8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Stroke 2.1.1 Definisi Stroke

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke
2.1.1 Definisi
Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan
aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa
detik atau secara cepat dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-tanda
sesuai dengan daerah yang terganggu. Menurut WHO: stroke adalah
terjadinya gangguan fungsional otak fokal maupun global secara mendadak
dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah
otak. Menurut Neil F. Gordon: stroke adalah gangguan potensial yang fatal
pada suplai darah bagian otak. Tidak ada satupun bagian tubuh manusia
yang dapat bertahan bila terdapat gangguan suplai darah dalam waktu relatif
lama sebab darah sangat dibutuhkan dalam kehidupan terutama oksigen
pengangkut bahan makanan yang dibutuhkan pada otak dan otak adalah
pusat control system tubuh termasuk perintah dari semua gerakan fisik.
Dengan kata lain stroke merupakan manifestasi keadaan pembuluh darah
cerebral yang tidak sehat sehingga bisa disebut juga “cerebral arterial
disease” atau “cerebrovascular disease”. Cedera dapat disebabkan oleh
sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan
penyempitan atau pecahnya pembuluh darah, semua ini menyebabkan
kurangnya pasokan darah yang memadai (Irfan, 2010).
2.1.2 Epidemiologi
Di antara penyakit-penyakit neurologi yang terjadi pada orang
dewasa, stroke menduduki rangking pertama baik pada frekuensinya
maupun pada pentingnya (emergensi) penyakit tersebut. Lebih dari 50
8
persen kasus stroke merupakan penyebab dirawatnya penderita di bangsal
neurologi (Victor & Ropper, 2001). Di Amerika Serikat Stroke menduduki
peringkat ke-3 penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker.
Setiap tahunnya 500.000 orang Amerika terserang stroke di antaranya
400.000 orang terkena stroke iskemik dan 100.000 orang menderita stroke
hemoragik (termasuk perdarahan intraserebral dan subarakhnoid) dengan
175.000 orang mengalami kematian (Victor & Ropper, 2001). Di Indonesia
penelitian berskala cukup besar dilakukan oleh Survey ASNA di 28 Rumah
Sakit seluruh Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada penderita stroke akut
yang dirawat di Rumah Sakit (hospital based study), dan dilakukan survey
mengenai
faktor-faktor
risiko,
lama
perawatan
mortalitas
dan
morbiditasnya. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan profil
usia di bawah 45 tahun cukup banyak yaitu 11,8%, usia 45-64 tahun
berjumlah 54,2% dan di atas usia 65 tahun 33,5% (Misbach dkk., 2007).
2.1.3 Klasifikasi dan Etiologi
Terdapat dua macam bentuk stroke yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% dari penyebab stroke,
disebabkan oleh gangguan pasokan oksigen dan nutrisi ke sel-sel otak
akibat bentukan trombus atau emboli. Keadaan ini dapat diperparah oleh
terjadinya penurunan perfusi sistemik yang mengaliri otak. Sedangkan
stroke hemoragik intraserebral dan subarakhnoid disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah kranial (Smith et al., 2005).
Stroke secara luas diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan
hemoragik. Stroke iskemik merupakan 80% kasus stroke dan dibagi
menjadi aterotrombosis arteri, emboli otak, stroke lakunar, dan hipoperfusi
sistemik. Perdarahan otak merupakan 20% sisa penyebab stroke dan dibagi
9
menjadi perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid, dan hematoma
subdural/ ekstradural (Goldszmidt et al., 2003).
a.
Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang
tidak terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat mengenai dan membunuh
sel otak, sekitar 20% stroke adalah stroke hemoragik (Gofir, 2009). Jenis
perdarahan (stroke hemoragik), disebabkan pecahnya pembuluh darah otak,
baik intrakranial maupun subarakhnoid. Pada perdarahan intrakranial,
pecahnya pembuluh darah otak dapat karena berry aneurysm akibat
hipertensi tak terkontrol yang mengubah morfologi arteriol otak atau
pecahnya pembuluh darah otak karena kelainan kongenital pada pembuluh
darah otak tersebut. Perdarahan subarakhnoid disebabkan pecahnya
aneurysma congenital pembuluh arteri otak di ruang subarakhnoidal
(Misbach dkk., 2007).
b. Stroke Iskemik
Stroke iskemik mempunyai berbagai etiologi, tetapi pada prinsipnya
disebabkan oleh aterotrombosis atau emboli, yang masing-masing akan
mengganggu atau memutuskan aliran darah otak atau cerebral blood flow
(CBF). Nilai normal CBF adalah 50–60 ml/100 mg/menit. Iskemik terjadi
jika CBF < 30 ml/100mg/menit. Jika CBF turun sampai < 10 ml/mg/menit
akan terjadi kegagalan homeostasis, yang akan menyebabkan influks
kalsium secara cepat, aktivitas protease, yakni suatu cascade atau proses
berantai eksitotoksik dan pada akhirnya kematian neuron. Reperfusi yang
terjadi kemudian dapat menyebabkan pelepasan radikal bebas yang akan
menambah kematian sel. Reperfusi juga menyebabkan transformasi
perdarahan dari jaringan infark yang mati. Jika gangguan CBF masih antara
15–30 ml/100mg/menit, keadaan iskemik dapat dipulihkan jika terapi
dilakukan sejak awal (Wibowo dkk., 2001).
10
Stroke iskemik akut adalah gejala klinis defisit serebri fokal dengan
onset yang cepat dan berlangsung lebih dari 24 jam dan cenderung
menyebabkan kematian. Oklusi pembuluh darah disebabkan oleh proses
trombosis atau emboli yang menyebabkan iskemia fokal atau global. Oklusi
ini mencetuskan serangkaian kaskade iskemik yang menyebabkan kematian
sel neuron atau infark serebri (Adam et al., 2001; Becker et al., 2006).
Aliran darah ke otak akan menurun sampai mencapai titik tertentu yang
seiring dengan gejala kelainan fungsional, biokimia dan struktural dapat
menyebabkan kematian sel neuron yang irreversible (WHO, 1989; Adam et
al., 2003; Bandera et al., 2006).
2.1.3.1 Klasifikasi Stroke Iskemik Berdasarkan Penyebabnya
a.
Stroke Trombosis
Stroke trombotik pembuluh darah besar dengan aliran lambat biasanya
terjadi saat tidur, saat pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika
sirkulasi menurun. Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik
yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna atau,
yang lebih jarang di pangkal arteria serebri media atau di taut ateria
vertebralis dan basilaris. Stroke trombotik dapat dari sudut pandang klinis
tampak gagap dengan gejala hilang timbul berganti–ganti secara cepat.
Mekanisme pelannya aliran darah parsial adalah defisit perfusi yang dapat
terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik.
Agar dapat melewati lesi stenotik intra-arteri, aliran darah yang mungkin
bergantung pada tekanan intravaskular yang tinggi. Penurunan mendadak
tekanan darah tersebut dapat menyebabkan penurunan generalisata CBF,
iskemia otak, dan stroke (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
11
b. Stroke embolik
Stroke embolik terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit
neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Embolus berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga
jantung atau katup mitralis. Karena biasanya adalah bekuan kecil, fragmen–
fragmen dari jantung mencapai otak melalui arteria karotis atau vertebralis.
Dengan demikian, gejala klinis yang ditimbulkannya tergantung pada
bagian mana sirkulasi yang tersumbat dan seberapa dalam bekuan berjalan
di percabangan arteri sebelum tersangkut. Embolisme dapat terurai dan
terus mengalir sepanjang pembuluh darah sehingga gejala–gejala mereda.
Namun, fragmen–fragmen tersebut kemudian tersangkut di sebelah hilir dan
menimbulkan gejala–gejala fokal. Pasien dengan stroke kardioembolik
memiliki risiko yang lebih besar terkena stroke hemoragik, karena terjadi
perdarahan petekie atau bahkan perdarahan besar di jaringan yang
mengalami infark beberapa jam atau mungkin hari setelah emboli pertama.
Perdarahan tersebut disebabkan karena struktur dinding arteri sebelah distal
dari okulasi embolus melemah atau rapuh karena perfusi. Dengan demikian,
pemulihan tekanan perfusi dapat menyebabkan perdarahan arteriol atau
kapiler di pembuluh tersebut. Stroke kriptogenik adalah stroke iskemik
akibat sumbatan mendadak pembuluh intrakranium besar tetapi tanpa
penyebab yang jelas (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
2.1.3.2 Klasifikasi Iskemik Serebral
Perjalanan klinis pasien dengan stroke infark akan sebanding
dengan tingkat penurunan aliran darah ke jaringan otak. Perjalanan klinis ini
akan dapat mengklasifikasikan iskemik serebral menjadi 4, yaitu:
12
1.
Transient ischemic Attack (TIA)
Adalah suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya
berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau
emboli. TIA sebenarnya tidak termasuk ke dalam kategori stroke
karena durasinya yang kurang dari 24 jam.
2.
Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Seperti juga pada TIA gejala neurologis dari RIND juga akan
menghilang, hanya saja waktu berlangsung lebih lama, yaitu lebih dari
24 jam, bahkan sampai 21 hari. Jika pada TIA dokter jarang melihat
sendiri peristiwanya, sehingga pada TIA diagnosis ditegakkan hanya
berdasar keterangan pasien saja, maka pada RIND ini ada kemungkinan
dokter dapat mengamati atau menyaksikan sendiri. Biasanya RIND
membaik dalam waktu 24 - 48 jam. Sedangkan PRIND (Prolonged
Reversible Ischemic Neurological Deficit) akan membaik dalam
beberapa hari, maksimal 3 - 4 hari.
3.
Stroke In Evolusion (Progressing stroke)
Pada bentuk ini gejala/ tanda neurologis fokal terus memburuk setelah
48 jam. Kelainan atau defisit neurologik yang timbul berlangsung
secara bertahap dari yang bersifat ringan menjadi lebih berat. Diagnosis
progressing stroke ditegakkan mungkin karena dokter dapat mengamati
sendiri secara langsung atau berdasarkan atas keterangan pasien bila
peristiwa sudah berlalu.
4.
Complete Stroke Non-Haemmorhagic
Completed Stroke diartikan bahwa kelainan neurologis yang ada
sifatnya sudah menetap, tidak berkembang lagi. Kelainan neurologi
yang muncul bermacam-macam, tergantung pada daerah otak mana
yang mengalami infark (Gofir, 2009).
13
2.1.4 Patofisiologi
Pada stroke iskemik berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan
hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi-reaksi berantai
yang berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya.
