BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Definisi Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa detik atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-tanda sesuai dengan daerah yang terganggu. Menurut WHO: stroke adalah terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak. Menurut Neil F. Gordon: stroke adalah gangguan potensial yang fatal pada suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian tubuh manusia yang dapat bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam waktu relatif lama sebab darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan terutama oksigen pengangkut bahan makanan yang dibutuhkan pada otak dan otak adalah pusat control system tubuh termasuk perintah dari semua gerakan fisik. Dengan kata lain stroke merupakan manifestasi keadaan pembuluh darah cerebral yang tidak sehat sehingga bisa disebut juga “cerebral arterial disease” atau “cerebrovascular disease”. Cedera dapat disebabkan oleh sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan penyempitan atau pecahnya pembuluh darah, semua ini menyebabkan kurangnya pasokan darah yang memadai (Irfan, 2010). 2.1.2 Epidemiologi Di antara penyakit-penyakit neurologi yang terjadi pada orang dewasa, stroke menduduki rangking pertama baik pada frekuensinya maupun pada pentingnya (emergensi) penyakit tersebut. Lebih dari 50 8 persen kasus stroke merupakan penyebab dirawatnya penderita di bangsal neurologi (Victor & Ropper, 2001). Di Amerika Serikat Stroke menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang stroke di antaranya 400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang menderita stroke hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral dan subarakhnoid) dengan 175.000 orang mengalami kematian (Victor & Ropper, 2001). Di Indonesia penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh Survey ASNA di 28 Rumah Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study), dan dilakukan survey mengenai faktor-faktor risiko, lama perawatan mortalitas dan morbiditasnya. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan di atas usia 65 tahun 33,5% (Misbach dkk., 2007). 2.1.3 Klasifikasi dan Etiologi Terdapat dua macam bentuk stroke yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke, disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke sel-sel otak akibat bentukan trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh terjadinya penurunan perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan stroke hemoragik intraserebral dan subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah kranial (Smith et al., 2005). Stroke secara luas diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% kasus stroke dan dibagi menjadi aterotrombosis arteri, emboli otak, stroke lakunar, dan hipoperfusi sistemik. Perdarahan otak merupakan 20% sisa penyebab stroke dan dibagi 9 menjadi perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid, dan hematoma subdural/ ekstradural (Goldszmidt et al., 2003). a. Stroke Hemoragik Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik (Gofir, 2009). Jenis perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak, baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial, pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh darah otak tersebut. Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya aneurysma congenital pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal (Misbach dkk., 2007). b. Stroke Iskemik Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang masing-masing akan mengganggu atau memutuskan aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF). Nilai normal CBF adalah 50–60 ml/100 mg/menit. Iskemik terjadi jika CBF < 30 ml/100mg/menit. Jika CBF turun sampai < 10 ml/mg/menit akan terjadi kegagalan homeostasis, yang akan menyebabkan influks kalsium secara cepat, aktivitas protease, yakni suatu cascade atau proses berantai eksitotoksik dan pada akhirnya kematian neuron. Reperfusi yang terjadi kemudian dapat menyebabkan pelepasan radikal bebas yang akan menambah kematian sel. Reperfusi juga menyebabkan transformasi perdarahan dari jaringan infark yang mati. Jika gangguan CBF masih antara 15–30 ml/100mg/menit, keadaan iskemik dapat dipulihkan jika terapi dilakukan sejak awal (Wibowo dkk., 2001). 10 Stroke iskemik akut adalah gejala klinis defisit serebri fokal dengan onset yang cepat dan berlangsung lebih dari 24 jam dan cenderung menyebabkan kematian. Oklusi pembuluh darah disebabkan oleh proses trombosis atau emboli yang menyebabkan iskemia fokal atau global. Oklusi ini mencetuskan serangkaian kaskade iskemik yang menyebabkan kematian sel neuron atau infark serebri (Adam et al., 2001; Becker et al., 2006). Aliran darah ke otak akan menurun sampai mencapai titik tertentu yang seiring dengan gejala kelainan fungsional, biokimia dan struktural dapat menyebabkan kematian sel neuron yang irreversible (WHO, 1989; Adam et al., 2003; Bandera et al., 2006). 2.1.3.1 Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Penyebabnya a. Stroke Trombosis Stroke trombotik pembuluh darah besar dengan aliran lambat biasanya terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna atau, yang lebih jarang di pangkal arteria serebri media atau di taut ateria vertebralis dan basilaris. Stroke trombotik dapat dari sudut pandang klinis tampak gagap dengan gejala hilang timbul berganti–ganti secara cepat. Mekanisme pelannya aliran darah parsial adalah defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik. Agar dapat melewati lesi stenotik intra-arteri, aliran darah yang mungkin bergantung pada tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan mendadak tekanan darah tersebut dapat menyebabkan penurunan generalisata CBF, iskemia otak, dan stroke (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006). 11 b. Stroke embolik Stroke embolik terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Embolus berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan kecil, fragmen– fragmen dari jantung mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis. Dengan demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya tergantung pada bagian mana sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan di percabangan arteri sebelum tersangkut. Embolisme dapat terurai dan terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga gejala–gejala mereda. Namun, fragmen–fragmen tersebut kemudian tersangkut di sebelah hilir dan menimbulkan gejala–gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik memiliki risiko yang lebih besar terkena stroke hemoragik, karena terjadi perdarahan petekie atau bahkan perdarahan besar di jaringan yang mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah emboli pertama. Perdarahan tersebut disebabkan karena struktur dinding arteri sebelah distal dari okulasi embolus melemah atau rapuh karena perfusi. Dengan demikian, pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau kapiler di pembuluh tersebut. Stroke kriptogenik adalah stroke iskemik akibat sumbatan mendadak pembuluh intrakranium besar tetapi tanpa penyebab yang jelas (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006). 2.1.3.2 Klasifikasi Iskemik Serebral Perjalanan klinis pasien dengan stroke infark akan sebanding dengan tingkat penurunan aliran darah ke jaringan otak. Perjalanan klinis ini akan dapat mengklasifikasikan iskemik serebral menjadi 4, yaitu: 12 1. Transient ischemic Attack (TIA) Adalah suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau emboli. TIA sebenarnya tidak termasuk ke dalam kategori stroke karena durasinya yang kurang dari 24 jam. 2. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) Seperti juga pada TIA gejala neurologis dari RIND juga akan menghilang, hanya saja waktu berlangsung lebih lama, yaitu lebih dari 24 jam, bahkan sampai 21 hari. Jika pada TIA dokter jarang melihat sendiri peristiwanya, sehingga pada TIA diagnosis ditegakkan hanya berdasar keterangan pasien saja, maka pada RIND ini ada kemungkinan dokter dapat mengamati atau menyaksikan sendiri. Biasanya RIND membaik dalam waktu 24 - 48 jam. Sedangkan PRIND (Prolonged Reversible Ischemic Neurological Deficit) akan membaik dalam beberapa hari, maksimal 3 - 4 hari. 3. Stroke In Evolusion (Progressing stroke) Pada bentuk ini gejala/ tanda neurologis fokal terus memburuk setelah 48 jam. Kelainan atau defisit neurologik yang timbul berlangsung secara bertahap dari yang bersifat ringan menjadi lebih berat. Diagnosis progressing stroke ditegakkan mungkin karena dokter dapat mengamati sendiri secara langsung atau berdasarkan atas keterangan pasien bila peristiwa sudah berlalu. 4. Complete Stroke Non-Haemmorhagic Completed Stroke diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi. Kelainan neurologi yang muncul bermacam-macam, tergantung pada daerah otak mana yang mengalami infark (Gofir, 2009). 