BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi anak menurut undang-undang Undang-undang no 23 tahun 2012 telah dijelaskan mengenai definisi anak. Yang dimaksud dengan anak dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam Kandungan. Definisi anak menurut World Health Organization (WHO) adalah batasan usia anak dimulai dari masa kandungan sampai berusia 19 tahun (Undang-undang RI no 23 tahun 2002; Depkes,2013) 2.2. Anatomi dan Fisiologi Iris dan Korpus siliaris 2.2.1. Iris Lapisan iris berdasarkan histologi : • Anterior limiting membran • Stroma iris • Otot sfingter iris • Otot dilator iris • Epitel pigmen anterior • Epitel pigmen posterior Iris berfungsi untuk mengatur jumlah cahaya yang masuk dan dipersarafi oleh susunan saraf otonom. Ukuran iris di kontrol oleh sfingter iris dan iris dilator. Sfingter iris terdiri dari serat otot sirkular sementara iris dilator terdiri dari serat otot radial. Sfingter iris dipersarafi oleh sistem saraf parasimpatis dan iris dilator Universitas Sumatera Utara dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. (Shirzadi K, Amirdehi R.A., Makateb A., Sharaki K., Khosravifard K., 2015) 2.2.2. Korpus siliaris Korpus siliaris adalah jaringan berbentuk cincin di dalam mata yang membagi ruang posterior dari corpus vitreum. Korpus siliaris melekat pada scleral spur dan pada lensa dengan jaringan ikat yang disebut serat zonula. Relaksasi dari otot siliaris mengubah bentuk lensa dalam memfokuskan cahaya pada retina. Bagian anterior korpus siliaris adalah lipatan pada epitel siliaris (processus ciliaris) yang menghasilkan akuos humor. Bagian posterior korpus siliaris adalah pars plana yang berhubungan dengan koroid di ora serrata. (lang, 2007) Gambar 1. Anatomi Korpus siliaris. (Injurydate, 2014) Korpus siliaris memiliki tiga fungsi yaitu akomodasi, produksi akuos humor dan menjaga posisi lensa. Akomodasi terjadi saat kontraksi otot siliaris sehingga lensa menjadi lebih cembung yang dapat meningkatkan fokus untuk objek yang dekat. Ketika otot siliaris relaksasi, lensa menjadi lebih datar dan meningkatkan fokus untuk objek yang jauh. Korpus siliaris (processus ciliaris) menghasilkan akuos humor, yang bertanggung jawab untuk menyediakan oksigen, nutrisi, dan pembuangan sampah metabolisme untuk lensa dan kornea, yang tidak menerima Universitas Sumatera Utara suplai darah. Delapan puluh persen dari produksi akuos humor dilakukan melalui mekanisme sekresi aktif (enzim Na + K + ATPase menciptakan gradien osmotik untuk lewatnya air ke ruang posterior) dan dua puluh persen dihasilkan melalui ultrafiltrasi dari plasma. Korpus siliaris menjaga posisi lensa melalui serat zonula yang membentuk ligamentum suspensorium lensa. Ligamentum suspensorium lensa memberikan perlekatan yang kuat antara otot siliaris dengan kapsul lensa. (Moore K.L., Dalley A.F., 2006) Persarafan korpus siliaris diatur oleh susunan saraf otonom. Persarafan parasimpatis presinaptik yang berasal dari inti Edinger-Westphal dibawa oleh saraf kranial ketiga (saraf oklumotor) dan berjalan melalui ganglion siliaris. Aktivasi parasimpatis dari M3 reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot siliaris sehingga diameter cincin otot siliaris berkurang dan terjadi akomodasi pada mata. Korpus siliaris juga menerima persarafan simpatis melalui long ciliary nerve. (Moore K.L., Dalley A.F., 2006) Gambar 2. Perjalanan saraf simpatis dari saraf siliaris. (Moore K.L., Dalley A.F., 2006) Universitas Sumatera Utara 2.3. Tekanan Intraokular 2.3.1. Definisi