adalah lagu-lagu yang dinyanyikan dan atau diciptakan oleh para personil Warkop
terutama beberapa tema yang sangat kental sekali membahas pemuda.
Hal ini menjadi signifikan untuk diteliti karena satir yang dikemas dengan komedi dalam
lagu-lagu Warkop kerap menimbulkan bias. Komedi yang hakikatnya selalu dapat menjadi
saluran pelarian diri (escaping) manusia atas jiwa yang tersumbat oleh norma, dogma, dan
hipokrisi1 menunjukkan hasil penggambaran-penggambaran subyek wacana yang justru malah
diobyektifikasi menjadi bahan tertawaan. Dalam komedi ketidakpatutan sosial justru menjadi
norma, yang tidak masuk akal bisa diterima, budak bisa menjadi tuan atau sebaliknya, yang
vulgar menjadi bagian dari tatakrama, dan penyimpangan (indecorum) sosial dan estetik
merupakan keharusan inheren, sehingga sadar atau tidak audiens komedi selalu berada dalam
posisi berguncang tanpa ikatan-ikatan standar kultural yang lazim2.
1
Budiman, Hikmat, dalam Komedi, Kritik! dimuat dalam katalog OK Video! Comedy tahun 2009, Ruang
Rupa, Jakarta
2
ibid
Sebagai kelompok komedi yang berasal dari kampus, Warkop yang saat itu masih
bernama Warkop Prambors (nama Warkop saat masih di radio) memulai karier komedi mereka
dengan komedi yang bersifat satir, sebuah aliran dalam komedi yang bertujuan menyinggung
kondisi sosial, politik, dan pemerintahan yang sedang berlangsung3. Warkop Prambors
menggunakan cara-cara humor, sindiran lembut, serta satir politik untuk menyindir pemerintah
secara tidak langsung, apalagi waktu itu adalah masa-masa represif rezim orde baru. Konsep
lawakan intelek ala mahasiswa seperti ini sempat membuat “gerah” sejumlah pihak, terutama
aparat keamanan negara. Amat banyak bahan yang dapat dimanfaatkan Warkop untuk
menyajikan satir politik, yang diambil dari berbagai peristiwa politik. Misalnya, mencontoh
sekaligus memelesetkan makna ucapan-ucapan Presiden Soeharto.
Peristiwa Malari4 (Malapetaka 15 Januari 1974) bisa jadi merupakan peristiwa politik
penting yang menjelaskan mengapa lawakan Warkop sejak awal mengandung satir politik. Pada
masa-masa pasca-Malari inilah kelompok Warkop muncul sebagai penyalur suara kawula muda
yang pada saat itu dibungkam oleh rezim yang berkuasa. Seperti dijelaskan oleh kelompok
Birmingham dalam Resistance Through Rituals (Hall dan Jefferson, 1976), subkultur pemuda
adalah simbol dalam cultural studies yang jaringannya tetap dihuni oleh mahasiswa dan dosen
yang memiliki keterlibatan professional dan personal dengan musik, gaya, dan fashion pop5.
Selain itu terkait dengan pemuda, pemilihan medium lagu-lagu Warkop dikarenakan
musik juga bisa berubah menjadi angan-angan yang dikuasai hasrat anak muda untuk
menaklukkan dunia yang dirasa suram akibat persaingan identitas, atau persisnya perburuan
merebut pasar yang tak seimbang dan seolah tanpa akhir6. Musik bisa menjadi cermin
pemberontakan atau pembangkangan anak muda terhadap sistem sosial dan politik yang terus
menerus mengalami pembusukan7. Beberapa lagu Warkop yang juga secara jelas memotret
kehidupan generasi muda pada masanya diantaranya “Obrolan Warung Kopi”, “Mana
Tahaaan…”, “IQ Jongkok”, “Gengsi Anak Muda (Supir Presiden)”, “Nggak Janji Deh”, dan
3
Stodd, Andrew. 2004. Comedy. London : Routhledge. hal. 114
, adalah sebuah peristiwa kerusuhan yang disebabkan demonstrasi mahasiswa di Jakarta yang
menuntut antidominasi ekonomi Jepang di Indonesia. Pasca peristiwa Malari, sejumlah dosen dan
mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan, akibatnya muncul sikap apatis di kalangan kampus pada
masa itu.
