14 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Strategi Pemasaran Istilah strategi berasal dari kata Yunani strategia (stratus = militer, dan ag = memimpin), yang artinya seni atau ilmu untuk menjadi seorang jenderal. Konsep ini relevan dengan situasi pada zaman dulu yang sering diwarnai perang, dimana jenderal dibutuhkan untuk memimpin suatu angkatan perang agar dapat selalu memenangkan perang. Strategi juga bisa diartikan sebagai suatu rencana untuk pembagian dan penggunaan kekuatan militer dan material pada daerah-daerah tertentu untuk mencapai tujuan tertentu (Fandy Tjiptono, 2008:2). Menurut Stoner, Freeman dan Gilbert, Jr (dalam Fandy Tjiptono, 2008:2), konsep strategi dapat didefinisikan berdasarkan dua prespektif yang berbeda, yaitu dari prespektif apa yang suatu organisasi ingin lakukan (intends to do) dan dari prespektif apa yang suatu organisasi akhirnya lakukan (eventually does). Berdasarkan prespektif yang pertama, strategi dapat didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai tujuan organisasi dan mengimplementasikan misinya. Makna yang terkandung dari strategi ini adalah bahwa para manajer memainkan peranan yang aktif, sadar dan rasional dalam 15 merumuskan strategi organisasi. Dalam lingkungan yang turbulen dan selalu mengalami perubahan, pandangan ini lebih banyak diterapkan. Sedangkan prespektif kedua, strategi didefinisikan sebagai pola tanggapan atau respon organisasi terhadap lingkungannya sepanjang waktu. Pada definisi ini setiap organisasi pasti memiliki strategi, meskipun strategi tersebut tidak pernah dirumuskan secara eksplisit. Pandangan ini ditujukan bagi para manajer yang bersifat reaktif, yaitu menanggapi dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan secara pasif manakala dibutuhkan. Pernyataan strategi secara eksplisit merupakan kunci keberhasilan dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis. Strategi memberikan kesatuan arah bagi semua anggota organisasi. Setiap fungsi manajemen memberikan kontribusi tertentu pada saat penyusunan strategi pada level yang berbeda. Menurut Fandy Tjiptono (2008:5) pemasaran merupakan fungsi yang memiliki kontak paling besar dengan lingkungan eksternal, padahal perusahaan hanya memiliki kendali yang terbatas terhadap lingkungan eksternal. Pemasaran bertujuan untuk menarik pembeli dalam mengkonsumsi produk yang ditawarkan. Oleh karena itu, pemasaran memainkan peranan penting dalam pengembangan strategi. Tull dan Kahle (dalam Fandy Tjiptono, 2008:6) mendefinisikan strategi pemasaran sebagai berikut: Strategi pemasaran adalah sebagai alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan mengembangkan keunggulan bersaing yang berkesinambungan melalui pasar yang dimasuki dan program pemasaran yang digunakan untuk melayani pasar sasaran tersebut. 16 Strategi pemasaran merupakan pernyataan mengenai bagaimana suatu merek atau lini produk mencapai tujuannya (Bennet dalam Fandy Tjiptono, 2008:6). Selain itu, strategi pemasaran merupakan bagian integral dari strategi bisnis yang memberikan arah pada semua fungsi manajemen dalam organisasi (Fandy Tjiptono, 2008:6). Cravens dan Piercy (2009:13) mengemukakan bahwa: Marketing strategy consist of the analysis, strategy development, and implementation of activities in: developing a vision about the market of interest to the organization, selecting market target strategies, setting objectives, and developing, implementing, and managing the marketing program positioning strategies designed to meet the value requirements of the customers in each market target Strategi pemasaran terdiri dari analisa, pengembangan strategi, dan implementasi aktivitas dalam mengembangkan suatu visi mengenai daya tarik pasar dari organisasi, strategi pemilihan target pasar, dan mengembangkan, menerapkan, serta menentukan strategi positioning dari program pemasaran yang dirancang untuk memenuhi persyaratan-persyaratan nilai dari pelanggan-pelanggan pada setiap target pasar. Cravens dan Piercy (2009:13) juga mengemukakan bahwa: “Marketing strategy seeks to deliver superior customer value by combining the customerinfluencing strategies of the business into a coordinated set of market-driven actions”. Strategi pemasaran mencoba untuk memberikan superior customer value dengan mengkombinasikan strategi mempengaruhi pelanggan dari bisnis kedalam suatu himpunan yang dikordinir pada tindakan-tindakan market-driven. Strategi 17 pemasaran menghubungkan organisasi dengan lingkungan dan pandangan-pandangan pandangan pemasaran sebagai bagai suatu tanggung jawab dari bisnis secara keseluruhan. Strategi pemasaran tersebut meliputi proses sebagai berikut: Sumber: Cravens dan Piercy (2009:14) GAMBAR 2.1 THE MARKETING STRATEGY PROCESS Menurut Cravens dan Piercy (2009:14) proses strategi pemasaran terdiri dari: 1. Markets, segments and customer value Manajemen pemasaran yang mengevaluasi pasar dan pelanggan untuk menentukan sebuah strategi baru atau merubah staretegi yang sudah ada. Aktivitas dari strategi pemasaran pada proses ini meliputi: Markets and competitive space, strategic trategic market segmentation, Strategic customer relationship management (CRM), dan Capabilities for continuous learning about markets. (Cravens dan Piercy 2009:14) 18 2. Designing market- driven strategies Menurut Cravens dan Piercy (2009:15): “Market sensing information plays a key role in designing marketing strategy, which includes market targeting and positioning strategies, building marketing relationship, and developing and introducting new product”. Informasi pasar memainkan peran kunci dalam mendesain strategi pemasaran termasuk target pasar dan strategi positioning, membangun hubungan pemasaran dan mengembangkan serta memperkenalkan produk baru. 3. Market-driven program development Target pasar dan strategi positioning untuk produk baru dan produk yang sudah ada menunjukan pilihan dari strategi pada komponen program pemasaran. Produk, distribusi, harga dan strategi promosi dikombinasikan untuk membentuk strategi positioning pada setiap target pasar. Menurut Cravens dan Piercy mengimplementasikan (2009:16) strategi strategi positioning program meliputi: pemasaran untuk strategic brand management (manajemen strategi merek), value-chain strategy (strategi rantai nilai), pricing strategy (strategi harga), dan promotion strategy (strategi promosi). 19 4. Implementing and managing marketing strategy Menurut Cravens dan Piercy (2009:17): “selecting the customer to target and the positioning strategy for each target moves marketing strategy development to the action stage”. Pemilihan pelanggan pada target dan strategi positioning pada setiap target menggerakan pengembangan strategi pemasaran pada tingkatan aksi proses strategi pemasaran. Proses implementasi dan me-manage strategi pemasaran meliputi: designing market-driven orgazizations (mendesain organisasi market-driven), dan marketing strategy implementation and control (implementasi dan pengendalian strategi pemasaran). 2.1.2 Konsep Brand Extension 2.1.2.1 Brand Extension dalam Strategic Brand Management Brand (merek) merupakan salah satu faktor penting bagi perusahaan untuk dapat meningkatkan usahanya. Merek telah menjadi elemen krusial yang berkontribusi terhadap kesuksesan sebuah organisasi pemasaran, baik perusahaan bisnis maupun nirlaba, pemanufaktur maupun penyedia jasa, dan organisasi lokal maupun global (Fandy Tjiptono, 2005:2). Darmadi Durianto (2004:1) berpendapat bahwa “Merek merupakan nilai tangible dan intangible yang terwakili dalam sebuah trade mark yang mampu menciptakan nilai dan pengaruh tersendiri di pasar bila diatur dengan tepat”. