II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN SERANGGA Kerusakan atau kehilangan didefinisikan sebagai penurunan kuantitas dan kualitas produk pangan yang dapat diukur. Kehilangan kuantitas adalah kehilangan yang bersifat fisik dan dapat diukur dengan satuan berat atau volume, sedangkan kehilangan kualitas hanya dapat dinilai yaitu berupa kehilangan/penurunan nilai gizi, kemampuan berkecambah dan penurunan nilai jual (Winarno 2006). Ditinjau dari penyebabnya, kerusakan dapat dibagi atas beberapa jenis yaitu kerusakan mekanis, fisik, biologis, mikrobiologis, dan kimiawi. Kerusakan mekanis disebabkan oleh benturan mekanis. Kerusakan fisik disebabkan oleh perlakuan-perlakuan fisik yang digunakan seperti penggunaan suhu yang terlalu tinggi, suhu yang terlalu rendah, penyinaran yang tidak dikehendaki dan lainnya. Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksireaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat di dalamnya secara alamiah sehingga terjadi suatu proses (autolisis) yang berakhir dengan kerusakan dan pembusukan. Kerusakan biologis ialah kerusakan yang diakibatkan oleh serangan serangga, tikus, burung dan hewan lain. Kerusakan mikrobiologis sering disertai dengan produksi racun yang membahayakan kesehatan dan untuk kerusakan kimiawi biasanya saling berhubungan dengan kerusakan lain, misalnya adanya panas yang tinggi pada pemanasan minyak, mengakibatkan rusaknya beberapa asam lemak (Santausa dan Arpah 1990; Winarno 2006). Serangga adalah penyebab utama kehilangan bahan selama penyimpanan, khususnya di daerah tropis. Bagi serangga, komoditas pangan yang disimpan di gudang merupakan sumber makanan sekaligus habitat untuk berkembang biak dan selanjutnya menghancurkan lingkungan tersebut (Winarno 2006). Berdasarkan tempat berkembangnya dari telur hingga dewasa, serangga dibagi dalam dua golongan, yaitu internal feeder dan external feeder. Internal feeder adalah serangga yang sebagian fase dalam siklus hidupnya berlangsung di dalam biji atau benda padat, sedangkan external feeder, seluruh fase dalam siklus hidupnya berlangsung di luar biji. Oleh karena itu, internal feeder menimbulkan hidden infestation (serangan tersembunyi) yaitu serangan yang terjadi tetapi tidak dapat dilihat secara kasat mata karena terjadi di dalam biji atau benda padat. Kegiatan serangga di dalam biji dapat menyebabkan meningkatnya kandungan air serta suhu secara lokal. Meningkatnya kadar air dapat mengundang serangan kapang. Kegiatan bersama serangga dan kapang dapat mengakibatkan penurunan mutu yang disebabkan karena adanya sisasisa tubuh serangga yang mati, penimbunan uric acid, akumulasi frass, dan penyimpangan warna. (Desmarchelier 1990; Birck et al. 2003). Kerusakan oleh serangga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kerusakan langsung dan kerusakan tidak langsung. Kerusakan langsung terdiri dari konsumsi bahan yang disimpan oleh serangga, kontaminasi oleh serangga dewasa, pupa, larva, telur, kulit telur, dan bagian tubuhnya, serta kerusakan wadah bahan yang disimpan. Kerusakan tidak langsung antara lain adalah timbulnya panas akibat metabolisme serta berkembangnya kapang dan mikroba-mikroba lainnya (Dharmaputra 1994; Winarno 2006). Setiap spesies serangga mempunyai kesukaan terhadap makanan tertentu. Beberapa spesies menyukai embrio, dan yang lain menyukai endosperma. Embrio adalah bagian yang paling kaya akan zat gizi. Komponen lemak, protein, mineral, dan vitamin terkonsentrasi pada bagian tersebut sehingga serangan serangga akan menyebabkan penurunan nilai gizi (Pranata 1982). Menurut Winarno (2006), akibat dari serangan hama, maka akan terjadi susut kuantitatif, susut kualitatif. 