BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama beberapa dekade terakhir, manajemen laba seolah-olah telah menjadi budaya perusahaan yang umum dipraktikkan perusahaan-perusahaan di dunia terutama di Indonesia. (Sulistyanto, 2008). Salah satu kasus yang terjadi adalah kasus PT Katarina Utama yang melakukan manajemen laba menjelang Initial Public Offering (IPO). Dalam Fitriyani (2014) BEI meloloskan IPO PT Katarina Utama Tbk yang menghimpun dana masyarakat sebanyak puluhan miliar, namun akhirnya dana tersebut hanya digunakan untuk keperluan pribadi direksi. PT Katarina Tbk melakukan IPO pada tanggal 14 Juli 2009 dengan nilai yang berhasil dikumpulkan sebanyak Rp. 33,6 miliar namun dana tersebut bukan untuk menunjang operasional perusahaan. Laporan keuangan perseroan per desember 2008 yang digunakan sebagai dokumen prasyarat IPO terdapat indikasi adanya pemalsuan. Angka-angka pada laporan posisi keuangan 2008 terindikasi mengandung unsur rekayasa. Nilai aset perseroan memang terlihat naik hampir 10 kali lipat dari Rp. 7,9 miliar pada 2007 menjadi Rp. 76 miliar pada 2008. Adapun ekuitas perseroan tercatat naik 16 kali lipat menjadi Rp. 64,3 miliar dari Rp. 4,49 miliar. Pada tahun 2010 jumlah aset terlihat menyusut drastis dari 105,1 miliar pada 2009 menjadi 26,8 miliar. Ekuitas anjlok dari Rp. 97,96 miliar menjadi Rp. 20,43 miliar. Akibat hal ini saham PT Katarina Tbk mengalami force delisting karena tidak jelas kelangsungan usahanya. Pihak manajemen melakukan hal tersebut mungkin didasari keinginan untuk memenuhi tujuan pribadi mereka sendiri dan/atau untuk memanfaatkan insentif tersebut terkait dengan penggunaan dasar akrual dalam penyusunan laporan keuangan (Ball dan Shivakumar, 2006). Manajemen laba dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam penggunaan dasar akrual oleh pihak manajemen disaat penyusunan laporan keuangan sehingga manajer dapat mengatur laba dengan cara menaikkan, menurunkan, atau meratakan laba. Manajemen laba juga muncul sebagai dampak dari masalah keagenan yang terjadi karena adanya ketidakselarasan kepentingan antara pemegang saham (prinsipal) dan manajemen perusahaan (agen). Konflik ini terjadi karena investor tidak dapat mengawasi aktivitas manajemen sehari-hari untuk memastikan bahwa pihak manajemen sudah bertindak sesuai dengan keinginan investor. Hal ini menyebabkan pihak manajemen lebih banyak memiliki informasi mengenai lingkungan dan kondisi perusahaan sehingga seringkali terjadi asimetri informasi antara manajemen dan investor (Utari, 2001). Manajemen laba tidak langsung diamati. Berbagai model telah dikembangkan untuk mengukur itu. Secara umum, model ini didasarkan pada akrual yaitu perbedaan antara laba yang dilaporkan dan arus kas dari operasi. Total akrual dapat didekomposisi menjadi komponen aset lancar dan aset tidak lancar (Gioielli dan Carvalho, 2008). Manajemen melakukan manajemen laba melalui manipulasi laporan keuangan dengan memanfaatkan kebijakan-kebijakan akuntansi atau yang sering dikenal dengan manjemen laba aktivitas akrual. Manajemen laba aktivitas akrual adalah manipulasi yang dilakukan dengan memanfaatkan akrual yang ada dilaporan keuangan dengan mengurangi atau memperbesar laba yang dilaporkan yang sering dikenal dengan diskresioner akrual. Diskresioner akrual dilakukan manajemen dengan adanya niat bukan karena kondisi perubahan perusahaan yang menghendaki terjadinya perubahaan kebijakan akuntansi (Wibisono, 2003). Manajemen laba akrual dilakukan pada akhir periode ketika manajer mengetahui laba sebelum direkayasa sehingga dapat mengetahui berapa besar manipulasi yang diperlukan agar target laba tercapai (Fitriyani, Prasetyo, Mirdah dan Putri, 2012). Keyakinan akan menerima imbalan atas tindakan atau upaya yang dilakukan menjadi motivasi manajemen dalam melakukan manajemen laba. Scott (2009) mengemukakan berbagai motivasi