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermawan Kertajaya (2004:11): 20 Merek tidak hanya sebuah nama, bukan juga sekedar sebuah logo atau simbol. Merek adalah value indicator yang ditawarkan kepada pelanggan. Merek menciptakan sebuah asset yang menciptakan value bagi pelanggan sehingga memperkuat kepuasan dan loyalitasnya. Merek dapat dijadikan alat ukur bagi kualitas value yang perusahaan tawarkan Selain itu, menurut Ha dan Chan-Omslted (dalam jurnal “Enhanced TV as BrandExtension: TV Viewers’ Perception of Enhanced TV Features and TV Commerce on Broadcast Networks’ Web Sites”; 2001:1), “Branding is the marketing strategy of giving value to the name of a product to distinguish itself from competitors and achieve a competitive differential advantage”. Branding adalah strategi pemasaran yang memberi nilai pada nama sebuah produk untuk membedakannya dari pesaing dan untuk mendapat keuntungan diferensial yang kompetitif. Berdasarkan pemaparan di atas, merek tidak hanya sebagai identitas dari suatu produk tetapi merupakan suatu nilai yang ditawarkan untuk memberikan manfaat dan menciptakan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Styles dan Ambler (dalam Fandy Tjiptono, 2005:10) mengidentifikasi dua perspektif berbeda dalam mendefinisikan merek yaitu definisi product-plus dan holistic view. Dalam pendekatan product-plus dikenal pula dengan istilah additive approach (Abela dalam Fandy Tjiptono, 2005:10) dimana produk dan merek dipandang sebagai dua hal yang terpisah, dimana merek adalah tanda yang ditambahkan pada produk. Merek dipandang sebagai bagian dari produk, sehingga branding dianggap sebagai aktivitas yang memberikan nilai tambah bagi produk (Kotler, et al., dalam Fandy Tjiptono, 2005:10). 21 Cravens dan Piercy (2009:291) mengungkapkan: “It is important to distinguish between the terms product and brand. In practice they are often used interchangeably, although there are differences in meaning“. Sangat penting untuk membedakan antara istilah produk dengan merek. Pada prakteknya keduanya sering digunakan secara tertukar, meskipun terdapat perbedaan dalam pengertian. Sebuah merek lebih dari sekedar produk. Produk adalah segala sesuatu yang diproduksi di pabrik, sedangkan merek adalah sesuatu yang dibeli konsumen (Sheetharaman, et al., dalam Fandy Tjiptono, 2005:19). Menurut Keller (dalam Fandy Tjiptono, 2005:19) merek adalah produk yang mampu memberikan dimensi tambahan yang secara unik membedakannya dari produk-produk lain yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan serupa. Perbedaan tersebut bisa bersifat rasional dan tangible (terkait dengan kinerja produk dari merek bersangkutan) maupun simbolik, emosional dan intangible (berkenaan dengan representasi merek). Dengan kata lain, merek mencerminkan keseluruhan persepsi dan perasaan konsumen mengenai atribut dan kinerja produk, nama merek dan maknanya, dan perusahaan yang diasosiasikan dengan merek yang bersangkutan. Konsumen biasanya tidak menjalin relasi dengan barang atau jasa tertentu, namun sebaliknya membina hubungan yang kuat dengan merek spesifik (Fournier dalam Fandy Tjiptono, 2005:19). Menurut Wood (dalam jurnal “Brands and brand equity: definition and management”; 2000:1), “In consumer marketing, brands often provide the primary points of differentiation between competitive offerings, and as such they can be 22 critical to the success of companies. Hence, it is important that the management of brands is approached strategically”. Dalam pemasaran konsumen, merek sering kali menyediakan poin primer pembeda pada penawaran yang kompetitif dan seperti halnya mereka dapat mempengaruhi kesuksesan perusahaan. Oleh karena itu sangat penting manajemen merek dilakukan dengan pendekatan yang stratejik. Cravens dan Piercy, (2009:291) berpendapat bahwa: Strategic brand management adalah bagian dari pengembangan program pemasaran dan merupakan suatu persoalan kunci dari kebanyakan organisasi dan tidak hanya menjadi domain dari kemasan perusahaan barang, sebuah perspektif merek yang strategis mengharuskan para eksekutif untuk memutuskan peran merek pada perusahaan untuk menciptakan customer value dan shareholder value. Menurut Keller (2008:38), “strategic brand management involves the design and implementation of marketing programs and activities to build, measure, and manage brand equity”. Strategic brand management menyangkut desain dan implementasi program pemasaran dan kegiatan membangun, mengukur, dan mengelola ekuitas merek. Proses strategic brand management terdiri dari empat langkah sebagaimana disajikan pada Gambar 2.2 berikut: 23 Identify and Establish Brand Positioning and Value Plan and Implement Brand Marketing Programs Measure and Interpret Brand Performance Grow and Sustain Brand Equity Sumber:Keller (2008:39) GAMBAR 2.2 STRATEGIC MANAGEMENT PROCESS VERSI KELLER Proses strategic brand management terdiri dari empat proses, yaitu identifying and establishing brand positioning (mengidentifikasi dan menetapkan posisi merek), planning and implementing brand marketing programs (merencanakan dan mengimplementasikan program pemasaran merek), Measuring and interpreting brand performance (mengukur dan menafsirkan kinerja merek), dan Growing and sustaining brand equity (mengembangkan ekuitas merek yang berkelanjutan) (Keller, 2008:38). 1. Identifying and establishing brand positioning Proses strategic brand management dimulai dengan pemahaman yang jelas apa yang merek lambangkan dan bagaimana merek akan diposisikan 24 dengan para pesaing. Brand positioning didefinisikan sebagai suatu seni mendesain citra perusahaan sehingga merek menempati tempat yang jelas dan dihargai di dalam benak pelanggan sasaran (Keller, 2008:38). Brand positioning yang kompetitif adalah segala penciptaan keunggulan merek dalam benak pelanggan. Pada dasarnya, positioning meyakinkan pelanggan pada keuntungan atau poin-poin pembeda dari merek yang melebihi pesaingnya (Keller, 2008:39) 2. Planning and implementing brand marketing programs Membangun ekuitas merek memerlukan penciptaan sebuah merek bahwa konsumen cukup sadar akan merek-merek yang kuat, baik dan asosiasi merek yang unik. Pada umumnya proses penciptaan tersebut berdasarkan pada tiga faktor berikut (Keller, 2008:39): a. Pilihan-pilihan awal pada unsur-unsur merek atau identitas yang memyusun merek dan bagaimana unsur-unsur tersebut dibaurkan dan ditandingkan. b. Aktifitas-aktifitas pemasaran dan program pendukung pemasaran serta cara merek diintegrasikan pada aktifitas-aktifitas dan program tersebut. c. Asosiasi-asosiasi lain secara tidak langsung dikembangkan atau ditransfer pada merek sebagai hasil penghubung pada beberapa entitas lain (seperti perusahaan, negara asal, atau merek lain) 25 3. Measuring and interpreting brand performance Tugas mengenai penentuan atau mengevaluasi suatu posisi merek sering kali bermanfaat dari suatu audit merek. suatu audit merek adalah suatu pengujian yang menyeluruh terhadap suatu merek untuk menilai kinerja merek, menemukan sumber ekuitasnya, dan menyarankan cara untuk memperbaiki dan menaikkan ekuitas tersebut. suatu audit merek memerlukan sumber pemahaman pada ekuitas merek baik dari perspektif perusahaan maupun dari konsumen (Keller, 2008:40). Setelah pemasar menentukan strategi posisi merek, kemudian memasukkan ke dalam bagian program pemasaran yang aktual untuk menciptakan, memperkuat, atau memelihara asosiasi merek. untuk memahami pengaruhi pada program pemasaran merek ini, pemasar perlu mengukur dan menginterpretasikan kinerja merek melalui riset pemasaran. suatu alat yang bermanfaat untuk riset tersebut adalah rantai nilai merek. rantai nilai merek dimaksudkan untuk menemukan cara penciptaan nilai merek, untuk lebih memahami dampak finansial pada investasi biaya pemasaran merek. (Keller, 2008:40) 4. Growing and sustaining brand equity Mengembangkan ekuitas merek secara berkelanjutan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Keller, 2008:41): a. Menentukan strategi merek 26 b. Mengelola ekuitas merek secara terus menerus c. Mengelola ekuitas merek pada batasan-batasan batasan batasan geografis, budaya dan segmen pasar. Cravens dan Piercy (2009:296) 6) mengungkapkan: “Strategic “ brand management decisions are relevant to all business, including suppliers, producers, wholesalers, distriutors, and retailer”. retailer Keputusan strategic brand management berkaitan dengan bisnis secara keseluruhan termasuk pemasok, produsen, grosir, distributor dan para pengecer. Strategic brand management terdiri dari beberapa aktifitas sebagaimana aimana disajikan pada Gambar 2.3 berikut: Brand Identity Strategy Managing Brand Strategy STRATEGIC BRAND ANALYSIS BRAND EQUITY MEASUREMENT AND MANAGEMENT Managing the Brand Portofolio Leveraging the Brand Sumber: Cravens dan Piercy (2009:297) GAMBAR 2.3 STRATEGIC BRAND MANAGEMENT VERSI CRAVENS VENS AND PIERCY