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini
akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar
daerah core iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan
jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsifungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologik. Tingkat iskeminya
makin ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, di luarnya dapat
dikelilingi oleh suatu daerah hyperemic akibat adanya aliran darah kolateral
(luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi
sasaran terapi stroke iskemik akut supaya dapat di reperfusi dan sel-sel otak
berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tak
terjadi reperfusi, daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami
kematian.
Dipandang dari segi biologi molekuler, ada dua mekanisme kematian
sel otak. Pertama proses nekrosis, suatu kematian berupa ledakan sel akut
akibat penghancuran sitoskeleton sel, yang berakibat timbulnya reaksi
inflamasi dan proses fagositosis debris nekrotik. Proses kematian kedua
adalah proses apoptosis atau silent death, sitoskeleton sel neuron mengalami
penciutan atau shrinkage tanpa adanya reaksi inflamasi seluler. Nekrosis
seluler dipicu oleh exitotoxic injury dan free radical injury akibat bocornya
neurotransmitter glutamate dan aspartat yang sangat toksik terhadap
struktur sitoskeleton otak. Demikian pula lepasnya radikal bebas membakar
membran lipid sel dengan segala akibatnya. Kematian Apoptotic mungkin
lebih berkaitan dengan reaksi rantai kaskade iskemik yang berlangsung
14
lebih lambat melalui proses kelumpuhan pompa ion Natrium dan Kalium,
yang diikuti proses depolarisasi membran sel yang berakibat hilangnya
kontrol terhadap metabolisme Kalsium dan Natrium intraseluler. Ini
memicu mitokondria untuk melepaskan enzim caspase-apoptosis (Misbach
dkk., 2007).
2.1.5 Patogenesis Stroke Iskemik
Penyebab utama stroke iskemik adalah thrombus dan emboli yang
seringkali dipengaruhi oleh penurunan perfusi sistemik. Thrombus
disebabkan oleh kerusakan pada endotel pembuluh darah, dapat terjadi baik
di pembuluh darah besar (large vessel thrombosis), maupun di pembuluh
darah lakunar (small vessel thrombosis). Kerusakan ini dapat mengaktivasi
dan melekatkan platelet pada permukaan endotel tersebut, kemudian
membentuk bekuan fibrin. Penyebab terjadinya kerusakan yang paling
sering
adalah
aterosklerosis
(aterotrombotik).
Pada
aterotrombotik
terbentuk plak akibat deposisi lipid sehingga terjadi penyempitan lumen
pembuluh darah yang menghasilkan aliran darah yang turbulen sepanjang
area stenosis. Hal ini dapat menyebabkan disrupsi intima atau pecahnya
plak sehingga memicu aktivitas trombosit. Gangguan pada jalur koagulasi
atau trombolisis juga dapat menyebabkan thrombus. Pembentukan thrombus
atau emboli yang menutupi arteri akan menurunkan aliran darah di serebral
dan bila ini berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan iskemik
jaringan sekitar lokasi thrombus (Fagan and Hess, 2008).
2.1.6 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik pada pasien stroke pada umumnya mengalami
kelemahan pada salah satu sisi tubuh dan kesulitan dalam berbicara atau
15
memberikan informasi karena adanya penurunan kemampuan kognitif atau
bahasa (Fagan and Hess, 2008).
Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah bertahun–tahun, berupa :
10. Nyeri kepala saat terjaga, kadang–kadang disertai mual dan
muntah akibat peningkatan tekanan darah intrakranium
11. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
12. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf pusat
13. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus
14. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler (Corwin, 2001).
2.1.7 Faktor Risiko
Stroke disebabkan oleh banyak faktor, yang sebagian besar
sesungguhnya bisa dikendalikan. Virgil Brown, MD, dari Emory University,
Atlanta, menyatakan bahwa stroke merupakan akibat dari life style (gaya
hidup) manusia modern yang tidak sehat. Hal ini tampak pada perilaku
mengonsumsi makanan yang tinggi kolesterol dan rendah serat, kurang
dalam aktivitas fisik serta berolahraga, akibat stress/ kelelahan, konsumsi
alkohol berlebihan, kebiasaan merokok. Berbagai faktor risiko itu
selanjutnya
akan
berakibat
pada
pengerasan
pembuluh
arteri
(arteriosklerosis), sebagai pemicu stroke (Diwanto, 2009).
Menurut The WHO Task Force on Stroke and other Cerebrovascular
Disorders (1988), faktor risiko stroke iskemik adalah: (1) hipertensi, (2)
diabetes mellitus, (3) penyakit jantung, (4) serangan iskemik sepintas (TIA),
(5) obesitas, (6) hiper-agregasi trombosit, (7) alkoholism, (8) merokok, (9)
peningkatan kadar lemak darah (kolesterol, trigliserida LDL), (10)
16
hiperurisemia, (11) infeksi, (12) faktor genetik atau keluarga, dan (13) lainlain (migren, suhu dingin, kontrasepsi tinggi estrogen, status sosio-ekonomi,
hematokrit, peningkatan kadar fibrinogen, proteinuria dan intake garam
berlebih).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi termasuk usia, jenis
kelamin, dan hereditas. Walaupun faktor ini tidak dapat diubah, namun
tetap berperan sebagai pengidentifikasi yang penting pada pasien yang
berisiko terjadinya stroke, di mana pencarian yang agresif untuk
kemungkinan faktor risiko yang lain sangat penting (Gofir, 2009).
2.1.7.1 Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi
a.
Usia
Siapa pun tidak akan pernah bisa menaklukkan usia. Sudah
menjadi rahasia umum bahwa usia itu kuasa Tuhan. Beberapa
penelitian membuktikan bahwa 2/3 serangan stroke terjadi pada usia di
atas 65 tahun. Meskipun demikian, bukan berarti usia muda atau
produktif akan terbebas dari serangan stroke (Wiwit S., 2010).
b. Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa pria lebih banyak terkena stroke
daripada wanita, yaitu mencapai kisaran 1,25 kali lebih tinggi. Namun
anehnya, justru lebih banyak wanita yang meninggal dunia karena
stroke. Hal ini disebabkan pria umumnya terkena serangan stroke pada
usia muda. Sedangkan, para wanita justru sebaliknya, yaitu saat usianya
sudah tinggi (tua) (Wiwit S., 2010).
c.
Garis Keturunan
Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan saling
berkaitan. Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat pada pembuluh
darah menjadi faktor genetik yang berperan. Cadasil, yaitu suatu cacat
17
pada pembuluh darah dimungkinkan merupakan faktor genetik yang
paling berpengaruh. Selain itu, gaya hidup dan pola makan dalam
keluarga yang sudah menjadi kebiasaan yang sulit diubah juga
meningkatkan resiko stroke (Wiwit S., 2010).
d. Asal Usul Bangsa
Berdasarkan literatur, bangsa Afrika, Asia, dan keturunan Hispanik
lebih rentan terkena serangan stroke (Wiwit S., 2010).
e. Kelainan Pembuluh Darah (Atrial Fibrillation)
Kelainan ini adalah suatu kondisi ketika salah satu bilik jantung
bagian atas berdetak tidak sinkron dengan jantung. Akibatnya, terjadi
penggumpalan darah yang menyebabkan sumbatan pembuluh darah.
Gumpalan darah tersebut akan terbawa sampai ke pembuluh darah otak
dan menyebabkan stroke. Hasil penelitian menunjukkan, sebanyak 20%
stroke disebabkan oleh kelainan itu. Kelainan pembuluh darah ini dapat
dikontrol dengan obat atau operasi (Wiwit S., 2010).
2.1.7.2 Faktor yang Dapat Dimodifikasi
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe
stroke, baik stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Peningkatan
risiko stroke terjadi seiring dengan peningkatan tekanan darah.
Walaupun tidak ada nilai pasti korelasi antara peningkatan tekanan
darah dengan risiko stroke, diperkirakan risiko stroke meningkat 1,6
kali setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik, dan sekitar
50% kejadian stroke dapat dicegah dengan pengendalian tekanan darah
(Indiana Stroke Prevention Task Force January 2006/ Updated, 2007).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa apabila hipertensi tidak
diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat mengakibatkan edema
18
otak, namun berdasarkan penelitian dari Chamorro menunjukkan
bahwa perbaikan sempurna pada stroke iskemik dipermudah oleh
adanya penurunan tekanan darah yang cukup ketika edema otak
berkembang sehingga menghasilkan tekanan perfusi serebral yang
adekuat (PERDOSSI, 2007).
b. Diabetes Melitus
Orang dengan diabetes melitus lebih rentan terhadap aterosklerosis
dan peningkatan prevalensi proaterogenik, terutama hipertensi dan lipid
darah yang abnormal. Pada tahun 2007 sekitar 17,9 juta atau 5,9%
orang Amerika menderita diabetes. Berdasarkan studi case control pada
pasien
stroke
dan
studi
epidemiologi
prospektif
telah
menginformasikan bahwa diabetes dapat meningkatkan risiko stroke
iskemik dengan risiko relatif mulai dari 1,8 kali lipat menjadi hampir 6
kali lipat. Berdasarkan data dari Center for Disease Control and
Prevention
1997-2003
menunjukkan
bahwa
prevalensi
stroke
berdasarkan usia sekitar 9 % stroke terjadi pada pasien dengan penyakit
diabetes pada usia lebih dari 35 tahun (Goldstein et al, 2011).
c. Dislipidemia
Terdapat 4 penelitian case-control yang melaporkan kaitan antara
hiperkolesterolemia dan risiko PIS (perdarahan intraserebral). Odds
Ratio keseluruhan untuk kolesterol yang tinggi adalah 1,22 (95% CI:
0,56–2,67),
di
mana
penyelidikan
terhadap
penelitian
kohort
melaporkan kaitan antara hiperkolesterolemia dan PIS; semuanya
meneliti kadar kolesterol serum total. Leppala el al. (1999) menemukan
RR adjusted PIS sebesar 0,20 (95% CI: 0,10-0,42) untuk kadar
kolesterol > 7,0 mmol/L dibandingkan dengan kadar kolesterol < 4,9
mmol/L (Ariesen et al., 2003).
19
d. Merokok
Tingkat kematian penyakit stroke karena merokok di Amerika
Serikat
pertahunnya
diperkirakan
sekitar
21.400
(tanpa
ada
penyesuaian untuk faktor resiko) dan 17.800 (setelah ada penyesuaian),
ini menunjukkan bahwa rokok memberikan kontribusi terjadinya stroke
yang berakhir dengan kematian sekitar 12% sampai 14% (Goldstein et
al, 2011).
e. Pemakaian Alkohol
Sebuah meta-analisis terhadap 35 penelitian dari tahun 1966
hingga 2002 melaporkan bahwa dibandingkan dengan bukan pengguna
alkohol, individu yang mengkonsumsi < 12 g per hari (1 minuman
standar) alkohol memiliki adjusted RR yang secara signifikan lebih
rendah untuk stroke iskemik (RR: 0,80; 95% CI: 0,67 hingga 0,96),