Tekanan intraokular adalah tekanan yang dihasilkan oleh jaringan yang berada di intraokular. Tekanan intraokular ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah akuos humor dan pengaliran akuos humor keluar dari intraokular. Dengan persamaan Goldmann, yaitu Po = (F / C) + Pv ; Po adalah tekanan intraokular dalam milimeter merkuri (mmHg), F adalah tingkat pembentukan akuos humor, C adalah kemampuan outflow aqueous humor, dan Pv adalah tekanan vena episklera. (AAO, 2008) Studi epidemiologi berdasarkan populasi menunjukkan rata-rata tekanan intraokular 15,5 mmHg, dengan standar deviasi 2,6 mmHg. Rentang tekanan intraokular dapat dikatakan normal dengan 2 standar deviasi diatas dan dibawah rata-rata tekanan intraokular yaitu 10-21 mmHg. (AAO,2008) 2.3.2. Dinamika Akuos Humor Akuos humor dihasilkan oleh korpus siliaris untuk memberikan oksigen dan glukosa kepada lensa yang avaskular dan kornea. Produksi akuos humor didominasi oleh mekanisme aktif (80%); enzim NaþKþATPase menciptakan gradien osmotik untuk lewatnya air ke ruang posterior, produksi akuos humor dapat berkurang jika terjadi penurunan aliran darah ke korpus siliaris. Sebuah jalur yang lebih kecil untuk produksi Akuos humor (20%) adalah melalui ultrafiltrasi plasma. Tingkat filtrasi dipengaruhi oleh tekanan darah dalam kapiler korpus siliaris, tekanan onkotik plasma dan tekanan intraokular. (Murgatroyd dan Bembridge, 2012) Universitas Sumatera Utara Akuos humor yang dihasilkan mengalir dari posterior chamber menuju anterior chamber melalui iris kemudian mengalir keluar melalui dua mekanisme. Mekanisme yang pertama melalui trabecular meshwork dan canalis schlemm di sudut antara kornea dan iris yang merupakan jalur penyerapan yang lebih dominan. Akuos humor melewati trabecular meshwork dan memasuki sel-sel dinding canalis schlemm. Kanal berhubungan langsung dengan tekanan vena episklera sehingga penyerapan melalui jalur ini sangat bergantung dengan tekanan vena episklera. Mekanisme yang kedua melalui jalur uveoscleral dimana penyerapan akuos humor sekitar 20%. Pada jalur uveoscleral, ultrafiltrasi yang terjadi mengandalkan gradien dari ruang anterior chamber terhadap interstitium dari sklera. (Murgatroyd dan Bembridge, 2012) Gambar 3. Produksi dan aliran akuos humor pada mata. (Murgatroyd, Bembridge, 2012) Universitas Sumatera Utara Aliran akuos humor memiliki ritme sirkadian yang khas, yang lebih rendah pada malam hari dibandingkan siang hari. Pengaliran akuos humor pada mata manusia yang sehat adalah 0,1-0,4 mL/Menit/mmHg. Tekanan vena episklera pada manusia yang sehat adalah 8-10 mmHg. (Sajja dan Vemapti, 2013) 2.3.3. Teknik Pemeriksaan Tekanan Intraokular 2.3.3.1 Tonometer Aplanasi Goldmann Pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometer aplanasi Goldmann sudah dilakukan sejak tahun 1950 dan menjadi standar referensi pemeriksaan tekanan intraokular. Pemeriksaan ini dilakukan dengan kontak langsung antara ujung tonometer (tip tonometri) dengan kornea yang sebelumnya di beri anestesi lokal dalam bentuk obat tetes dan pemberian fluorescein pada mata yang akan dilakukan pemeriksaan. Menentukan tekanan intraokular pada metode ini, saat gambaran dari dua setengah lingkaran saling kontak (saling berhubungan). (Townsend N.A., Mcsoley J.J., 2015) 2.3.3.2. Tonometer Non Kontak (noncontact air-puff tonometers) Tonometer non kontak menggunakan hantaran udara terhadap kornea sehingga efek dari udara meratakan kornea menghasilkan nilai tekanan intraokular. Pemeriksaan dengan alat ini