terjadinya manajemen laba salah satunya adalah IPO. Motivasi untuk memanfaatkan kegiatan IPO menjadi pemicu dari munculnya manajemen laba sebagai sebuah kondisi asimetri informasi dalam rangka mendapatkan harga saham perdana yang tinggi. Selain itu, perusahaan terdorong untuk melakukan manajemen laba adalah karena perusahaan berusaha untuk meningkatkan penjualan saham, menurunkan tingkat pajak, mendapatkan bonus. Pada saat perusahaan pertama kali menawarkan saham umumnya ke publik, terdapat ketidakseimbangan informasi yang tinggi antara investor dengan perusahaan yang menawarkan saham (Kusumarwadhani dan Siregar, 2009). IPO merupakan langkah awal bagi perusahaan sebelum berubah status menjadi perusahaan go public (Dewi, 2013). IPO merupakan salah satu alternatif pembiayaan dari luar perusahaan yang dapat digunakan oleh perusahaan yaitu dengan melakukan penerbitan saham baru untuk dijual di pasar perdana sebelum diperdagangkan di pasar sekunder (bursa efek). IPO merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam rangka penawaran umum penjualan saham perdana (Bringham dan Daves, 2004). Artinya untuk pertama kalinya suatu perusahaan menjual atau menawarkan sahamnya kepada publik di pasar modal. (Gumanti, 2001) Suatu perusahaan memutuskan untuk melakukan go public karena sebagian besar orang masih menganggap bahwa IPO merupakan salah satu cara termudah dan termurah bagi perusahaan dalam memenuhi kebutuhan dananya (capital need) untuk investasi sebagai konsekuensi dari semakin besarnya atau berkembangnya perusahaan. Hal tersebut menjadi motivasi perusahaan dimana manajemen tertarik dan berupaya untuk melakukan praktik manajemen laba yang diduga dapat menarik investor untuk berinvestasi dengan resiko yang seminimal mungkin. (Premti, 2013) Rao (1993) dalam Kusumarwadhani dan Siregar (2009) menyatakan bahwa pada periode sebelum terjadinya IPO hampir tidak ada pemberitaan apapun mengenai perusahaan yang bersangkutan baik di media masa maupun media elektronik. Adanya keterbatasan informasi yang dimiliki para investor mengharuskan mereka untuk mengandalkan laporan keuangan yang ada untuk melakukan penilaian atas kinerja emiten sebelum IPO dan juga menilai kemungkinan terjadinya manajemen laba. Manajer dapat menyusun laporan keuangan dengan memilih metode akuntansi atau akrual yang akan meningkatkan laba, dan laba yang tinggi diharapkan akan dihargai tinggi oleh investor berupa harga penawaran yang tinggi (Assih, Hastuti dan Parawiyati, 2005). Sebelum menawarkan sahamnya manajemen harus menjelaskan kondisi perusahaan secara menyeluruh. Hal ini dilakukan dengan menerbitkan prospektus perusahaan yang didalamnya terdapat informasi menyeluruh tentang perusahaan mulai dari penawaran umum, kegiatan dan prospek perusahaan, sudut pandang hukum tentang perusahaan, laporan keuangan lengkap perusahaan hingga penyebarluasan prospektus dan formulir pemesanan saham (Irawan dan Gumanti, 2008). Prospektus merupakan syarat wajib untuk suatu perusahaan yang hendak melakukan IPO. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Setelah perusahaan melakukan IPO dan terdaftar di Bursa Efek, setiap akhir periode perusahaan diharuskan untuk melaporkan atau menerbitkan laporan keuangan tahunan yang berkualitas kepada pihak-pihak yang membutuhkan (publik). Karena laporan keuangan tersebut merupakan media yang diperlukan untuk pertanggungjawaban manajemen terhadap para investor dan perhatian investor lebih sering terpusat pada informasi laba. Sehingga hal tersebut memicu manajemen untuk melakukan manajemen laba untuk menghasilkan laba yang dianggap normal untuk suatu perusahaan (Bartov, 1993 dalam Wahyuningsih, 2007). Karena laba merupakan ukuran yang merangkum kinerja operasional perusahaan yang disusun berdasarkan basis akrual (Kusumarwadhani dan Siregar 2009). Kemahiran dan pengetahuan manajer dalam bisnis berfungsi sebagai