demikian juga individu yang mengkonsumsi 12 hingga 24 g per hari (1
hingga 2 standar minum) alkohol (RR: 0,72; 95% CI: 0,57). Tetapi,
individu yang mengkonsumsi alkohol > 60 g per hari memiliki adjusted
RR untuk stroke iskemik yang secara signifikan lebih tinggi (RR: 1,69;
95% CI: 1,3 hingga 2,1) (Hankey et al., 2006).
f. Obesitas
Sebuah penelitian kohort observasional prospektif terhadap
21.144 laki–laki Amerika Serikat yang di follow-up selama 12,5 tahun
(rerata) untuk kejadian 631 stroke iskemik menemukan bahwa BMI ≥
30 kg/mm3 berhubungan dengan adjusted relative risk (RR) sroke
iskemik sebesar 2,0 (95% CI: hingga 2,7) dibandingkan dengan laki–
laki dengan BMI < 30 kg/mm3 (Seung–Han et al., 2003).
g. Serangan Iskemik Sepintas (TIA)
Dennis et al. (1989) meneliti risiko stroke rekuren pada pasien
dengan TIA dan stroke minor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
20
risiko stroke rekuren dan atau kematian lebih tinggi pada minor
ischemic stroke (stroke iskemik ringan) walaupun perbedaan yang
signifikan hanya pada kematian. Perbedaan prognosis yang tampak
mungkin disebabkan karena prognosis yang baik pada pasien dengan
amaurosis fugax di antara pasien dengan transient ischemic attack.
h. Penyakit Jantung
Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak
menyerang pria dewasa, AF ditemukan pada 1–1,5% populasi di
negara–negara barat dan merupakan salah satu faktor risiko independen
stroke. AF dapat menyebabkan risiko stroke atau emboli menjadi 5 kali
lipat daripada pasien tanpa AF. Kejadian stroke yang didasari oleh AF
sering diikuti dengan peningkatan morbiditas, mortalitas, dan
penurunan kemampuan fungsi daripada stroke karena penyebab yang
lain. Risiko stroke karena AF meningkat jika disertai dengan beberapa
faktor lain, yaitu jika disertai usia > 65 tahun, hipertensi, diabetes
melitus, gagal jantung, atau riwayat stroke sebelumnya seperti yang
dikategorikan dalam CHAD. Pada CHAD umur > 65 tahun, gagal
jantung, hipertensi, dan DM dinilai 1 point setiap kali ditemukan dan
riwayat stroke atau emboli sebelumnya dinilai 2 point (Gage et al.,
2004).
i. Peningkatan Kadar Hematokrit
Berdasarkan penelitian La Rue et al. (1987), pasien dengan kadar
hematokrit tinggi memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena infark
lakuner, tetapi tidak untuk stroke oleh karena trombus atau emboli atau
stroke perdarahan. Diduga kenaikan hematokrit akan meningkatkan
viskositas darah dan ada hubungan terbalik antara viskositas dengan
aliran darah otak. ADO yang rendah viskositas yang tinggi berakibat
konsumsi oksigen oleh jaringan otak akan berkurang, dan jelas lebih
21
rendah pada daerah yang disuplai oleh arteri–arteri yang kecil yang
tidak memiliki kolateral seperti yang terjadi pada infark lakunar. Dalam
penelitian tersebut juga ditemukan kenaikan hematokrit secara
signifikan disertai kenaikan tekanan darah sistolik.
j. Peningkatan Kadar Fibrinogen
Penelitian meta–analisis (Rothwell., 2004) terhadap 3 penelitian
prospektif dengan 5.113 pasien TIA dan stroke iskemik minor yang di
follow–up selam 5 tahun mengungkapkan bahwa kadar fibrinogen
pasien di atas median berhubungan dengan risiko stroke iskemik,
dibandingkan dengan kadar fibrinogen yang berada di bawah median
(HR: 1,34; 95% CI: 1,13 hingga 1,60). Terdapat hubungan lebih kuat
pada pasien dengan sindrom lakunar (HR: 1,42; 95% CI: 1,13–1,78)
dibandingkan lakunar (HR: 1,09; 95% CI: 0,80 hingga 1,49) tetapi
hasilnya tidak terlalu signifikan (p = 0,018).
k. Migren
Migren dan penyakit serebrovaskuler memiliki hubungan dalam
cara yang berbeda. Migren merupakan kemungkinan penyebab untuk
stroke seperti dalam migrainous infarction. Nyeri kepala mungkin
adalah sebuah gejala dari penyakit serebrovaskuler dan juga faktor
risiko untuk stroke. Banyak gangguan serebrovaskuler seperti
perdarahan serebri, trombosis sinus vena, diseksi arteri karotis atau
vertebralis, dan stroke iskemik yang mungkin muncul dengan atau
diikuti nyeri kepala. Konsep stroke yang dipicu migrain telah
digambarkan dengan baik oleh migrainous infarction, yang telah
dijelaskan dengan baik dalam klasifikasi International Headache
Society (IHS) yang telah direvisi, dan mewakili gambaran paling kuat
hubungan antara stroke iskemik dan migren adalah patent foramen
ovale (PFO) yang mungkin memainkan sebuah peranan patogenesis
22
dalam kedua gangguan ini. Hubungan antara migren dan artery
dissection (CAD) dilaporkan di dalam beberapa penelitian terbaru.
Migren lebih sering pada pasien dengan CAD. Hal ini mendukung
hipotesis bahwa penyakit dinding arteri yang mendasari mungkin
adalah kondisi menyebabkan predisposisi untuk migren (Agostoni et
al., 2004).
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Semua pasien yang diduga stroke harus menjalani pemeriksaan MRI
atau CT scan tanpa kontras untuk membedakan antara stroke iskemik dan
hemoragik serta mengidentifikasi adanya efek tumor atau massa
(kecurigaan stroke luas). Stroke iskemik adalah diagnosis yang paling
mungkin bila CT scan tidak menunjukkan perdarahan, tumor, atau infeksi
fokal, dan bila temuan klinis tidak menunjukkan migren, hipoglikemia,
ensefalitis, atau perdarahan subarakhnoid (Goldszmidt et al., 2009).
Pencitraan otak atau CT scan dan MRI adalah instrumen diagnosa
yang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana
stroke yang diderita oleh seseorang. Hasil CT scan perlu diketahui terlebih
dahulu sebelum dilakukan terapi dengan obat antikoagulan atau antiagregasi
platelet. CT scan dibedakan menjadi dua yaitu, CT scan non kontras yang
digunakan untuk membedakan antara stroke hemoragik dengan stroke
iskemik yang harus dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan penyebab
lain yang memberikan gambaran klinis menyerupai gejala infark atau
perdarahan di otak, misalnya adanya tumor. Sedangkan yang kedua adalah
CT scan kontras yang digunakan untuk mendeteksi malformasi vaskular
dan aneurisme (Lumbantobing., 2001).
23
2.1.9 Penatalaksanaan Terapi
Perawatan stroke terdiri dari perawatan medis dan nonmedis.
Perawatan medis pada awal serangan bertujuan menghindari kematian dan
mencegah kecacatan. Setelah itu, perawatan medis ditujukan untuk
mengatasi keadaan darurat medis pada stroke akut, mencegah stroke
berulang, terapi rehabilitatif untuk stroke kronis, dan mengatasi gejala sisa
akibat stroke. Terapi stroke secara medis antara lain dengan pemberian
obat-obatan, fisioterapi, dan latihan fisik untuk mengembalikan kemampuan
gerak sehari-hari (Wiwit S., 2010).
2.1.9.1 Terapi Non Farmakologi
a.
Perubahan Gaya Hidup Terapeutik
Modifikasi diet, pengendalian berat badan, dan peningkatan
aktivitas fisik merupakan perubahan gaya hidup terapeutik yang
penting untuk semua pasien yang berisiko aterotrombosis. Pada pasien
yang membutuhkan terapi obat untuk hipertensi atau dislipidemia, obat
tersebut harus diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet dan
perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011).
Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau berbunga terbukti
memberikan perlindungan terhadap stroke iskemik pada studi
Framingham (JAMA 1995;273:1113) dan studi Nurses Health (JAMA
1999;282:1233), setiap peningkatan konsumsi per kali per hari
mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet rendah lemak trans
dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga direkomendasikan.
Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per minggu hingga 1 kali per
hari) dapat mengurangi risiko stroke iskemik pada laki-laki hingga
20% dalam 12 tahun (N Engl J Med 1999;341:1557), namun konsumsi
alkohol berat (> 5 kali/ hari) meningkatkan risiko stroke.
24
b. Aktivitas fisik
Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke
setara dengan merokok, dan lebih dari 70% orang dewasa hanya
melakukan sedikit latihan fisik atau bahkan tidak sama sekali, semua
pasien harus diberitahu untuk melakukan aktivitas aerobik sekitar 3045 menit setiap hari (Goldszmidt et al., 2011). Latihan fisik rutin
seperti olahraga dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat,
sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung). Latihan juga
merupakan komponen yang berguna dalam memaksimalkan program
penurunan berat badan, meskipun pengaturan pola makan lebih efektif
dalam menurunkan berat badan dan pengendalian metabolisme
(Sweetman, 2009).
2.1.9.2 Terapi Farmakologi
Outcome/ goal penatalaksanaan terapi stroke akut, antara lain: (1)
mengurangi progesivitas kerusakan neurologi dan mengurangi angka
kematian, (2) mencegah komplikasi sekunder yaitu disfungsi neurologi dan
imobilitas permanen, (3) mencegah stroke ulangan. Terapi yang diberikan
tergantung pada jenis stroke yang dialami (iskemik atau hemoragik) dan
berdasarkan pada rentang waktu terapi (terapi pada fase akut dan terapi
pencegahan sekunder atau rehabilitasi).
Strategi pengobatan stroke iskemik ada dua, yang pertama
reperfusi yaitu memperbaiki aliran darah ke otak yang bertujuan untuk
memperbaiki iskemik dengan obat-obat antitrombotik (antikoagulan,
antiplatelet, trombolitik). Kedua dengan neuroproteksi yaitu pencegahan
kerusakan otak agar tidak berkembang lebih berat akibat adanya area
iskemik (Fagan and Hess, 2008).
25
Berdasarkan guidelines American Stroke Association (ASA), untuk
pengurangan stroke iskemik secara umum ada dua terapi farmakologi yang
direkomendasikan dengan grade A yaitu t-PA dengan onset 3 jam dan
aspirin dengan onset 48 jam (Fagan and Hess, 2008).
a.
Aktivator Plasminogen (Tissue Plasminogen Activator/ tPA)
Obat ini dapat melarutkan gumpalan darah yang menyumbat pembuluh
darah, melalui enzim plasmin yang mencerna fibrin (komponen pembekuan
darah). Akan tetapi, obat ini mempunyai risiko, yaitu perdarahan. Hal ini
disebabkan kandungan terlarut tidak hanya fibrin yang menyumbat
pembuluh darah, tetapi juga fibrin cadangan yang ada dalam pembuluh
darah. Selain itu, tPA hanya bermanfaat jika diberikan sebelum 3 jam
dimulainya gejala stroke. Pasien juga harus menjalani pemeriksaan lain,
seperti CT scan, MRI, jumlah trombosit, dan tidak sedang minum obat
pembekuan darah (Wiwit S., 2010).
Tabel 2.1 karakteristika pasien stroke yang mungkin sesuai untuk
terapi tissue plasminogen aktivator intravena