mudah dilakukan pada orang dewasa terutama pada anak-anak. Pemeriksaan tidak menggunakan anestesi lokal sebelum pemeriksaan sehingga sangat nyaman dilakukan pada anak-anak. Penelitian Moseley mendapatkan hasil pemeriksaan tekanan intraokular antara tonometer non kontak dengan tonometri aplanasi Goldmann tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tonometer non kontak juga memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 95% terhadap Universitas Sumatera Utara kriteria skrining tonometer aplanasi Goldmann (>21 mmHg). (Moseley M.J. et al,1989) Gambar 4. Tonometri non kontak (schairer,2009) 2.3.4. Fluktuasi Tekanan Intraokular Fluktuasi tekanan intraokular saat diurnal maupun nokturnal bergantung pada kadar hormon dalam tubuh seperti kortisol di plasma, kontrol otonom pada pengaturan outflow dari akuos humor, faktor mekanik (kontraksi otot siliaris, perubahan dalam berkedip), peningkatan tekanan darah sistemik. (Sajja dan Vemapti, 2013) Ericson (1958) dalam penelitiannya menunjukkan tekanan intraokular tertinggi pada pagi hari (jam 8 pagi) dan terendah pada sore hari (jam 4 sore). Katavisto menyatakan peningkatan tekanan intraokular tertinggi pada pagi hari yaitu jam 8 pagi dengan variasi rata-rata diurnal adalah 3.17 mmHg. Drance dalam penelitiannya pada 306 mata dengan tekanan intraokular normal, didapatkan tekanan intraokular tertinggi pada pagi hari (jam 6 pagi) dengan rata-rata diurnal adalah 3.7 mmHg. Peningkatan yang terjadi pada pagi hari berhubungan dengan terjadi perubahan posisi tubuh saat siang hari ke malam hari (posisi supine). (Sajja dan Vemapti, 2013) Universitas Sumatera Utara 2.3.5. Hubungan Tekanan Intraokular dan Miopia Tekanan intraokular adalah salah satu dari beberapa faktor dalam patogenesis miopia. Peningkatan tekanan intraokular dapat meningkatkan regangan sklera yang mengakibatkan pemanjangan dari axial length bola mata. Beberapa penelitian telah mengevaluasi adanya hubungan antara tekanan intraokular dan miopia pada anak-anak dan pada beberapa penelitian lain juga menunjukkan hubungan antara tekanan intraokular dan miopia pada orang dewasa. Nesterov dkk menyatakan bahwa pada penderita miopia, posisi korpus siliaris relatif ke posterior sehingga canalis schlemm mengalami keterbatasan dalam memperluas ruang-ruang di trabecular meshwork terutama saat mata berakomodasi. (Lee et al, 2004) 2.3.6. Efek Peningkatan Sementara Tekanan Intraokular Pada penelitian oleh Augusto dkk tahun 1998 menunjukkan peningkatan sementara tekanan intraokular pada orang emetropia dan miopia menyebabkan perubahan terhadap topografi diskus optik. Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan cupping pada diskus optik. Hal ini terjadi karena peningkatan tekanan intraokular dapat menekan, merubah stuktur jaringan diskus optik serta merubah kelengkungan pada lamina cribrosa. (Cantor L.B., Abreu M.M., Weinland M.,1998) Pada penelitian oleh Alberto colloto membandingkan antara orang normal dan pasien hipertensi okuli sebelum dan sesudah peningkatan sementara tekanan intraokuli, mendapatkan berkurangnya amplitudo pada gambaran elektrotretinogram pada kedua kelompok tersebut meskipun gambaran amplitudo berkurang pada kelompok pasien hipertensi okuli. Sehingga dapat disimpulkan terjadi perubahan kepekaan inner retina saat peningkatan tekanan intraokular meskipun terjadi dalam waktu singkat atau sementara. (Colotto et al, 1996) Universitas Sumatera Utara Gambar 5. Gambaran Pattern Electroretinogram. (Colotto et al, 1996). 