5
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies : Teori dan Praktik. Yogyakarta : Kreasi Wacana. hal. 333
6
Subandy, Idi. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi : Dinamika Popscape dan Mediascape
di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta : Jalasutra. hal. 93
7
ibid.
4
“Bakumbakero”. Dalam jurnal kali ini analisa lagu “Obrolan Warung Kopi” akan mewakili
analisa youth culture pada lagu Warkop secara menyeluruh.
Di sisi lainnya, musik adalah medium yang selalu hadir di setiap segmen dan masa
karier komedi Warkop. Meski secara resmi diproduksi lewat kedua belas kaset komedi yang rilis
dari tahun 1979 hingga 1987, namun dalam kenyataannya jauh sebelum kaset pertama rilis
Warkop telah menggunakan medium musik sebagai kendaraan satir politik mereka saat masih
melawak di panggung dan radio. Bahkan hingga medium serial TV muncul beberapa tahun lalu,
medium musik masih muncul sebagai soundtrack serial TV tersebut. Dengan kata lain, sepanjang
perjalanan karier grup ini, justru musik lah yang membuat komedi mereka menjadi lebih ringan
dan dapat diterima semua kalangan, terutama para generasi muda.
Penelitian ini nantinya akan mengkaji teks yang berupa lirik dan musik dimana
keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam keutuhan sebuah lagu 8. Seperti
diungkapkan Derrida dan Wittgenstein bahwa bahasa bukan hanya perihal sebuah kehadiran
metafisis, melainkan sebuah alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi sesuai dengan
konteks dalam hubungan sosial yang mereka jalani9.
Sementara musik, meski erat kaitannya dengan lirik dalam sebuah lagu, namun peneliti
tidak akan mengonstruksinya secara detail seperti pada nada dan unsur ritmisnya, melainkan
hanya mengaitkan jenis musik dengan wacana yang berkembang atas jenis musik tersebut.
Menurut musisi Frank Zappa, dirinya berpendapat bahwa konstruksi ritme-ritme dalam
instrumental sebuah musik apabila disejajarkan dengan ritme bahasa atau bertolak dari ritme
bahasa maka seolah-olah akan “berbicara”. walaupun aspek semantisnya kurang menonjol10.
Penelitian serupa, mengenai analisis wacana youth culture, pernah dilakukan
sebelumnya namun pada medium yang berbeda, yakni rubrik pada surat kabar (Sasongko, 2011).
Penelitian tersebut berusaha mengeksplorasi wacana youth culture di balik rubrik Muzik DetEksi
Jawa Pos melalui objek teks yang berupa naskah, foto, caption, dan desain grafis dalam rubrik
tersebut. Berdasar studi tersebut ditemukan bahwa youth culture di media massa, khususnya
surat kabar, menjadi suatu konsep yang delusional. Praktik pewacanaan media terhadap kaum
8
Lindley, David. 1985. Lyric. New York : Methven &Co
Derrida dan Wittgenstein dalam Santoso, Anang, 2003, Bahasa Politik Pasca Orde Baru, Jakarta:
Wedatama Widya Sastra hal. 60
10
Mack, Ditter. 2001. Musik Kontemporer & Persoalan Intelektual. Artline : Jogjakarta
9
muda yang semula diposisikan marjinal ternyata tidak luput dari peran kapitalisme, sebagai
ideologi yang mempengaruhi surat kabar Jawa Pos.