Usia ≥ 18 tahun

Diagnosis stroke iskemik menyebabkan defisit neurologis yang secara klinis jelas

Tidak ada stroke atau trauma kepala dalam 3 bulan sebelumnya

Tidak ada pembedahan mayor dalam 14 hari sebelumnya

Tidak ada riwayat perdarahan intracranial

Tekanan darah sistolik ≤ 185 mmHg

Tekanan darah diastolik ≤ 110 mmHg

Tidak ada gejala yang hilang dengan cepat atau gejala stroke yang ringan

Tidak ada gejala yang memungkinkan munculnya dugaan perdarahan subarakhnoid
26
Lanjutan

Tidak ada perdarahan gastrointestinal atau perdarahan traktus urinarius dalam 21 bulan
sebelumnya

Tidak ada pungsi arteri pada lokasi yang non–compressible dalam 7 hari sebelumnya

Waktu protrombin 15 detik atau international normalized ratio ≤ 1,7 tanpa penggunaan
obat antikoagulan

Waktu partial-protrombin dalam rentang normal, jika heparin diberikan selama 48 jam
sebelumnya

Hitung trombosit ≤ 100.000/mm3

Konsentrai glukosa darah > 50 mg/dl (2,7 mmol/I)

Tidak ada kebutuhan untuk langkah agresif dalam menurunkan tekanan darah hingga batas
yang telah disebutkan di atas
(Gofir, 2009)
b. Antiplatelet
The American Heart Association/ American Stroke Association
(AHA/ASA) merekomendasikan pemberian terapi antitrombotik digunakan
sebagai terapi pencegahan stroke iskemik sekunder. Aspirin, klopidogrel
maupun extended-release dipiridamol-aspirin (ERDP-ASA) merupakan
terapi antiplatelet yang direkomendasikan (Fagan and Hess, 2008).
Berbagai obat antiplatelet, seperti asetosal, sulfinpirazol, dipiridamol,
tiklopidin, dan klopidogrel telah dicoba untuk mencegah stroke iskemik.
Agen ini umumnya bekerja baik dengan mencegah pembentukan
tromboksan A2 atau meningkatkan konsetrasi prostasiklin. Proses ini dapat
membangun kembali keseimbangan yang tepat antara dua zat, sehingga
mencegah adesi dan agregasi trombosit. Belum ada data penelitian yang
merekomendasikan obat golongan antiplatelet selain dari aspirin. Aspirin
merupakan antiplatelet yang lebih murah, sehingga akan berpengaruh pada
tingkat kepatuhan jangka panjang. Bagi pasien yang tidak tahan terhadap
aspirin karena alergi atau efek samping pada saluran cerna yaitu mengiritasi
27
lambung, dapat direkomendasikan dengan penggunaan klopidogrel.
Klopidogrel sedikit lebih efektif dibandingkan asetosal dengan penurunan
resiko serangan berulang 7,3% lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian
asetosal. Kombinasi asetosal dan klopidogrel tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan dan tidak menunjukkan hasil yang
signifikan dengan pemberian tunggal klopidogrel (Tatro, 2008).
c.
Pemberian Neuroprotektan
Pada stroke iskemik akut, dalam batas–batas waktu tertentu sebagian
besar jaringan neuron dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan
adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif. Cara
kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metabolisme dan tentu saja
kebutuhan oksigen sel–sel neuron. Dengan demikian neuron terlindungi dari
kerusakan lebih lanjut akibat hipoksia berkepanjangan atau eksitotoksisitas
yang dapat terjadi akibat jenjang glutamat yang biasanya timbul setelah
cedera sel neuron. Suatu obat neuroprotektif yang menjanjikan, serebrolisin
(CERE) memiliki efek pada metabolisme kalsium neuron dan juga
memperlihatkan efek neurotrofik (Sylvia A.P. & Lorraine M.W., 2006).
Beberapa diantaranya adalah golongan penghambat kanal kalsium
(nimodipin, flunarisin), antagonis reseptor glutamat (aptiganel, gavestinel,
selfotel), agonis GABA (klokmethiazol), penghambat peroksidasi lipid
(tirilazad), antibody anti-ICAM-1 (enlimobab), dan aktivator metabolik
(sitikolin). Pemberian obat golongan neuroprotektan sangat diharapkan
dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian (McEvoy, 2008).
d. Pemberian Antikoagulan
Warfarin merupakan pengobatan yang paling efektif untuk pencegahan
stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Pada pasien dengan fibrilasi atrial
dan sejarah stroke atau TIA, resiko kekambuhan pasien merupakan salah
satu resiko tertinggi yang diketahui. Pada percobaan yang dilakukan Eropa
28
Atrial Fibrilasi Trial (EAFT), dengan sampel sebanyak 669 pasien yang
mengalami fibrilasi atrial nonvalvular dan sebelumnya pernah mengalami
stroke atau TIA. Pasien pada kelompok plasebo, mengalami stroke, infark
miokardium atau kematian vaskular sebesar 17% per tahun, 8% per tahun
pada kelompok warfarin dan 15% per tahun pada kelompok asetosal. Ini
menunjukan
pengurangan
sebesar
53%
risiko
pada
penggunaan
antikoagulan (Fagan & Hess, 2008).
Secara umum pemberian heparin, LMWH atau Heparinoid setelah
stroke iskemik tidak direkomendasikan karena pemberian antikoagulan
(heparin, LMWH, atau heparinoid) secara parenteral meningkatkan
komplikasi perdarahan yang serius. Penggunaan warfarin direkomendasikan
baik untuk pencegahan primer maupun sekunder pada pasien dengan atrial
fibrilasi. Penggunaan warfarin harus hati-hati karena dapat meningkatkan
risiko perdarahan. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke
iskemik akut dengan tujuan untuk memperbaiki outcome neurologic atau
sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi
(PERDOSSI, 2007).
2.1.9.3 Rehabilitasi Pasca Stroke
Tujuan utama rehabilitasi adalah untuk mencegah komplikasi,
meminimalkan gangguan, dan memaksimalkan fungsi organ. Prioritas
rehabilitasi stroke dini adalah pencegahan stroke sekunder, managemen dan
pencegahan penyakit penyerta dan komplikasi. Pada dasarnya rehabilitasi
pada pasien stroke iskemik maupun stroke hemoragik memilki prinsip yang
sama. Rehabilitasi tersebut meliputi terapi berbicara, terapi fisik, dan terapi
occupasional (Aminoff, 2009).
29
2.2 Hipertensi
2.2.1 Definisi
Hipertensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan tekanan
darah manusia. Tekanan darah itu sendiri didefinisikan sebagai tekanan
yang terjadi di dalam pembuluh arteri manusia ketika darah dipompa oleh
jantung ke seluruh anggota tubuh. Penyakit hipertensi lebih akrab disebut
sebagai penyakit darah tinggi. Penyakit ini sebenarnya sebuah hipertensi
arteri yang diakibatkan tekanan darah yang meningkat secara kronis.
Penyakit ini terjadi tanpa gejala yang dapat meningkatkan penyakit stroke,
aneurisma, gagal jantung, serangan jantung, sampai kerusakan ginjal (Wiwit
S., 2010).
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg sampai lebih dari
140 mmHg atau aliran tekanan darah diastolik 90 mmHg sampai lebih dari
90 mmHg pada individu. Hipertensi berat meningkatkan stroke hingga 7
kali lipat, dan hipertensi perbatasan meningkatkan risiko hingga 1,5 kali
lipat (Goldszmidt et al., 2011).
2.2.2 Epidemiologi
Data
epidemiologis
menunjukkan
bahwa
dengan
makin
meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi
kemungkinan besar juga akan bertambah, di mana baik hipertensi sistolik
maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih
dari separuh orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Selain itu, laju
pengendalian tekanan darah yang dahulu terus meningkat dalam dekade
terakhir tidak menunjukkan kemajuan lagi dan pengendalian tekanan darah
ini hanya mencapai 34% dari seluruh pasien hipertensi (Yogiantoro, 2006).
Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal
dari negara-negara yang sudah maju. Dari data The National Health and
30
Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahun
1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%
yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi
peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988–1991. Dan
hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi
(Yogiantoro, 2006).
Di Indonesia belum ada penelitian nasional multicenter yang
menggambarkan prevalensi secara tepat. Boedhi Darmojo dalam tulisannya
yang dikumpulkan dari berbagai penelitian melaporkan bahwa 1,8-28,6%
penduduk yang berusia di atas 20 tahun adalah pasien hipertensi. Pada
umumnya prevalensi pasien hipertensi berkisar antara 8,6-10%. Berdasakan
penelitian Susalit E., terlihat adanya kecendrungan bahwa masyarakat
perkotaan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan masyarakat
pedesaan. Sedangkan berdasarkan penelitian Syakib Bakri, prevalensi
terjadinya hipertensi pada masyarakat kelompok industri 11,75%, pada
nelayan 9,75%, dan pada kelompok petani sekitar 7,92%. Data di atas
menggambarkan bahwa masalah hipertensi perlu mendapatkan penanganan
yang tepat dan baik, mengingat prevalensi yang tinggi dan komplikasi
ditimbulkan cukup berat. Berdasarkan uji klinik diketahui bahwa dengan
penatalaksaan yang baik dapat mengurangi insiden stroke 35-40%, infark
miokard 20-25%, dan gagal jantung > 50% (Yusuf, 2008).
2.2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan
yaitu:
a)
Hipertensi essensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95%
kasus. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti genetik, lingkungan,
31
hiperaktivitas sususan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin,
