Defisit Kebijakan Lebih Berbahaya NUT / Kompas Images Senin, 11 Februari 2008 | 02:50 WIB OLEH : FAISAL BASRI Pemerintah sedang mengutik-utik kembali asumsi-asumsi APBN 2008 walaupun pelaksanaannya belum genap dua bulan. Menteri Keuangan mengindikasikan akan merombak secara drastis semua asumsi tersebut. Sebetulnya bukan asumsi harga minyak yang paling krusial. Walaupun asumsi harga minyak 60 dollar AS per barrel di dalam APBN 2008 sangat tidak realistis, realisasi harga minyak sampai 30 dollar AS di atas asumsi sekalipun tidak akan membahayakan APBN karena dampak neto terhadap defisit APBN tak akan mencapai Rp 2 triliun. Untuk mengamankan APBN, pemerintah sepatutnya mengutamakan pengamanan lifting minyak. Asumsi lifting minyak diturunkan dari 1,034 juta barrel menjadi 950.000 barrel per hari. Peningkatan defisit APBN yang diakibatkan penurunan lifting minyak, bisa dikompensasikan peningkatan efisiensi Pertamina 50 persen, dan kenaikan harga premium Rp 500 per liter. Sangat keterlaluan kalau ongkos produksi (cost of production) Pertamina, yang dihitung berdasarkan cost recovery per barrel produksi, mencapai 36 dollar AS pada 2007. Chevron hanya 6,8 dollar AS. Kalau mau serius menyehatkan APBN, langkah pertama yang harus ditempuh adalah mereformasi total manajemen Pertamina dan menjauhkan perusahaan ini dari pemburu rente. Kenaikan harga premium Rp 500, atau 11 persen, merupakan biaya politik yang harus dibayar pemerintah agar penanganan BBM tidak semakin semrawut. Untuk sementara, jangan membuat kebijakan pembatasan pasokan, seperti penggunaan smart card atau bentuk pembatasan lainnya, karena niscaya akan menimbulkan piuh (distortions) baru. Jangan setiap masalah diatasi dengan membuka peluang menciptakan proyek baru yang tak mendesak. Jika pemerintah menghindari ongkos politik ini, sangat boleh jadi beban politik di kemudian hari akan jauh lebih besar. Negarawan sejati bukanlah yang selalu menghindari risiko, melainkan berani menghadapi risiko dengan kepiawaian mengelolanya agar terbuka ruang lebih lebar bagi perbaikan lebih mendasar. Asumsi yang harus dikoreksi secara radikal, pertumbuhan produk domestik bruto. Angka pertumbuhan cukup realistis ialah 6 persen plus minus 0,2 persen. Sekalipun relatif lebih rendah dari asumsi APBN 2008 sebesar 6,8 persen, pemerintah mampu mengonsolidasi fiskal dengan meningkatkan nisbah pajak (tax ratio), terutama mendorong kepatuhan membayar pajak. Pemerintah jangan sekadar mengamankan stabilisasi makroekonomi jangka pendek, seraya menafikan penguatan landasan pertumbuhan berkelanjutan. Titik berat pada perbaikan kualitas pertumbuhan makin relevan untuk menjawab permasalahan kini. Untuk meredam laju inflasi, penyelesaian tak boleh sekadar menggelontorkan subsidi harga. Jika ini yang ditempuh, sama saja menciptakan perangkap baru, yang kian membelenggu APBN di kemudian hari. Langkah paling jitu bukannya mengutamakan kelancaran pasokan sekalipun dengan membuka keran impor lebar-lebar. Apalagi dengan menerabas pakem yang mengikis kedaulatan pangan, seperti membebaskan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia atas produk impor, serta kebijakan yang menyudutkan produk lokal. Di tengah ancaman kemerosotan perekonomian dunia, setiap negara berupaya mengamankan produksi dalam negeri dan pasar domestiknya. Kebijakan ala neoliberal bisa menggerogoti kedaulatan pangan kita. Cadangan devisa kita yang ”melimpah” tak akan dapat dimanfaatkan untuk mengimpor beras, misalnya, kalau stok beras yang diperdagangkan di pasar internasional sangat tipis. Tengok kasus Vietnam, yang sekalipun produsen beras terbesar kedua di dunia, sudah mengimpor beras 150.000 ton untuk mengantisipasi krisis pangan. Sebaliknya, kita membusungkan dada dengan menyatakan tahun 2008 tidak akan mengimpor beras. Bakal jadi apa kalau nanti, pada paruh kedua 2008, kita baru menyadari bahwa prediksi kecukupan beras hanya isapan jempol, sama seperti nasib asumsi APBN yang semua meleset. Bukankah cara terbaik mengantisipasi krisis pangan dengan mengalokasikan setidaknya separuh dari subsidi harga pangan bagi peningkatan produksi dan produktivitas. Sudah saatnya pemerintah merangkul berbagai keberhasilan menakjubkan di tingkat lokal, yang telah terbukti berhasil meningkatkan produksi dan produktivitas pangan, hortikultura, perikanan, dan peternakan. Alih-alih membantu pengembangan potensi lokal, pemerintah justru menggalakkan impor benih hibrida. Lagi-lagi, kita menyaksikan perilaku aji mumpung di kalangan elite penguasa, yang mendulang rente di tengah kesulitan yang menerpa bangsa. Cara-cara pemerintah menjawab permasalahan ekonomi terkini terkesan makin jauh api dari panggang. Jika berlanjut, kita bakal celaka. Defisit kebijakan lebih berbahaya daripada defisit APBN.