2.4 Miopia 2.4.1. Definisi Miopia adalah salah satu kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar masuk ke bola mata tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan retina. Miopia adalah gangguan penglihatan yang paling sering di negara berkembang dan terutama di negara miskin. (Guyton A.C., 1994) 2.4.2. Epidemiologi Miopia adalah penyebab paling umum terjadinya gangguan penglihatan yang dapat dikoreksi pada orang dewasa maupun anak-anak di negara maju dan penyebab utama gangguan penglihatan di negara berkembang. Miopia tinggi mempengaruhi hingga 20% dari anak-anak sekolah menengah di Asia Timur. Prevalensi miopia relatif rendah pada populasi Eropa, mempengaruhi sekitar 3-5% dari anak-anak berumur 10 tahun dan sampai 20% pada usia 12-13 tahun. Prevalensi miopia antara anak-anak usia sekolah di India selatan adalah 8,6%. (Rajendran K. Et al, 2014, Rudnicka A.R. et al, 2015) Universitas Sumatera Utara 2.4.3. Klasifikasi Klasifikasi miopia menurut American optometric Association adalah : a. Miopia simpleks : Miopia yang disebabkan oleh indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang terlalu tinggi atau karena axial length (panjang bola mata) yang memanjang. b. Miopia nokturnal : Miopia yang terjadi akibat akomodasi yang berlebihan disaat kurangnya pencahayaan terutama di malam hari. c. Pseudomyopia : Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan daya bias mata karena stimulasi yang berlebihan dari mekanisme akomodasi mata atau kekejangan dari siliaris. d. Miopia degeneratif : Miopia derajat tinggi yang berhubungan dengan terjadinya perubahan degeneratif di segmen posterior mata. e. Miopia induksi : Miopia yang disebabkan oleh pemakaian obat-obatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa. Miopia jenis ini sering bersifat sementara atau reversible. (American Optometric Association, 1997) Universitas Sumatera Utara Pengelompokkan miopia berdasarkan penyebabnya : a. Miopia aksial : Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan panjang antero-posterior bola mata meskipun kurvatura kornea dan lensa normal. Merupakan bentuk miopia yang paling sering dijumpai. b. Miopia refraktif : Miopia yang terjadi akibat dari peningkatan kekuatan refraksi mata. Miopia ini dibedakan atas : • Curvatural myopia, miopia yang disebabkan oleh peningkatan kelengkungan kornea, lensa, atau keduanya. • Index myopia, disebabkan peningkatan indeks refraksi lensa mata. • Positional myopia, miopia yang disebabkan pergerakan lensa mata ke anterior. (Khurana, 2007) Berdasarkan waktu terjadinya, miopia dibedakan atas : a. Congenital myopia : Miopia yang timbul sejak lahir. Miopia ini biasanya berhubungan kongenital seperti dengan katarak, kelainan aniridia atau megalocornea. b. Juvenile onset myopia : Miopia yang timbul pada saat usia anak-anak dan remaja antara usia 7-16 tahun. Faktor primer timbulnya miopia ini adalah pertumbuhan panjang aksial bola mata. Faktor resiko yang dapat mengakibatkan juvenile onset myopia antara lain Universitas Sumatera Utara lahir prematur, riwayat keluarga dan banyak membaca dekat. c. Adult onset myopia : Miopia mulai timbul pada umur berkisar 20 tahunan. Adult onset myopia sering timbul pada orang yang sering membaca dekat. (Khurana, 2007) Derajat miopia diukur oleh kekuatan korektif lensa sehingga bayangan dapat jatuh di retina, yang dapat diklasifikasikan menjadi : a. Miopia ringan : -0.25 D s/d -3.00 D. b. Miopia sedang : -3.25 D s/d -6.00 D. c. Miopia tinggi : > -6.00 D. (Khurana, 2007) 2.4.4. Etiologi Pada