13 2.1.4 Patofisiologi Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya. Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsifungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologik. Tingkat iskeminya makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah hyperemic akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat di reperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tak terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian. Dipandang dari segi biologi molekuler, ada dua mekanisme kematian sel otak. Pertama proses nekrosis, suatu kematian berupa ledakan sel akut akibat penghancuran sitoskeleton sel, yang berakibat timbulnya reaksi inflamasi dan proses fagositosis debris nekrotik. Proses kematian kedua adalah proses apoptosis atau silent death, sitoskeleton sel neuron mengalami penciutan atau shrinkage tanpa adanya reaksi inflamasi seluler. Nekrosis seluler dipicu oleh exitotoxic injury dan free radical injury akibat bocornya neurotransmitter glutamate dan aspartat yang sangat toksik terhadap struktur sitoskeleton otak. Demikian pula lepasnya radikal bebas membakar membran lipid sel dengan segala akibatnya. Kematian Apoptotic mungkin lebih berkaitan dengan reaksi rantai kaskade iskemik yang berlangsung 14 lebih lambat melalui proses kelumpuhan pompa ion Natrium dan Kalium, yang diikuti proses depolarisasi membran sel yang berakibat hilangnya kontrol terhadap metabolisme Kalsium dan Natrium intraseluler. Ini memicu mitokondria untuk melepaskan enzim caspase-apoptosis (Misbach dkk., 2007). 2.1.5 Patogenesis Stroke Iskemik Penyebab utama stroke iskemik adalah thrombus dan emboli yang seringkali dipengaruhi oleh penurunan perfusi sistemik. Thrombus disebabkan oleh kerusakan pada endotel pembuluh darah, dapat terjadi baik di pembuluh darah besar (large vessel thrombosis), maupun di pembuluh darah lakunar (small vessel thrombosis). Kerusakan ini dapat mengaktivasi dan melekatkan platelet pada permukaan endotel tersebut, kemudian membentuk bekuan fibrin. Penyebab terjadinya kerusakan yang paling sering adalah aterosklerosis (aterotrombotik). Pada aterotrombotik terbentuk plak akibat deposisi lipid sehingga terjadi penyempitan lumen pembuluh darah yang menghasilkan aliran darah yang turbulen sepanjang area stenosis. Hal ini dapat menyebabkan disrupsi intima atau pecahnya plak sehingga memicu aktivitas trombosit. Gangguan pada jalur koagulasi atau trombolisis juga dapat menyebabkan thrombus. Pembentukan thrombus atau emboli yang menutupi arteri akan menurunkan aliran darah di serebral dan bila ini berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan iskemik jaringan sekitar lokasi thrombus (Fagan and Hess, 2008). 2.1.6 Manifestasi Klinik Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami kelemahan pada salah satu sisi tubuh dan kesulitan dalam berbicara atau 15 memberikan informasi karena adanya penurunan kemampuan kognitif atau bahasa (Fagan and Hess, 2008). Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah bertahun–tahun, berupa : 10. Nyeri kepala saat terjaga, kadang–kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium 11. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi 12. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat 13. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus 14. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler (Corwin, 2001). 2.1.7 Faktor Risiko Stroke disebabkan oleh banyak faktor, yang sebagian besar sesungguhnya bisa dikendalikan. Virgil Brown, MD, dari Emory University, Atlanta, menyatakan bahwa stroke merupakan akibat dari life style (gaya hidup) manusia modern yang tidak sehat. Hal ini tampak pada perilaku mengonsumsi makanan yang tinggi kolesterol dan rendah serat, kurang dalam aktivitas fisik serta berolahraga, akibat stress/ kelelahan, konsumsi alkohol berlebihan, kebiasaan merokok. Berbagai faktor risiko itu selanjutnya akan berakibat pada pengerasan pembuluh arteri (arteriosklerosis), sebagai pemicu stroke (Diwanto, 2009). Menurut The WHO Task Force on Stroke and other Cerebrovascular Disorders (1988), faktor risiko stroke iskemik adalah: (1) hipertensi, (2) diabetes mellitus, (3) penyakit jantung, (4) serangan iskemik sepintas (TIA), (5) obesitas, (6) hiper-agregasi trombosit, (7) alkoholism, (8) merokok, (9) peningkatan kadar lemak darah (kolesterol, trigliserida LDL), (10) 16 hiperurisemia, (11) infeksi, (12) faktor genetik atau keluarga, dan (13) lainlain (migren, suhu dingin, kontrasepsi tinggi estrogen, status sosio-ekonomi, hematokrit, peningkatan kadar fibrinogen, proteinuria dan intake garam berlebih). Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia, jenis kelamin, dan hereditas. Walaupun faktor ini tidak dapat diubah, namun tetap berperan sebagai pengidentifikasi yang penting pada pasien yang berisiko terjadinya stroke, di mana pencarian yang agresif untuk kemungkinan faktor risiko yang lain sangat penting (Gofir, 2009). 2.1.7.1 Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi a. Usia Siapa pun tidak akan pernah bisa menaklukkan usia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa usia itu kuasa Tuhan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun. Meskipun demikian, bukan berarti usia muda atau produktif akan terbebas dari serangan stroke (Wiwit S., 2010). b. Jenis Kelamin Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke daripada wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun anehnya, justru lebih banyak wanita yang meninggal dunia karena stroke. Hal ini disebabkan pria umumnya terkena serangan stroke pada usia muda. Sedangkan, para wanita justru sebaliknya, yaitu saat usianya sudah tinggi (tua) (Wiwit S., 2010). c. Garis Keturunan Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan saling berkaitan. Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh darah menjadi faktor genetik yang berperan. Cadasil, yaitu suatu cacat 17 pada pembuluh darah dimungkinkan merupakan faktor genetik yang paling berpengaruh. Selain itu, gaya hidup dan pola makan dalam keluarga yang sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah juga meningkatkan resiko stroke (Wiwit S., 2010). d. Asal Usul Bangsa Berdasarkan literatur, bangsa Afrika, Asia, dan keturunan Hispanik lebih rentan terkena serangan stroke (Wiwit S., 2010). e. Kelainan Pembuluh Darah (Atrial Fibrillation) Kelainan ini adalah suatu kondisi ketika salah satu bilik jantung bagian atas berdetak tidak sinkron dengan jantung. Akibatnya, terjadi penggumpalan darah yang menyebabkan sumbatan pembuluh darah. Gumpalan darah tersebut akan terbawa sampai ke pembuluh darah otak dan menyebabkan stroke. Hasil penelitian menunjukkan, sebanyak 20% stroke disebabkan oleh kelainan itu. Kelainan pembuluh darah ini dapat dikontrol dengan obat atau operasi (Wiwit S., 2010). 2.1.7.2 Faktor yang Dapat Dimodifikasi a. Hipertensi Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe stroke, baik stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Peningkatan risiko stroke terjadi seiring dengan peningkatan tekanan darah. Walaupun tidak ada nilai pasti korelasi antara peningkatan tekanan darah dengan risiko stroke, diperkirakan risiko stroke meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik, dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah dengan pengendalian tekanan darah (Indiana Stroke Prevention Task Force January 2006/ Updated, 2007). Beberapa peneliti melaporkan bahwa apabila hipertensi tidak diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat mengakibatkan edema 18 otak, namun berdasarkan penelitian dari Chamorro menunjukkan bahwa perbaikan sempurna pada stroke iskemik dipermudah oleh adanya penurunan tekanan darah yang cukup ketika edema otak berkembang sehingga menghasilkan tekanan perfusi serebral yang adekuat (PERDOSSI, 2007). b. Diabetes Melitus Orang dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap aterosklerosis dan peningkatan prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid darah yang abnormal. Pada tahun 2007 sekitar 17,9 juta atau 5,9% orang Amerika menderita diabetes. Berdasarkan studi case control pada pasien stroke dan studi epidemiologi prospektif telah menginformasikan bahwa diabetes dapat meningkatkan risiko stroke iskemik dengan risiko relatif mulai dari 1,8 kali lipat menjadi hampir 6 kali lipat. Berdasarkan data dari Center for Disease Control and Prevention 1997-2003 menunjukkan bahwa prevalensi stroke berdasarkan usia sekitar 9 % stroke terjadi pada pasien dengan penyakit diabetes pada usia lebih dari 35 tahun (Goldstein et al, 2011). c. Dislipidemia Terdapat 4 penelitian case-control yang melaporkan kaitan antara hiperkolesterolemia dan risiko PIS (perdarahan intraserebral). Odds Ratio keseluruhan untuk kolesterol yang tinggi adalah 1,22 (95% CI: 0,56–2,67), di mana penyelidikan terhadap penelitian kohort melaporkan kaitan antara hiperkolesterolemia dan PIS; semuanya meneliti kadar kolesterol serum total. Leppala el al. (1999) menemukan RR adjusted PIS sebesar 0,20 (95% CI: 0,10-0,42) untuk kadar kolesterol > 7,0 mmol/L dibandingkan dengan kadar kolesterol < 4,9 mmol/L (Ariesen et al., 2003). 