peningkatan Natrium dan Kalsium intraseluler, dan faktor-faktor yang
meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, merokok, serta
polositemia (Mansjoer, 2001).
b) Hipertensi Sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.
Penyebab spesifiknya tidak diketahui, seperti penggunaan estrogen,
penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer,
dan
sindrom
cushing,
feokromositoma,
koarketasioaorta
serta
hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan (Mansjoer, 2001).
2.2.4 Patofisiologi
Mengenal patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidak
pastian. Sebagian kecil pasien (2%-5%) menderita penyakit ginjal atau
adrenal sebagai penyebab meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya tidak
dijumpai penyebabnya dan keadaan ini dinamai hipertensi esensial.
Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan
darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi esensial. Mungkin banyak faktor yang saling berkaitan
ikut berperan dalam terjadinya peningkatan tekanan darah, dan faktor-faktor
ini dapat berbeda pada masing-masing pasien (Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2008).
Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal
pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mmHg dan tekanan darah diastolik
(TDD) < 80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit
tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung
meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua
tingkat (stage) hipertensi, dan semua pasien pada kategori ini harus diberi
terapi obat (Anonim, 2006).
32
Tabel 2.2 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun
menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan
Tekanan Darah Sistolik
Tekanan Darah
Darah
(mmHg)
Diastolik (mmHg)
< 120
< 80
Prehipertensi
120-139
80-89
Hipertensi stage 1
140-159
90-99
Hipertensi stage 2
≥ 160
≥ 100
Normal
(JNC, 2003)
Dari hasil penelitian pada penduduk desa dan kota didapatkan bahwa
faktor herediter (turunan) juga ada peranannya, bersifat poligenik, di
samping pengaruh faktor lingkungan (Davies, 1983). Faktor yang telah
banyak diteliti ialah: asupan-garam, obesitas, resistensi terhadap insulin,
sitem rennin-angiotensin, dan sistem saraf simpatis. Selama beberapa tahun
terakhir faktor-faktor lain dievaluasi, termasuk faktor genetik, disfungsi
endothelial (yang bermanifestasi pada perubahan endotelin dan oksidanitrogen) I, berat badan lahir yang rendah dan nutrisi intrautenin dan
anomaly neurovascular (Beevers, 2001).
2.2.5
Patogenesis
Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan suatu
penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dianamis antara faktor
genetik, lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai
perkalian antara curah jantung dan atau tekanan perifer yang akan
meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi ginjal,
meningkatnya saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin angiotensin
33
aldosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfunsi endotel
merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme hipertensi
(Soemantri & Nugroho, 2006).
2.2.6 Manifestasi Klinik
Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah bertahun–tahun,
berupa :
15. Nyeri kepala saat terjaga, kadang–kadang disertai mual dan muntah
akibat peningkatan tekanan darah intrakranium
16. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi
17. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf
pusat
18. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
19. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan
kapiler (Corwin., 2001).
2.2.7 Faktor Risiko
Hipertensi lama atau berat dapat menimbulkan komplikasi berupa
kerusakan organ pada jantung, otak, ginjal, mata, dan pembuluh darah
perifer. Pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri sampai gagal
jantung, dan pada otak dapat terjadi stroke. Pengendalian berbagai faktor
risiko pada hipertensi sangat penting untuk mencegah komplikasi
kardiovaskular. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain tekanan
darah, kelainan metabolik (diabetes melitus, lipid darah, asam urat dan
obesitas), merokok, alkohol dan inaktifitas, sedangkan yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, dan faktor genetik (Nafrialdi,
2007).
34
2.2.8 Penatalaksanaan Terapi
Ada 9 kelas obat antihipertensi. Diuretik, penyekat beta,
penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor
angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat
antihipertensi utama (Depkes., 2006).
Tabel 2.3 Obat Antihipertensi
Kelas Obat
Kisaran dosis harian
Frekuensi dosis
(mg)
Diuretic tiazid
Klortalidon (higroton)
12,5 – 25
1
Hidrokortiazid
12,5 – 25
1
Indapamid
1,25 – 2,5
1
Metolazon
0,5
1
Bumetanid
0,2 – 2
2
Furosemid
20 – 80
2
Torsemid
2,5 – 5
1
Diuretic “loop”
Diuretic “potassium sparing”
Amilorid
5
1 atau 2
Spironolakton
25 – 50
2 atau 3
Triamteren
50 – 100
1 atau 2
Atenolol
25 – 50
1
Betaxolol
5 – 20
1
Bisoprolol
2,5 – 10
1
Metoprolol
50 – 100
1 atau 2
Nadolol
40 – 80
1
Propanolol
40 – 120
2
Timolol
10 – 40
1
Beta-bloker
Betabloker dengan ISA
Acebutolol
200 – 800
2
Carteolol
2,5 – 5
1
Penbutolol
20
1
10 – 40
2
Pindolol
Alfa/beta bloker
35
Kelas Obat
Kisaran dosis harian
Frekuensi dosis
(mg)
Carvedilol
12,5 – 25
2
Labetalol
200 – 800
2
Benazepril
10 – 20
1 atau 2
Captopril
12,5 – 100
2
Enalapril
2,5 – 20
1 atau 2
Fisinopril
10 – 20
1
Lisinopril
5 – 20
1
Moexipril
7,5 - 30
1
Quinapril
5 – 40
1
Ramipril
1,5 - 10
1
ACE inhibitors
Angiotensin receptor blockers
Candesartan
8 – 32
1
Eprosartan
400 - 800
1 atau 2
Irbesartan
150 - 300
1
Losartan
25 - 100
1 atau 2
Olmesartan
20 – 40
1
Telmisartan
20 – 80
1
Valsartan
80 - 320
1
Calcium antagonis, calcium channel blocking
agents
Diltiazem
180 – 360
2
Verapamil
180 – 480
1 atau 2
Amlodipin
5 – 20
1
Felopodipin
5 – 20
1
Isradipin
2,5 – 5
2
Nicardipin
20 – 40
3
Nifedipin
30 – 120
1
Nisoldipin
20 – 60
Calcium antagonist, dihydropyridines
(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008)
36
2.2.9 Hubungan Hipertensi dan Stroke
Hipertensi merupakan satu dari beberapa faktor risiko stroke iskemik.
Berdasarkan
banyak
penelitian
berbagai
klinis
dan
meta-analisis
menunjukkan bahwa dengan mengendalikan hipertensi akan mengurangi
risiko terjadinya stroke. Hipertensi juga diduga memicu terjadinya
aterosklerosis, namun aterogenesisnya tidak diketahui dengan pasti. Diduga
tekanan darah tinggi merusak endotel dan menaikkan permeabilitas dinding
pembuluh darah terhadap lipoprotein. Tidak hanya itu, diduga beberapa zat
yang dikeluarkan oleh tubuh seperti renin, angiotensin dan lain–lain dapat
menginduksi perubahan seluler yang menyebabkan aterogenesis (Sacco.,
2000).
Pada orang normal terdapat suatu sistem autoregulasi arteri serebral.
Bila tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral menjadi
vasospasme (vasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah sistemik
menurun, pembuluh serebral akan menjadi vasodilatasi. Dengan demikian,
aliran darah ke otak tetap konstan. Batas atas tekanan darah sistemik yang
masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi adalah 200 mmHg untuk
tekanan darah sistolik dan 110–120 mmHg untuk tekanan darah diastolik
(Becker., 2008).
Ketika tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral akan
berkonstriksi. Derajat konstriksi tergantung pada peningkatan tekanan
darah. Bila tekanan darah cukup tinggi selama berbulan–bulan atau
bertahun–tahun akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh
serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi
tetap. Hal ini berbahaya karena pembuluh darah serebral tidak dapat
berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi dari
tekanan darah sistemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka
perfusi kejaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik
37
serebral. Sebaliknya, bila terjadi kenaikan tekanan darah sistemik maka
tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya, terjadi
hiperemia, edema, dan kemungkinan terjadi perdarahan pada otak (Becker.,
2008).
Pada hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma dengan diameter
1 mm. Mikroaneurisma ini dikenal dengan aneurisma dari CharcotBouchard dan terutama terjadi pada arteria lentikulostriata. Pada lonjakan
tekanan darah sistemik, sewaktu orang marah atau mengejan, aneurisma
bisa pecah. Hipertensi yang kronis merupakan salah satu penyebab
terjadinya disfungsi endotelial dari pembuluh darah. Pada keadaan normal,
endotelial menunjukkan fungsi dualistik. Sifat ini secara simultan
mengekspresikan dan melepaskan zat-zat vasokonstriktor (angiotensin II,
endotelin-I, tromboksan A-2, dan radikal superoksida) serta vasodilator
(prostaglandin dan nitrit oksida). Faktor–faktor ini menyebabkan dan
mencegah proliferasi sel sel otot polos pembuluh darah secara seimbang.
Keseimbangan antara sistem antagonis ini dapat mengontrol secara optimal