dasarnya miopia dapat terjadi oleh karena pertambahan panjang aksis bola mata tanpa diikuti oleh perubahan pada komponen refraksi yang lain. Begitu juga perubahan kekuatan refraksi kornea, lensa dan akuos humor akan menimbulkan miopia bila tidak dikompensasi oleh perubahan panjang aksis bola mata. Beberapa hal yang dikaitkan atau diperkirakan sebagai etiologi miopia adalah : 1. Herediter 2. Penyakit sistemik 3. Kelainan endokrin 4. Malnutrisi, defisiensi vitamin dan mineral tertentu Universitas Sumatera Utara 5. Penyakit mata 6. Gangguan pertumbuhan 7. Lingkungan 8. Kerja dekat yang berlebihan 9. Pemakaian kacamata yang tidak sesuai. (Siregar, N.H., 2012) 2.4.5. Manifestasi Klinis Keluhan utama seorang penderita miopia adalah kabur melihat jauh dan jelas saat melihat dekat. Pasien sering mengeluhkan sakit kepala dan mata terasa lelah. Seseorang yang miopia memiliki kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole. (Hayatillah A., 2011) 2.4.6. Penatalaksanaan Terapi yang dapat diberikan pada penderita miopia adalah koreksi kacamata dengan menggunakan lensa konkaf (negatif) terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Lensa negatif ini memindahkan bayangan dengan memundurkan bayangan tepat di retina sehingga penderita miopia dapat melihat dengan baik tanpa akomodasi. Selain dikoreksi dengan kacamata, koreksi miopia dapat menggunakan lensa kontak atau bedah keratorefraktif. (Hayatillah A., 2011) 2.4.7. Axial Length dan Anterior Chamber Depth Pada Miopia Axial length anak baru lahir adalah 15-17 mm. Pada fase pertama yaitu enam bulan pertama kehidupan, axial length bertambah 4 mm. Fase kedua ( umur 2-5 tahun) dan fase ketiga (umur 5-13 tahun) pertambahan axial length melambat yaitu 1 Universitas Sumatera Utara mm di setiap fasenya. Orang dewasa normal memiliki rata-rata axial length 23 mm. Penelitian Tane dan kohno menyebutkan pertumbuhaan axial length berhenti pada anak perempuan saat berumur 10 tahun dan pada laki-laki saat berumur 12 tahun (AAO, 2008; Zadnik et al.2004) Anterior chamber depth mencapai kedalaman maksimum sekitar umur 15 tahun. Rata-rata nilai normal anterior chamber depth adalah 2.6 mm. (Lee D.G, Choi S.H., 2009). Penelitian Scott T. Fontana dan Richard F. Brubaker pada tahun 1980 pada 152 pasien miopia dengan umur 16-50 tahun. Penelitian ini menunjukkan Axial length penderita miopia lebih panjang dibandingkan dengan orang normal (emetropia). Anterior chamber depth lebih dalam pada miopia dibandingkan pada orang normal (emetropia). (Scott T, Fontana, Brubaker R.F., 1980) Gambar 6. Skema dimensi okular yang diperoleh dari MRI. d: axial length; c: anterior segment length; h: posterior segment length; e: equatorial diameter at the plane of the ora Universitas Sumatera Utara serrata (dashed line); LT: lens axial thickness; LE: lens equatorial diameter (Chui T.Y.P., Bissig D, Berkowitz B.A.,Akula J.D., 2012). 2.4.8. Alat Pemeriksaan Axial Length dan Anterior Chamber Depth (ACD) Biometri adalah alat pemeriksaan mata yang dapat mengukur Axial length, anterior chamber depth, dan kekuatan implant intraocular lens. Sehingga didapatkan hasil refraksi yang diinginkan setelah operasi ekstraksi lensa dengan implant intraocular lens (IOL). (Patel AS, O’brien C, Shahzad HSF., 2015) Gambar 7. Pemeriksaan biometri pada mata. (Patel AS, O’brien C, Shahzad HSF., 2015) 2.5 Sikloplegik 2.5.1 Sejarah Sikloplegik Pada abad ke 16, atropin dan obat golongan sikloplegia yang lain digunakan untuk pengobatan ulkus kornea, katarak dan kondisi mata