kunci bahwa laporan keuangan yang disajikan handal dan akan membantu para pengguna laporan dalam pengambilan keputusan (Banderlipe II, 2009). Investor cenderung akan melihat laporan keuangan sebagai kemampuan perusahaan dalam meningkatkan usahanya juga untuk mengetahui apakah investasi dalam perusahaan dapat menghasilkan tingkat pengembalian atau return yang tinggi (Nuwa, 2004). Harga saham mencerminkan kesepakatan, dimana pembeli setuju untuk membeli dan penjual setuju untuk menjualnya. Ini menyebabkan harga saham cenderung berfluktuasi. Pergerakan harga saham yang terus-menerus berubah membuat investor perlu melakukan analisis dalam memutuskan untuk berinvestasi. Informasi laba di diterbitkan keuangan laporan adalah salah satu kunci bagi investor dalam melakukan keputusan investasi. Informasi laba di perusahaan yang melakukan manajemen laba dapat menyebabkan investor mengambil keputusan investasi yang salah. Adanya indikasi manajemen laba dalam perusahaan menunjukkan meningkatnya risiko dan menyebabkan pengembalian yang lebih rendah dari saham yang akan diterima oleh investor (Nuryaman, 2013) Sebelum investor mengambil keputusan untuk melakukan suatu investasi, investor akan melakukan penilaian kinerja perusahaan dalam memperkirakan tingkat return saham yang akan didapat. (Krisna dan Wirasedana, 2015) Return (kembalian) adalah tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemodal atas suatu investasi yang dilakukannya (Ardyanto, 2005). Hubungan laba dengan return saham sangat tergantung pada laba yang dilaporkan manajemen. Hubungan tersebut cenderung non-linear untuk perusahaan yang melakukan manajemen laba. Koefisien respon return saham terhadap perusahaan yang melakukan manajemen laba lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan manajemen laba. (Sankar, 1997 dalam Saiful, 2004) Sebelum IPO, institusi pemegang saham nampaknya sangat berperan dalam mengantisipasi tindakan manajemen laba yang dilakukan manajer karena hal ini didasarkan pada teori keagenan, bahwa untuk mengatasi masalah ketidakselarasan kepentingan antara principal dan agent dapat dilakukan melalui pengelolaan perusahaan yang baik, diantaranya adalah pengawasan dari pemegang saham institusi (Jimbalvo dalam Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional dinilai dapat mengurangi praktek manajemen laba karena manajemen menganggap institusional sebagai sophisticated investor dapat memonitor manajemen yang dampaknya akan mengurangi motivasi manajer untuk melakukan manajemen laba (Siregar dan Utama, 2005). Selain itu Investor institusional merupakan investor yang canggih atau investor yang cerdas (sophisticated) yang lebih dapat menggunakan informasi periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibandingkan dengan investor non institusional (Balsam et al, 2002). Menurut Osagie, et al (2005) kepemilikan institusional yang tinggi memiliki harga saham yang lebih tinggi daripada mereka yang kurang kepemilikan institusional. Bahkan perusahaan kecil dengan kepemilikan institusional yang tinggi memiliki harga saham yang lebih tinggi. Akibatnya, persepsi adalah bahwa kepemilikan institusional yang tinggi menunjukkan nilai yang baik. Adanya kepemilikan institusional di suatu perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan agar lebih optimal terhadap kinerja manajemen. Pengaruh investor institusional terhadap manajemen perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen dengan pemegang saham. Beberapa penelitian menemukan bahwa perusahaan melakukan manajemen laba disekitar IPO. Kaitan antara manajemen laba dan return saham telah diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian Joni dan Jogiyanto (2009) menemukan bahwa manajemen laba perioda 2 tahun sebelum IPO berhubungan dengan return saham dengan menggunakan kecerdasan investor sebagai pemoderasi. Koefisien hubungan manajemen