BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Attachment pada manusia pertama kali terbentuk dari hubungan antara orang tua dengan anak. Orang tua merupakan makhluk sosial pertama yang berinteraksi dengan bayinya. Orang tua yang dimaksudkan adalah ibu dari anak. Seiring berjalannya waktu, bayi juga mengadakan kontak sosial dengan makhluk sosial lainnya seperti ayah, saudara ataupun figur penting lainnya seperti nenek. Banyak ahli psikologi yang juga menekankan pentingnya hubungan awal antara orang tua dengan anak, salah satunya adalah Erikson (dalam Kaplan, 2000) yang menyatakan bahwa mengembangkan trust merupakan hal yang penting pada masa perkembangan anak karena trust adalah dasar untuk mengatasi krisis hidup dalam perkembangan psikososial selanjutnya. Anak kecil akan mengembangkan perasaan trust kepada orang tua ketika kebutuhan fisik dan emosi anak terpenuhi. Jika tidak terpenuhi, maka anak akan mengembangkan perasaan mistrust, yang akan berpengaruh pada hubungan interpersonal selanjutnya. Hubungan awal antara orang tua dan anak yang akan membentuk hubungan interpersonal anak pada kehidupan selanjutnya. Teori attachment yang diformulasikan oleh John Bowlby adalah teori yang paling berpengaruh pada zaman sekarang ini dalam membahas hubungan antara orang tua dengan anak maupun hubungan dekat lainnya. Menurut Shaffer (2005), Universitas Sumatera Utara attachment adalah hubungan emosional yang dekat antara dua orang, yang dikarakteristikkan dengan saling mengasihi dan adanya keinginan untuk menjaga kedekatan fisik, dimana dalam hal ini adalah hubungan emosional antara anak dan orang tua. Attachment pertama kali terbentuk pada saat anak berusia 6 atau 7 bulan dan attachment yang terbentuk adalah terhadap orang tua. Anak yang mempunyai attachment dengan orang tua dapat diketahui dari perilaku anak yang selalu ingin dekat dengan orang tua (Sigelman & Rider, 2003). Seorang anak tidak terlahir dengan adanya daya tarik terhadap ibunya, tapi daya tarik ini dipelajari seiring dengan berjalannya waktu. Terbentuknya attachment itu memerlukan waktu, dan itu terbentuk sejalan dengan kemampuan kognitif anak. Attachment adalah bawaan biologis, tapi faktor pembelajaran dan kognitif juga berperan di dalamnya. Antara bayi dan ibu akan terbentuk attachment yang dekat ketika bayi yakin dia akan menerima perawatan, perlindungan yang mereka butuhkan untuk bisa bertahan hidup dan berkembang dengan baik. Hal ini dapat bayi ketahui ketika dia menunjukkan beberapa perilaku (seperti menangis, tersenyum, berbicara) dan orang tua merespon perilaku mereka dengan cara menyayanginya, bersama dengannya dan memenuhi kebutuhannya (Kaplan, 2000). Attachment pada bayi terbentuk melalui beberapa tahapan (Ainsworth & Bowlby dalam Sigelman dkk, 2003) yaitu pertama, undiscriminating social responsiveness yang terjadi pada saat lahir sampai usia 2 atau 3 bulan. Bayi hanya merespon terhadap suara, wajah dari orang-orang yang dekat dengannya. Bayi belum mampu mengenal wajah seseorang dengan jelas. Kedua, discriminating Universitas Sumatera Utara social responsiveness yang terjadi pada usia 2 atau 3 bulan sampai usia 6 atau 7 bulan. Bayi sudah mulai mengenal wajah orang yang familier baginya. Bayi suka berceloteh secara antusias jika melihat orang yang familier, tapi bayi masih ramah terhadap orang asing. Ketiga, active proximity seeking/true attachment, yang terjadi pada usia 6 atau 7 bulan sampai usia 3 tahun. Pada masa ini, bayi telah membentuk attachment pertamanya dengan ibu. Bayi akan selalu mengikuti ibu agar tetap dekat dengan ibu dan akan protes jika ibu meninggalkannya. Begitu sang ibu kembali, maka anak akan menyambut ibunya dengan penuh kehangatan. Fase keempat, goal-corrected partnership yang terjadi pada usia 3 tahun dan seterusnya. Pada usia 3 tahun, kemampuan sosial kognitif anak telah