lainnya. Sepanjang abad ke-16, atropin dan obat lain digunakan untuk melebarkan pupil untuk tujuan kosmetik Universitas Sumatera Utara (disebut belladonna). Efek sikloplegia khususnya atropin tidak diketahui sampai tahun 1811 Ketika William Wells seorang dokter mata yang berasal dari London menemukan kelumpuhan akomodasi pada mata yang diberi sikloplegik untuk melebarkan pupil dan kelumpuhan akomodasi ini bertahan sampai 8 hari. Kemudian pada tahun 1864 penggunaan sikloplegik pada metode refraksi diterima secara universal terutama pada pemeriksaan kelainan refraksi pada anak-anak. (Manny et al., 2001) 2.5.2 Mekanisme Kerja Sikloplegia Midriasis adalah dilatasi pupil, dapat terjadi karena faktor fisiologis dan nonfisiologis. Penyebab midriasis non fisiologis adalah suatu penyakit, trauma atau penggunaan obat-obatan. Terdapat 2 jenis otot yang mengatur perubahan ukuran dari iris yaitu sfingter iris dan iris dilator. Sfingter iris dipersarafi oleh parasimpatis dan iris dilator dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Stimulasi simpatis dari reseptor adernergik menyebabkan kontraksi otot radial sehingga pupil menjadi dilatasi. Stimulasi parasimpatis menyebabkan kontraksi otot sirkular (melingkar) sehingga pupil konstriksi (menyempit). (Shirzadi K, Amirdehi R.A., Makateb A., Sharaki K., Khosravifard K., 2015) Midriatik adalah obat yang dapat meningkatkan ukuran pupil dan kovergensi akomodatif serta penurunan ketajaman penglihatan dan amplitudo akomodasi. Midriasis dapat dihasilkan dari peningkatan aktivitas sepanjang jalur simpatik dan penurunan aktivitas sepanjang jalur parasimpatis. Dua kelas obat menghasilkan efek midriasis yaitu : 1. Obat simpatomimetik, termasuk phenylepherine, hydroxyamphetamine, kokain, adrenalin, dan efedrin. Universitas Sumatera Utara 2. Obat parasimpatolitik, termasuk atropin, tropikamid, dan cyclopentolate. (Ihekairei D.E., 2012) Obat yang dapat digunakan untuk dilatasi pupil atau midriasis adalah golongan antagonis kolinergik / antikolinergik. Antikolinergik adalah zat yang menghalangi neurotransmitter asetilkolin di pusat dan sistem saraf perifer. Antikolinergik dibagi menjadi tiga kategori sesuai target kerjanya, yaitu antimuskarinik, ganglionic blocker dan neuromuscular blocker. Antikolinergik menghambat impuls saraf parasimpatis dimana terjadi pengikatan neurotransmitter asetilkolin di reseptor sel-sel saraf. Pemberian antikolinergik pada mata dapat memberikan efek midriasis. (Shirzadi K., Amirdehi R.A., Makateb A., Sharaki K., Khosravifard K., 2015) Sikloplegik yang ideal adalah yang ditandai dengan rapid onset, pemulihan yang cepat, sikloplegik yang lengkap dan tidak adanya efek regional dan umum. Sikloplegik yang sering digunakan atropine sulfat, tropikamid, dan cyclopentolate. Perbedaan dari ketiga sikloplegik ini adalah durasi onset, pemulihan fungsi, dan kedalaman sikloplegik. Atropin memiliki onset yang lambat dan pemulihan fungsi yang juga lambat yaitu 15 sampai 20 hari. Cyclopentolate memiliki onset yang cukup cepat yaitu 25 sampai 75 menit dan pemulihan fungsi 6 sampai 24 jam. Tropicamide memiliki onset yang cepat yaitu 20 sampai 30 menit dan pemulihan fungsi yaitu 6 jam. Lian-Hong Pi dkk (2011) mendapatkan pemeriksaan retinoskopi menggunakan Cyclopentolate sangat baik pada penderita hipermetropia sementara tropikamid sangat baik pada miopia dan hipermetropia ringan dan sedang. (Pi,Lian Hong, et al, 2011) Universitas Sumatera Utara Gambar 8. Persarafan pada iris. (Donald M., 2014) 2.5.3. Tropikamid