Strategic trategic brand management bertujuan untuk membangun brand equity secara berkelanjutan. Strategic brand management terdiri dari (Cravens Cravens dan Piercy Piercy, 2009:297): 27 1. Brand Identity Strategy Menurut Cravens dan Piercy (2009:302): “Brand identity is a unique set of brand association that the brand strategist aspires to creat or maintain. These association represent what the brand stands for and imply a promise to customers from the organization members”. Identitas merek adalah suatu himpunan yang unik dari asosiasi merek untuk diciptakan atau dipelihara. Asosiasi ini menunjukkan apa yang merek mewakili dan menyiratkan suatu janji kepada pelanggan-pelanggan dari para anggota organisasi. Strategi alternatif yang dapat dipilih oreh perusahaan antara lain (Cravens dan Piercy 2009:303): Product Line Branding (pemberian nama pada satu atau lebih lini produk yang merepresentasikan perbedaan kategori produk), Corporate Branding (strategi membangun identitas merek dengan menggunakan nama perusahaan untuk mengidentifikasi seluruh produk yang ditawarkan), Combination Branding, sebuah perusahaan dapat menggunakan kombinasi pada product line dan corporate branding), dan Private Branding (merek yang diberikan oleh para pengecer). 2. Managing Brand Strategy Sebuah merek harus dikelola dari awal peluncurannya dan sepanjang daur hidup merek tersebut. Walaupun strategi merek mungkin berubah dari waktu kewaktu, namun secara konsisten untuk membangun kekuatan merek dan menghindari kerusakan merek. 28 3. Managing the Brand Portofolio Menurut Cravens dan Piercy (2009:303): “the brand portofolio strategy specifies the structure of the brand portofolio and the scope, roles, and interrelationship of the portofolio brands. The goals are to creat synergy, leverage, clarity within the portofolio and relevant, differentiated, and energized brand. Strategi fortofolio merek menetapkan struktur dari portofolio merek, ruang lingkup, peran, dan keterkaitan pada fortofolio merek. 4. Leveraging the Brand Leveraging the brand (pengembangan merek) menyangkut perluasan identitas merek untuk tambahan baru pada lini produk, atau pada kategori produk baru. Penggunaan nama merek akan berguna untuk mengenalkan produk lain dengan menghubungkan produk baru pada sebuah nama merek yang kuat. Metoda-metoda yang dapat dilakukan perusahaan untuk menggunakan nama merek yang kuat adalah dengan melakukan line extension (perluasan lini produk pada ktegori produk yang sama), stretching the brand vertically, brand extension (perluasan merek pada kategori produk baru), cobranding (penggunaan nama merek bersama dengan perusahaan lain yang sejenis), dan Licensing (Lisensi) Brand extension merupakan salah satu strategi pengembangan merek dalam strategic brand management yaitu dengan menggunakan nama merek yang sudah dikenal oleh konsumen untuk 29 meluncurkan sebuah lini produk baru pada kelas produk yang berbeda. (Cravens dan Piercy, 2009:310) Brand extension sebagai suatu strategi pemasaran telah menjadi suatu yang lebih menarik di lingkungan saat ini dimana pengembangan suatu produk baru memerlukan biaya yang banyak (Chen dan Liu dalam jurnal “Positive brand extension trial and choice of parent brand”; 2004:1) Strategi pemasaran merupakan sebuah proses pengembangan strategi marketdriven, mempertimbangkan perubahan lingkungan bisnis secara konsisten, dan kebutuhan untuk menawarkan superior customer value (Cravens dan Piercy, 2009:13). Salah satu program pengembangan pengembangan market-driven adalah strategic brand management yang terdiri dari pembentukan ekuitas merek dan pengelolaan sistem organisasi pada kinerja merek secara keseluruhan (Cravens dan Piercy, 2009:17). Tujuan dari strategic brand management adalah untuk membangun ekuitas merek secara berkelanjutan yang dapat dilakukan dengan berbagai strategi diantaranya leveraging the brand strategy (strategi pengembangan merek) yang menyangkut perluasan identitas merek degan menghubungkan produk baru pada sebuah nama merek yang kuat dengan melakukan line extension, stretching the brand vertically, brand extension, co-branding, dan licensing (Cravens dan Piercy 2009:310) Brand extension merupakan salah satu strategi pengembangan merek dalam strategic brand management yaitu dengan menggunakan nama merek yang sudah 30 dikenal oleh konsumen untuk meluncurkan sebuah lini produk baru pada kelas produk yang berbeda. (Cravens dan Piercy, 2009:311) 2.1.2.2 Definisi Brand Extension Strategi perluasan merek bukan hal yang baru dalam dunia pemasaran, dimana strategi pengembangan merek ini banyak digunakan oleh praktisi – praktisi pemasaran di dalam aktivitas peluncuran produk baru. Berikut definisi Brand Extension menurut beberapa ahli. TABEL 2.1 DEFINISI BRAND EXTENSION MENURUT BEBERAPA AHLI No Sumber Definisi 1 Kotler dan Armstrong Brand extension adalah penggunaan merek (2008:241) yang telah berhasil untuk meluncurkan produk baru atau hasil modifikasi ke dalam kategori baru 2 Anand Halve (Fajrianthi dan Brand extension adalah peluncuran suatu Zatul Farrah dalam jurnal produk baru yang memiliki kategori yang Strategi Perluasan merek dan berbeda dengan produk yang sudah ada dan loyalitas konsumen”; produk yang baru tersebut menggunakan 2005,282) nama produk yang sudah ada 3 Freddy Rangkuti (2008:114) Brand extension adalah perusahaan membuat produk baru dengan menggunakan merek lama yang terdapat pada merek induk. 4 Hem dan Iversen (dalam jurnal Brand extension adalah strategi Factors influencing Succesfull pengembangan merek dengan menggunakan Brand Extension”; 2001:14) nama merek yang sudah dikenal oleh konsumen untuk meluncurkan produk baru atau produk modifikasi pada kategori produk yang baru. 5 Budi Juda (dalam jurnal Brand extension is a part of brand “Brand Extention The Benefit management to diversify and leveraging the and Fitfalls”; 2007:2) existing brand by entering into new product category by new product development. Sumber: disadur dari beberapa literatur 31 Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa brand extension merupakan strategi suatu perusahaan untuk memasuki kategori produk baru dengan menggunakan merek yang sudah dikenal oleh konsumen. Menurut Serra et al (dalam jurnal “Brand Extension:Evaluation and Resiprocal Effect”; 2004:1), “Brand extension strategy is based on the idea that the intrinsic value of the familiar brand name is transferable to new products”. Strategi brand extension didasarkan pada ide bahwa nilai intrinsik pada nama merek yang sudah dikenaldapat ditransfer pada produk baru. Brand extension akan mengakibatkan berubahnya pengetahuan konsumen terhadap produk yang bersangkutan. Brand extension bertujuan untuk memanfaatkan kekuatan ekuitas merek dari merek asal untuk memperkenalkan produk baru. Dengan menerapkan brand extension, perusahaan dapat mengurangi biaya pemasaran dan meningkatkan awaresness dari produk baru atau kategori produk baru yang akan diluncurkan tersebut. Menurut Murphy (2000:110) mengemukakan bahwa: The expense of new brand development result not just from the cost of identifying and validating a new brand concept. From developing and protecting the new brand name, and from creating the packaging, but also from the fact that heavy advertising is needed to lunch a brand and to support it over the first month and year of its life. Riskness,the second problem of new brand development, is evident from the fact that the majority of new brand are seen to fail. Time that it takes to develop a new brand. All these factors combine to creat a strong and growing interest in brand extension. The arguments in favour of brand extension, as opposed to new brand development, are that it reduces risk, reduces cost and reduces the time involved in getting a new product in to the market. Brand extension can also maintain interest is an exiting brands and may help to ensure that it remains relevant. 