3 Susut kuantitatif adalah turunnya bobot atau volume bahan karena sebagian atau seluruhnya dimakan oleh hama. Susut kualitatif adalah turunnya mutu secara langsung akibat dari adanya serangan hama, misalnya bahan yang tercampur oleh bangkai, kotoran serangga atau bulu tikus dan peningkatan jumlah butir gabah yang rusak. Secara ekonomi, kerugian akibat serangan hama adalah turunnya harga jual komoditas bahan pangan (biji-bijian). Kerugian akibat serangan hama dari segi ekologi atau lingkungan adalah adanya ledakan populasi serangga yang tidak terkontrol (Syarief dan Halid 1993). Data kerusakan bahan pangan akibat serangan hama gudang mencapai 26 % - 29 % (Semple 1985). Selain itu, data ini dikuatkan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Askanovi (2011) mengenai preferensi serangga Sitophilus oryzae terhadap beras yaitu serangga lebih menyukai beras pecah kulit dibandingkan beras sosoh. Data populasi serangga dewasa pada media beras pecah kulit sebanyak 87,27 % dan untuk beras sosoh sebesar 32,60 %. Hal ini disebabkan karena beras pecah kulit memiliki kecukupan nutrisi untuk serangga tersebut tumbuh dan berkembang biak. 2.2. PENGENDALIAN SERANGGA HAMA GUDANG Pengendalian serangga hama gudang pada hakekatnya adalah pengendalian populasi. Hal ini disebabkan dalam pengendalian hama telah terjadi pergeseran falsafah dasar yaitu dari usaha untuk membasmi hama sampai habis menjadi usaha untuk menekan populasi sampai di bawah ambang ekonomi. Suatu tindakan pemberantasan hanya dilakukan jika tingkat kerugian secara potensial jauh lebih besar bila dibandingkan dengan biaya pengendalian. Menurut Shejbal dan Boislambert (1998), cara yang bisa diterapkan yaitu cara fisika, cara biologi dan cara kimia. Cara fisika dapat dilakukan antara lain dengan suhu tinggi, suhu rendah, atmosfer terkendali dan gelombang mikro. Pengendalian cara biologi dilakukan antara lain menggunakan parasit hama atau pengembangan varietas bahan pangan yang resisten terhadap serangan hama pasca panen melalui upaya pemuliaan. Selain itu, ada cara pengendalian lain yang diterapkan yaitu dengan cara eksklusi, cara sanitasi, dan cara penggunaan bahan kimia. Pengendalian dengan cara eksklusi yaitu dengan mencegah jalan masuk hama ke dalam bangunan. Dengan mencegah hama masuk ke dalam bangunan, maka kebutuhan treatment kimia dalam pengendalian hama dapat sangat dikurangi. Untuk pengendalian dengan cara sanitasi harus memperhitungkan kesesuaiannya dengan baik dan rutin. Metode ini juga harus memperhitungkan kesesuainnya dengan kegiatan lain dalam industri, misalnya proses produksi, pengemasan, dan lain-lain. Sanitasi yang baik termasuk dalam manajemen hama, karena dapat membatasi kebutuhan hama untuk hidup dan berkembang biak. Karena hama hanya membutuhkan sedikit makanan untuk bertahan hidup maka standar sanitasi yang harus diterapkan dalam industri pangan harus tinggi. Pengendalian secara kimia dimaksudkan sebagai penggunaan senyawa beracun atau pestisida untuk membunuh atau mengusir hama. Keuntungan pengendalian dengan cara kimia antara lain dapat diterapkan sebagian besar hama, bersifat pembasmian atau kuratif, dan perusahaan dapat menggunakannya kapanpun dan di manapun yang diinginkan. Sedangkan kelemahan dari metode ini antara lain kemungkinan menimbulkan hama yang resisten terhadap pestisida, adanya bahaya kesehatan bagi pengguna dan timbulnya masalah residu pestisida dalam bahan pangan, biayanya cukup tinggi dan sifat pengontrolannya tidak permanen (Winarno 2006). Dengan banyaknya kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida sintetis dalam pemberantasan hama, maka diperlukan suatu alternatif pengendalian yang memungkinkan petani dapat melindungi tanamannya dengan cara yang ramah lingkungan. Penggunaan bahan-bahan alami merupakan alternatif untuk menghindarkan efek negatif bahan kimia sehingga lebih aman 4 baik pada manusia juga lingkungan dan hampir tidak menimbulkan residu serta untuk mencegah pemakaian yang tidak sesuai yang dapat menimbulkan kematian pengguna insektisida sintetik. 