PEMBAHASAN
Bagaimana Warkop mewacanakan negara sebagai budaya dominan salah satunya dapat
ditemui dalam lagu “Obrolan Warung Kopi”. Lagu yang kerap disebut orang-orang sebagai mars
Warkop ini merupakan karya Warkop bersama seorang musisi bernama Gatot Sudarto. Berikut
petikan lirik lagu “Obrolan Warung Kopi” yang secara resmi dapat ditemui rekamannya di album
Pengen Melek Hukum yang dirilis 1983 :
Obrolan Warung Kopi (versi album Pingin Melek Hukum)
Ngobrol di Warung Kopi
Nyentil sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil
Hai kau warga kota
Biasakan dirimu
Jangan asal srobat-srobot
Semau hatimu
Patuhilah peraturan
Lalu lintas jalan
Jangan bikin pak polisi
Bermain sempritan
Ngobrol di Warung Kopi
Nyentil sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil
Lagu “Obrolan Warung Kopi” yang bernuansa folk ini, menurut buku biografi Warkop
“Main-main Jadi Bukan Main”, sebenarnya dibuat dalam berbagai versi lirik yang berbeda.
Untuk versi yang dinyanyikan di layar lebar, liriknya justru ditulis sendiri oleh trio Dono,
Kasino, dan Indro. Itu belum termasuk versi saat Warkop menyanyikannya di pentas-pentas
pertunjukan11. Namun lirik yang peneliti lampirkan di atas merupakan versi kaset, yang lagunya
dapat ditemui di album Pengen Melek Hukum yang dirilis 1983.
11
Badil, Rudy dan Warkop, Indro. 2010. Dari Main-Main jadi Bukan Main. Jakarta : Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG) hal. 83
Pada lirik “sekedar suara rakyat kecil, bukannya mau usil” seakan-akan menunjukkan
posisi grup Warkop yang berpihak pada rakyat kecil dan beroposisi kepada rezim yang saat itu
sangat represif. Namun, jika dilihat secara mendalam menggunakan pandangan wacana kritis hal
tersebut tidaklah seperti yang dimaksudkan. Sebaliknya Warkop justru seperti mengakui rezim
atau negara sebagai budaya dominan yang benar-benar mampu membungkam rakyatnya.
Hal tersebut dapat ditemui pula dalam lirik “jangan bikin pak polisi bermain sempritan”
misalnya, yang secara implisit menggambarkan bagaimana negara, dalam hal ini diwakili oleh
polisi, yang mengatur masyarakat dalam hal pengaturan tata tertib lalu lintas. Dengan sempritan,
peluit kecil yang terbuat dari logam atau buluh bambu yang kecil, biasanya polisi menertibkan
lalu lintas di jalan sehari-harinya.
Jika kendaraan yang melintas melanggar maka sempritan tersebut akan ditiup berkali-kali
untuk memberhentikan kendaraan itu dan polisi pun memproses sang pengemudi kendaraan
secara hukum di tempat itu juga. Tugas polisi sebagai wakil negara dalam melanggengkan
kekuasaan, menertibkan lalu lintas ini juga seperti yang diungkapkan Althusser dalam teori
Repressive State Apparatus-nya. Menurut Althusser, kekuasaan terteletak pada negara dan
pelbagai komponennya, dari pemerintahan, administrasi negara, pengadilan, penjara, polisi,
hingga militer.
Wacana mengenai pembungkaman oleh rezim yang berkuasa juga dapat ditemui dalam
lagu “Obrolan Warung Kopi” versi lainnya. Berikut lirik lagu “Obrolan Warung Kopi” versi
soundtrack film “Itu Bisa Diatur”, yang rilis tahun 1984. Di lagu ini bait pertama “Ngobrol di
Warung Kopi...” kembali hadir untuk mempertegas identitas kultural Warkop.
