1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejak sekitar tahun 1980 istilah dry cleaning mulai dikenal meluas oleh
masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini terjadi
seiring dengan semakin maraknya model pelayanan jasa binatu modern di kotakota besar. Dry cleaning didefinisikan sebagai cara mencuci pakaian tanpa
menggunakan air. Pada proses dry cleaning digunakan solvent atau cairan khusus
sebagai pengganti air. Pada awal kemunculan dry cleaning, cairan yang digunakan
pada proses dry cleaning antara lain adalah turpentine, gasoline dan benzene.
Cairan-cairan tersebut diketahui mudah terbakar sehingga penggunaannya
kemudian mulai ditinggalkan (Pirsaraei dkk., 2009).
Cairan dry cleaning yang tidak mudah terbakar seperti karbon tetrachloride,
trichloroethylene dan fluorokarbon mulai diperkenalkan sejak tahun 1900.
Perchloroethylene (PCE, tetrachloroethylene) dikenal sejak tahun 1940 dan
hingga saat ini masih digunakan sebagai cairan dry cleaning (Pirsaraei dkk.,
2009). Perchloroethylene sering digunakan karena memiliki banyak keunggulan
antara lain aman untuk pakaian, tidak meninggalkan bau, bahan stabil dalam
penggunaan, mudah dihilangkan dari pakaian, tidak korosif pada mesin dan
efektif mengangkat noda (Newcombe, 2000).
Rongga mulut merupakan bagian anatomi penting yang berperan dalam
berbagai fungsi fisiologis seperti digesti, respirasi, dan fungsi bicara. Rongga
mulut terhubung dengan rongga hidung sebagai jalur respirasi (Vishal dan
1
2
Bonvertre, 2010). Rongga mulut dan saluran pernafasan menjadi jalan masuk
substansi dari luar tubuh. Substansi tersebut terdiri dari substansi toksik maupun
non-toksik. Hal ini menyebabkan rongga mulut lebih mudah mengalami
perubahan patologis. Perubahan patologis tersebut dapat diamati salah satunya
pada sel-sel epitel mukosa bukal rongga mulut karena sel epitel ini sangat
responsif terhadap kondisi sistemik serta memiliki kecepatan turnover yang tinggi
(Borthakur dkk., 2008).
Deposisi partikel melalui inhalasi merupakan rute utama masuknya bahan
kimia dari luar tubuh, termasuk perchloroethylene (Morton & Richard, 1995).
Deposisi partikel, terutama pada saluran pernapasan, bergantung pada ukuran,
bentuk dan densitas partikel. Perchloroethylene memiliki rumus kimia C2Cl4
dengan berat molekul 165,83 g/mol, bersifat tidak larut dalam air, tidak berwarna,
tidak mudah terbakar dan berbau seperti eter (Cheremisinoff, 2003). Inhalasi
merupakan rute utama masuknya senyawa ini kedalam tubuh manusia karena
besarnya emisi udara yang dilepaskan. Besarnya emisi udara oleh senyawa ini
terjadi karena sifat volatilitasnya yang tinggi (Menke dkk., 1995).
Pekerja dry cleaning
merupakan kelompok yang rentan terhadap paparan
perchloroethylene baik melalui inhalasi maupun ingesti. Perchloroethylene juga
dapat secara cepat diabsorbsi oleh kulit (NRC, 2010). Inhalasi bahan tersebut
dapat menyebabkan depresi sistem saraf pusat dengan berbagai gejala seperti
penurunan kesadaran, pusing, sakit kepala, dan gangguan penglihatan. Paparan
perchloroethylene juga dapat menyebabkan iritasi mata, hidung, dan tenggorokan
serta gangguan gastrointestinal seperti mual dan muntah. Efek fisik-psikologis
3
yang ditimbulkan oleh paparan perchloroethylene meliputi fatique, anorexia,
iritabilitas, kerusakan memori, dan confusion. Kontak langsung cairan
perchloroethylene dengan kulit mengakibatkan eritema, sindrom terbakar, dan
vesikulasi (Pirsaraei dkk., 2009).