berkembang, sehingga anak dapat memahami tindakan orang tua yang meninggalkannya dan menunggu orang tua kembali untuk bisa dekat dengan orang tuanya lagi. Tahapan attachment keempat ini adalah tahap yang terus menetap pada diri individu sampai dewasa. Mary Ainsworth (dalam Sigelman dkk, 2003) mengukur kualitas attachment antara orang tua dengan bayi dengan menciptakan Strange Situation. Prosedur ini terdiri dari 8 (delapan) episode yang menghadirkan sejumlah pengalaman yang stres bagi bayi dengan menghadirkan orang asing, memisahkan bayi dengan orang tua, lalu menghadirkan orang tuanya lagi. Dari perilaku yang ditunjukkan bayi pada kedelapan episode tersebut, maka kualitas attachment anak terhadap orang tua dikarakteristikkan menjadi 4 (empat) tipe attachment, yaitu secure attachment, resistant attachment, avoidant attachment, dan disorganized/disoriented attachment. Universitas Sumatera Utara Attachment adalah konstruk yang berlangsung sepanjang rentang kehidupan, yaitu dari bayi, masa kanak-kanak, dan sampai dewasa, jadi attachment tidak hanya terjadi pada masa bayi (Bowlby dalam Doyle, Moretti, Voss, & Margolese 2000). Berjalannya waktu, pengalaman attachment bayi dikonsolidasi ke dalam internal working model terhadap diri sendiri, orang lain dan hubungan dirinya dengan orang lain. John Bowlby dan Inge Bretherton (dalam Doyle, Moretti, Voss, & Margolese 2000) menjelaskan stabilitas dan pengaruh tetap dari interaksi dengan pengasuh pada masa bayi akan membentuk internal working model yang merupakan representatif dari kognitif mengenai diri mereka sendiri dan orang lain yang nantinya akan digunakan untuk mengintepretasikan suatu kejadian dan membuat harapan mengenai karakter seseorang terhadap hubungan yang ingin dibina dengan orang tersebut. Pengasuh yang sensitif, responsif akan membuat anak mempunyai pikiran bahwa orang lain itu dapat diandalkan, sehingga anak membentuk positive working model. Tapi jika pengasuh anak tersebut tidak sensitif, mengabaikan, dan kasar maka akan membuat anak kurang percaya terhadap orang lain, sehingga anak membentuk negative working model terhadap orang lain. Pernyataan tersebut hampir sama dengan pernyataan Erikson yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa trust adalah suatu hal yang penting dalam mengembangkan working model yang diperoleh anak dari perhatian dan kenyamanan ketika dia membutuhkannya. Attachment anak akan diperoleh dari internal working model yang terbentuk dari interaksi awalnya dengan pengasuh atau orang tuanya (Shaffer,2005). Universitas Sumatera Utara Konsep internal working model yang dikemukakan oleh Bowlby yang menjadi patokan bagi para ahli lainnya untuk menetapkan adult attachment. Berdasarkan dua jenis working model ini terbagi empat kategori adult attachment style. Dua dimensi dari working model tersebut adalah (1) model of self yaitu harapan seseorang untuk diterima dan disayangi; dan (2) model of others yaitu harapan adanya aksesibilitas dan sikap responsif dari orang lain ketika itu dibutuhkan. Berdasarkan working model ini maka terbagi empat tipe attachment yaitu secure (positif dalam model of self dan other), preoccupation (negatif dalam model of self dan positif dalam model of other), dismissing (positif dalam model of self dan negatif dalam model of other), dan fearful (negatif dalam model of self dan other) Terdapat banyak perubahan yang kompleks dalam hubungan orang tua dan anak selama masa remaja. Beberapa studi menunjukkan bahwa attachment security terhadap kedua orang tua menurun selama masa pubertas (Papini, Roggmann, & Anderson dalam Anna dkk, 2000), tapi penelitian terbaru menunjukkan hanya beberapa komponen dari hubungan attachment yang berubah, sedangkan yang lainnya tetap stabil. Misalnya, ketika anak mengalami stres, kebutuhan dia untuk dekat secara fisik terhadap figur lekatnya (attachment figure) menurun tapi keberadaan seorang figur lekat tetap ada di dalam dirinya (Lieberman, Doyle, & Markiewicz dalam Anna, 2000). Intensitas dan frekuensi dari perilaku attachment berkurang sejalan dengan bertambahnya usia, tapi kualitas terhadap ikatan attachment relatif stabil (Bowlby dalam Anna, 2000). Kemampuan seorang remaja untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh kemandirian dengan keinginan untuk tetap berhubungan dengan orang tua merupakan perwujudan dari attachment security (Alan, Moore, & Kuperminc dalam Doyle dkk 2000). Jika bayi harus mempunyai secure base untuk bereksplorasi, maka remaja membutuhkan security berupa dukungan dari orang tua agar menjadi individu yang lebih mandiri dan otonomi (Kobak, Kenny & Rice dalam Sigelman dkk, 2003). Remaja yang secure attached dengan orang tua menunjukkan perilaku prososial (Stroufe dalam Anna dkk, 2000), penyesuaian sosial, psikologis yang lebih baik, mampu berpisah dengan orang tua dan membentuk hubungan romantika yang dekat dengan tetap menjaga komunikasi yang baik dengan orang tua (Sigelman dkk, 2003). Remaja yang mempunyai secure attachment dengan orang tua mempunyai self identity yang kuat, self esteem yang tinggi, kompetensi sosial yang luar biasa dan penyesuaian emosional yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang tidak memiliki secure attachment (Kenny & Rice dalam Sigelman dkk, 2003). Remaja yang secure juga menunjukkan simtom depresi dan kecemasan yang rendah (Vivona dalam Sigelman dkk, 2003). Ketika orang tua memberikan dukungan emosional, menjadi secure base untuk bereksplorasi yang juga disertai dukungan otonomi, maka remaja akan maju dengan pesat. Terdapat banyak hal dari hubungan dengan orang tua yang dapat mempengaruhi hubungan remaja dengan teman atau persahabatan dan fungsi psikososial remaja, akan tetapi dalam studi ini hanya akan melihat dari sisi teori attachment saja. Masa remaja dikenal sebagai periode transisi dari keluarga ke Universitas Sumatera Utara hubungan sosial (Buhrmester & Furman; Selman dalam Anna, 2000), transisi dari hubungan yang tergantung terhadap orang tua menjadi hubungan yang timbal balik atau resiprokal dengan orang lain, baik itu dengan orang tua, teman maupun pasangan karib. Seseorang yang mempunyai sahabat mempunyai tingkat kompetensi dimana kualitas persahabatan menjadi prediktor yang baik dalam melihat penyesuaian diri seorang individu (Hartup & Steven, dalam Bagwell, Bender, Andreassi, Kinoshita, Montarello & Muller, 2005). Menurut Erikson, masa remaja adalah masa pencarian identitas diri dimana identitas diri ini dibentuk dari hubungan psikososial remaja dengan individu lain yaitu dengan teman dan sahabat. Hubungan psikososial antar sesama remaja disebut dengan istilah persahabatan. Hartup dalam Bowker (2004) mengartikan persahabatan sebagai hubungan sosial utama pada masa remaja awal. Hubungan persahabatan memberi kemampuan dalam keterampilan sosial, memberi informasi mengenai diri sendiri, orang lain, merupakan sumber penyelesaian masalah secara emosional dan kognitif, dan merupakan pelopor untuk hubungan berikutnya yang melibatkan hubungan timbal balik (mutuality) dan keakraban (intimacy). Persahabatan adalah sesuatu yang multidimensi. Remaja memandang seorang teman mempunyai tingkatan sosial kompetensi, dan untuk mengukur tingkat kesesuaian diri remaja dalam membina hubungan dengan orang lain maka terdapat kualitas persahabatan yang menjadi prediktor untuk mengidentifikasi penyesuaian tersebut. Kualitas persahabatan terdiri dari kualitas persahabatan yang positif (seperti perasaan aman, pertemanan, dukungan) dan kualitas persahabatan yang negatif (seperti konflik, dominansi, Universitas Sumatera Utara permusuhan). Persahabatan yang positif dicirikan dengan hubungan remaja yang membangun dimana terdapat dukungan sosial yang