fungsi dinding pembuluh darah. Akibat disfungsi endotel, terjadi
vasokonstriksi, proliferasi sel–sel otot polos pembuluh darah, agregasi
trombosit,
adhesi
lekosit,
dan
peningkatan
permeabilitas
untuk
makromolekul, seperti lipoprotein, fibrinogen dan imunoglobulin. Kondisi
ini akan mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis memegang
peranan penting untuk terjadinya stroke infark (Becker, 2008).
2.2.10 Patofisiologi Hipertensi pada Stroke
Otak mempunyai kecepatan metabolisme yang tinggi, dengan berat
hanya 2% dari berat badan menggunakan 20% oksigen total dari 20% darah
yang beredar. Pada keadaan oksigenasi cukup terjadi metabolisme aerobik
dari 1 mol glukosa dengan menghasilkan energi berupa 38 mol adenosin
38
tripospat (ATP) yang diantaranya akan digunakan untuk mempertahankan
pompa natrium (Na-K pump), transport neurotransmiter (glutamat, dll.) ke
dalam sel, sintesis protein, lipid dan karbohidrat, serta transfer zat-zat dalam
sel, sedangkan dalam keadaan iskemia seperti pada pasien stroke terjadi
metabolisme anaerobik di mana 1 mol glukosa menghasilkan 2 ATP
sehingga pompa ion (Na-K pump), transport neurotransmiter (glutamat, dll.)
ke dalam sel, sintesis protein, lipid dan karbohidrat, serta transfer zat-zat
dalam terganggu dan apabila keadaan ini tidak segera diatasi maka akan
terjadi kematian sel. Keadaan normal aliran darah otak dipertahankan oleh
suatu mekanisme otoregulasi kurang lebih 58 ml/100gr/menit dan dominan
pada daerah abu-abu, dengan mean arterial blood pressure (MABP) antara
50-160 mmHg. Mekanisme gagal bila terjadi perubahan tekanan yang
berlebihan dan cepat atau pada stroke fase akut. Jika MABP kurang dari 50
mmHg akan terjadi iskemia sedang jika lebih dari dari 160 mmHg akan
terjadi gangguan sawar darah otak dan terjadi edema serebri atau
ensefalopati hipertensif (Jannis., 2003). Selain terdapat mekanisme
otoregulasi
yang
peka
terhadap
perubahan
kadar
oksigen
dan
karbondioksida. Kenaikan kadar karbondioksida darah menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah dan kenaikan kadar oksigen menyebabkan
vasokonstriksi. Nitrikoksid merupakan vasodilator lokal yang dilepaskan
oleh sel endotel vaskuler (Budiarto, 2002).
2.2.11 Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Iskemik
Penatalaksanaan hipertensi yang tepat pada stroke akut sangat
mempengaruhi mobilitas dan mortalitas stroke. Sebagian besar ahli tidak
merekomendasikan terapi hipertensi pada stroke iskemik akut, kecuali
terdapat hipertensi berat yang menetap yaitu tekanan darah sistolik > 220
mmHg atau diastolik > 120 mmHg. Sebagian besar ahli berpendapat obat–
39
obat antihipertensi yang ada sebelum serangan stroke diteruskan pada fase
awal serangan stroke dan menunda pemberian obat antihipertensi yang baru
sampai dengan 7–10 hari paska serangan stroke (PERDOSSI., 2004).
Pada penderita dengan tekanan darah diastolik > 140 mmHg (atau
> 110 mmHg bila akan dilakukan terapi trombolisis) diperlakukan sebagai
penderita hipertensi emergensi berupa drip kontinyu nikardipin, diltiazem,
nimodipin dan lain-lain. Jika tekanan sistolik > 230 mmHg dan atau tekanan
darah diastolik 121-140 mmHg, berikan labetalol i.v. selama 1-2 menit.
Dosis labetalol dapat diulang atau digandakan setiap 1-2 menit sampai
tekanan darah yang memuaskan dapat tercapai atau sampai dosis komulatif
300 mg yang diberikan melalui teknik bolus mini, setelah dosis awal,
labetalol dapat diberikan setiap 6-8 jam bila diperlukan (PERDOSSI.,
2004).
Jika tekanan sistolik 180-230 mmHg dan atau tekanan darah
diatolik 15-120 mmHg, terapi darurat harus ditunda kecuali ada bukti
perdarahan intraserebral, gagal ventrikel jantung kiri, infark miokard akut,
gagal ginjal akut, edema paru, diseksi aorta, ensefalopati hipertensi dan
sebagainya. Jika pengukuran tekanan darah tersebut menetap pada dua kali
pengukuran selang waktu 60 menit, maka diberikan 200-300 mg labetalol 23 kali sehari sesuai kebutuhan. Pengobatan alternatif yang memuaskan
selain labetalol adalah nifedipin oral 60 mg setiap 6 jam atau 6,25-25 mg
kaptopril setiap 8 jam. Jika monoterapi oral tidak berhasil atau obat tidak
dapat diberikan peroral, maka diberikan labetalol i.v. batas penurunan
tekanan darah sebanyak–banyaknya sampai 20%-25% dari tekanan darah
arterial rerata, dan tindakan selanjutnya ditentukan kasus perkasus
(PERDOSSI., 2004).
40
2.2.12 Obat – Obat yang Digunakan
1. Diuretic Thiazide
Obat golongan diuretik menurunkan tekanan darah dengan jalan
membantu tubuh menyingkirkan kelebihan cairan dan natrium melalui
urinasi. Golongan ini adalah yang paling tua dan paling banyak digunakan
daripada obat antihipertensi lain. Diuretik tertentu, yaitu kelompok tiazid
dapat berperan sebagai vasodilator dengan membuka pembuluh darah. Efek
samping antara lain keletihan, keram kaki, lemah, encok (jarang),
peningkatan gula darah, terutama pada penderita diabetes, dan penurunan
libido dan atau impotensi. Diuretik terbagi ke dalam tiga subkategori:
Diuretik tiazid (Klorotizida, Klortalidon, Hidroklorotiazid, Politiazid,
Indapamid,
Metolazon),
Loop
Diuretic
(Bumetanida,
Furosemida,
Torsemida), Diuretic Hemat-Kalium (Amilorida, Triamteren) (Kowalski,
2010).
2. β - Blocker
Obat golongan penyekat beta, istilah lengkapnya adalah beta
adrenergic blocker, melambatkan detak jantung dan pompa darah, sehingga
menurunkan tekanan darah. Golongan ini secara rutin diresepkan kepada
pasien yang pernah mengalami serangan jantung (myocardial infarction
atau MI), karena hasil penelitian membuktikan bahwa konsumsi obat-obatan
ini, setidaknya satu tahun setelah MI, dapat mencegah serangan kedua.
Penyekat beta juga digunakan untuk mengatasi gangguan irama jantung
yang dikenal sebagai aritmia. Mekanisme kerjanya adalah menyekat efek
dari senyawa yang merangsang jantung, yaitu adrenalin, dengan
menurunkan produksi adrenalin dalam otak; oleh karenanya, golongan ini
memiliki efek “mediasi pusat” terhadap tekanan darah. Penyekat beta sering
dikombinasi dengan senyawa antihipertensi lain. Efek samping yang
diketahui, antara lain, penurunan kapasitas olah raga, lesu, letih, dan
41
impotensi.
Contoh:
Asebutolol,
Atenolol,
Betaksolol,
Bisoprolol/
hidroklorotiazid, Karteolol, Metoprolol, Nadolol (Kowalski, 2010).
3. Kombinasi α dan β – Blocker
Obat-obatan ini memberi manfaat dari kelas alfa dan beta dan biasanya
diresepkan kepada seseorang yang menderita kerusakan otot jantung setelah
serangan jantung. Efek samping yang paling sering muncul adalah pening
ketika bangkit dari duduk atau posisi berbaring karena penurunan drastis
tekanan darah (kondisi ini disebut hipotensi postural atau orthostatic
hypotension. Penyesuaian dosis akan sangat membantu) (Kowalski, 2010).
Penghambat reseptor adrenergik ini memiliki aktivitas terhadap reseptor α
dan β. Karena onset kerjanya yang cepat, mudah dititrasi, dan mempunyai
efek yang minimal terhadap vaskularsisasi sistem saraf pusat, labetalol.
Pemberian intravena merupakan salah satu obat yang direkomendasikan
untuk manajemen peningkatan tekanan darah pada pasien stroke akut yang
dipilih untuk menggunakan tissue plasminogen activator. Contoh: labetalol
dan carvedilol (Pedelty L. & Gorelick P.B., 2006).
4. α1- Blocker
Kelompok obat ini secara selektif menghambat senyawa darah khusus
yang menyebabkan arteri mengalami penyempitan. Penghambatan tersebut
memungkinkan peningkatan aliran darah dan penurunan tekanan darah
dengan merelaksasi arteri. Efek samping, antara lain pening, mengantuk,
peningkatan kecepatan jantung, atau kemerosotan tekanan darah yang
menyebabkan pusing ketika bangkit dari kursi atau tempat tidur. Contoh:
Doksazosin, Prazosin, Terazosin (Kowalski, 2010).
5. ACE Inhibitor
Dengan menghambat kerja enzim yang mengaktifkan angiotensin.
Penghambat EPA mencegah penyempitan pembuluh darah dan menurunkan
resistensi aliran darah, yang pada akhirnya menurunkan tekanan darah. Efek
42
samping yang mungkin adalah kemerahan pada kulit atau reaksi alergi lain,
hilang selera makan, batuk kering kronis, dan kerusakan ginjal. Selain
gejala-gejala tersebut, penghambat EPA secara umum ditoleransi dengan
baik. Contoh: Benazepril, Kaptopril, Enalapril, Fosinopril, Lisinopril,
Moeksipril (Kowalski, 2010).
6. Calcium Channel Blocker (CCB)
Kategori obat antihipertensi ini, disebut juga antagonis kalsium.
Mengganggu jalan masuk kalsium menuju sel otot jantung dan arteri. Ini
akan membatasi penyempitan arteri, memungkinkan aliran darah yang lebih
lancar untuk menurunkan tekanan darah. Golongan obat ini juga diresepkan
untuk mengatasi gangguan irama jantung disertai nyeri dada yang disebut
sebagai angina pektoris (biasanya disebut angina saja). Efek samping
meliputi jantung berdebar, bengkak pada pergelangan kaki, ruam,
konstipasi, sakit kepala, dan pening. Setiap obat dalam golongan ini
memiliki efek samping khusus. Contoh: Amlodipin, Bepridil, Diltiazem,