19 d. Merokok Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika Serikat pertahunnya diperkirakan sekitar 21.400 (tanpa ada penyesuaian untuk faktor resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian), ini menunjukkan bahwa rokok memberikan kontribusi terjadinya stroke yang berakhir dengan kematian sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et al, 2011). e. Pemakaian Alkohol Sebuah meta-analisis terhadap 35 penelitian dari tahun 1966 hingga 2002 melaporkan bahwa dibandingkan dengan bukan pengguna alkohol, individu yang mengkonsumsi < 12 g per hari (1 minuman standar) alkohol memiliki adjusted RR yang secara signifikan lebih rendah untuk stroke iskemik (RR: 0,80; 95% CI: 0,67 hingga 0,96), demikian juga individu yang mengkonsumsi 12 hingga 24 g per hari (1 hingga 2 standar minum) alkohol (RR: 0,72; 95% CI: 0,57). Tetapi, individu yang mengkonsumsi alkohol > 60 g per hari memiliki adjusted RR untuk stroke iskemik yang secara signifikan lebih tinggi (RR: 1,69; 95% CI: 1,3 hingga 2,1) (Hankey et al., 2006). f. Obesitas Sebuah penelitian kohort observasional prospektif terhadap 21.144 laki–laki Amerika Serikat yang di follow-up selama 12,5 tahun (rerata) untuk kejadian 631 stroke iskemik menemukan bahwa BMI ≥ 30 kg/mm3 berhubungan dengan adjusted relative risk (RR) sroke iskemik sebesar 2,0 (95% CI: hingga 2,7) dibandingkan dengan laki– laki dengan BMI < 30 kg/mm3 (Seung–Han et al., 2003). g. Serangan Iskemik Sepintas (TIA) Dennis et al. (1989) meneliti risiko stroke rekuren pada pasien dengan TIA dan stroke minor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 20 risiko stroke rekuren dan atau kematian lebih tinggi pada minor ischemic stroke (stroke iskemik ringan) walaupun perbedaan yang signifikan hanya pada kematian. Perbedaan prognosis yang tampak mungkin disebabkan karena prognosis yang baik pada pasien dengan amaurosis fugax di antara pasien dengan transient ischemic attack. h. Penyakit Jantung Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang pria dewasa, AF ditemukan pada 1–1,5% populasi di negara–negara barat dan merupakan salah satu faktor risiko independen stroke. AF dapat menyebabkan risiko stroke atau emboli menjadi 5 kali lipat daripada pasien tanpa AF. Kejadian stroke yang didasari oleh AF sering diikuti dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan penurunan kemampuan fungsi daripada stroke karena penyebab yang lain. Risiko stroke karena AF meningkat jika disertai dengan beberapa faktor lain, yaitu jika disertai usia > 65 tahun, hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung, atau riwayat stroke sebelumnya seperti yang dikategorikan dalam CHAD. Pada CHAD umur > 65 tahun, gagal jantung, hipertensi, dan DM dinilai 1 point setiap kali ditemukan dan riwayat stroke atau emboli sebelumnya dinilai 2 point (Gage et al., 2004). i. Peningkatan Kadar Hematokrit Berdasarkan penelitian La Rue et al. (1987), pasien dengan kadar hematokrit tinggi memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena infark lakuner, tetapi tidak untuk stroke oleh karena trombus atau emboli atau stroke perdarahan. Diduga kenaikan hematokrit akan meningkatkan viskositas darah dan ada hubungan terbalik antara viskositas dengan aliran darah otak. ADO yang rendah viskositas yang tinggi berakibat konsumsi oksigen oleh jaringan otak akan berkurang, dan jelas lebih 21 rendah pada daerah yang disuplai oleh arteri–arteri yang kecil yang tidak memiliki kolateral seperti yang terjadi pada infark lakunar. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan kenaikan hematokrit secara signifikan disertai kenaikan tekanan darah sistolik. j. Peningkatan Kadar Fibrinogen Penelitian meta–analisis (Rothwell., 2004) terhadap 3 penelitian prospektif dengan 5.113 pasien TIA dan stroke iskemik minor yang di follow–up selam 5 tahun mengungkapkan bahwa kadar fibrinogen pasien di atas median berhubungan dengan risiko stroke iskemik, dibandingkan dengan kadar fibrinogen yang berada di bawah median (HR: 1,34; 95% CI: 1,13 hingga 1,60). Terdapat hubungan lebih kuat pada pasien dengan sindrom lakunar (HR: 1,42; 95% CI: 1,13–1,78) dibandingkan lakunar (HR: 1,09; 95% CI: 0,80 hingga 1,49) tetapi hasilnya tidak terlalu signifikan (p = 0,018). k. Migren Migren dan penyakit serebrovaskuler memiliki hubungan dalam cara yang berbeda. Migren merupakan kemungkinan penyebab untuk stroke seperti dalam migrainous infarction. Nyeri kepala mungkin adalah sebuah gejala dari penyakit serebrovaskuler dan juga faktor risiko untuk stroke. Banyak gangguan serebrovaskuler seperti perdarahan serebri, trombosis sinus vena, diseksi arteri karotis atau vertebralis, dan stroke iskemik yang mungkin muncul dengan atau diikuti nyeri kepala. Konsep stroke yang dipicu migrain telah digambarkan dengan baik oleh migrainous infarction, yang telah dijelaskan dengan baik dalam klasifikasi International Headache Society (IHS) yang telah direvisi, dan mewakili gambaran paling kuat hubungan antara stroke iskemik dan migren adalah patent foramen ovale (PFO) yang mungkin memainkan sebuah peranan patogenesis 22 dalam kedua gangguan ini. Hubungan antara migren dan artery dissection (CAD) dilaporkan di dalam beberapa penelitian terbaru. Migren lebih sering pada pasien dengan CAD. Hal ini mendukung hipotesis bahwa penyakit dinding arteri yang mendasari mungkin adalah kondisi menyebabkan predisposisi untuk migren (Agostoni et al., 2004). 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI atau CT scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan hemoragik serta mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa (kecurigaan stroke luas). Stroke iskemik adalah diagnosis yang paling mungkin bila CT scan tidak menunjukkan perdarahan, tumor, atau infeksi fokal, dan bila temuan klinis tidak menunjukkan migren, hipoglikemia, ensefalitis, atau perdarahan subarakhnoid (Goldszmidt et al., 2009). Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa yang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana stroke yang diderita oleh seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui terlebih dahulu sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau antiagregasi platelet. CT scan dibedakan menjadi dua yaitu, CT scan non kontras yang digunakan untuk membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke iskemik yang harus dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan penyebab lain yang memberikan gambaran klinis menyerupai gejala infark atau perdarahan di otak, misalnya adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah CT scan kontras yang digunakan untuk mendeteksi malformasi vaskular dan aneurisme (Lumbantobing., 2001). 23 2.1.9 Penatalaksanaan Terapi Perawatan stroke terdiri dari perawatan medis dan nonmedis. Perawatan medis pada awal serangan bertujuan menghindari kematian dan mencegah kecacatan. Setelah itu, perawatan medis ditujukan untuk mengatasi keadaan darurat medis pada stroke akut, mencegah stroke berulang, terapi rehabilitatif untuk stroke kronis, dan mengatasi gejala sisa akibat stroke. Terapi stroke secara medis antara lain dengan pemberian obat-obatan, fisioterapi, dan latihan fisik untuk mengembalikan kemampuan gerak sehari-hari (Wiwit S., 2010). 2.1.9.1 Terapi Non Farmakologi a. Perubahan Gaya Hidup Terapeutik Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang penting untuk semua pasien yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan terapi obat untuk hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut harus diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet dan perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011). Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau berbunga terbukti memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik pada studi Framingham (JAMA 1995;273:1113) dan studi Nurses Health (JAMA 1999;282:1233), setiap peningkatan konsumsi per kali per hari mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet rendah lemak trans dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga direkomendasikan. Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1 kali per hari) dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga 20% dalam 12 tahun (N Engl J Med 1999;341:1557), namun konsumsi alkohol berat (> 5 kali/ hari) meningkatkan risiko stroke. 