laba dengan return saham yang mempertimbangkan faktor kecerdasan investor bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen laba yang tinggi menyebabkan nilai harga saham rendah ketika mempertimbangkan faktor kecerdasan investor. Akan tetapi pada penelitian Ardiati (2005) menemukan bahwa manajemen laba berpengaruh positif terhadap return saham dengan menggunakan kualitas audit sebagai pemoderasi. Hasil serupa juga ditemukan pada penelitian Widiastuty dalam Ferdiansyah dan Purnamasari (2012) yang menemukan bahwa manajemen laba berhubungan positif terhadap return saham dengan menggunakan leverage dan unexpected earnings sebagai variabel kontrol. Hasil lainnya yaitu pada penelitian Raharjono dalam Ferdiansyah dan Purnamasari (2012) yang menemukan bukti tidak adanya hubungan antara manajemen laba sebelum IPO dengan return saham. Berdasarkan ketidakkonsistean hasil penelitian sebelumnya, peneliti ingin melakukan penelitian pengaruh manajemen laba sebelum IPO terhadap return saham dengan menambahkan variabel moderasi yaitu kepemilikan institusional. Selain itu penelitian ini menggunakan proksi Modified Jones Model sebagai proksi pengukuran manajemen laba dan pengukuran pengaruh kepemilikan institusional dengan cut off ≥ 60% karena lebih tepat untuk kondisi pasar modal Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang, adapun rumusan masalah yang dapat dirumuskan adalah: 1. Bagaimana manajemen laba menjelang IPO berpengaruh terhadap return saham pada perusahaan yang terdaftar di BEI? 2. Bagaimana manajemen laba menjelang IPO berpengaruh terhadap return saham dengan kepemilikan institusional sebagai pemoderasi pada perusahaan yang terdaftar di BEI? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh manajemen laba menjelang IPO terhadap return saham pada perusahaan yang terdaftar di BEI. 2. Untuk mengetahui pengaruh manajemen laba menjelang IPO terhadap return saham dengan kepemilikan institusional sebagai pemoderasi pada perusahaan yang terdaftar di BEI. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Kegunaan Teoritis a. Menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih luas mengenai pasar modal dan memberikan variasi hasil tentang pengukuran manajemen laba dalam laporan keuangan sesuai dengan penerapan teori-teori yang ada pada saat ini sehingga dapat menilai kualitas laporan keuangan perusahaan. b. Dijadikan perbandingan dan penyempurnaan dari penelitianpenelitian terdahulu. Selain itu, diharapkan dapat memberikan tambahan literatur dan pertimbangan pada penelitian yang akan datang tentang pasar modal khususnya manajemen laba menjelang IPO. 2) Kegunaan Praktis Sebagai pertimbangan bagi pelaku pasar modal dalam mengambil keputusan investasi pada perusahaan yang melakukan IPO. 1.5 Sistematika Penulisan Sebagai arahan dalam memahami skripsi ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan Bab ini menguraikan latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : Kajian Pustaka dan Hipotesis Penelitian Bab ini mencakup mengenai teori atau konsep-konsep yang relevan antara manajemen laba menjelang IPO, return saham dan kepemilikan institusional, hasil penelitian terdahulu dan hipotesis penelitian. Bab III : Metode Penelitian Bab ini menguraikan desain penelitian, lokasi atau ruang lingkup wilayah penelitian, obyek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, populasi dan sampel, metode penentuan sampel, metode pengumpulan data dan teknik analisis data yang digunakan. Bab IV : Pembahasan Hasil Penelitian Pada bab ini diuraikan mengenai data amatan, hasil uji asumsi klasik, deskripsi statistik, hasil uji model fit dan hasil uji hipotesis baik pengaruh parsial maupun moderasi. Bab V : Simpulan dan Saran Bab ini menguraikan simpulan dari keseluruhan hasil penelitian dan disertakan pula saran-saran yang diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan. dapat