Obrolan Warung Kopi (versi ost. Itu Bisa Diatur)
Ngobrol di Warung Kopi
Nyentil sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil
Ngobrol di parkir timur
Daripade lo nganggur
Semangat jangan pade mundur
Semua bisa diatur
Hai kau pemuda
Jangan pada tidur
Jangan pada ngomong ngawur
Ntar lo kebentur
Selain mempertegas identitas kultural yang oportunis terhadap negara lewat bait pertama,
Warkop kembali menyelipkan lirik yang menggambarkan betapa berkuasanya negara pada saat
itu. Sebut saja pada lirik: “Jangan pada ngomong ngawur, ntar lu kebentur”. Lirik ini semacam
peringatan kepada pendengar, terutama kaum muda yang sering kali vokal dalam mengkritisi
kebijakan-kebijakan negara. Ini dapat dimaknai dari kata-kata “ngomong ngawur”, yang
maksudnya berbicara seenaknya tanpa memperhatikan peraturan yang sangat represif pada era
tersebut.
Perlakuan negara yang begitu otoriter, sampai-sampai membungkam siapa pun yang
“vokal” atas kebijakan-kebijakan negara dapat dimaknai dalam lirik lanjutannya yaitu, “ntar lu
kebentur”. Maksudnya adalah terbentur peratutan-peraturan serta instrumen-instrumen negara
yang kerap membatasi suara-suara sumbang yang menentangnya. Jika dikaitkan dengan konteks
sosiokultural saat itu, memang negara di awal 1970-an begitu sensitif atas suara-suara sumbang
yang ditujukan kepadanya. Tak jarang para pemuda yang semula vokal, menyuarakan suara
rakyat dan menentang kebijakan pemerintah, berakhir di bui. Jika tidak begitu maka wadahwadah para aktifis kampus itu dibekukan sehingga suara-suata sumbang tadi tak lagi terdengar
dari para mahasiswa ini.
Peristiwa Malari sebagai puncak dari gerakan kritis terhadap konsep pembangunan yang
dilakukan pemerintahan Orde Baru bisa menjadi gambaran riil wacana pembungkaman ini.
Peristiwa kerusuhan yang disebabkan demonstrasi mahasiswa di Jakarta yang menuntut
antidominasi ekonomi Jepang di Indonesia, adalah contoh besar aksi-reaksi yang ditimbulkan
pemuda-negara terkait pembungkaman kebebasan di era itu.
Dalam demonstrasi yang sebenarnya bernama Apel Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) 1974
tersebut mahasiswa dan pelajar menuntut pemerintah untuk menurunkan harga-harga,
membubarkan aspri (asisten presiden), dan menggantung para koruptor. Pasca peristiwa Malari,
sejumlah dosen dan mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan. Akibatnya muncul sikap apatis di
kalangan kampus pada masa itu.
Namun jika ditelaah dari berbagai sumber, Peristiwa Malari tidaklah sesederhana : suatu
peristiwa kerusuhan yang timbul akibat demonstrasi mahasiswa. Terdapat anggapan bahwa
meledaknya peristiwa Malari, yang disertai peristiwa penjarahan, pengrusakan, dan kekerasan
merupakan adalah akibat inisiatif masyarakat yang setuju isi protes mahasiswa. Faktanya,
kerusuhan, pembakaran, pencurian, dan pengrusakan, hingga lepasnya sebelas nyawa akibat
peritiwa itu merupakan suatu aksi terpisah dari gerakan Apel Tritura yang dijalankan mahasiswa.
Terdapat kekuatan-kekuatan lain yang turut menunggangi aksi 15 Januari 1974 tersebut.
Mantan Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro, melalui memoarnya mengungkapkan
bahwa adalah kelompok Operasi Khusus (Opsus)12 yang bertanggung jawab terhadap kerusuhan
Malari. Opsus merancang suatu operasi untuk menetralisasi posisi Soemitro sebagai Panglima
Kopkamtib, mahasiswa, dan golongan-golongan yang dianggap bisa menghalangi ambisi politik
Ali Moertopo. Operasi itu dilancarkan dengan cara menunggangi rencana apel mahasiswa pada
15 Januari 1974 dengan serangkaian aksi kerusuhan dan huru-hara. Sasaran kerusakan seperti
mobil-mobil Jepang, kantor Toyota Astra, dan Coca Cola sengaja ditentukan agar mengesankan
kerusuhan memang benar-benar dibuat oleh mahasiswa13.