2.3. INSEKTISIDA NABATI Insektisida nabati dapat diartikan sebagai suatu insektisida dengan bahan aktif tunggal (single active ingredient) atau majemuk (multiple active ingredient) yang berasal dari tumbuhan (Kardinan 2011). Bunga, daun, atau akar dihancurkan dan kemudian langsung digunakan sebagai insektisida atau bahan aktifnya diekstraksi terlebih dahulu kemudian baru digunakan. Oleh karena terbuat dari bahan alami, insektisida nabati mudah terurai di alam sehingga tidak dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya residu. Peluang pengembangan insektisida nabati di Indonesia cukup menguntungkan karena telah ada undang-undang yang mendukung pemanfaatan insektisida nabati, yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang menekankan pemanfaatan faktor pengendalian organime pengganggu tanaman yang ramah lingkungan. Penggunaan insektisida nabati juga memiliki keunggulan ditinjau dari daya saing, karena bahan bakunya tersedia secara lokal dan untuk skala industri menengah tidak memerlukan teknologi yang canggih. Selain itu, pestisida nabati tidak hanya dibutuhkan dalam bidang pertanian, tetapi telah meluas ke rumah tangga, seperti untuk mengendalikan nyamuk. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa pestisida nabati dapat digunakan untuk mengendalikan hama pemukiman (Selvaraj dan Mosses 2011). Menurut Wudianto (2008), ada tiga jenis bahan alami yang dapat digunakan sebagai insektisida yaitu bahan mineral, bahan nabati dan bahan hewani. Dari ketiga bahan alami tersebut, bahan nabati merupakan cadangan yang paling besar dan bervariasi. Hingga saat ini setidaknya terdapat lebih dari 2000 jenis tanaman yang dilaporkan mempunyai sifat-sifat insektisidal. Suatu tanaman yang akan dijadikan bahan insektisida harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (a) mudah dibudidayakan, (b) tanaman tahunan, (c) tidak perlu dimusnahkan apabila suatu saat bagian tanamannya diperlukan, (d) tidak menjadi gulma atau inang bagi organisme pengganggu tanaman, (e) mempunyai nilai tambah, (f) mudah diproses sesuai dengan kemampuan petani. Tanaman yang mengandung komponen aktif seperti alkaloid, terpenoid, kumarin, glikosida dan beberapa sterol serta minyak atsiri dapat berpotensi sebagai insektisida (Dewi 2007). Berbeda dengan insektisida sintetis, insektisida nabati umumnya tidak dapat langsung mematikan serangga yang disemprot. Akan tetapi insektisida ini berfungsi sebagai : (1) repellent, yaitu senyawa penolak kehadiran serangga dikarenakan baunya yang menyengat dan mencegah serangga meletakkan telur serta menghentikan proses penetasan telur; (2) antifeedant, yaitu senyawa yang mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot terutama disebabkan rasanya yang pahit; (3) racun syaraf; dan (4) atractant, yaitu senyawa yang dapat memikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga (Wudianto 2008). 2.4. SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais Motsch. 2.4.1. Sifat-Sifat Umum dan Klasifikasi Serangga Sitophilus zeamais M. merupakan salah satu hama penting dan dikenal sebagai bubuk beras atau bubuk jagung dan banyak menimbulkan kerusakan pada bahan yang disimpan (Soekarto 1984). Serangga ini sangat mudah dikenal karena moncongnya (snout) yang khas sehingga dikenal dengan sebutan kumbang moncong. Ukuran panjang tubuh 2,5 – 4,5 mm, 5 bergantung pada tempat serangga tersebut berkembang biak. Bila hidup pada jagung ukurannya lebih besar daripada bila hidup pada beras. Lama perkembangan serangga ini dari telur hingga dewasa pada kondisi optimum, yakni 27 0C dan kelembapan 70%, adalah 31-37 hari pada komoditas jagung (Sunjaya dan Widayanti S. 2009). Menurut Borror dan Delong (1964) diacu dalam Soekarto (1984) sistematika hama dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Sitophilus zeamais Filum : Arthropoda Ordo : Coleoptera Sub ordo : Polypoda Kelas : Rhynoophora Famili : Curculionidae Genus : Sitophilus Spesies : Sitophilus zeamais Sitophilus zeamais adalah serangga penyimpanan yang paling penting dan banyak menimbulkan kerusakan pada bahan pangan yang disimpan di dunia (Haines 1991 