32 Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga alasan yang mendasari dilakukannya brand extension, diantaranya masalah biaya yang cukup banyak dikeluarkan oleh perusahaan jika perusahaan meluncurkan produk baru, resiko kegagalan dalam pengembangan produk baru yang harus dihadapi oleh perusahaan, waktu yang relatif lama untuk mengembangkan suatu produk baru. Alasan tersebut menjadi pertimbangan perusahaan untuk melakukan brand extension. Brand extension dapat mengurangi resiko, biaya, dan waktu untuk meluncurkan produk baru di pasar. Keller (2008:491) mengungkapkan bahwa ketika sebuah perusahaan memperkenalkan produk baru, maka perusahaan tersebut mempunyai tiga pilihan untuk memberikan merek pada produk tersebut, yaitu: 1. Perusahaan dapat mengembangkan merek baru untuk merek baru tersebut 2. Perusahaan dapat menggunakan salah satu merek yang kuat dari perusahaan 3. Perusahaan dapat mengkombinasikan sebuah merek baru dengan merek yang sudah kuat Sebuah perluasan merek (brand extension) terjadi ketika sebuah perusahaan menggunakan sebuah nama merek yang sudah ada untuk memperkenalkan sebuah produk baru. Brand extension dibagi menjadi dua kategori umum, yaitu (Keller, 2008:491): 1. Line extension: para pemasar menggunakan merek induk pada sebuah produk baru pada target segmen pasar yang baru dalam kategori produk merek induk. 33 Line extension sering menambahkan variasi komposisi dan rasa yang berbeda, bentuk dan ukuran yang berbeda, atau sebuah aplikasi berbeda pada sebuah merek. 2. Category extension: para pemasar menggunakan merek induk untuk memasuki kategori produk yang berbeda dari produk utamanya. Menurut Keller (2008:512) “the ultimate succes of an extension will depend on its ability to both achieve some of its own brand equity in the new category and contribute to the equity of the parent brand”. Pokok kesuksesan pada sebuah perluasan akan bergantung pada kemampuan untuk mencapai ekuitas mereknya sendiri pada kategori baru dan berkontribusi pada ekuitas merek induk. Strategi perluasan merek memberikan keuntungan bagi perusahaan karena dengan menggunakan merek yang sudah terkenal akan memberikan pengakuan dan penerimaan yang lebih cepat pada kategori produk baru. Hal ini diharapkan dapat memberikan jaminan kualitas dan keyakinan kepada para konsumen atas merek tersebut. Menurut Miller dan Muir (2004:33), brand extension memiliki beberapa keunggulan, diantaranya: 1. Brand extension can keep a brand up-to-date, dengan melakukan brand extension perusahaan dapat tetap menancapkan mereknya dibenak konsumen. 34 2. Brand extension can help a business respond to market changes, jika sebuah pasar mengalami perubahan yang substansial, brand extension dapat membantu mengamankan bisnis tersebut. 3. Brand extension can enable a business to acces new revenue streams, dengan ekstensi merek dapat meluncurkan produk baru dengan parent brand yang telah ada, sehingga memudahkan produk untuk diterima di pasar. Menurut Freddy Rangkuti (2008:121), brand extension tidak hanya memiliki keunggulan akan tetapi brand extension pun memiliki kelemahan antara lain: 1. Dapat membingungkan pelanggan dalam memilih produk mana yang lebih baik. 2. Seandainya brand extension tersebut dilakukan tidak secara konsisten maka atribut atau manfaat yang melekat pada merek tersebut saling bertentangan dengan merek induk sehingga konsumen merubah persepsinya. 2.1.2.3 Dimensi Brand Extension Dimensi brand extension menurut para ahli disajikan pada Tabel 2.2 berikut: TABEL 2.2 DIMENSI BRAND EXTENSION MENURUT BEBERAPA AHLI No Ahli Dimensi Brand Extension 1 Aaker (Fajrianthi dan Zattul dimensi keberhasilan strategi perluasan merek Farah dalam jurnal Strategi dipengaruhi oleh Sikap pada merek asal, Perluasan merek dan Kesesuaian antara merek asal dengan produk loyalitas konsumen”; perluasan, dan Penerimaan terhadap perluasan 2005:283) merek yang dilakukan oleh perusahaan 2 Jalees dan Ali (dalam jurnal Pelanggan mengevaluasi brand extension A Modular Approach to melalui delapan variabel yang berbeda yaitu: Study the Impact of Brand Similarity, Reputation, Innovativeness, 35 Extension in Pakistan; 2002:2) 3 4 Aaker dan Keller (dalam jurnal ” Consumer Evaluation of Brand Extension “; 1990:28) Hartman, Price, dan Duncan (Cameron dan Braunsberger-Messer dalam jurnal ” Brand Extensions: Aspects Of Consumer Decision Making “; 1995:3) 5 Czellar (dalam jurnal “Consumer Attitude Towards Brand Extensions:An Integrative Model and Research Propositions”; 2002:8) 6 Hem dan Iversen (dalam jurnal Factors influencing Succesfull Brand Extension”; 2001:7) Perceived risk, Multiple extensions, Parent brand characteristics, Concept and consistency, dan Brand extension fit. Dimensi brand extension terdiri dari brand attribute association dan Attitude toward the extension Lima elemen brand extension terdiri dari : prior knowledge of the brand name and product category of the extension (pengetahuan sebelumnya pada nama merek dan kategori produk perluasan), degree of match or perceived similarity between the franchise extension and prior knowledge (derajat kecocokan atau anggapan kesamaan antara perluasan waralaba dengan pengetahuan sebelumnya), motivation for processing of the extension (motivasi pada proses perluasan), extended processing (proses yang diperpanjang), dan moderating influences from individual factors and situational characteristics (pengaruh perantara dari faktor individu dan karakteristik situasional). Dimensi kesuksesan Brand Extension terdiri dari: the perception of fit (persepsi kesesuaian), the formation of primary attitudes towards the extension (pembentukan sikap dasar terhadap perluasan), the link between extension attitude and behaviour (hubungan antara sikap dan perilaku perluasan) dan the reciprocal effect of brand extension attitude on parent brand/extension category attitude (pengaruh timbal balik pada perilaku perluasan merek pada merek induk/perilaku kategori perluasan) Dimensi brand extension meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan brand extension yang terdiri dari: Similarity, Reputation, Perceived Risk dan Innovativeness 36 Dimensi brand extension dikatakan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan brand extension oleh konsumen yang meliputi Similarity, Reputation, Perceived Risk dan Innovativeness (Hem dan Iversen dalam jurnal Factors influencing Succesfull Brand Extension”; 2001:7) 1.Similarity (kesamaan), yaitu tingkatan dimana konsumen menganggap bahwa produk hasil perluasan memiliki persamaan dengan merek asalnya. Beberapa studi menunjukkan bahwa semakin besar persamaan antara produk perluasan merek dengan merek asalnya maka akan semakin besar pula pengaruh yang diterima oleh konsumen baik positif maupun negatif dari produk hasil perluasan. Bahkan ada pula penelitian yang menyebutkan bahwa konsumen akan membangun sikap yang positif terhadap produk hasil perluasan bila konsumen tersebut menganggap bahwa produk tersebut memiliki kesamaaan dengan merek asalnya. 2.Reputation (reputasi). Asumsi yang dapat dikemukakan dari pengguna. Reputasi adalah, bahwa merek yang memiliki posisi yang kuat akan memberikan pengaruh yang besar pada produk hasil perluasannya. Bahkan telah dilaporkan bahwa merek yang dipersepsi memiliki kualitas yang tinggi dapat melakukan perluasan produk dari pada merek yang memiliki kualitas yang rendah. Reputasi di sini adalah sejumlah hasil yang diperoleh dari kualitas suatu produk. 37 3.Perceived Risk adalah konstruk multidimensional yang mengimplikasikan pengetahuan konsumen secara tidak pasti tentang suatu produk sebelum dilakukan pembelian didasarkan pada tipe dan tingkatan kerugian dari produk itu setelah dilakukan pembelian. Perceived risk biasanya dikonseptualisasi dengan konstruk dua dimensi yaitu ketidakpastian tentang konsekuensi melakukan kesalahan dan ketidakpastian tentang hasil yang diperoleh. 4.Innovativeness adalah aspek kepribadian yang berhubungan dengan penerimaan konsumen untuk mencoba produk baru atau merek baru. Dan konsumen yang memiliki sifat innovativeness ini suka melakukan lebih banyak evaluasi pada perluasan merek terutama dalam hal jasa. Oleh karena itu untuk mengembangkan strategi perluasan merek ini agar lebih efisien maka pihak perusahaan harus menarik lebih banyak konsumen yang memiliki sifat innovativeness. 