Sekedar informasi, Wakil Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro ketika peristiwa ini
terjadi dianggap sebagai pihak yang bersebrangan dengan beberapa aspri. Setelah Malari,
Soemitro mengundurkan diri dari jabatan Panglima Kopkamtib, yang diambil alih Soeharto, dan
tetap bertahan sebagai Wakil Pangab14. Sepenggal cerita mengenai peristiwa Malari barusan
bisajadi gambaran sosiokultural yang cukup jelas terkait upaya pembungkaman kebebasan oleh
Negara di masa Orde Baru. Dari peristiwa tersebut dan segala pembelokkan faktanya
menunjukkan betapa kuatnya kekuasaan rezim Orde Baru.
Ini seperti diungkapkan Eep Saefulloh15, jika dilihat dari perspektif negara sebagai
pihak yang mendominasi, Malari merupakan keberhasilan Presiden Soeharto menerapkan
manajemen konflik dalam pemerintahannya. Tujuannya: 1. Membentuk tertib politik atau
stabilitas dan 2. Mewujudkan serta mengefektifkan kekuasaan. Secara umum stabilitas yang bisa
tercipta dari manajemen konflik adalah stabilitas konsensual atau stabilitas yang dibentuk
berdasarkan konsensus antara negara dan masyarakat serta stabilitas otokratis, yang diciptakan
melalui pemaksaan, koersif, represi, dan “menendang” semua pihak yang tidak sepakat dan
sejalan dengan nilai dan kepentingan negara.
12
Dipimpin oleh Asisten Pribadi (Aspri) Bidang Khusus Presiden Soeharto, Ali Moertopo
Husin, Amir dan Hasibuan, Imran (ed), 2011, Hariman & Malari : Gelombang Aksi Mahasiswa
Menentang Modal Asing. Jakarta : Q Communication.
14
Badil, Rudy dan Warkop, Indro. 2010. Dari Main-Main jadi Bukan Main. Jakarta : Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG) hal. xix
15
Husin, Amir dan Hasibuan, Imran (ed), 2011, Hariman & Malari : Gelombang Aksi Mahasiswa
Menentang Modal Asing. Jakarta : Q Communication. hal 99
13
Keseriusan dan kesigapan Negara dalam membungkam kebebasan beropini masyarakat
kala itu lebih dalam lagi dapat dilihat dari keseluruhan lagu “Obrolan Warung Kopi” versi ost.
“Semua bisa Diatur”. Pesan ini dapat dimaknai secara tersirat jika mengaitkan lirik “…jangan
pada ngomong ngawur, ntar lo kebentur…” dengan latar tempat yang dibawa Warkop di lagu
itu, yakni : “warung kopi” dan “parkir timur (senayan)” yang ketika itu menjadi tempat
nongkrongnya anak-anak muda Ibukota.
Di lagu tersebut, Warkop menegaskan, “…jangan pada ngomong ngawur, ntar lo
kebentur…” yang bermakna : jangan berbicara seenaknya karena salah-salah nanti akan
terbentur aturan atau setidaknya ketahuan aparat-aparat negara yang sedang bertugas di tengahtengah masyarakat. Sementara latar yang dipakai Warkop di lagu adalah tempat-tempat umum
yang menjadi ruang publik, di mana didalamnya seharusnya masyarakat bebas berbicara.
Di sini peneliti mempersepsi bahwa alangkah seriusnya Negara dalam membungkam
kebebasan berekspresi ketika itu. Pasalnya, di ruang publik seperti warung kopi dan parkir timur
Senayan pun (yang notabene tempat berkumpulnya masyarakat, atau kaum muda khususnya),
negara masih saja dapat membungkam kebebasan itu.