24 b. Aktivitas fisik Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke setara dengan merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya melakukan sedikit latihan fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua pasien harus diberitahu untuk melakukan aktivitas aerobik sekitar 3045 menit setiap hari (Goldszmidt et al., 2011). Latihan fisik rutin seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat, sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung). Latihan juga merupakan komponen yang berguna dalam memaksimalkan program penurunan berat badan, meskipun pengaturan pola makan lebih efektif dalam menurunkan berat badan dan pengendalian metabolisme (Sweetman, 2009). 2.1.9.2 Terapi Farmakologi Outcome/ goal penatalaksanaan terapi stroke akut, antara lain: (1) mengurangi progesivitas kerusakan neurologi dan mengurangi angka kematian, (2) mencegah komplikasi sekunder yaitu disfungsi neurologi dan imobilitas permanen, (3) mencegah stroke ulangan. Terapi yang diberikan tergantung pada jenis stroke yang dialami (iskemik atau hemoragik) dan berdasarkan pada rentang waktu terapi (terapi pada fase akut dan terapi pencegahan sekunder atau rehabilitasi). Strategi pengobatan stroke iskemik ada dua, yang pertama reperfusi yaitu memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk memperbaiki iskemik dengan obat-obat antitrombotik (antikoagulan, antiplatelet, trombolitik). Kedua dengan neuroproteksi yaitu pencegahan kerusakan otak agar tidak berkembang lebih berat akibat adanya area iskemik (Fagan and Hess, 2008). 25 Berdasarkan guidelines American Stroke Association (ASA), untuk pengurangan stroke iskemik secara umum ada dua terapi farmakologi yang direkomendasikan dengan grade A yaitu t-PA dengan onset 3 jam dan aspirin dengan onset 48 jam (Fagan and Hess, 2008). a. Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator/ tPA) Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darah, melalui enzim plasmin yang mencerna fibrin (komponen pembekuan darah). Akan tetapi, obat ini mempunyai risiko, yaitu perdarahan. Hal ini disebabkan kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang menyumbat pembuluh darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam pembuluh darah. Selain itu, tPA hanya bermanfaat jika diberikan sebelum 3 jam dimulainya gejala stroke. Pasien juga harus menjalani pemeriksaan lain, seperti CT scan, MRI, jumlah trombosit, dan tidak sedang minum obat pembekuan darah (Wiwit S., 2010). Tabel 2.1 karakteristika pasien stroke yang mungkin sesuai untuk terapi tissue plasminogen aktivator intravena Usia ≥ 18 tahun Diagnosis stroke iskemik menyebabkan defisit neurologis yang secara klinis jelas Tidak ada stroke atau trauma kepala dalam 3 bulan sebelumnya Tidak ada pembedahan mayor dalam 14 hari sebelumnya Tidak ada riwayat perdarahan intracranial Tekanan darah sistolik ≤ 185 mmHg Tekanan darah diastolik ≤ 110 mmHg Tidak ada gejala yang hilang dengan cepat atau gejala stroke yang ringan Tidak ada gejala yang memungkinkan munculnya dugaan perdarahan subarakhnoid 26 Lanjutan Tidak ada perdarahan gastrointestinal atau perdarahan traktus urinarius dalam 21 bulan sebelumnya Tidak ada pungsi arteri pada lokasi yang non–compressible dalam 7 hari sebelumnya Waktu protrombin 15 detik atau international normalized ratio ≤ 1,7 tanpa penggunaan obat antikoagulan Waktu partial-protrombin dalam rentang normal, jika heparin diberikan selama 48 jam sebelumnya Hitung trombosit ≤ 100.000/mm3 Konsentrai glukosa darah > 50 mg/dl (2,7 mmol/I) Tidak ada kebutuhan untuk langkah agresif dalam menurunkan tekanan darah hingga batas yang telah disebutkan di atas (Gofir, 2009) b. Antiplatelet The American Heart Association/ American Stroke Association (AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan sebagai terapi pencegahan stroke iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) merupakan terapi antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan and Hess, 2008). Berbagai obat antiplatelet, seperti asetosal, sulfinpirazol, dipiridamol, tiklopidin, dan klopidogrel telah dicoba untuk mencegah stroke iskemik. Agen ini umumnya bekerja baik dengan mencegah pembentukan tromboksan A2 atau meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini dapat membangun kembali keseimbangan yang tepat antara dua zat, sehingga mencegah adesi dan agregasi trombosit. Belum ada data penelitian yang merekomendasikan obat golongan antiplatelet selain dari aspirin. Aspirin merupakan antiplatelet yang lebih murah, sehingga akan berpengaruh pada tingkat kepatuhan jangka panjang. Bagi pasien yang tidak tahan terhadap aspirin karena alergi atau efek samping pada saluran cerna yaitu mengiritasi 27 lambung, dapat direkomendasikan dengan penggunaan klopidogrel. Klopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan asetosal dengan penurunan resiko serangan berulang 7,3% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian asetosal. Kombinasi asetosal dan klopidogrel tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko perdarahan dan tidak menunjukkan hasil yang signifikan dengan pemberian tunggal klopidogrel (Tatro, 2008). c. Pemberian Neuroprotektan Pada stroke iskemik akut, dalam batas–batas waktu tertentu sebagian besar jaringan neuron dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif. Cara kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan tentu saja kebutuhan oksigen sel–sel neuron. Dengan demikian neuron terlindungi dari kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya timbul setelah cedera sel neuron. Suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan, serebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolisme kalsium neuron dan juga memperlihatkan efek neurotrofik (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006). Beberapa diantaranya adalah golongan penghambat kanal kalsium (nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamat (aptiganel, gavestinel, selfotel), agonis GABA (klokmethiazol), penghambat peroksidasi lipid (tirilazad), antibody anti-ICAM-1 (enlimobab), dan aktivator metabolik (sitikolin). Pemberian obat golongan neuroprotektan sangat diharapkan dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian (McEvoy, 2008). d. Pemberian Antikoagulan Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan fibrilasi atrial dan sejarah stroke atau TIA, resiko kekambuhan pasien merupakan salah satu resiko tertinggi yang diketahui. Pada percobaan yang dilakukan Eropa 28 Atrial Fibrilasi Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669 pasien yang mengalami fibrilasi atrial nonvalvular dan sebelumnya pernah mengalami stroke atau TIA. Pasien pada kelompok plasebo, mengalami stroke, infark miokardium atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun, 8% per tahun pada kelompok warfarin dan 15% per tahun pada kelompok asetosal. Ini menunjukan pengurangan sebesar 53% risiko pada penggunaan antikoagulan (Fagan & Hess, 2008). Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah stroke iskemik tidak direkomendasikan karena pemberian antikoagulan (heparin, LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan komplikasi perdarahan yang serius. Penggunaan warfarin direkomendasikan baik untuk pencegahan primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat meningkatkan risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki outcome neurologic atau sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi (PERDOSSI, 2007). 2.1.9.3 Rehabilitasi Pasca Stroke Tujuan utama rehabilitasi adalah untuk mencegah komplikasi, meminimalkan gangguan, dan memaksimalkan fungsi organ. Prioritas rehabilitasi stroke dini adalah pencegahan stroke sekunder, managemen dan pencegahan penyakit penyerta dan komplikasi. Pada dasarnya rehabilitasi pada pasien stroke iskemik maupun stroke hemoragik memilki prinsip yang sama. Rehabilitasi tersebut meliputi terapi berbicara, terapi fisik, dan terapi occupasional (Aminoff, 2009). 29 2.2 Hipertensi 2.2.1 Definisi Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan darah manusia. Tekanan darah itu sendiri didefinisikan sebagai tekanan yang terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah dipompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh. Penyakit hipertensi lebih akrab disebut sebagai penyakit darah tinggi. Penyakit ini sebenarnya sebuah hipertensi arteri yang diakibatkan tekanan darah yang meningkat secara kronis. Penyakit ini terjadi tanpa gejala yang dapat meningkatkan penyakit stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, sampai kerusakan ginjal (Wiwit S., 2010). Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg sampai lebih dari 140 mmHg atau aliran tekanan darah diastolik 90 mmHg sampai lebih dari 90 mmHg pada individu. Hipertensi berat meningkatkan stroke hingga 7 kali lipat, dan hipertensi perbatasan meningkatkan risiko hingga 1,5 kali lipat (Goldszmidt et al., 2011). 