2.1.3 Konsep Brand Equity 2.1.3.1 Definisi Brand Equity Brand equity (ekuitas merek) merupakan konsep yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam mempertahankan mereknya di pasar. Menurut Keller (2008:258): “Brand equity is the added value endowed to product and service”. Ekuitas merek merupakan nilai tambah pada suatu produk atau jasa. Sedangkan menurut Aaker (2008:8) “Brand equity is a set of assets (and liabilities) linked to a brand’s name and symbol that adds to (or subtracts from) the value provided by a product or 38 service to a firm and or that firm’s customers”. Ekuitas merek adalah keseluruhan dari asset atau harta dari suatu nama merek dan simbol yang menambahkan nilai dari suatu barang dan jasa pada perusahaan atau pelanggan. Marketing Science Institute (Ha dan Chan-Omslted dalam jurnal “Enhanced TV as BrandExtension: TV Viewers’ Perception of Enhanced TV Features and TV Commerce on Broadcast Networks’ Web Sites”; 2001:1) mendefinisikan brand equity sebagai berikut: The set of associations and behaviours on the part of a brand’s customers, channel members and parent corporation that permits the brand to earn greater volume or greater margins than it could without the brand name and that gives the brand a strong, sustainable, and differentiated competitive advantage. Brand equity didefinisikan sebagai kumpulan asosiasi dan perilaku dalam peranannya pada pelanggan sebuah merek, anggota saluran dan perusahaan induk yang membolehkan merek untuk memperoleh hasil yang lebih besar atau margin yang lebih besar dibading tanpa nama merek dan memberikan merek sebuah kekuatan, kemampuan bertahan, dan diferensiasi keuntungan yang kompetitif. Selain itu, menurut Chen dan Chang (dalam jurnal “Airline brand equity,brand preference, and purchase intentions—The moderating effects of switching costs”; 2007:1), “Brand equity refers to the incremental utility or value added to a product from its brand name. It is often believed to contribute to a company’s long-term profitability”. Ekuitas merek mengacu pada kegunaan atau nilai tambah pada suatu produk dari nama mereknya, yang sering dipercaya berperan pada profitabilitas perusahaan jangka panjang. 39 Berdasarkan definisi para ahli mengenai brand equity di atas dapat disimpulkan bahwa brand equity adalah suatu asset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan satu merek, nama dan simbolnya, yang menambah dan mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu produk atau jasa kepada perusahaan atau pelanggan perusahaan. Menurut Feldwick dalam Fandy Tjiptono (2008:47) brand equity dikelompokkan ke dalam tiga kategori berikut: 1. Brand Valuation atau Brand Value, yaitu nilai total sebuah merek sebagai asset terpisah. Kebutuhan akan penilaian merek dalam konteks ini biasanya dipicu oleh dua situasi utama, yakni penentuan harga pada saat merek dijual dan penentuan nilai merek sebagai asset tak berwujud dalam laporan neraca perusahaan. 2. Brand Strength atau Brand Loyalty, yaitu ukuran yang menyangkut seberapa kuat konsumen terikat dengan merek tertentu. Hal ini sekaligus mereflesikan permintaan relatif konsumen terhadap sebuah merek. Terdapat beberapa indikator dari brand strength, yakni harga/permintaan, ukuran behavioral, ukuran attitudinal, dan brand awreness/salience. 3. Brand Image atau Brand Description, yaitu deskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek tertentu. Hal ini dapat diukur melalui beberapa tehnik seperti multidimensional scalling, projection techniques, dan sebagainya. 40 Menurut Srivastava dan Shocker dikutip dalam Fandy Tjiptono (2008:49) menyatakan bahwa: ‚“Brand Value merupakan ukuruan financial yang tergantung pada kekuatan saat ini dan prospek dimasa yang akan datang, serta kesesuaian produk dengan portofolio produk dan tujuan perusahaan. Brand value juga tergantung pada situasi persaingan dan karakteristik industri“. Ketiga makna tersebut tidak saling terpisah, malinkan berkaitan erat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4 Brand Description Brand Loyalty Brand Value Sumber : Wood (2000) dalam Fandy Tjiptono (2008:49) GAMBAR 2.4 BRAND EQUITY CHAIN Menurut Fandy Tjiptono (2008:49), penggunaan formula brand valuation atau brand value sebagai indikator kinerja merek mengandung sejumlah kelemahan, yaitu: 1. Perbedaan yang signifikan anatara penilaian objektif untuk keperluan penyusunan neraca perusahaan dan harga aktual yang bias dicapai sebuah merek dalam transaksi penjualan penjualan riil. 2. Nilai sebuah merek berbeda-beda bagi para pembeli yang berlainan. 3. Tidak ada nilai yang absolut untuk sebuah merek 4. Pemisahan asset bukanlah hal sederhana, karena sebuah merek memiliki nilai berfluktuasi tergantung pada siapa yang menggunakan. 41 Konsep brand equity mencakup dua konstruk multi-dimensional yang saling terkait yaitu brand strength dan brand value (Saristava dan Shocker, dalam Fandy Tjiptono 2008:49). Dalam hal ini, bisa diartikan jika brand value sangat berkaitan dengan ekuitas merek. Jika brand value suatu produk mengalami penurunan secara tidak langsung ekuitas merek produk tersebut juga mengalami penurunan. Brand Loyalty/ Brand Strength Brand Equity (Ekuitas Merek) Brand Value Sumber : Saristava & Shocker (1991) dalam Fandy Tjiptono (2008:49) GAMBAR 2.5 KONSEP BRAND EQUITY 2.1.3.2 Dimensi Brand Equity Beberapa dimensi brand equity yang dikemukakan oleh beberapa ahli disajikan pada Tabel 2.3 berikut: TABEL 2.3 DIMENSI BRAND EQUITY MENURUT BEBERAPA AHLI No 1 2 3 Sumber Morgan, 2000 (dalam Bernard T. Widjaja, 2009:138) Blesster and aleman, 2005 (dalam Bernard T. Widjaja, 2009:138) Bernard T. Widjaja (2009:138) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 1. 2. 3. Dimensi Ekuitas Merek Pervasiveness Premium Quality Differentiated Identification Affinity Loyalty Brand Reliability Brand Intentions Brand Loyalty Kinerja Citra Sosial Nilai 42 4 David Aaker (2008:157) 5 Keller (2008:259) 6 Nasution, Grant, dan Mavondo (dalam jurnal “Mediating role of brand equity in the marketing-sales and business performance relationship”; 2008:3) Netemeyet et al (dalam jurnal “Developing and 7 validating measures of facets of customer-based brand equity”; 2004:2) 4. 5. 1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. Kepercayaan Attachment Brand Awareness Perceived Quality Brand Association Brand Loyalty Brand Salience Brand Performance Brand Imagery Brand Judgement Brand Feeling Brand Resonance Brand Loyalty Perceived Quality Brand Awareness Brand Uniqueness 1. 2. 3. 4. Perceived Quality Perceived Value for the Cost Brand Uniqueness Willingness to pay a price premium Sumber:disadur dari beberapa literatur David Aaker (2008:157) menjabarkan aset merek yang berkontribusi pada penciptaan brand equity ke dalam empat dimensi yaitu: 1. Brand Awareness (Kesadaran Merek) Menurut Aaker (2008:158) kesadaran merek adalah kesanggupan seseorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Peran brand awareness dalam keseluruhan brand equity tergantung dari sejauh mana tingkatan kesadaran yang dicapai oleh suatu merek. Tingkatan kesadaran merek secara berurutan adalah sebagai berikut: 43 a. Unware of brand (tidak menyadari merek), merupakan tingkatan yang paling rendah, dimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek. b. Brand Recognition (pengenalan merek), tingkat minimal dari kesadaran merek. Hal ini penting pada saat seseorang pembeli memilih suatu merek pada saat melakukan pembelian. c. Brand Recall (pengingatan kembali terhadap merek), pengingatan kembali terhadap merek didasarkan pada permintaan seseorang untuk menyebutkan merek tertentu dalam suatu kelas produk. Hal ini diistilahkan dengan pengingatan kembali tanpa bantuan, karena berbeda dari tugas pengenalan, responden tidak perlu dibantu untuk memunculkan merek tersebut. d. Top of Mind (puncak pikiran), apabila seseorang ditanya secara langsung tanpa diberi bantuan pengingatan dan ia dapat menyebutkan satu nama merek, maka merek yang paling banyak disebutkan pertama kali merupakan puncak pikiran. Dengan kata lain, merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada di dalam benak konsumen. 