Tropikamid adalah obat antimuskarinik yang menghasilkan midriasis dan sikloplegia yang dapat digunakan untuk pemeriksaan segmen posterior mata dan melumpuhkan otot korpus siliaris. Efek midriasis dan sikloplegik dapat dicapai 20-30 menit setelah pemberian tropikamid dalam bentuk sediaan tetes mata. Midriasis akan berlangsung 6-7 jam dan kelumpuhan otot korpus siliaris selama 1-6 jam. Sikloplegik meningkatkan tekanan intraokular pada pasien yang memiliki sudut bilik mata terbuka maupun sudut sempit. Penelitian Hung dkk pada tahun 2015 menunjukkan Tropikamid dapat meningkatkan tekanan intraokular setelah 45 menit pemberian dalam bentuk tetes mata meskipun kenaikan tidak lebih tinggi daripada Cyclopentolate. (Bersani F.S., 2015; Hung K.C., Huang H.M., Lin P.W., 2015; Jethani J., Solanki H., Nayak A., 2011) Universitas Sumatera Utara Pada penelitian desmond dkk pada tahun 2012 membandingkan efek cyclopentolate dan Tropikamid pada anak sekolah dalam pemeriksaan kelainan refraksi. Cyclopentolate menurunkan amplitudo akomodasi sedikit lebih tinggi dari tropikamid (9.25 D menjadi 3.41 D oleh cyclopentolate dan menjadi 3.93 D oleh tropikamid). Cyclopentolate memiliki efek ringan pada mata sampai reaksi sistemik yaitu mual, muntah, mengantuk dan halusinasi. Tropikamid memiliki efek yang sedikit pada mata dibandingkan dengan cyclopentolate. (Ihekairei D.E., 2012) 2.5.4. Struktur Kimia Tropikamid Menurut British Pharmacopoeia (1973), Tropikamid adalah N-etil-4- (4piperidyl metil) tropicamide. Tropikamid bersama dengan Lachesine, Dibutoline, dan Oxyphenonium merupakan analog sintetik atropin yang memblokir reseptor muskarinik dan karena itu menunjukkan efek yang mirip dengan atropin. Juga seperti atropin, Tropikamid tidak mempengaruhi impuls saraf dan tidak mencegah pelepasan asetilkolin (ACH). Tropikamid tersedia dalam bentuk 0,5% dan 1 %. (Vale J., Cox B.,1984) Gambar 9. Struktur kimia tropikamid. (Ihekairei DE, 2012) Universitas Sumatera Utara 2.5.5. Peranan Sikloplegik Pada Amplitudo Akomodasi Anak Amplitudo akomodasi pada anak-anak selalu lebih besar dibandingkan orang dewasa. Sejalan dengan usia, maka kemampuan akomodasi manusia akan semakin menurun (tabel 2.5.5.1). Obat golongan sikloplegik menghambat kekuatan akomodasi mata dengan menghambat kerja otot siliaris. Sehingga pemeriksaan koreksi kelainan refraksi pada penderita miopia terutama pada anak-anak terhindar dari overcorrection. (Farhood Q.K., 2012) Tabel 2.5.5.1. Rerata Kekuatan amplitudo akomodasi. (AAO,1998) Usia Amplitudo Akomodasi Lensa Addisi 8 12 16 20 24 28 32 38 40 44 48 52 56 60 64 68 14.0±2.0 D 13.0±2.0 D 12.0±2.0 D 11.0±2.0 D 10.0±2.0 D 9.0±2.0 D 8.0±2.0 D 7.0±2.0 D 6.0±2.0 D 4.5±1.5 D 3.0±1.5 D 2.5±1.5 D 2.0±1.0 D 1.5±1.0 D 1.0±0.5 D 0.5±0.5 D 1.00±0.25 D 1.25±0.25 D 1.50±0.25 D 2.25±0.25 D 2.50±0.25 D 3.00±0.25 D 3.25±0.25 D 3.50±0.25 D 2.5.6. Peng aruh Siklo plegi k Terhadap Tekanan Intraokular Sikloplegik dapat meningkatkan tekanan intraokular. Peningkatan tekanan intraokular terjadi karena paralisis pada otot siliaris yang mengakibatkan berkurangnya tarikan trabecular meshwork sehingga terjadi penurunan aliran akuos humor. Pada penelitian Joon MK didapatkan peningkatan 1,85±2.01 mmHg pada Universitas Sumatera Utara orang normal setelah diberi sikloplegik. Sementara pada penelitian I-Lun Tsai dkk tahun 2012 yang melibat 163 anak (emetropia dan miopia), setelah pemberian Tropikamid 1% terjadi peningkatan yang cukup tinggi yaitu 6- 8 mmHg pada beberapa anak miopia. (Hancox J., Murdoch