Rezim atau negara adalah salah satu subyek dominan yang paling sering vis a vis dengan
subkultur pemuda. Dalam berbagai kesempatan, khususnya di Indonesia, istilah “pemuda” atau
“generasi muda” bahkan adalah konsep yang semata-mata bukanlah istilah ilmiah, melainkan
lebih sering merupakan pengertian ideologis juga kulturil. Seperti telah dibahas di sub bab
sebelumnya, tak jarang istilah “pemuda” dibebani nilai-nilai tertentu seperti “pemuda harapan
bangsa”, “pemuda penerus cita-cita bangsa” dan sebagainya16.
Pendefinisian macam itulah yang kerap kali menimbulkan resistensi dari kaum muda.
Pendefinisian tersebut dilakukan oleh negara guna melakukan stabilisasi terhadap hal-hal yang
dianggap masih berstatus krisis. Negara pun akhirnya melakukan, apa yang disebut sebagai
Policing The Crisis (PTC), dimana di dalamnya secara tegas mengatur ketidakstabilan pemuda
yang dianggap sebagai musuh dari negara17.
It charts the transition from affluence and ‘youth as a metaphor for change’
to the development of a crisis of social authority and the rise of ‘moral
panics’ – about ‘unruly youth’, then mugging, black street crime and
‘enemies of the state’.
16
Abdullah Taufik (ed), 1987, Pemuda dan Perubahan Sosial. Jakarta LP3ES
Meminjam istilah Stuart Hall dalam Hall, Stuart. Jefferson, Tony. 2006. Resistance Trough Rituals : Youth
subcultures in post war Britain. London : Routhledge hal.22
17
Warkop sebagai produk pemuda keluaran Orde Baru, rezim yang begitu kental tindak
represifnya kepada pemuda, berusaha melawan dominasi negara ini melalui lagu-lagu mereka.
Bahkan nama mereka : Warkop yang merupakan singkatan “Warung Kopi” seakan menjelaskan
identitas siapa yang mereka bela dalam tiap komedi yang mereka bawakan, yakni rakyat. Namun
berdasarkan analisis di sub bab sebelumnya ditemukan bahwa : ditengah-tengah perlawanan
mereka, Warkop justru secara tidak disadari memperkuat posisi negara sebagai budaya dominan.
Represi negara yang begitu kuat ternyata dipertegas lagi oleh Warkop melalui lagu-lagu mereka
yang bergaya komedi satir.
Hal tersebut dapat ditemui pada lagu “Obrolan Warung Kopi (versi Ost. Semua Bisa
Diatur)”. Pewacanaan negara sebagai budaya dominan seperti itu menyatakan bahwa meskipun
Warkop mengklaim diri mereka oponen terhadap negara namun kenyataannya wacana-wacana
yang digambarkan melalui lagu-lagu mereka justru menguatkan posisi negar sebagai budaya
dominan.
Sementara dari sudut pandang youth culture sebagai sebuah subkultur, yang selalu vis a
vis dengan budaya dominannya, pada pembacaannya di dalam lagu Warkop, telah bergeser
resistensinya kepada budaya dominan. Warkop yang semula merepresentasikan identitas mereka
sebagai pemuda yang mewakili rakyat dalam praktik pembacaan tekstual lagu-lagunya masih
bersifat paradoks. Mereka terkesan seperti melemahkan kembali posisi rakyat yang memang
seringkali digambarkan termarjinalkan oleh negara. Ini dapat ditemukan, lagi-lagi dalam lagu
“Obrolan Warung Kopi (versi album Pingin Melek Hukum)”.
Berikut petikan lirik lagu “Obrolan Warung Kopi” yang secara resmi dapat ditemui
rekamannya di album Pengen Melek Hukum yang dirilis 1983 :
Obrolan Warung Kopi (versi siaran radio & kaset)
Ngobrol di Warung Kopi
Nyentil sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil
Sambil minum kopi
Ngobrol sane-sini
Sambil ngaduk-ngaduk kopi
Eh jangan bawa ke hati (ntar sakiit)
Nenek-nenek senam pagi
Oy seksi sekali (ape sih kuat?)