2. Perceived Quality (Kesan Kualitas) Kesan kualitas adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan berkaitan dengan 44 maksud yang diharapkan. (Aaker, 2008:158). Dimensi perceived quality menurut Darmadi Durianto adalah: a. Kinerja melibatkan berbagai karakteristik operasional utama b. Pelayanan mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk tertentu c. Ketahanan mencerminkan umur ekonomis dari produk tersebut d. Keandalan adalah konsistensi dari kinerja yang dihasilkan suatu produk dari satu pembelian ke pembelian berikutnya e. Karakteristik produk adalah bagian-bagian tambahan dari produk yang memberi penekanan bahwa perusahaan memahami kebutuhan konsumennya yang dinamis sesuai dengan perkembangan f. Hasil mengarah kepada kualitas yang dirasakan yang melibatkan dimensi sebelumnya. 3. Brand Associations (Asosiasi Merek) Menurut Aaker (2008:161) asosiasi merek adalah segala hal yang berkaitan dengan ingatan mengenai merek. Keterkaitan pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi pada banyak pengalaman atau penampakan untuk mengkomunikasikannya. Berbagai asosiasi yang diingat konsumen dapat dirangkai sehingga membentuk citra tentang merek atau brand image di dalam benak konsumen. 45 4. Brand Loyalty (Loyalitas Merek) Pengertian loyalitas merek adalah ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu merek. Apabila loyalitas meningkat, maka kerentaan kelompok pelanggan dari serangan kompetitor dapat dikurangi. Tingkatan dalam loyalitas adalah sebagai berikut: a. Tingkat loyalitas yang paling mendasar adalah pembeli tidak loyal atau sama sekali tidak tertarik pada merek-merek apapun yang ditawarkan. b. Tingkat yang kedua adalah para pembeli merasa puas dengan produk yang ia gunakan, atau minimal ia tidak mengalami kekecewaan. Para pembeli tipe ini dapat disebut pembeli tipe kebiasaan (habitual buyer). c. Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun mereka memikul biaya peralihan (switching cost), baik dalam waktu, uang atau risiko sehubungan dengan upaya untuk melakukan pergantian ke merek yang lain. Kelompok ini biasanya disebut konsumen loyal yang merasakan adanya suatu pengorbanan apabila ia melakukan pergantian ke merek lain. Para pembeli tipe ini disebut satisfied buyer. d. Tingkat keempat adalah konsumen benar-benar menyukai merek tersebut. Pilihan mereka terhadap suatu merek dilandasi pada suatu asosiasi, seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakannya atau kesan kualitas yang tinggi. Para pembeli pada tingkat ini disebut 46 sahabat merek karena terdapat perasaan emosional dalam menyukai merek. e. Tingkat teratas adalah pelanggan yang setia. Merek tersebut sangat penting bagi mereka baik dari segi fungsinya maupun sebagai ekspresi mengenai siapa mereka sebenarnya (commited buyers). Kategori dari brand equity menurut David Aaker adalah: Brand awareness, Perceived Quality, Brand associations and Brand loyalty terurai dalam Gambar 2.5 Brand Equity Brand Awareness Perceived Quality Brand Associations Brand Loyalty Sumber : David Aaker (2008:157) GAMBAR 2.6 ELEMEN BRAND EQUITY VERSI DAVID AAKER Menurut Fandy Tjiptono (2008:41), pada perkembangannya, lahir suatu asumsi pokok dalam konsep ekuitas merek, yakni kekuatan sebuah merek terletak pada apa yang dipelajari, dirasakan, dilihat, dan didengarkan pelanggan tentang merek tersebut sebagai hasil dari pengalamannya sepanjang waktu. Asumsi inilah yang mendasari konsep ekuitas merek yang dikemukakan oleh Kevin Lan Keller (2008:259), dimana model ini lebih berfokus pada perspektif perilaku konsumen. Model ekuitas merek ini disebut juga dengan model ekuitas merek berbasis pelanggan (customer-based brand equity). Berdasarkan model ini, 47 sebuah merek dikatakan memiliki customer-based brand equity positif apabila konsuemn bereaksi secara lebih positif terhadap sebuah produk dan cara produk tersebut dipasarkan ketika mereknya diidentifikasi. Menurut Keller (2008:259), kunci pokok penciptaan ekuitas merek adalah brand knowledge, yang terdiri atas brand awareness dan brand image. Ekuitas merek baru terbentuk jika pelanggan mempunyai tingkat awareness dan familiaritas tinggi terhadap sebuah merek dan memiliki asosiasi merek yang kuat, positif, dan unik dalam memorinya. Model ekuitas merek ini terdapat empat langkah proses dalam membangun merek, yakni: 1. Menyusun identitas merek yang tepat (who are you?) 2. Menciptakan makna merek yang sesuai (what are you?) 3. Menstimulasi respon merek yang diharapkan (what about you?) 4. Menjalin relasi merek yang tepat dengan pelanggan (what about you and me?) Proses implementasi keempat tahap ini membutuhkan enam building block utama, yakni: 1. Brand salience Menurut Tjiptono (2008:41), brand salience berkenaan dengan aspekaspek awareness sebuah merek, seperti seberapa sering dan mudah sebuah merek diingat dan dikenali dalam berbagai situasi. Faktor ini menyangkut 48 seberapa bagus elemen merek menjalankan fungsinya sebagai pengidentifikasi produk. Brand awareness bukan hanya sekedar menyangkut apakah konsumen mengetahui nama merek, namun berekaitan pula dengan mengaitkan merek (nama, logo, simbol dan seterusnya) dengan asosiasiasosiasi tertentu dalam memori konsumen yang bersangkutan. 2. Brand performance Menurut Keller (2008:260), “brand performance berkenaan dengan kemampuan produk dalam memenuhi kebutuhan fungsional konsumen”. Terdapat lima atribut yang mendasari brand performance, yaitu: a. Unsur primer dan fitur suplemen b. Reliabilitas, durabilitas, dan serviceability produk c. Efektivitas, efisiensi, dan empati layanan d. Model dan desain e. Harga 3. Brand imagery Brand imagery menyangkuit extrinsic properties produk atau jasa, yaitu kemampuan produk dalam memenuhi kebutuhan psikologi atau sosial konsumen. Brand imagery dapat terbentuk secara langsung (melalui pengalaman konsumen dan kontaknya dengan produk, merek, pasar sasaran, atau situasi pemakaian) dan tidak langsung (melalui iklan dan komunikasi) (Keller, 2008:260). 49 Terdapat empat kategori utama brand imagery menurut Keller (2008:260), yakni: a. Profil pemakai, baik berdasarkan factor demografis deskriptif (usia, gender, ras, atau pendapatan) maupun psikologis abstrak (sikap terhadap hidup, karir, kepemilikan, isu social, maupun institusi politik). b. Situasi pembelian (berdasarkan tipe saluran distribusi, toko spesifik, kemudahan pembelian, dan sejenisnya) dan situasi pemakaian (kapan dan dimana merek digunakan). c. Kepribadian, gaya hidup, dan nilai-nilai d. Sejarah, warisan budaya (heritage), dan pengalaman. 4. Brand judgement Brand judgement berfokus pada pendapat dan evaluasi personal konsumen terhadap merek berdasarskan kinerja merek dan asosiasi citra yang dipersepsikannya (Keller, 2008:261). Aspek brand judgement meliputi: a. Brand quality, persepsi konsumen terhadap nilai dan kepuasan yang dirasakannya. b. Brand credibility, yakni seberapa jauh suatu merek dinilai kredibel dalam hal expertise (kompeten, inovatif, pemimpin pasar), trustworthiness (bisa diandalkan dan selalu mengutamakan kepentingan 50 konsumen), dan likeability (menarik, menyenangkan, dan layak untuk dipilih dan digunakan). c. Brand consideration, yakni sejauh mana sebuah merek dipertimbangkan untuk dibeli atau digunakan konsumen. d. Brand superiority, yakni sejauh mana konsumen menilai merek yang bersangkutan unik dan lebih baik dibandingkan merek-merek lain. 5. Brand feelings Brand feelings yaitu respon dan reaksi emosional konsumen terhadap merek. Reaksi semacam ini bisa berupa perasaan warmth (kehangatan), fun (kegembiraan), security (rasa aman), social approval (rasa dekat dengan lingkungan social), dan self-respect (menghargai diri sendiri). (Keller, 2008:261) 6. Brand resonance Brand resonance mengacu pada karakteristik relasi yang dirasakan konsumen terhadap merek spesifik. Resonansi tercermin pada intensitas atau kekuatan ikatan psikologis antara pelanggan dan merek, serta tingkat aktivitas yang ditimbulkan loyalitas tersebut (Keller, 2008:261). 51 4. Relationship What about you and me? Resonance Judgement Feeling Performance Imagery 3. Response What about you? 2. Meaning What areyou ? Salience 1. Identity Who are you? Sumber : Keller (2008:259) GAMBAR 2.7 CUSTOMER-BASED BRAND EQUITY MODEL 2.1.3.3 Keuntungan dari Brand Equity Menurut Darmadi Durianto dkk. (2004:6), “Ekuitas merek merupakan aset yang memberikan nilai tersendiri di mata konsumennya”. Aset yang dikandungnya dapat membantu konsumen dalam menafsirkan, memproses, dan menyimpan informasi yang terkait dengan produk dan merek tersebut. Ekuitas merek yang kuat dapat mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian atas dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan, dan asosiasi dengan berbagai karakteristik merek. Selain itu, Kotler dan Armstrong (2008:86) mengemukakan bahwa ekuitas merek yang tinggi akan memberikan sejumlah keuntungan bersaing, yakni: 52 1. Perusahaan akan memiliki pengaruh perdagangan yag lebih besar dalam melakukan tawar-menawar dengan distributor dan pengecer karena pelanggan mengharapkannya menjual merek tersebut. 