baik dalam hubungannya seperti ketika menghadapi peristiwa tertekan (stres) dan adanya keahlian sosial yang diperoleh seperti kemampuan kerjasama dengan orang lain. Persahabatan yang positif akan memberi hasil pada prestasi akademik dan keterlibatan dalam kegiatan sekolah, sedangkan persahabatan yang negatif akan menimbulkan masalah perilaku. Masalah perilaku yang muncul pada remaja seperti terlibat dalam perkelahian, tawuran, penggunaan obat-obatan, seks bebas sampai pada kenakalan remaja (Laursen, dalam Ciariano, Rabaglietti, Roggero, Bonino & Beyers, 2007). Berdasarkan pemaparan teori dan permasalahan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat tipe attachment dan peneliti ingin mengetahui apakah terdapat pengaruh dari tiap-tiap tipe attachment terhadap kualitas persahabatan pada remaja. B. RUMUSAN MASALAH Pada penelitian ini, peneliti ingin mencari pengaruh dari tiap-tiap tipe attachment yang terdiri dari 4 tipe yaitu secure attachment, dismissing attachment, preoccupied attachment dan fearful attachment terhadap kualitas persahabatan pada remaja. Universitas Sumatera Utara C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian yang dibuat oleh penulis yaitu sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh attachment style terhadap kualitas persahabatan yang dibina remaja. 2. Mengetahui dari keempat attachment style, tipe apa yang menyebabkan remaja mempunyai kualitas persahabatan yang positif dan kualitas persahabatan negatif. D. MANFAAT PENELITIAN Sedangkan manfaat dari penelitian yang penulis teliti yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu kepada masyarakat dan Fakultas Psikologi khususnya bidang perkembangan terhadap teori-teori yang berkaitan dengan masalah attachment dan persahabatan pada remaja. b. Memberikan sumbangan ilmu yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi teoritis dan empiris yang dapat menjadi penunjang untuk penelitian di masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis a. Memberi informasi kepada orang tua bahwa attachment antara orang tua dan anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikososial anak. Universitas Sumatera Utara b. Bagi orang tua memiliki anak remaja, attachment orang tua dengan remaja akan menyebabkan remaja terlibat dalam persahabatan yang sehat atau malah ke persahabatan yang menyimpang seperti kenakalan remaja (menggunakan obat-obatan terlarang). E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab ini dipaparkan gambaran terbentuknya attachment dari anak sampai pada masa remaja. Selain itu, peneliti juga menguraikan pengaruh attachment pada hubungan psikososial. Bab II Landasan teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Teori yang dijabarkan dalam bab ini antara lain definisi attachment, teori attachment, jenis-jenis attachment, dampak attachment, definisi persahabatan, perkembangan persahabatan, pentingnya persahabatan, persahabatan, faktor-faktor karakteristik yang persahabatan, mempengaruhi kualitas persahabatan, pengertian remaja, pembagian fase remaja, tugas-tugas perkembangan remaja, ciri-ciri masa remaja dan hubungan attachment style terhadap Universitas Sumatera Utara persahabatan. Dan pada bab ini, peneliti juga memaparkan hipotesa penelitian. Bab III Metodologi penelitian Bab ini menguraikan identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, uji coba alat ukur, dan metode analisa data. Bab IV Analisa data dan pembahasan Bab ini berisi hasil penelitian yang disertai dengan intepretasi. Pada bab ini juga dipaparkan pembahasan hasil penelitian. Bab V Kesimpulan dan saran Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian. Diskusi membahas mengenai kesesuaian maupun ketidaksesuaian antara data penelitian yang diperoleh dengan teori yang ada dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya. Universitas Sumatera Utara