Boleh nyunat cucu haji
Asal jangan nyunat gaji (ntar kualat)
(*)
Hai kau pemuda, bukalah celanamu
Hai kau pemudi, bukalah bajumu
Bergelut bersama, bahu-membahu
Membersihkan sampah-sampah, lingkungan hidupmu (buat kesehatan)
Ngobrol di Warung Kopi
Nyentil sana dan sini
Sekedar suara rakyat kecil
Bukannya mau usil
Bukannya mau usil
Melalui judul lagu “Obrolan Warung Kopi”, Warkop mempertegas identitas mereka
sebagai sekelompok orang yang mengangkat wacana-wacana dari obrolan di sebuah tempat
bernama warung kopi. Dari tempat yang biasanya identik dengan masyarakat kelas bawah ini lah
Warkop lahir. Meskipun tiga sekawan ini sebenarnya adalah para aktifis kampus, namun dengan
lagu tematik ini Warkop menjelaskan posisi : siapa yang mereka bela dalam komedi mereka,
yaitu rakyat. Ini seperti diakui Rudy Badil, salah satu pelibat wacana, mantan personil Warkop
yang turut memberikan usulan nama “Warkop” bersama Temmy Lesanpura, salah satu sosok
kreatif di tubuh Prambors yang ikut melahirkan acara Warung Kopi di Radio Prambors di tahun
1973.
Kebetulan saya tahun 1972 pernah lama di Medan untuk suatu penelitian sosial. Di kota
niaga itu, saya memiliki pengalaman menarik kalau duduk-duduk di warung kopi. Banyak
laki-laki di sana datang ke warung dan pesan secangkir kopi, lalu duduk-duduk lama dan
berdiskusi adu pikiran macam anggota DPRD. Padahal banyak dari mereka hanyalah para
sopir18.
18
ibid hal.39
Posisi warung kopi sebagai ruang publik tempat diterapkannya demokrasi secara murni
oleh para pemuda lebih jelas lagi ditegaskan oleh pelibat wacana lainnya yaitu Indro Warkop.
P : Nama “Warung Kopi” pun dari mereka berdua (Rudy Badil dan Temy
Lesanpura) ya Om ya?
I : Iya. Dulu kan pertama siaran itu, dulu kan yang bener-bener dibilang anak-anak
yang konyol kan anak-anak pecinta alam. Nggak lama dia (Rudy Badil) tarik Kasino,
Dono, dan Nanu. Begitu siaran itu, pecinta alam itu, ternyata kurang sukses. Tetapi ya,
(Rudy Badil bilang) : “udah lo yang becanda-becandaan! lo mau pakek apa settingnya?
justru gue yang paling bebas itu Warung Kopi, lo kan suka becandaan tuh. Lo jadi
siapa, lo jadi siapa, lo tumpahin di situ di Warung Kopi.” (Terus teman-teman setuju) “Oh
iya Warung Kopi! Karena di Warung Kopi juga ada demokrasi.” Ternyata di
Warung Kopi itu… dan Warung Kopi itu tempatnya anak laki dulu. Nggak ada tuh
orang perempuan. Kalo toh sekarang kemudian yang jual banyak perempuan, ya itu lah
sekarang. Tapi dulu nggak ada. Dulu kalo dibilang Warkop, pasti itu lahannya orang laki.
Yang dimana mereka ngopi, ngomong ngalor ngidul, nggak pakek berantem.19
Posisi pemuda yang membela rakyat secara jelas dapat dilihat lebih lanjut pada lirik
baris ke tiga refrain “Obrolan Warung Kopi” yang berbunyi : “sekedar suara rakyat kecil”. Di
lirik ini mereka secara eksplisit menunjukan bahwa Warkop melalui sentilan sana-sini nya di
warung kopi, menyuarakan suara rakyat. Ini nampaknya sesuai dengan apa yang diungkapkan
pelibat wacana, Indro Warkop yang mengatakan bahwa suara Warkop adalah suara rakyat 20.