2. Perusahaan dapat mengenakan harga yang lebih tinggi daripada pesaingpesaingnya karena merek itu memiliki persepsi mutu yang lebih tinggi. 3. Perusahaan dapat lebih mudah melakukan perluasan produk karena nama merek itu menyandang kredibilitas yang tinggi. 4. Merek tersebut menawarkan kepada perusahaan suatu pertahanan terhadap persaingan harga. 2.1.4 Pengaruh Kinerja Brand Extension Terhadap Brand Equity Mengingat pentingnya ekuitas merek bagi suatu perusahaan, perusahaan dituntut untuk terus menjaga dan meningkatkan ekuitas mereknya. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah dengan melakukan brand extension. Menurut David A. Aaker (2004:20) mengemukakan bahwa: The brand equity (visibility, trust perceived quality, association and loyalty) can affect the extensions in turn can affect these brand equity dimensions both positively (more good) can negatively (the ugly). To often the impact of extension on the brand is not given enough weight, but in the long run, it can be most important result of an extensions. The nature and size of the effect in both directions will depend on the strength of the brand equity, as well as the brand fit and credibility in the new context. Berdasarkan pengertian ekuitas merek yang dikemukakan oleh David A. Aaker, maka ekuitas merek (kesadaran, kepercayaan, asosiasi, dan loyalitas) dapat 53 memberikan pengaruh positif dan negative terhadap ekstensi. Hal ini ditunjukan dengan efek yang diberikan oleh ekstensi terhadap dimensi ekuitas merek menjadi semakin baik atau malah menjadi semakin buruk. Brand extension dapat diukur bergantung pada kekuatan dari ekuitas mereknya. Kotler dan Amstrong (2008:214) mengemukakan bahwa: High brand equity provides a company with money competitive advantages. A powerfull brand enjoys a high level of consumer brand awareness and loyalty because consumer expect stores to carry the brand, the company has more laveragein bargaining with resells because the brand name caries high credibily, the company can more easely launch line and brand extensions. Ekuitas merek yang tinggi memberikan keunggulan bersaing bagi perusahaan. Merek yang kuat dapat menciptakan kesadaran dan loyalitas merek bagi konsumen, perusahaan dapat melakukan tawar-menawar dengan ritel karena merek telah memiliki kredibilitas dan perusahaan dapat dengan mudah melakukan perluasan dan ekstensi merek. Menurut Freddy Rangkuti (2008:123), “Pengembangan atau perluasan merek (brand extension) merupakan suatu keputusan yang dilakukan dalam penyusunan strategi pemasaran yang diharapkan dapat meningkatkan ekuitas merek (brand equity). Menciptakan ekuitas merek terhadap brand extension dapat dilakukan dengan cara meningkatkan awareness dan asosiasi terhadap merek tersebut.” Sementara itu, Dikdik Tandika (2001:19) mengungkapkan: “Salah satu cara untuk memelihara ekuitas merek adalah dengan melakukan pertimbangan ekstensi merek. 54 Ekstensi merek akan membuat merek lebih menonjol atau mendapatkan pengingatan kembali merek sehingga merek dapat terus diingat”. Menurut Rodwell et al (dalam jurnal “The Implications for Brand Extension When the Extension is Later Sold: Using Member Perceptions to Investigate Brand Extension”; 2000:1) A successful brand extension can be a major boost for the brand equity of a product, if the extension is perceived positively by consumers. It will increase not only the meaning of the brand to the consumers but may increase loyalty and also brand favourability on behalf of the consumer Berdasarkan pendapat John Rodwell et al. di atas, kesuksesan brand extension dapat menjadi sebuah penggerak utama pada ekuitas merek sebuah produk jika perluasannya diterima secara positif oleh konsumen, tidak hanya menambah arti sebuah merek pada konsumen tetapi juga dapat meningkatkan loyalitasnya. Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dengan pelaksanaan program brand extension akan berpengaruh terhadap ekuitas merek sebuah produk. Adanya brand extension akan mengakibatkan berubahnya pengetahuan konsumen terhadap produk yang bersangkutan. Semakin baik kinerja produk dengan menggunakan brand extension tersebut, pengaruh positif terhadap merek induk semakin besar. 55 2.1.5 Orisinalitas Penelitian TABEL 2.4 ORISINALITAS PENELITIAN No Nama dan Tahun Gareth Smith, Richard Speed, Iam Grime (2005) Judul Hasil Penelitian Semakin baik kecocokan antara merek perluasan dan merek inti, semakin kecil perubahan di dalam dimensi-dimensi kepribadian merek yang mengikuti pengenalan tentang perluasan. 2 Nicole Stagemann (2006) The impact of brand extension on brand personality in differing country: a UK-Australian Comparison Unique brand extension challenges for luxury brands Perluasan merek pada merek mewah akan menambah brand awareness dari merekmerek mewah tersebut Journal of business and economic research university of western sydney 3 Kuang Positive brand Fung, Chu- extension trial Mei Liu and choice of (2004) parent brand Perluasan merek dipandang sebagai suatu strategi yang penting dalam meningkatkan benefit dari suatu produk pada kategori produk induk dan produk ekstensi Journal of product and brand management: emerald group publishing limited 4 Ying-Chan Tang, FenMay Liou, Sheng You Peng (2008) Konsistensi dari konsepkonsep merek antara kekuatan merek B2B merek dan produk perluasan B2C adalah faktor dominan yang mempengaruhi evaluasievaluasi pelanggan. Pelanggan cenderung akan mengevaluasi produk ekstensi ketika merek induk mempunyai persepsi kualitas yang 1 B2B brand extension to the B2C market-The case of the ICT industry in Taiwan Sumber Journal of ANZMAC Marketing in international and cros cultural environtments Journal of brand management vol 15 no 6:Palgrave Mac Millan ltd 56 5 Simon George (2009) Leveraging brand equity for developing appropriate brand extension strategies tinggi, Pengalaman dari beberapa perusahaan sudah menunjukkan rute yang bijaksana untuk peluncuran produk baru yaitu dengan memperluas merek yang kuat pada kategori produk lain. Final paper T.A. pai management institute manipal Karnataka india Dilihat dari Tabel 2.4 hasil penelitian pendahuluan, terdapat persamaan dan penelitian yang diteliti penulis, yakni: 1. Persamaan Brand extension merupakan suatu strategi dari produk yang memiliki merek yang kuat pada kategori produk baru. Dengan melakukan strategi brand extension diharapkan mampu meningkatkan benefit baik untuk produk induk maupun produk ekstensi. 2. Perbedaan Pada penelitian-penelitian terdahulu umumnya hanya membahas secara umum mengenai strategi brand extension dan secara teoritis penggunaan teori-teori penelitian penunjang yang digunakan berbeda, mengingat referensi yang digunakan juga berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah para peneliti umumnya menggunakan teori brand (merek) sebagai bagian dari Produk yang merupakan salah satu bagian dari marketing mix strategy, sedangkan penulis menggunakan teori brand yang lahir dari strategi pemasaran dan bukan bagian dari produk. Selain itu penulis juga meneliti pengaruh brand extension terhadap brand 57 equity pada produk keseluruhan baik produk induknya maupun produk ekstensinya. Hal ini, menunjukan bahwa orisinalitas penelitian yang dilakukan benar-benar dapat dibuktikan keabsahaannya. 