Felodipin, Nifedipin, Nimodipin, Nisoldipin (Kowalski, 2010).
7. Angiotensin Reseptor Bloker (ARB)
Pentingnya angiotensin II dalam mengatur fungsi kardiovaskular
menyebabkan perkembangan antagonis nonpeptide dari reseptor angiotensin
II tipe 1 (AT1) untuk penggunaan klinis. Losartan, candesartan, irbesartan,
valsartan, telmisartan, dan eprosartan
telah disetujui untuk pengobatan
hipertensi. Obat-obat tersebut merupakan antagonis reseptor angiotensin
AT1 yang sangat aktif pada pemberian per oral dan antagonis kompetitif
khusus pada reseptor angiotensin AT1 yang dapat ditoleransi dengan baik.
Reseptor angiotensin II dibagi menjadi dua subtipe yang berbeda, yaitu tipe
1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) terletak
terutama dalam jaringan pembuluh darah, miokard, otak, ginjal, dan sel
glomerulosa adrenal yang mensekresi aldosteron. Reseptor angiotensin II
43
tipe 2 (AT2) ditemukan di medula adrenal, ginjal, sistem saraf pusat, dan
memiliki peran dalam pengembangan vaskular (Horiuchi et al., 1999).
Angiotensin II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim: RAAS
(Renin Angiotensin Aldosteron System) yang melibatkan ACE (Angiotensin
Converting Enzym), dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain
seperti chymase. ACEI hanya menghambat efek angiotensinogen yang
dihasilkan melalui RAAS, dimana ARB menghambat angiotensin II dari
semua jalan. Oleh karena perbedaan ini, ACEI hanya menghambat sebagian
dari efek angiotensin II. ARB bertindak sebagai antagonis reseptor
angiotensin II dengan cara memblok reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1)
yang memediasi efek angiotensin II yang sudah diketahui pada manusia:
vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon
antidiuretik dan konstriksi arteriol efferent dari glomerulus. ARB tidak
memblok reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi efek yang
menguntungkan dari stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan
jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel) tetap utuh dengan
penggunaan ARB (Anonim, 2006).
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan
hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin
yang rendah. Pemberian
ARB menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Pemberian jangka panjang tidak
mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2007).
Berdasarkan studi “A Combined Role of Calsium Channel Blockers and
Angiotensin Reseptor Blckers in Stroke Prevention” (Peran Kombinasi
Kalsium Channel Blocker dan Angiotensin Receptor Blockers dalam
Pencegahan Stroke), telah dikaitkan dengan perkembagan dan kemajuan
penyakit serebrovaskular pada pasien dengan hipertensi. Angiotensin II
44
diperkirakan dapat mendorong remodeling, menghambat endoteliumdependen relaksasi dan mengganggu darah di barier otak. Sehingga
penggunaan ARB ini dapat untuk cerebroprotection. Menurut hipotesis
yang diusulkan oleh Boutitie et al dalam uji klinik, ARB dapat memberikan
perlindungan terhadap stroke selain menurunkan tekanan darah karena
mereka menghambat efek angiotensin I pada sirkulasi serebral, tetapi disini
dikatakan memungkinkan angiotensin II untuk berpotensi memberikan
perlindungan terhadap stroke melalui reseptor angiotensin II (Wang, 2009).
ARB mempunyai kurva dosis-respon yang datar, berarti menaikkan
dosis diatas dosis rendah atau sedang tidak akan menurunkan tekanan darah
yang drastis. Penambahan diuretik dosis rendah akan meningkatkan efikasi
antihipertensi dari ARB. Seperti ACEI, Kebanyakan ARB mempunyai
waktu paruh cukup panjang untuk pemberian 1 kali / hari. Tetapi
kandesartan, eprosartan, dan losartan mempunyai waktu paruh paling
pendek dan diperlukan dosis pemberian 2 kali / hari agar efektif
menurunkan tekanan darah (Anonim, 2006).
Perbandingan interaksi obat dari semua golongan angiotensin reseptor
bloker menunjukkan bahwa losartan memiliki potensi tertinggi untuk
interaksi obat karena dimetabolisme oleh isoenzim sitokrom P450.
Sedangkan pada valsartan, irbesartan, dan candesartan tidak ditemukan
adanya interaksi obat yang signifikan (Barreras et al., 2003).
ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan
obat antihipertensi lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB
tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEI. Sama halnya dengan ACEI,
ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi
ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan pada
penggunaan ACEI. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga angiedema;
45
tetapi cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh digunakan pada
perempuan hamil (Anonim, 2006).
Berdasarkan sebuah penelitian “Efficacy and Safety of a Fixed
Combination of Irbesartan/ Hydrochlorothiazide in Chinese Patients with
Moderate to Severe Hypertension” penelitian dilakukan secara prospektif
untuk meneliti efikasi dan keamanan dari kombinasi irbesartan/
hidroklorothiazid pada pasien cina dengan hipertensi berat. Penelitian
dilakukan pada pasien berusia 18–75 tahun dengan tekanan darah sistolik
bervariasi pada setiap pasien yaitu antara 160–199 mmHg dan tekanan
darah diastolik antara 100–119 mmHg. Dari hasil penelitian setelah tindak
lanjut selama 12 minggu, kontrol tingkat tekanan darah mencapai tujuan
yakni 57,3%. Terjadi penurunan secara signifikan pada prevalensi
mikroalbuminuria dan hipertrofi ventrikel kiri dari awalnya 33,4% dan
50,4% menjadi 23,4% dan 41,3%. Namun, terdapat 4 pasien (2,0%)
dilaporkan memiliki efek samping yang serius (Huang et al., 2013).
Pada penelitian “Efficacy of Combination Therapy with Telmisartan
Plus Amlodipine in Patients
with Poorly Controlled Hypertension” dilakukan terapi kombinasi obat
antihipertensi golongan ARB (telmisartan) dan golongan CCB (amlodipine)
pada pasien hipertensi tidak terkontrol. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kombinasi telmisartan (40 mg) dan amlodipine (5 mg) dapat
mengurangi tekanan darah yang signifikan pada 12 minggu dari tekanan
darah awal sebesar 143,7/82,3 mmHg menjadi 135,4/77,5 mmHg (Bekki et
al., 2010).
Elizabeth et al. (2010) menyatakan bahwa selama 15 tahun terakhir,
telah dilakukan berbagai studi dengan losartan. Dalam studi tersebut, telah
ditunjukkan
manfaat
dalam
mengendalikan
hipertensi,
penurunan
46
proteinuria, memperlambat perkembangan diabetes nefropati tipe 2, dan
penurunan resiko stroke pada populasi tertentu.
Obat-Obat Golongan ARB (Angiotensin Reseptor Bloker)
1.
Losartan
Gambar 2.1 Struktur Losartan (Sweetman, 2009)
Losartan dengan cepat diserap melalui saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas oral sekitar 33%. Losartan mengalami metabolisme firstpass
substansial. Losartan dimetabolisme melalui asam karboksilat sebagai
metabolit aktif E-3174 (EXP-3174) yang memiliki aktivitas farmakologi
lebih besar daripada losartan. Losartan dimetabolisme terutama oleh
isoenzim sitokrom P450 CYP2C9 dan CYP3A4. Konsentrasi plasma
puncak dari losartan dan E-3174 terjadi sekitar 1 jam dan 3 sampai 4 jam,
setelah dosis oral. Losartan dan E-3174 terikat pada protein plasma sekitar
98%. Losartan diekskresikan tanpa merubah obat melalui urin, dan empedu.
Sekitar 4% dari dosis oral, diekskresikan melalui urin dan sekitar 6% dari
ekskresi urin sebagai metabolit aktif tanpa merubah obat. Waktu paruh
eliminasi dari losartan dan E-3174 sekitar 1,5 sampai 2,5 jam dan 3 sampai
9 jam. Losartan adalah reseptor angiotensin II antagonis dengan aktivitas
antihipertensi reseptor AT1. Losartan digunakan untuk pengobatan
hipertensi, terutama pada pasien yang mengalami batuk pada saat
47
penggunaan ACE inhibitor, mengurangi resiko stroke pada pasien dengan
hipertrofi ventrikel kiri, dan dalam pengobatan diabetik nefropati. Losartan
diberikan secara oral sebagai garam kalium. Efek hipotensif maksimum
losartan dicapai dalam waktu sekitar 3 sampai 6 minggu setelah memulai
pengobatan. Pada hipertensi, dosis awal losartan kalium adalah 50 mg sekali
sehari. Dosis dapat ditingkatkan, jika perlu, sampai 100 mg sehari sebagai
dosis tunggal atau dibagi dalam dua dosis. Dalam diabetes nefropati, kalium
losartan diberikan dalam dosis awal 50 mg sekali sehari, meningkat menjadi
100 mg sekali sehari tergantung pada tekanan darah. Efek antihipertensi
losartan dapat diperkuat oleh obat atau agen lain yang dapat menurunkan
tekanan darah (Sweetman, 2009).
2.
Valsartan
Gambar 2.2 Struktur Valsartan (Sweetman, 2009)
Valsartan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan
gangguan hati, sirosis, atau obstruksi bilier. Valsartan dengan cepat diserap
setelah dosis oral, dengan bioavailabilitas sekitar 23%. Konsentrasi plasma
puncak dari valsartan terjadi 2 sampai 4 jam setelah dosis oral. Valsartan
terikat pada protein plasma antara 94% dan 97%. Valsartan dimetabolisme
dan diekskresikan melalui empedu tanpa merubah obat. Waktu paruh
48
eliminasi sekitar 5 sampai 9 jam. Setelah dosis oral, valsartan diekskresikan