International Agency for Research on Cancer (IARC) mengategorikan
perchloroethylene sebagai substansi karsinogenik pada hewan dan mungkin
karsinogenik bagi manusia (grup 2A). Grup 2A merupakan kategori untuk bahanbahan yang terbukti bersifat karsinogenik pada hewan coba namun penelitian pada
manusia masih terbatas (WHO, 2006). Paparan perchloroethylene pada tikus
mengakibatkan terjadinya kanker hati dan ginjal. Pada manusia yang terpapar
bahan tersebut dapat meningkatkan terjadinya kanker esofagus (Anttila dkk.,
1995; Blair dkk., 2003), kanker servik (Anttila dkk., 1995; Blair dkk., 2003;
Ruder dkk., 2001) dan non-Hodgkin’s Limphoma (Anttila dkk., 1995; Blair dkk.,
200; Spirtas dkk., 1991). Penelitian Everatt dkk (2013) menyebutkan bahwa
paparan perchloroethylene meningkatkan jumlah mikronukleus sel limfosit perifer
pada kelompok terpapar yaitu pekerja dry cleaning. Penelitian yang dilakukan
oleh Tucker (2011) pada pekerja dry cleaning yang menyebutkan bahwa paparan
perchloroethylene dapat menyebabkan kerusakan DNA secara transient.
Penanda sitogenetik seperti aberasi kromosom, perubahan sister kromatid dan
mikronukleus merupakan indikator sensitif terhadap kerusakan genetik.
Mikronukleus adalah inti sel tambahan yang berukuran kurang dari 1/3 inti sel
utama dalam sitoplasma yang sama. Mikronukleus berasal dari fragmen asentrik
maupun kromosom yang tertinggal pada waktu sel melakukan mitosis sebagai
4
akibat kerusakan atau cacat pada benang kromosom (Fareed dkk., 2011).
Mikronukleus pada awalnya terdeteksi pada lapisan basal sel epitel karena karena
lapisan tersebut merupakan lapisan yang aktif melakukan pembelahan. Sel epitel
mukosa bukal rongga mulut memiliki kecepatan turn over tinggi yaitu 3-8 hari
sehingga sel-sel yang terdapat mikronukleus akan berdiferensiasi dan bermigrasi
ke lapisan diatasnya. Sel–sel epitel bermikronukleus pada akhirnya dapat terambil
oleh cytobrush dan dapat diamati dengan mikroskop (Holland dkk., 2008; Wen
dan Park 2010). Evaluasi mikronukleus merupakan teknik yang sering digunakan
untuk mendeteksi kerusakan kromosom atau gangguan pada mitosis yang
dikaitkan dengan peningkatan resiko kanker (Sellapa dkk., 2009).
Pemeriksaan mikronukleus pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut
merupakan metode deteksi kerusakan DNA yang non-invasif pada manusia.
Pengumpulan sel epitel bukal rongga mulut dilakukan mengunakan cytobrush. Sel
hasil eksfoliasi epitel bukal rongga mulut kemudian dicat menggunakan
modifikasi metode Feulgen-Rossenbeck dan dilakukan pengamatan kuantitatif
dibawah mikroskop dengan menghitung sel dengan frekuensi mikronukleus pada
sel epitel yang diamati (Holland dkk., 2008).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut timbul permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana efek paparan perchloroethylene terhadap frekuensi mikronukleus
pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut pekerja dry cleaning di
Yogyakarta?
5
2.
Bagaimana efek durasi waktu paparan perchloroethylene terhadap frekuensi
mikronukleus pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut pekerja dry
cleaning di Yogyakarta?
C. Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan Everatt, dkk (2013) pada limfosit perifer
menunjukkan peningkatan frekuensi mikronukleus pada pekerja dry cleaning
yang terpapar perchloroethylene. Penelitian frekuensi mikronukleus sel epitel
mukosa bukal rongga mulut pada pekerja dry cleaning di Yogyakarta sejauh
penulis ketahui belum pernah dilaporkan.
D. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui efek paparan perchloroethylene terhadap frekuensi
mikronukleus pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut pekerja dry
cleaning di Yogyakarta.
2.
Untuk mengetahui efek durasi waktu paparan perchloroethylene terhadap
frekuensi mikronukleus pada sel epitel mukosa bukal rongga mulut pekerja
dry cleaning di Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi alternatif deteksi kerusakan genetik akibat paparan
bahan kimia (perchloroethylene) pada tubuh manusia melalui perubahan
struktur biologi rongga mulut (sel epitel mukosa bukal).
2.
Menjadi bekal pembelajaran bagi dokter gigi untuk mendeteksi secara dini
penyakit rongga mulut berdasarkan analisis frekuensi mikronukleus pada sel
epitel mukosa bukal rongga mulut.
Download