2.2 Kerangka Pemikiran Setiap perusahaan berusaha memperoleh keuntungan dengan cara memproduksi produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. Banyaknya perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang sama menimbulkan adanya persaingan, sehingga mengakibatkan konsumen menjadi semakin selektif dalam memilih produk atau jasa yang ditawarkan. Hal ini mengakibatkan setiap perusahaan harus berusaha menciptakan keunggulan kompetitif agar mampu memenangkan persaingan tersebut. Untuk menciptakan keunggulan kompetitif tersebut setiap perusahaan perlu melakukan strategi pemasaran yang kompetitif dan dapat menciptakan superior customer value dengan mengkombinasikan strategi mempengaruhi pelanggan dari bisnis kedalam suatu himpunan yang dikordinir pada tindakan-tindakan marketdriven. Strategi pemasaran menghubungkan organisasi dengan lingkungan dan pandangan-pandangan pemasaran sebagai suatu tanggung jawab dari bisnis secara keseluruhan. Strategi pemasaran tersebut meliputi proses: market,segments and customer value: designing market-driven strategies: market-driven development program: dan implementing and managing market driven strategies. .(Cravens dan Piercy (2009:13). 58 Marke-driven development program (pengembangan program market-driven) menunjukan pilihan dari strategi pada komponen program pemasaran. Produk, distribusi, harga dan strategi promosi dikombinasikan untuk membentuk strategi positioning pada setiap target pasar. Menurut Cravens dan Piercy (2009:16) strategi program pemasaran untuk mengimplementasikan strategi positioning meliputi: strategic brand management (manajemen strategi merek), value-chain strategy (strategi rantai nilai), pricing strategy (strategi harga), dan promotion strategy (strategi promosi). Strategic brand management merupakan suatu persoalan kunci dari kebanyakan organisasi dan tidak hanya menjadi domain dari kemasan perusahaan barang, sebuah perspektif merek yang strategis mengharuskan para eksekutif untuk memutuskan peran merek pada perusahaan untuk menciptakan customer value dan shareholder value. Strategic brand management bertujuan untuk membangun brand equity secara berkelanjutan yang meliputi: brand identity strategy, managing brand strategy, managing the brand poftofolio, dan leveraging the brand strategy. (Cravens dan Piercy 2009:297) Leveraging the brand (pengembangan merek) menyangkut perluasan identitas merek untuk tambahan baru pada lini produk, atau pada kategori produk baru. Penggunaan nama merek akan berguna untuk mengenalkan produk lain dengan menghubungkan produk baru pada sebuah nama merek yang kuat. Metode-metoda yang dapat dilakukan perusahaan untuk menggunakan nama merek yang kuat adalah 59 dengan melakukan line extension (perluasan lini produk pada kategori produk yang sama), stretching the brand vertically, brand extension (perluasan merek pada kategori produk baru), co-branding (penggunaan nama merek bersama dengan perusahaan lain yang sejenis), dan Licensing (Lisensi). (Cravens dan Piercy 2009:310) Brand extension merupakan salah satu strategi pengembangan merek dalam strategic brand management yaitu dengan menggunakan nama merek yang sudah dikenal oleh konsumen untuk meluncurkan sebuah lini produk baru pada kelas produk yang berbeda. (Cravens dan Piercy 2009:311) Menurut Hem dan Iversen (dalam jurnal Factors influencing Succesfull Brand Extension”; 2001:14), “Brand extension adalah strategi pengembangan merek dengan menggunakan nama merek yang sudah dikenal oleh konsumen untuk meluncurkan produk baru atau produk modifikasi pada kategori produk yang baru”. Pepsodent melakukan brand extension dengan memasuki kategori produk baru yaitu sikat gigi dan obat kumur. Dengan strategi brand extension diharapkan dapat meningkatkan ekuitas mereknya. Menciptakan ekuitas merek dari perluasan merek dapat dilakukan dengan cara meningkatkan awareness dan asosiasi terhadap merek tersebut. (Freddy Rangkuti, 2008:145). Bagi pelanggan, ekuitas merek dapat memberikan nilai dalam memperkuat pemahaman mereka akan proses informasi, memupuk rasa percaya diri dalam pembelian, serta meningkatkan pencapaian kepuasan. Nilai ekuitas merek bagi 60 pemasar/perusahaan dapat mempertinggi keberhasilan program pemasaran dalam memikat konsumen baru atau merangkul konsumen lama. Hal ini dimungkinkan karena dengan merek yang telah dikenal maka promosi yang dilakukan akan lebih efektif. Brand equity menurut Aaker (2008:157) adalah seperangkat aset dan keterpercayaan merek yang terkait dengan merek tertentu, nama dan atau simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa, baik bagi pemasar/perusahaan maupun pelanggan. Konsep brand equity mencakup dua konstruk multi-dimensional yang saling terkait yaitu brand strength dan brand value (Kotler dan Keller, 2009:306). Makna brand equity dapat dikelompokkan ke dalam tiga yaitu brand valuation atau brand value, brand strength atau brand loyalty dan brand image atau brand description. Konsep brand equity mencakup dua konstruk multi-dimensional yang saling terkait yaitu brand strength dan brand value (Kotler&Keller:2007:306). Makna brand equity dapat dikelompokkan ke dalam tiga yaitu brand valuation atau brand value, brand strength atau brand loyalty dan brand image atau brand description. Munurut Aaker (2008:157) Terdapat empat dimensi ekuitas merek, yaitu: pengetahuan akan merek (brand awareness), kualitas yang dipercaya dikandung sebuah merek, asosiasi-asosiasi merek , dan kesetiaan merek (brand loyalty). 61 Proses implementasi keempat tahap ini membutuhkan enam building block utama, yakni: Brand salience, brand performance, brand imagery, brand judgement, brand feelings, dan brand resonance (Keller, 2008:259) Keenam dimensi ekuitas merek dipercaya dapat mempengaruhi ekuitas merek. Ketiga dimensi pertama yaitu pengetahuan akan merek, kualitas yang dipercaya, dan asosiasi-asosiasi dianggap penting dalam proses pemilihan merek, ketiganya dapat mengurangi keinginan atau rangsangan pelanggan untuk mencobacoba merek lain (kesetiaan merek). Brand extension dapat menjadi sebuah penggerak utama pada ekuitas merek sebuah produk jika perluasannya diterima secara positif oleh konsumen, tidak hanya menambah arti sebuah merek pada konsumen tetapi juga dapat meningkatkan loyalitasnya (Rodwell et al dalam jurnal “The Implications for Brand Extension When the Extension is Later Sold: Using Member Perceptions to Investigate Brand Extension”; 2000:1). Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, peneliti selanjutnya menjabarkan ke dalam kerangka pemikiran penelitian agar mempermudah proses penelitian. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8 62 Marketing Strategy Process 1. Market, segments and customer value 2. Designing marketdriven strategies 3. Market -driven program development 4. Implementing and managing market driven strategies Strategic Brand Management Market Driven Program Development 1. Brand Identity Strategy 1. Strategic Brand Management 2. Managing Brand Strategy 2. Value Chain Strategy Brand Laeveraging Strategy 1. Line Extension 2. Strecking The Brand Verticaly 3. Brand Extension 3. Pricing Strategy 3. Managing The Brand Portofolio 4. Promotion Strategy 4. Leveraging The Brand Hem dan Inversen (2001:7) Brand Extension 1. Similarity 2. Reputation 3. Perceived Risk 4. Innovativeness 4. Co Branding 5. Licensing Cravens dan Piercy (2009:310) Cravens dan Piercy (2009:17) Cravens dan Piercy (2009:297) Cravens dan Piercy (2009:14) Brand Equity 1. Brand Salience 2. Brand Performance 3. Brand Imagery Feed Back 4. Brand Judgement 5. Brand Feeling 6. Brand Resonance Keller (2008:295) Keterangan : Diteliti Tidak diteliti Proses Pengaruh Feed Back GAMBAR 2.8 KERANGKA PEMIKIRAN PENGARUH KINERJA BRAND EXTENSION TERHADAP BRAND EQUITY SIKAT GIGI PEPSODENT (Survei pada Konsumen Sikat Gigi Pepsodent di Carrefour Kiaracondong Kota Bandung) 63 Berdasarkan kerangka berpikir diatas, maka paradigma penelitian digambarkan sebagai berikut: Kinerja Brand Extension Brand Equity 1. Brand Salience 1. Similarity 2. Reputation 3. Perceived Risk 2. Brand Performance 3. Brand Imagery 4. Brand Judgement 5. Brand Feeling 4. Innovativeness 6. Brand Resonance GAMBAR 2.9 PARADIGMA PENELITIAN PENGARUH KINERJA BRAND EXTENSION TERHADAP BRAND EQUITY SIKAT GIGI PEPSODENT (Survey pada Konsumen Sikat Gigi Pepsodent di Carrefour Kiaracondong Kota Bandung) 2.3 Hipotesis Menurut Uma Sekaran (2009:135) hipotesis didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji. Hubungan tersebut diperkirakan berdasarkan jaringan asosiasi yang ditetapkan dalam kerangka teoritis yang dirumuskan untuk studi penelitian. Berdasarkan pengertian hipotesis di atas, hipotesis penelitian yang penulis rumuskan adalah: “Terdapat pengaruh antara kinerja strategi brand extension terhadap brand equity Sikat Gigi Pepsodent”