2.2.2 Epidemiologi Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, di mana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat dalam dekade terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi (Yogiantoro, 2006). Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara yang sudah maju. Dari data The National Health and 30 Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31% yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988–1991. Dan hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi (Yogiantoro, 2006). Di Indonesia belum ada penelitian nasional multicenter yang menggambarkan prevalensi secara tepat. Boedhi Darmojo dalam tulisannya yang dikumpulkan dari berbagai penelitian melaporkan bahwa 1,8-28,6% penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah pasien hipertensi. Pada umumnya prevalensi pasien hipertensi berkisar antara 8,6-10%. Berdasakan penelitian Susalit E., terlihat adanya kecendrungan bahwa masyarakat perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat pedesaan. Sedangkan berdasarkan penelitian Syakib Bakri, prevalensi terjadinya hipertensi pada masyarakat kelompok industri 11,75%, pada nelayan 9,75%, dan pada kelompok petani sekitar 7,92%. Data di atas menggambarkan bahwa masalah hipertensi perlu mendapatkan penanganan yang tepat dan baik, mengingat prevalensi yang tinggi dan komplikasi ditimbulkan cukup berat. Berdasarkan uji klinik diketahui bahwa dengan penatalaksaan yang baik dapat mengurangi insiden stroke 35-40%, infark miokard 20-25%, dan gagal jantung > 50% (Yusuf, 2008). 2.2.3 Etiologi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu: a) Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti genetik, lingkungan, 31 hiperaktivitas sususan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, peningkatan Natrium dan Kalsium intraseluler, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polositemia (Mansjoer, 2001). b) Hipertensi Sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya tidak diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom cushing, feokromositoma, koarketasioaorta serta hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan (Mansjoer, 2001). 2.2.4 Patofisiologi Mengenal patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidak pastian. Sebagian kecil pasien (2%-5%) menderita penyakit ginjal atau adrenal sebagai penyebab meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya tidak dijumpai penyebabnya dan keadaan ini dinamai hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. Mungkin banyak faktor yang saling berkaitan ikut berperan dalam terjadinya peningkatan tekanan darah, dan faktor-faktor ini dapat berbeda pada masing-masing pasien (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat (Anonim, 2006). 32 Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Darah (mmHg) Diastolik (mmHg) < 120 < 80 Prehipertensi 120-139 80-89 Hipertensi stage 1 140-159 90-99 Hipertensi stage 2 ≥ 160 ≥ 100 Normal (JNC, 2003) Dari hasil penelitian pada penduduk desa dan kota didapatkan bahwa faktor herediter (turunan) juga ada peranannya, bersifat poligenik, di samping pengaruh faktor lingkungan (Davies, 1983). Faktor yang telah banyak diteliti ialah: asupan-garam, obesitas, resistensi terhadap insulin, sitem rennin-angiotensin, dan sistem saraf simpatis. Selama beberapa tahun terakhir faktor-faktor lain dievaluasi, termasuk faktor genetik, disfungsi endothelial (yang bermanifestasi pada perubahan endotelin dan oksidanitrogen) I, berat badan lahir yang rendah dan nutrisi intrautenin dan anomaly neurovascular (Beevers, 2001). 2.2.5 Patogenesis Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan suatu penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dianamis antara faktor genetik, lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah jantung dan atau tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi ginjal, meningkatnya saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin angiotensin 33 aldosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfunsi endotel merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme hipertensi (Soemantri & Nugroho, 2006). 2.2.6 Manifestasi Klinik Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah bertahun–tahun, berupa : 15. Nyeri kepala saat terjaga, kadang–kadang disertai mual dan muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium 16. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi 17. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat 18. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus 19. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler (Corwin., 2001). 2.2.7 Faktor Risiko Hipertensi lama atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa kerusakan organ pada jantung, otak, ginjal, mata, dan pembuluh darah perifer. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal jantung, dan pada otak dapat terjadi stroke. Pengendalian berbagai faktor risiko pada hipertensi sangat penting untuk mencegah komplikasi kardiovaskular. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain tekanan darah, kelainan metabolik (diabetes melitus, lipid darah, asam urat dan obesitas), merokok, alkohol dan inaktifitas, sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, dan faktor genetik (Nafrialdi, 2007). 34 2.2.8 Penatalaksanaan Terapi Ada 9 kelas obat antihipertensi. Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama (Depkes., 2006). Tabel 2.3 Obat Antihipertensi Kelas Obat Kisaran dosis harian Frekuensi dosis (mg) Diuretic tiazid Klortalidon (higroton) 12,5 – 25 1 Hidrokortiazid 12,5 – 25 1 Indapamid 1,25 – 2,5 1 Metolazon 0,5 1 Bumetanid 0,2 – 2 2 Furosemid 20 – 80 2 Torsemid 2,5 – 5 1 Diuretic “loop” Diuretic “potassium sparing” Amilorid 5 1 atau 2 Spironolakton 25 – 50 2 atau 3 Triamteren 50 – 100 1 atau 2 Atenolol 25 – 50 1 Betaxolol 5 – 20 1 Bisoprolol 2,5 – 10 1 Metoprolol 50 – 100 1 atau 2 Nadolol 40 – 80 1 Propanolol 40 – 120 2 Timolol 10 – 40 1 Beta-bloker Betabloker dengan ISA Acebutolol 200 – 800 2 Carteolol 2,5 – 5 1 Penbutolol 20 1 10 – 40 2 Pindolol Alfa/beta bloker 35 Kelas Obat Kisaran dosis harian Frekuensi dosis (mg) Carvedilol 12,5 – 25 2 Labetalol 200 – 800 2 Benazepril 10 – 20 1 atau 2 Captopril 12,5 – 100 2 Enalapril 2,5 – 20 1 atau 2 Fisinopril 10 – 20 1 Lisinopril 5 – 20 1 Moexipril 7,5 - 30 1 Quinapril 5 – 40 1 Ramipril 1,5 - 10 1 ACE inhibitors Angiotensin receptor blockers Candesartan 8 – 32 1 Eprosartan 400 - 800 1 atau 2 Irbesartan 150 - 300 1 Losartan 25 - 100 1 atau 2 Olmesartan 20 – 40 1 Telmisartan 20 – 80 1 Valsartan 80 - 320 1 Calcium antagonis, calcium channel blocking agents Diltiazem 180 – 360 2 Verapamil 180 – 480 1 atau 2 Amlodipin 5 – 20 1 Felopodipin 5 – 20 1 Isradipin 2,5 – 5 2 Nicardipin 20 – 40 3 Nifedipin 30 – 120 1 Nisoldipin 20 – 60 Calcium antagonist, dihydropyridines (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008) 36 2.2.9 Hubungan Hipertensi dan Stroke Hipertensi merupakan satu dari beberapa faktor risiko stroke iskemik. Berdasarkan banyak penelitian berbagai klinis dan meta-analisis menunjukkan bahwa dengan mengendalikan hipertensi akan mengurangi risiko terjadinya stroke. Hipertensi juga diduga memicu terjadinya aterosklerosis, namun aterogenesisnya tidak diketahui dengan pasti. Diduga tekanan darah tinggi merusak endotel dan menaikkan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Tidak hanya itu, diduga beberapa zat yang dikeluarkan oleh tubuh seperti renin, angiotensin dan lain–lain dapat menginduksi perubahan seluler yang menyebabkan aterogenesis (Sacco., 2000). Pada orang normal terdapat suatu sistem autoregulasi arteri serebral. Bila tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi vasospasme (vasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik menurun, pembuluh serebral akan menjadi vasodilatasi. Dengan demikian, aliran darah ke otak tetap konstan. Batas atas tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi adalah 200 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan 110–120 mmHg untuk tekanan darah diastolik (Becker., 2008). Ketika tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan darah. Bila tekanan darah cukup tinggi selama berbulan–bulan atau bertahun–tahun akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh darah serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari tekanan darah sistemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka perfusi kejaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik 37 serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya, terjadi hiperemia, edema, dan kemungkinan terjadi perdarahan pada otak (Becker., 2008). Pada hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma dengan diameter 1 mm. Mikroaneurisma ini dikenal dengan aneurisma dari CharcotBouchard dan terutama terjadi pada arteria lentikulostriata. Pada lonjakan tekanan darah sistemik, sewaktu orang marah atau mengejan, aneurisma bisa pecah. Hipertensi yang kronis merupakan salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotelial dari pembuluh darah. Pada keadaan normal, endotelial menunjukkan fungsi dualistik. Sifat ini secara simultan mengekspresikan dan melepaskan zat-zat vasokonstriktor (angiotensin II, endotelin-I, tromboksan A-2, dan radikal superoksida) serta vasodilator (prostaglandin dan nitrit oksida). Faktor–faktor ini menyebabkan dan mencegah proliferasi sel sel otot polos pembuluh darah secara seimbang. Keseimbangan antara sistem antagonis ini dapat mengontrol secara optimal fungsi dinding pembuluh darah. Akibat disfungsi endotel, terjadi vasokonstriksi, proliferasi sel–sel otot polos pembuluh darah, agregasi trombosit, adhesi lekosit, dan peningkatan permeabilitas untuk makromolekul, seperti lipoprotein, fibrinogen dan imunoglobulin. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis memegang peranan penting untuk terjadinya stroke infark (Becker, 2008). 2.2.10 Patofisiologi Hipertensi pada Stroke Otak mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi, dengan berat hanya 2% dari berat badan menggunakan 20% oksigen total dari 20% darah yang beredar. Pada keadaan oksigenasi cukup terjadi metabolisme aerobik dari 1 mol glukosa dengan menghasilkan energi berupa 38 mol adenosin 38 tripospat (ATP) yang diantaranya akan digunakan untuk mempertahankan pompa natrium (Na-K pump), transport neurotransmiter (glutamat, dll.) ke dalam sel, sintesis protein, lipid dan karbohidrat, serta transfer zat-zat dalam sel, sedangkan dalam keadaan iskemia seperti pada pasien stroke terjadi metabolisme anaerobik di mana 1 mol glukosa menghasilkan 2 ATP sehingga pompa ion (Na-K pump), transport neurotransmiter (glutamat, dll.) ke dalam sel, sintesis protein, lipid dan karbohidrat, serta transfer zat-zat dalam terganggu dan apabila keadaan ini tidak segera diatasi maka akan terjadi kematian sel. Keadaan normal aliran darah otak dipertahankan oleh suatu mekanisme otoregulasi kurang lebih 58 ml/100gr/menit dan dominan pada daerah abu-abu, dengan mean arterial blood pressure (MABP) antara 50-160 mmHg. Mekanisme gagal bila terjadi perubahan tekanan yang berlebihan dan cepat atau pada stroke fase akut. Jika MABP kurang dari 50 mmHg akan terjadi iskemia sedang jika lebih dari dari 160 mmHg akan terjadi gangguan sawar darah otak dan terjadi edema serebri atau ensefalopati hipertensif (Jannis., 2003). Selain terdapat mekanisme otoregulasi yang peka terhadap perubahan kadar oksigen dan karbondioksida. Kenaikan kadar karbondioksida darah menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan kenaikan kadar oksigen menyebabkan vasokonstriksi. Nitrikoksid merupakan vasodilator lokal yang dilepaskan oleh sel endotel vaskuler (Budiarto, 2002). 2.2.11 Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Iskemik Penatalaksanaan hipertensi yang tepat pada stroke akut sangat mempengaruhi mobilitas dan mortalitas stroke. Sebagian besar ahli tidak merekomendasikan terapi hipertensi pada stroke iskemik akut, kecuali terdapat hipertensi berat yang menetap yaitu tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau diastolik > 120 mmHg. Sebagian besar ahli berpendapat obat– 39 obat antihipertensi yang ada sebelum serangan stroke diteruskan pada fase awal serangan stroke dan menunda pemberian obat antihipertensi yang baru sampai dengan 7–10 hari paska serangan stroke (PERDOSSI., 2004). Pada penderita dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau > 110 mmHg bila akan dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai penderita hipertensi emergensi berupa drip kontinyu nikardipin, diltiazem, nimodipin dan lain-lain. Jika tekanan sistolik > 230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 121-140 mmHg, berikan labetalol i.v. selama 1-2 menit. Dosis labetalol dapat diulang atau digandakan setiap 1-2 menit sampai tekanan darah yang memuaskan dapat tercapai atau sampai dosis komulatif 300 mg yang diberikan melalui teknik bolus mini, setelah dosis awal, labetalol dapat diberikan setiap 6-8 jam bila diperlukan (PERDOSSI., 2004). Jika tekanan sistolik 180-230 mmHg dan atau tekanan darah diatolik 15-120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali ada bukti perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut, gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan sebagainya. Jika pengukuran tekanan darah tersebut menetap pada dua kali pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200-300 mg labetalol 23 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan alternatif yang memuaskan selain labetalol adalah nifedipin oral 60 mg setiap 6 jam atau 6,25-25 mg kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau obat tidak dapat diberikan peroral, maka diberikan labetalol i.v. batas penurunan tekanan darah sebanyak–banyaknya sampai 20%-25% dari tekanan darah arterial rerata, dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus perkasus (PERDOSSI., 2004). 40 2.2.12 Obat – Obat yang Digunakan 1. Diuretic Thiazide Obat golongan diuretik menurunkan tekanan darah dengan jalan membantu tubuh menyingkirkan kelebihan cairan dan natrium melalui urinasi. Golongan ini adalah yang paling tua dan paling banyak digunakan daripada obat antihipertensi lain. Diuretik tertentu, yaitu kelompok tiazid dapat berperan sebagai vasodilator dengan membuka pembuluh darah. Efek samping antara lain keletihan, keram kaki, lemah, encok (jarang), peningkatan gula darah, terutama pada penderita diabetes, dan penurunan libido dan atau impotensi. Diuretik terbagi ke dalam tiga subkategori: Diuretik tiazid (Klorotizida, Klortalidon, Hidroklorotiazid, Politiazid, Indapamid, Metolazon), Loop Diuretic (Bumetanida, Furosemida, Torsemida), Diuretic Hemat-Kalium (Amilorida, Triamteren) (Kowalski, 2010). 2. β - Blocker Obat golongan penyekat beta, istilah lengkapnya adalah beta adrenergic blocker, melambatkan detak jantung dan pompa darah, sehingga menurunkan tekanan darah. Golongan ini secara rutin diresepkan kepada pasien yang pernah mengalami serangan jantung (myocardial infarction atau MI), karena hasil penelitian membuktikan bahwa konsumsi obat-obatan ini, setidaknya satu tahun setelah MI, dapat mencegah serangan kedua. Penyekat beta juga digunakan untuk mengatasi gangguan irama jantung yang dikenal sebagai aritmia. Mekanisme kerjanya adalah menyekat efek dari senyawa yang merangsang jantung, yaitu adrenalin, dengan menurunkan produksi adrenalin dalam otak; oleh karenanya, golongan ini memiliki efek “mediasi pusat” terhadap tekanan darah. Penyekat beta sering dikombinasi dengan senyawa antihipertensi lain. Efek samping yang diketahui, antara lain, penurunan kapasitas olah raga, lesu, letih, dan 41 impotensi. Contoh: Asebutolol, Atenolol, Betaksolol, Bisoprolol/ hidroklorotiazid, Karteolol, Metoprolol, Nadolol (Kowalski, 2010). 3. Kombinasi α dan β – Blocker Obat-obatan ini memberi manfaat dari kelas alfa dan beta dan biasanya diresepkan kepada seseorang yang menderita kerusakan otot jantung setelah serangan jantung. Efek samping yang paling sering muncul adalah pening ketika bangkit dari duduk atau posisi berbaring karena penurunan drastis tekanan darah (kondisi ini disebut hipotensi postural atau orthostatic hypotension. Penyesuaian dosis akan sangat membantu) (Kowalski, 2010). Penghambat reseptor adrenergik ini memiliki aktivitas terhadap reseptor α dan β. Karena onset kerjanya yang cepat, mudah dititrasi, dan mempunyai efek yang minimal terhadap vaskularsisasi sistem saraf pusat, labetalol. Pemberian intravena merupakan salah satu obat yang direkomendasikan untuk manajemen peningkatan tekanan darah pada pasien stroke akut yang dipilih untuk menggunakan tissue plasminogen activator. Contoh: labetalol dan carvedilol (Pedelty L. & Gorelick P.B., 2006). 4. α1- Blocker Kelompok obat ini secara selektif menghambat senyawa darah khusus yang menyebabkan arteri mengalami penyempitan. Penghambatan tersebut memungkinkan peningkatan aliran darah dan penurunan tekanan darah dengan merelaksasi arteri. Efek samping, antara lain pening, mengantuk, peningkatan kecepatan jantung, atau kemerosotan tekanan darah yang menyebabkan pusing ketika bangkit dari kursi atau tempat tidur. Contoh: Doksazosin, Prazosin, Terazosin (Kowalski, 2010). 5. ACE Inhibitor Dengan menghambat kerja enzim yang mengaktifkan angiotensin. Penghambat EPA mencegah penyempitan pembuluh darah dan menurunkan resistensi aliran darah, yang pada akhirnya menurunkan tekanan darah. Efek 42 samping yang mungkin adalah kemerahan pada kulit atau reaksi alergi lain, hilang selera makan, batuk kering kronis, dan kerusakan ginjal. Selain gejala-gejala tersebut, penghambat EPA secara umum ditoleransi dengan baik. Contoh: Benazepril, Kaptopril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril, Moeksipril (Kowalski, 2010). 