sekitar 83% dalam feses dan 13% dalam urin.
Valsartan merupakan
reseptor angiotensin II antagonis, yang digunakan dalam pengobatan
hipertensi, mengurangi angka kematian kardiovaskular pada pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri, dan dalam pengobatan gagal jantung. Efek hipotensi
terjadi dalam waktu 2 jam, mencapai puncaknya dalam waktu 4 sampai 6
jam, dan berlangsung selama lebih dari 24 jam. Efek hipotensif maksimum
dicapai dalam waktu 2 sampai 4 minggu. Pada hipertensi, valsartan
diberikan dalam dosis awal 80 mg sekali sehari. Dosis valsartan
ditingkatkan, jika perlu, untuk 160 mg sekali sehari, dosis maksimum
adalah 320 mg sekali sehari. Dosis awal yang lebih rendah dari 40 mg sekali
sehari dapat digunakan pada pasien usia lanjut lebih dari 75 tahun, dan pada
mereka dengan penurunan volume intravaskular. Pada gagal jantung,
valsartan diberikan dalam dosis awal 40 mg dua kali sehari (Sweetman,
2009).
3.
Irbesartan
Gambar 2.3 Struktur Irbesartan (Sweetman, 2009)
Irbesartan dengan cepat diserap dari saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas oral 60 sampai 80%. Konsentrasi plasma puncak dari
49
irbesartan terjadi 1,5 sampai 2 jam setelah dosis oral. Irbesartan terikat pada
protein plasma sekitar 96%. Irbesartan mengalami metabolisme di hati,
terutama oleh sitokrom P450 isoenzim CYP2C9, sebagai metabolit aktif.
Irbesartan diekskresikan tanpa merubah obat dan metabolit melalui empedu
dan urin, sekitar 20% dari dosis oral atau intravena diekskresikan dalam
urin, dengan kurang dari 2%. Waktu paruh eliminasi adalah sekitar 11
sampai 15 jam. Irbesartan digunakan untuk pengobatan hipertensi, termasuk
pengobatan penyakit ginjal pada pasien diabetes hipertensi. Irbesartan juga
termasuk pengobatan untuk gagal jantung. Puncak efek hipotensi dalam
waktu 3 sampai 6 jam dan berlangsung setidaknya selama 24 jam. Efek
hipotensif maksimum dicapai dalam waktu 4 sampai 6 minggu setelah
memulai terapi. Pada hipertensi, irbesartan diberikan dalam dosis 150 mg
sekali sehari ditambah, kalau perlu, sampai 300 mg sekali sehari. Dosis
awal yang lebih rendah dari 75 mg sekali sehari dapat dipertimbangkan
pada pasien usia lanjut lebih dari 75 tahun, untuk pasien dengan penurunan
volume intravaskular, dan mereka yang menerima hemodialisis. Untuk
pengobatan penyakit ginjal dalam tipe hipertensi penderita diabetes 2,
irbesartan harus diberikan dalam dosis awal 150 mg sekali sehari,
meningkat menjadi 300 mg sekali sehari selama perawatan.
Meskipun irbesartan tampaknya ditoleransi dengan baik pada anakanak dengan hipertensi dan telah terbukti menurunkan tekanan darah dalam
studi kecil, catatan informasi dari produk lisensi US, dosis hingga 4,5 mg/kg
sekali sehari tidak efektif pada anak usia 6 sampai 16 tahun dan tidak lagi
merekomendasikan penggunaan pada pasien tersebut. Pada anak-anak
dengan penyakit ginjal kronis, irbesartan telah dilaporkan dapat mengurangi
tekanan darah dan proteinuria. Dosis awal adalah 37,5 mg sekali sehari
untuk anak-anak dengan berat 10 sampai 20 kg, 75 mg sekali sehari pada
orang dengan berat 21 hingga 40 kg, dan 150 mg sekali sehari pada orang
50
dengan berat lebih dari 40 kg, dosis bisa dua kali lipat jika respon tekanan
darah tidak memadai (Sweetman, 2009).
4.
Candesartan Cilexetil
Gambar 2.4 Struktur Candesartan Cilexetil (Sweetman, 2009)
Candesartan cilexetil merupakan prodrug yang digunakan secara oral,
yang secara cepat akan diubah menjadi senyawa aktif, yakni candesartan
dengan cara hidrolisis ester selama absorpsi dari saluran cerna. Candesartan
cilexetil (CC) termasuk obat baru golongan angiotensin II receptor
antagonists. Obat lain yang termasuk golongan tersebut ialah losartan,
irbesartan, dan valsartan. CC mempunyai afinitas ikatan kuat terhadap
reseptor AT1. Setelah pemberian oral, CC dikonversi menjadi candesartan
dengan ketersediaan hayati rata-rata 40%. Area under curve (AUC), yakni
luas daerah di bawah kurva kadar obat terhadap waktu, tidak dipengaruhi
oleh makanan. Waktu untuk mencapai kadar puncak plasma (Tmax) ialah 3-5
jam setelah pemberian oral. Dalam rentang terapetik, konsentrasi dalam
serum linier dengan kenaikkan dosis. Tidak ada perbedaan gender dalam hal
farmakokinetiknya. Candesartan terikat dalam protein plasma ( > 99%).
Candesartan dieliminasi tanpa diubah melalui urin dan empedu, dan hanya
sebagian kecil diinaktivasi melalui metabolisme hati. Sejauh ini hanya satu
metabolit inaktif (CV 15959) yang telah ditemukan. Waktu paro terminal
51
candesartan ialah 5-9 jam, dan tidak ada akumulasi yang bermakna setelah
dosis ganda diberikan (konsentrasi plasma ± 3-17%). Klirens plasma total
candesartan sekitar 0,37 ml/ min/kg, dengan klirens renal sekitar 0,19 ml/
min/kg. Setelah pemberian oral CC, sekitar 20-30% diekskresi dalam urin
dan 60-70% dalam feses. Volume distribusi candesartan ialah 0,1 L/kg
(Chung et al., 1999).
Pengaruh CC pada hyperplasia intima, secara eksperimental diteliti
oleh Miyakzaki et al., (1999). CC secara bermakna menekan pembentukkan
hyperplasia intima pada arteri karotis dan fermoralis, sementara enalapril
secara bermakna menekan hyperplasia intima pada arteri femoralis, tetapi
tidak pada arteri karotis. Pada suatu studi klinis yang melibatkan 15
penderita stroke dengan hipertensi, CC 2-8 mg sekali sehari yang diberikan
selama 8 minggu dapat mempertahankan aliran darah otak (ADO) di
samping menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Pengaruh CC
pada hemodinamik menunjukkan bahwa CC menurunkan resistensi
vaskuler sistemik di samping mempertahankan curah jantung dan denyut
nadi (McClellan & Goa, 1998).
52
5.
Telmisartan
Gambar 2.5 Struktur Telmisartan (Sweetman, 2009)
Telmisartan dengan cepat diserap melalui saluran pencernaan,
bioavailabilitas oral 42% setelah dosis 40 mg dan 58% setelah dosis 160
mg. Konsentrasi plasma puncak dari telmisartan dicapai sekitar 0,5 sampai
1 jam setelah dosis oral. Telmisartan terikat dengan protein plasma 99%.
Telmisartan diekskresikan melalui empedu tanpa merubah obat. Waktu
paruh eliminasi telmisartan adalah sekitar 24 jam. Telmisartan adalah
reseptor angiotensin II antagonis, yang digunakan dalam pengobatan
hipertensi. Telmisartan memiliki efek hipotensi dalam waktu 3 jam dan
berlangsung selama setidaknya 24 jam. Efek hipotensi maksimum terjadi
dalam waktu sekitar 4 sampai 8 minggu setelah memulai terapi. Pada
hipertensi, telmisartan diberikan dalam dosis awal 40 mg sekali sehari. Ini
dapat ditingkatkan, jika perlu, dengan dosis maksimum 80 mg sekali sehari.
Penurunan dosis harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan hati
atau ginjal (Sweetman, 2009).
53
6.
Eprosartan
Gambar 2.6 Struktur Eprosartan (Sweetman, 2009)
Eprosartan diserap melalui saluran pencernaan dengan bioavailabilitas
oral sekitar 13%. Puncak konsentrasi plasma terjadi sekitar 1 sampai 2 jam
setelah dosis oral dalam keadaan berpuasa, memberikan dosis dengan
penyerapan makanan penundaan tapi ini tidak signifikan secara klinis.
Eprosartan terikat
pada
protein
plasma
sekitar
98%.
Eprosartan
diekskresikan tanpa diubah melalui empedu dan urin, dosis oral sekitar 7%
dari dosis oral eprosartan diekskresikan dalam urin, dengan sekitar 2%
sebagai asil glukuronida. Waktu paruh eliminasi half life sekitar 5 sampai 9
jam. Eprosartan digunakan dalam pengobatan hipertensi. Eprosartan
diberikan secara oral sebagai mesilat, tetapi dosis yang dinyatakan dalam
dasar eprosartan mesilat 1,2 mg setara dengan sekitar 1 mg eprosartan.
Timbulnya efek antihipertensi terjadi sekitar 1 sampai 2 jam setelah
pemberian dan efek maksimum dicapai dalam waktu 2 sampai 3 minggu
setelah memulai terapi. Dalam pengobatan hipertensi, eprosartan diberikan
dalam dosis awal 600 mg sekali sehari. Dosis awal yang lebih rendah dari
300 mg sekali sehari dapat digunakan pada pasien usia lanjut lebih dari 75
54
tahun dan telah direkomendasikan pada gangguan ginjal atau hati. Dosis
harus disesuaikan dengan respon, dosis pemeliharaan yang biasa adalah
400-800 mg per hari dalam satu dosis atau dalam dua dosis terbagi
(Sweetman, 2009).
7.
Olmesartan
Gambar 2.7 Struktur Olmesartan (Sweetman, 2009)
Olmesartan medoxomil merupakan prodrug yang digunakan secara
oral, yang secara cepat akan diubah menjadi senyawa aktif, yakni
olmesartan medoxomil dengan cara hidrolisis ester selama absorpsi dari
saluran cerna. Olmesartan diserap melalui saluran pencernaan dengan
biovailabilitas oral sekitar 26%. Konsentrasi plasma puncak dari olmesartan
terjadi sekitar 1 sampai 2 jam setelah dosis oral. Olmesartan terikat pada
protein plasma sekitar 99%. Olmesartan diekskresikan sekitar 35% sampai
50% dari dosis yang diserap melalui urin dan sisanya diekskresikan melalui
empedu. Olmesartan memiliki waktu paruh antara 10 dan 15 jam. Dalam
hipertensi, Olmesartan medoxomil diberikan dalam dosis 20 mg sekali
sehari, dosis dapat ditingkatkan sampai 40 mg sekali sehari jika diperlukan
(Sweetman, 2009).
55
Download