Namun jika dicermati lebih seksama lagi sebetulnya lirik tersebut mengandung makna yang
paradoks. Di satu sisi “sekedar suara rakyat kecil” secara eksplisit menekankan posisi Warkop
yang menyuarakan rakyat, namun atribut “kecil” dan “sekedar” pada lirik tersebut jika dimaknai
secara kritis justru mengkerdilkan rakyat yang pada hakikatnya mereka bela.
Kata “sekedar” misalnya, dapat bermakna “hanya”, “cuma”, atau yang lebih ekstrim
lagi adalah “tidak lebih”. Lirik bermakna paradoks ini serupa dengan analisa sub bab sebelumnya
yang semula Warkop oponen terhadap Negara namun di satu sisi mereka justru mengukuhkan
posisi Negara sebagai budaya dominan dalam relasi kuasa negara - rakyat. Sementara di bagian
ini, rakyat yang seharusnya Warkop bela atas nama pemuda, justru disudutkan posisinya secara
tidak sadar melalui kata-kata “kecil” dan “sekedar”. Sehingga rakyat yang dalam tatanan relasi
19
20
Wawancara pribadi peneliti dengan Indro Warkop pada 14 Desember 2012
ibid.
kuasa negara - rakyat telah tersubordinasi posisinya, melalui lirik ini semakin terkerdilkan pula.
Warkop seakan melegitimasi rakyat yang posisinya kecil di mata negara menjadi benar-benar
kecil dalam wacana yang mereka bawa.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembacaan kritis youth culture pada lagu-lagu Warkop, yang kali ini
diwakili oleh lagu “Obrolan Warung Kopi”, maka sampailah peneliti pada tahap menyimpulkan
bagaimana Warkop mewacanakan resistensi youth culture pada lagu-lagu mereka.
Ditinjau dari budaya dominannya, lagu-lagu Warkop mewacanakan negara sebagai pihak
yang berkuasa mutlak atas rakyat dan juga aparatur-aparaturnya. Selain membungkam rakyat
dengan komponen-komponennya seperti polisi, misalnya, negara pun membungkam komponenkomponen mereka dengan uang. Ini seperti pada lagu “Obrolan Warung Kopi (versi album
Pingin Melek Hukum)”.
Dengan begitu negara (dalam konteks rezim Orde Baru) saat itu tetap terjaga
stabilitasnya. Ia adalah suatu kekuatan dominan yang tanpa cela dan tidak dapat dicela. Melalui
pemanfaatan berbagai komponen negara untuk menertibkan masyarakat, menerapkan korupsi
dalam wacana “semua bisa diatur”, hingga menyebarkan wacana ketakutan dengan kedok
penjagaan keamanan dan ketertiban di ruang publik, negara melenggang dengan indahnya
menyebarkan kekuasaan di mana-mana.
DAFTAR PUSTAKA
Badil, Rudy dan Warkop, Indro. 2010. Dari Main-Main jadi Bukan Main. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG).
Barker, Chris. 2004. Cultural Studie : Teori dan Praktik. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Budiman, Hikmat, dalam Komedi, Kritik! dimuat dalam katalog OK Video! Comedy tahun 2009,
Ruang Rupa, Jakarta.
Derrida dan Wittgenstein dalam Santoso, Anang, 2003, Bahasa Politik Pasca Orde Baru,
Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Husin, Amir dan Hasibuan, Imran (ed), 2011, Hariman & Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa
Menentang Modal Asing. Jakarta: Q Communication.
Lindley, David. 1985. Lyric. New York: Methven &Co
Mack, Ditter. 2001. Musik Kontemporer & Persoalan Intelektual. Artline: Jogjakarta
Stodd, Andrew. 2004. Comedy. London: Routhledge.
Subandy, Idi. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi : Dinamika Popscape dan Mediascape
di Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Download