6. Calcium Channel Blocker (CCB) Kategori obat antihipertensi ini, disebut juga antagonis kalsium. Mengganggu jalan masuk kalsium menuju sel otot jantung dan arteri. Ini akan membatasi penyempitan arteri, memungkinkan aliran darah yang lebih lancar untuk menurunkan tekanan darah. Golongan obat ini juga diresepkan untuk mengatasi gangguan irama jantung disertai nyeri dada yang disebut sebagai angina pektoris (biasanya disebut angina saja). Efek samping meliputi jantung berdebar, bengkak pada pergelangan kaki, ruam, konstipasi, sakit kepala, dan pening. Setiap obat dalam golongan ini memiliki efek samping khusus. Contoh: Amlodipin, Bepridil, Diltiazem, Felodipin, Nifedipin, Nimodipin, Nisoldipin (Kowalski, 2010). 7. Angiotensin Reseptor Bloker (ARB) Pentingnya angiotensin II dalam mengatur fungsi kardiovaskular menyebabkan perkembangan antagonis nonpeptide dari reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) untuk penggunaan klinis. Losartan, candesartan, irbesartan, valsartan, telmisartan, dan eprosartan telah disetujui untuk pengobatan hipertensi. Obat-obat tersebut merupakan antagonis reseptor angiotensin AT1 yang sangat aktif pada pemberian per oral dan antagonis kompetitif khusus pada reseptor angiotensin AT1 yang dapat ditoleransi dengan baik. Reseptor angiotensin II dibagi menjadi dua subtipe yang berbeda, yaitu tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) terletak terutama dalam jaringan pembuluh darah, miokard, otak, ginjal, dan sel glomerulosa adrenal yang mensekresi aldosteron. Reseptor angiotensin II 43 tipe 2 (AT2) ditemukan di medula adrenal, ginjal, sistem saraf pusat, dan memiliki peran dalam pengembangan vaskular (Horiuchi et al., 1999). Angiotensin II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS (Renin Angiotensin Aldosteron System) yang melibatkan ACE (Angiotensin Converting Enzym), dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase. ACEI hanya menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB menghambat angiotensin II dari semua jalan. Oleh karena perbedaan ini, ACEI hanya menghambat sebagian dari efek angiotensin II. ARB bertindak sebagai antagonis reseptor angiotensin II dengan cara memblok reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek angiotensin II yang sudah diketahui pada manusia: vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan konstriksi arteriol efferent dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB (Anonim, 2006). ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2007). Berdasarkan studi “A Combined Role of Calsium Channel Blockers and Angiotensin Reseptor Blckers in Stroke Prevention” (Peran Kombinasi Kalsium Channel Blocker dan Angiotensin Receptor Blockers dalam Pencegahan Stroke), telah dikaitkan dengan perkembagan dan kemajuan penyakit serebrovaskular pada pasien dengan hipertensi. Angiotensin II 44 diperkirakan dapat mendorong remodeling, menghambat endoteliumdependen relaksasi dan mengganggu darah di barier otak. Sehingga penggunaan ARB ini dapat untuk cerebroprotection. Menurut hipotesis yang diusulkan oleh Boutitie et al dalam uji klinik, ARB dapat memberikan perlindungan terhadap stroke selain menurunkan tekanan darah karena mereka menghambat efek angiotensin I pada sirkulasi serebral, tetapi disini dikatakan memungkinkan angiotensin II untuk berpotensi memberikan perlindungan terhadap stroke melalui reseptor angiotensin II (Wang, 2009). ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi antihipertensi dari ARB. Seperti ACEI, Kebanyakan ARB mempunyai waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1 kali / hari. Tetapi kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling pendek dan diperlukan dosis pemberian 2 kali / hari agar efektif menurunkan tekanan darah (Anonim, 2006). Perbandingan interaksi obat dari semua golongan angiotensin reseptor bloker menunjukkan bahwa losartan memiliki potensi tertinggi untuk interaksi obat karena dimetabolisme oleh isoenzim sitokrom P450. Sedangkan pada valsartan, irbesartan, dan candesartan tidak ditemukan adanya interaksi obat yang signifikan (Barreras et al., 2003). ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI. Sama halnya dengan ACEI, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan pada penggunaan ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema; 45 tetapi cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada perempuan hamil (Anonim, 2006). Berdasarkan sebuah penelitian “Efficacy and Safety of a Fixed Combination of Irbesartan/ Hydrochlorothiazide in Chinese Patients with Moderate to Severe Hypertension” penelitian dilakukan secara prospektif untuk meneliti efikasi dan keamanan dari kombinasi irbesartan/ hidroklorothiazid pada pasien cina dengan hipertensi berat. Penelitian dilakukan pada pasien berusia 18–75 tahun dengan tekanan darah sistolik bervariasi pada setiap pasien yaitu antara 160–199 mmHg dan tekanan darah diastolik antara 100–119 mmHg. Dari hasil penelitian setelah tindak lanjut selama 12 minggu, kontrol tingkat tekanan darah mencapai tujuan yakni 57,3%. Terjadi penurunan secara signifikan pada prevalensi mikroalbuminuria dan hipertrofi ventrikel kiri dari awalnya 33,4% dan 50,4% menjadi 23,4% dan 41,3%. Namun, terdapat 4 pasien (2,0%) dilaporkan memiliki efek samping yang serius (Huang et al., 2013). Pada penelitian “Efficacy of Combination Therapy with Telmisartan Plus Amlodipine in Patients with Poorly Controlled Hypertension” dilakukan terapi kombinasi obat antihipertensi golongan ARB (telmisartan) dan golongan CCB (amlodipine) pada pasien hipertensi tidak terkontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi telmisartan (40 mg) dan amlodipine (5 mg) dapat mengurangi tekanan darah yang signifikan pada 12 minggu dari tekanan darah awal sebesar 143,7/82,3 mmHg menjadi 135,4/77,5 mmHg (Bekki et al., 2010). Elizabeth et al. (2010) menyatakan bahwa selama 15 tahun terakhir, telah dilakukan berbagai studi dengan losartan. Dalam studi tersebut, telah ditunjukkan manfaat dalam mengendalikan hipertensi, penurunan 46 proteinuria, memperlambat perkembangan diabetes nefropati tipe 2, dan penurunan resiko stroke pada populasi tertentu. Obat-Obat Golongan ARB (Angiotensin Reseptor Bloker) 1. Losartan Gambar 2.1 Struktur Losartan (Sweetman, 2009) Losartan dengan cepat diserap melalui saluran pencernaan dengan bioavailabilitas oral sekitar 33%. Losartan mengalami metabolisme firstpass substansial. Losartan dimetabolisme melalui asam karboksilat sebagai metabolit aktif E-3174 (EXP-3174) yang memiliki aktivitas farmakologi lebih besar daripada losartan. Losartan dimetabolisme terutama oleh isoenzim sitokrom P450 CYP2C9 dan CYP3A4. Konsentrasi plasma puncak dari losartan dan E-3174 terjadi sekitar 1 jam dan 3 sampai 4 jam, setelah dosis oral. Losartan dan E-3174 terikat pada protein plasma sekitar 98%. Losartan diekskresikan tanpa merubah obat melalui urin, dan empedu. Sekitar 4% dari dosis oral, diekskresikan melalui urin dan sekitar 6% dari ekskresi urin sebagai metabolit aktif tanpa merubah obat. Waktu paruh eliminasi dari losartan dan E-3174 sekitar 1,5 sampai 2,5 jam dan 3 sampai 9 jam. Losartan adalah reseptor angiotensin II antagonis dengan aktivitas antihipertensi reseptor AT1. Losartan digunakan untuk pengobatan hipertensi, terutama pada pasien yang mengalami batuk pada saat 47 penggunaan ACE inhibitor, mengurangi resiko stroke pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri, dan dalam pengobatan diabetik nefropati. Losartan diberikan secara oral sebagai garam kalium. Efek hipotensif maksimum losartan dicapai dalam waktu sekitar 3 sampai 6 minggu setelah memulai pengobatan. Pada hipertensi, dosis awal losartan kalium adalah 50 mg sekali sehari. Dosis dapat ditingkatkan, jika perlu, sampai 100 mg sehari sebagai dosis tunggal atau dibagi dalam dua dosis. Dalam diabetes nefropati, kalium losartan diberikan dalam dosis awal 50 mg sekali sehari, meningkat menjadi 100 mg sekali sehari tergantung pada tekanan darah. Efek antihipertensi losartan dapat diperkuat oleh obat atau agen lain yang dapat menurunkan tekanan darah (Sweetman, 2009). 