I., Parmar D., 2002; Tsai I.L., 2012) 2.5.7. Pengaruh Sikloplegik Terhadap Axial Length dan Anterior Chamber Depth Penelitian oleh Pruett R.C pada tahun 1988 menunjukkan hubungan tekanan intraokular terhadap axial length. Tekanan intraokular yang tinggi menyebabkan meningkatnya tegangan sklera yang mengakibatkan terjadinya miopia. Pada Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Rose KA pada tahun 2004 pada 179 orang pada anak berumur 6 tahun, didapatkan tidak ada perbedaan axial length sebelum dan sesudah pemberian sikloplegia ( tropikamid 1%). Ying Y. dkk mengemukakan pada tahun 2015 bahwa pemberian sikloplegik pada emetropia dan penderita miopia menunjukkan pertambahan anterior chamber depth yang cukup signifikan, hal ini mungkin karena terjadinya penurunan ketebalan lensa dan pergerakan mundur dari lensa kristalin. Hal ini juga dikemukakan dalam penelitian Rose K.A. dkk yaitu anterior chamber depth meningkat setelah pemberian sikloplegia (tropikamid 1%). (Pruett R.C,1988;Yuan Y. et al, 2015; Rose K.A., Hyunh S.C., Ojaimi E., Rochtchina E., Mai T.Q., Mitchell P., 2004) Universitas Sumatera Utara 2.6. Kerangka Konsep Tajam Penglihatan (variabel independent) Spherical equivalent (variabel independent) Miopia Tekanan intraokular (variabel independent) (variabel dependent) Anterior Chamber Depth (variabel independent) Axial Length (variabel independent) Universitas Sumatera Utara 2.7. Alur Penelitian Sampel Pemeriksaan visus Koreksi tajam penglihatan Emetropia (Kelompok kontrol) Miopia Pemeriksaan sudut bilik mata depan dengan slit lamp Pemeriksaan funduskopi untuk evaluasi segmen posterior Pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri non kontak Pengukuran axial length dengan biometri Pengukuran anterior chamber depth dengan biometri Pemberian Sikloplegik Pemeriksaan visus dan koreksi tajam penglihatan Pemeriksaan tekanan intraokular dengan tonometri non kontak Pengukuran axial length dengan biometri Pengukuran anterior chamber depth dengan biometri Universitas Sumatera Utara 2.8. Definisi Operasional Tabel 2.8.1 Definisi operasional Pengertian Satuan 1 Visus Ketajaman penglihatan setiap mata logmar 2 Miopia Kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar masuk ke bola mata tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan retina. 3 Tekanan Tekanan yang dihasilkan oleh jaringan yang berada Millimeter intraokular di dalam mata. raksa (mmHg) 4 5 Anterior letak pertautan antara kornea perifer dan pangkal Milimeter chamber depth iris. Sikloplegik Obat yang dapat meningkatkan ukuran pupil dan - (mm) akomodasi kovergensi akomodatif serta penurunan ketajaman penglihatan dan amplitudo akomodasi. 6 Daya Kemampuan mata mengubah fokus lensa mata - akomodasi untuk memfokuskan benda yang jauh atau dekat sehingga titik fokus jatuh tepat di retina. 7 Axial length Panjang axis bola mata Milimeter (mm) 8 Diskus optik Bagian dari nervus optikus di mana sel-sel ganglion mata keluar untuk membentuk saraf optik. 9 Biometri Alat pemeriksaan mata yang bertujuan untuk - mengukur panjang sumbu bola mata dan kedalaman bilik mata depan. 10 Tonometer non Alat kontak untuk mengukur tekanan bola mata - menggunakan hantaran udara dan dapat dilakukan tanpa anestesi lokal sebelum dilakukan pengukuran. 11 Rentang umur Batasan umur yang digunakan pada penelitian ini Tahun adalah 12 sampai 18 tahun. 12 Spherical Kekuatan lensa kacamata Dioptri equivalent 13 Emetropia Anak dengan penglihatan normal dan sebagai kelompok kontrol Universitas Sumatera Utara