2. Valsartan Gambar 2.2 Struktur Valsartan (Sweetman, 2009) Valsartan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan hati, sirosis, atau obstruksi bilier. Valsartan dengan cepat diserap setelah dosis oral, dengan bioavailabilitas sekitar 23%. Konsentrasi plasma puncak dari valsartan terjadi 2 sampai 4 jam setelah dosis oral. Valsartan terikat pada protein plasma antara 94% dan 97%. Valsartan dimetabolisme dan diekskresikan melalui empedu tanpa merubah obat. Waktu paruh 48 eliminasi sekitar 5 sampai 9 jam. Setelah dosis oral, valsartan diekskresikan sekitar 83% dalam feses dan 13% dalam urin. Valsartan merupakan reseptor angiotensin II antagonis, yang digunakan dalam pengobatan hipertensi, mengurangi angka kematian kardiovaskular pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, dan dalam pengobatan gagal jantung. Efek hipotensi terjadi dalam waktu 2 jam, mencapai puncaknya dalam waktu 4 sampai 6 jam, dan berlangsung selama lebih dari 24 jam. Efek hipotensif maksimum dicapai dalam waktu 2 sampai 4 minggu. Pada hipertensi, valsartan diberikan dalam dosis awal 80 mg sekali sehari. Dosis valsartan ditingkatkan, jika perlu, untuk 160 mg sekali sehari, dosis maksimum adalah 320 mg sekali sehari. Dosis awal yang lebih rendah dari 40 mg sekali sehari dapat digunakan pada pasien usia lanjut lebih dari 75 tahun, dan pada mereka dengan penurunan volume intravaskular. Pada gagal jantung, valsartan diberikan dalam dosis awal 40 mg dua kali sehari (Sweetman, 2009). 3. Irbesartan Gambar 2.3 Struktur Irbesartan (Sweetman, 2009) Irbesartan dengan cepat diserap dari saluran pencernaan dengan bioavailabilitas oral 60 sampai 80%. Konsentrasi plasma puncak dari 49 irbesartan terjadi 1,5 sampai 2 jam setelah dosis oral. Irbesartan terikat pada protein plasma sekitar 96%. Irbesartan mengalami metabolisme di hati, terutama oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2C9, sebagai metabolit aktif. Irbesartan diekskresikan tanpa merubah obat dan metabolit melalui empedu dan urin, sekitar 20% dari dosis oral atau intravena diekskresikan dalam urin, dengan kurang dari 2%. Waktu paruh eliminasi adalah sekitar 11 sampai 15 jam. Irbesartan digunakan untuk pengobatan hipertensi, termasuk pengobatan penyakit ginjal pada pasien diabetes hipertensi. Irbesartan juga termasuk pengobatan untuk gagal jantung. Puncak efek hipotensi dalam waktu 3 sampai 6 jam dan berlangsung setidaknya selama 24 jam. Efek hipotensif maksimum dicapai dalam waktu 4 sampai 6 minggu setelah memulai terapi. Pada hipertensi, irbesartan diberikan dalam dosis 150 mg sekali sehari ditambah, kalau perlu, sampai 300 mg sekali sehari. Dosis awal yang lebih rendah dari 75 mg sekali sehari dapat dipertimbangkan pada pasien usia lanjut lebih dari 75 tahun, untuk pasien dengan penurunan volume intravaskular, dan mereka yang menerima hemodialisis. Untuk pengobatan penyakit ginjal dalam tipe hipertensi penderita diabetes 2, irbesartan harus diberikan dalam dosis awal 150 mg sekali sehari, meningkat menjadi 300 mg sekali sehari selama perawatan. Meskipun irbesartan tampaknya ditoleransi dengan baik pada anakanak dengan hipertensi dan telah terbukti menurunkan tekanan darah dalam studi kecil, catatan informasi dari produk lisensi US, dosis hingga 4,5 mg/kg sekali sehari tidak efektif pada anak usia 6 sampai 16 tahun dan tidak lagi merekomendasikan penggunaan pada pasien tersebut. Pada anak-anak dengan penyakit ginjal kronis, irbesartan telah dilaporkan dapat mengurangi tekanan darah dan proteinuria. Dosis awal adalah 37,5 mg sekali sehari untuk anak-anak dengan berat 10 sampai 20 kg, 75 mg sekali sehari pada orang dengan berat 21 hingga 40 kg, dan 150 mg sekali sehari pada orang 50 dengan berat lebih dari 40 kg, dosis bisa dua kali lipat jika respon tekanan darah tidak memadai (Sweetman, 2009). 4. Candesartan Cilexetil Gambar 2.4 Struktur Candesartan Cilexetil (Sweetman, 2009) Candesartan cilexetil merupakan prodrug yang digunakan secara oral, yang secara cepat akan diubah menjadi senyawa aktif, yakni candesartan dengan cara hidrolisis ester selama absorpsi dari saluran cerna. Candesartan cilexetil (CC) termasuk obat baru golongan angiotensin II receptor antagonists. Obat lain yang termasuk golongan tersebut ialah losartan, irbesartan, dan valsartan. CC mempunyai afinitas ikatan kuat terhadap reseptor AT1. Setelah pemberian oral, CC dikonversi menjadi candesartan dengan ketersediaan hayati rata-rata 40%. Area under curve (AUC), yakni luas daerah di bawah kurva kadar obat terhadap waktu, tidak dipengaruhi oleh makanan. Waktu untuk mencapai kadar puncak plasma (Tmax) ialah 3-5 jam setelah pemberian oral. Dalam rentang terapetik, konsentrasi dalam serum linier dengan kenaikkan dosis. Tidak ada perbedaan gender dalam hal farmakokinetiknya. Candesartan terikat dalam protein plasma ( > 99%). Candesartan dieliminasi tanpa diubah melalui urin dan empedu, dan hanya sebagian kecil diinaktivasi melalui metabolisme hati. Sejauh ini hanya satu metabolit inaktif (CV 15959) yang telah ditemukan. Waktu paro terminal 51 candesartan ialah 5-9 jam, dan tidak ada akumulasi yang bermakna setelah dosis ganda diberikan (konsentrasi plasma ± 3-17%). Klirens plasma total candesartan sekitar 0,37 ml/ min/kg, dengan klirens renal sekitar 0,19 ml/ min/kg. Setelah pemberian oral CC, sekitar 20-30% diekskresi dalam urin dan 60-70% dalam feses. Volume distribusi candesartan ialah 0,1 L/kg (Chung et al., 1999). Pengaruh CC pada hyperplasia intima, secara eksperimental diteliti oleh Miyakzaki et al., (1999). CC secara bermakna menekan pembentukkan hyperplasia intima pada arteri karotis dan fermoralis, sementara enalapril secara bermakna menekan hyperplasia intima pada arteri femoralis, tetapi tidak pada arteri karotis. Pada suatu studi klinis yang melibatkan 15 penderita stroke dengan hipertensi, CC 2-8 mg sekali sehari yang diberikan selama 8 minggu dapat mempertahankan aliran darah otak (ADO) di samping menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Pengaruh CC pada hemodinamik menunjukkan bahwa CC menurunkan resistensi vaskuler sistemik di samping mempertahankan curah jantung dan denyut nadi (McClellan & Goa, 1998). 52 5. Telmisartan Gambar 2.5 Struktur Telmisartan (Sweetman, 2009) Telmisartan dengan cepat diserap melalui saluran pencernaan, bioavailabilitas oral 42% setelah dosis 40 mg dan 58% setelah dosis 160 mg. Konsentrasi plasma puncak dari telmisartan dicapai sekitar 0,5 sampai 1 jam setelah dosis oral. Telmisartan terikat dengan protein plasma 99%. Telmisartan diekskresikan melalui empedu tanpa merubah obat. Waktu paruh eliminasi telmisartan adalah sekitar 24 jam. Telmisartan adalah reseptor angiotensin II antagonis, yang digunakan dalam pengobatan hipertensi. Telmisartan memiliki efek hipotensi dalam waktu 3 jam dan berlangsung selama setidaknya 24 jam. Efek hipotensi maksimum terjadi dalam waktu sekitar 4 sampai 8 minggu setelah memulai terapi. Pada hipertensi, telmisartan diberikan dalam dosis awal 40 mg sekali sehari. Ini dapat ditingkatkan, jika perlu, dengan dosis maksimum 80 mg sekali sehari. Penurunan dosis harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan hati atau ginjal (Sweetman, 2009). 53 6. Eprosartan Gambar 2.6 Struktur Eprosartan (Sweetman, 2009) Eprosartan diserap melalui saluran pencernaan dengan bioavailabilitas oral sekitar 13%. Puncak konsentrasi plasma terjadi sekitar 1 sampai 2 jam setelah dosis oral dalam keadaan berpuasa, memberikan dosis dengan penyerapan makanan penundaan tapi ini tidak signifikan secara klinis. Eprosartan terikat pada protein plasma sekitar 98%. Eprosartan diekskresikan tanpa diubah melalui empedu dan urin, dosis oral sekitar 7% dari dosis oral eprosartan diekskresikan dalam urin, dengan sekitar 2% sebagai asil glukuronida. Waktu paruh eliminasi half life sekitar 5 sampai 9 jam. Eprosartan digunakan dalam pengobatan hipertensi. Eprosartan diberikan secara oral sebagai mesilat, tetapi dosis yang dinyatakan dalam dasar eprosartan mesilat 1,2 mg setara dengan sekitar 1 mg eprosartan. Timbulnya efek antihipertensi terjadi sekitar 1 sampai 2 jam setelah pemberian dan efek maksimum dicapai dalam waktu 2 sampai 3 minggu setelah memulai terapi. Dalam pengobatan hipertensi, eprosartan diberikan dalam dosis awal 600 mg sekali sehari. Dosis awal yang lebih rendah dari 300 mg sekali sehari dapat digunakan pada pasien usia lanjut lebih dari 75 54 tahun dan telah direkomendasikan pada gangguan ginjal atau hati. Dosis harus disesuaikan dengan respon, dosis pemeliharaan yang biasa adalah 400-800 mg per hari dalam satu dosis atau dalam dua dosis terbagi (Sweetman, 2009). 7. Olmesartan Gambar 2.7 Struktur Olmesartan (Sweetman, 2009) Olmesartan medoxomil merupakan prodrug yang digunakan secara oral, yang secara cepat akan diubah menjadi senyawa aktif, yakni olmesartan medoxomil dengan cara hidrolisis ester selama absorpsi dari saluran cerna. Olmesartan diserap melalui saluran pencernaan dengan biovailabilitas oral sekitar 26%. Konsentrasi plasma puncak dari olmesartan terjadi sekitar 1 sampai 2 jam setelah dosis oral. Olmesartan terikat pada protein plasma sekitar 99%. Olmesartan diekskresikan sekitar 35% sampai 50% dari dosis yang diserap melalui urin dan sisanya diekskresikan melalui empedu. Olmesartan memiliki waktu paruh antara 10 dan 15 jam. Dalam hipertensi, Olmesartan medoxomil diberikan dalam dosis 20 mg sekali sehari, dosis dapat ditingkatkan sampai 40 mg sekali sehari jika diperlukan (Sweetman, 2009). 55