diacu dalam Sunjaya dan Widayanti 2009). Menurut Dobie et al., (1984) warna tubuh Sitophilus zeamais adalah coklat merah sampai coklat gelap. Pada sayap depan (elytra) terdapat empat bintik berwarna kuning kemerah-merahan di dua belahan sayap dan setiap sayap memiliki dua bintik Morfologi serangga hama gudang Sitophilus zeamais Mostch., dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Serangga Hama Gudang S. zeamais (Sunjaya dan Widayanti 2009) Serangga jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk moncong atau rostrum. Dilihat dari permukaan dorsal, moncong jantan lebih besar, berbintik-bintik kasar dan kusam. Moncong serangga betina mulus, berbintik–bintik melebar dan licin. Jika moncong dilihat dari atas, pada jantan lebih pendek dan lebar, pada betina lebih panjang dan sempit. Dilihat dari samping moncong betina lebih panjang, kecil dan agak melengkung ke bawah (Soekarto 1984). 2.4.2. Cara Hidup Serangga Sitophilus zeamais M. sangat umum terdapat dalam penyimpanan dan dapat berkembang biak dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang sangat besar. Sitophilus zeamais M. lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada S. oryzae dalam tempat penyimpanan. Keduanya dapat menyerang beras, gabah maupun jagung (Sunjaya dan Widayanti 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Haines dan Pranata (1982) di beberapa gudang beras di 6 Pulau Jawa. Pada penelitian tersebut, Sitophilus zeamais M. lebih banyak ditemukan pada beras (40 ekor) dibandingkan dengan Sitophilus oryzae (5 ekor). Sitophilus zeamais M. merupakan serangga yang sangat berbahaya, karena banyaknya produk pertanian yang diserang dan luasnya serangan (kosmopolitan). Biji-bijian seperti jagung, sorgum, beras, gandum dan produk serealia merupakan tempat yang menjadi sasarannya untuk berkembang biak (Winarno 2006). Serangga Sitophilus zeamais M. mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu mulai telur, larva, pupa, imago (serangga dewasa). Telurnya berbentuk lonjong dengan satu kutub yang lebih sempit. Telur berwarna bening, agak mengkilap, lunak dan panjangnya 0,7 mm dengan lebar 0,3 mm. Tahapan selanjutnya yaitu larva. Larva dapat berkembang dengan memakan bagian dalam biji. Stadium larva merupakan stadium yang merusak. Larva dewasa berbentuk gemuk dan padat, tidak berkaki, berwarna putih dan panjangnya sekitar 4 mm. Lama stadium larva adalah sekitar 18 hari. Larva kemudian berubah menjadi pupa. Pupa berkembang di dalam biji, di tempat kosong bekas dimakan larva. Pupa berwarna putih dan panjangnya 3 sampai 4 mm. Lama stadium pupa adalah 3 sampai 9 hari dengan rata-rata 6 hari (Winarno 2006). Umumnya serangga betina mampu menghasilkan 300 – 400 butir telur selama masa hidupnya dengan masa peneluran kurang lebih 3 minggu. Serangga dewasa ke luar dari biji dengan membuat lubang pada lapisan luar biji. Lubang keluarnya membulat tetapi tepinya tidak merata. Serangga dewasa mampu hidup sampai dengan 5 bulan dan memiliki kemampuan untuk terbang (Sunjaya dan Widayanti 2009). 2.5. BAHAN NABATI MINDI (Melia azedarach L) Tanaman mindi termasuk dalam famili Meliaceae, berbentuk pohon yang dapat mencapai ketinggian 30 m. Batang tanaman ini berkayu dan berbentuk bulat. Daun mindi tersusun sebagai daun majemuk, anak daun berbentuk elips, panjang 3-9 cm, lebar 15-30 mm, tepi daun bergerigi, ujung dan pangkal daunnya runcing serta berwarna hijau (Gambar 2). Gambar 2. Daun Mindi (Melia azedarach L.) Bunga tanaman ini adalah bunga majemuk berbentuk malai yang terdapat di ketiak daun, berambut panjang ± 20 cm, benang sari bergigi sepuluh, kepala sari merunduk, mahkotanya berjumlah lima, panjang ± 1 cm dan berwarna coklat kekuningan. Biji mindi berbentuk bulat telur, beralur dan berwarna putih (Listyanto 2010). Sifat tumbuhan ini diantaranya selalu hijau di daerah tropis basah tetapi menggugurkan daunnya selama musim dingin di daerah beriklim sedang (temperate), suka cahaya, agak tahan kekeringan, agak toleran terhadap salinitas tanah dan suhu di 7 bawah titik beku serta tahan terhadap kondisi dekat pantai, tetapi tumbuhan ini sensitif terhadap api (Departemen Kehutanan 2001). Tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, pada ketinggian 0 – 1200 mdpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -5 0C suhu maksimum 39 0C dengan curah hujan rata-rata pertahun 600 – 2000 mm. Pohon mindi memiliki persebaran alami di India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia. Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Listyanto 2010). Penggunaan kayunya untuk mebel, parket, kayu lapis indah dan venir lamina indah. Produk berupa mebel, parket dan kayu lapis indah sudah diekspor (Departemen Kehutanan 2001). Daun dan biji mindi dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam kulit batang dan kulit akar mindi diantaranya toosendanin, margoside, kaemferol, resin, tanin, n-triacontane, β-sitosterol, triterpen kulinone dan lain-lain (Hariana 2007). Tanaman mindi berguna sebagai bahan pestisida dan dikenal juga sebagai tanaman obat. Kulit batang mindi dan kulit akarnya dapat digunakan sebagai obat cacingan, scabies (gatal-gatal pada kulit), dan kudis (Hariana 2007). 2.6. FORMULASI INSEKTISIDA Formulasi merupakan proses perumusan atau penyusunan pestisida melalui beberapa metode dengan tujuan guna memperbaiki daya simpan, mempermudah penanganan, mengefektifkan dalam aplikasi, dan memberikan keamanan bagi pengguna maupun lingkungan (Ware 1978). Formulasi yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh organisme pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient) (Wudianto 2008). Berdasarkan bentuk fisiknya, formulasi dapat dikelompokkan ke dalam bentuk cair dan bentuk padat. Formulasi bentuk cair dapat berupa emulsifiable concentrate (EC), suspension concentrate (SC), emulsion in water (EW), capsule suspensions (CS), dan gels (GL). Sedangkan formulasi bentuk padat yaitu wettable powder (WP), water dispersible granules (WG), dan dusi(D) (Wudianto 2008). Menurut Ware (1978) lebih dari 75 % pestisida diaplikasikan sebagai cairan semprot dan sebagian besar diaplikasikan sebagai emulsi air yang dibuat dari emulsifiable concentrate (EC). Bentuk pestisida ini berupa cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan aktif dengan perantara emulsi (emulsifier). Dalam penggunaannya, biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengencerannya atau cairannya disebut emulsi. Bentuk EC ini paling banyak dijumpai di pasaran. Sebagai contoh Agrimec 18 EC dan Decis 2,5 EC (Wudianto 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sunarto dan Nurindah (2009), efektivitas formulasi EC lebih tinggi dibanding formulasi SBM dan WP. Dalam bentuk formulasi EC, untuk membunuh 50% larva H. armigera dibutuhkan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan formulasi SBM dan WP. Keuntungan dari formulasi EC ini yaitu mudah untuk ditangani, ditransportasi, disimpan, tidak menggumpal, tidak merusak noozles, dan residunya sedikit pada permukaan yang diberi perlakuan. Sedangkan untuk kelemahannya yaitu konsentrasi yang tinggi membuatnya mudah overdosis, ada kemungkinan menyebabkan fitotoksik, mudah diserap oleh kulit manusia atau hewan, dapat menyebabkan korosif, dan mudah terbakar (Wudianto 2008). 8 2.7. EMULSI Emulsi merupakan sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang tidak bercampur (biasanya minyak dan air). Pada sistem emulsi, salah satu cairan terdispersi pada cairan yang lain membentuk droplet kecil yang bulat. Diameter droplet tersebut bervariasi antara ~0,1 µm – 50 µm. (Coupland dan McClements 1996; McClements 1999). Fase yang berbentuk droplet disebut fase diskontinyu atau fase internal dan fase yang di sekeliling butiran dikenal sebagai fase kontinyu atau fase eksternal. Emulsi dapat diklasifikasikan berdasarkan dispersi minyak dan air. Suatu sistem yang mengandung droplet minyak yang terdispersi dalam air dikenal sebagai emulsi oil-in-water (O/W), sedangkan sistem yang mengandung droplet air yang terdispersi dalam minyak dikenal sebagai emulsi water-in-oil (W/O) (McClements 1999; Belitz dan Grosch 1999). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam-minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas yang rendah, terwarnai oleh pewarna yang larut minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg et al. 2003). Secara sistimatis, ilustrasi dari jenis O/W dan W/O dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal (Porter 1994). Emulsi biasanya dibuat dengan cara pengadukan mekanik (Arbuckle 1977). Sedangkan emulsi yang mantap, memerlukan bahan ketiga yang mampu membuat sebuah selaput (film) di sekeliling butiran yang terdispersi sehingga mencegah bersatunya kembali butir-butir tersebut (Winarno 1997). Sifat-sifat yang harus terpenuhi dalam pembentukan emulsi adalah kestabilan larutan (biasanya dengan air atau pelarut terpilih), viskositas, warna, dan stabilitas. Sedangkan sifat-sifat emulsi akan tergantung kepada sifat fase kontinyu, rasio fase eksternal dan fase internal, ukuran partikel emulsi, hubungan dari fase kontinyu dengan partikel dan sifat fase diskontinyu. hasil emulsi akan ditentukan oleh tipe emulsi dan jumlah emulsi, rasio bahan-bahan dan urutan penambahan bahan-nahan serta pengadukan (Griffin 1979). 2.8. SURFAKTAN Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan merupakan senyawa ampifilik, yaitu senyawa yang molekulmolekulnya mempunyai dua gugus yang berbeda interaksinya dengan air. Gugus hidrofilik yang memiliki ketertarikan kuat dengan air berada pada ujung polar (biasa disebut kepala), sedangkan 9 gugus hidrofobik/lipofilik yang “suka minyak” berada pada ujung nonpolar (biasa disebut ekor) (Porter 1994). Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi (misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O)). Disamping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Porter 1994). 2.8.1. Jenis-jenis Surfaktan Menurut Porter (1994), jenis-jenis surfaktan dapat dibagi menjadi empat berdasarkan ada tidaknya muatan ion pada rantai panjang bagian hidrofobiknya, yaitu : 1. Surfaktan anionik Surfaktan anionik merupakan jenis surfaktan yang paling besar jumlahnya. Sifat-sifat dari surfaktan anionik yaitu tidak kompatibel dengan jenis surfaktan kationik, sensitif terhadap air sadah atau hard water dengan derajat sensitifitas. Surfaktan anionik umumnya merupakan garam natrium yang akan terionisasi menghasilkan Na + dan ion surfaktannya bermuatan negatif. Contoh surfaktan anionik antara lain : - - Karboksilat RCOOSulfonat RSO3 Sulfat RO-SO3 Fosfat ROPO(OH)2O 2. Surfaktan kationik Surfaktan kationik umumnya merupakan garam-garam ammonium kuarterner atau amina. Jenis surfaktan ini mempunyai sifat indeks yang lebih tinggi dibanding surfaktan jenis lain dan mempunyai sifat adsorpsi permukaan yang baik. Contoh surfaktan kationik antara lain : - Diamina Hidroklorida - Alkohol etoksilat Poliamina Hidroklorida Dodesil Dimetilamina Hidroklorida Imidazolin Hidroklorida Alkil imidazolin ethilenediamina Imidazolin Surfaktan non-ionik Jenis surfaktan ini merupakan jenis surfaktan kedua terbesar. Jenis ini kompatibel dengan semua jenis surfaktan. Berbeda dengan surfaktan ionik, sifat fisik-kimia surfaktan nonionik tidak terpengaruh oleh penambahan elektrolit. Contoh surfaktan non-ionik antara lain : 3. Mono alkanolamida etoksilat Fatty amine etoksilat Fatty acid etoksilat Etillen oksida / propilen oksida copolymers Alkil fenol etoksilat Surfaktan ampoterik (Zwiter ion) Surfaktan zwiter ion mengandung dua muatan yang berbeda dan dapat membentuk surfaktan amfoter. Perubahan muatan terhadap pH pada surfaktan amfoterik mempengaruhi pembentukan busa, pembasahan, sifat deterjen dan lainnya. Contoh dari zwiter ion antara lain : 4. 10 - Laurildimetil betain Cocoamidopropil betain Oleil bis (hidroksietil) betain Karboksi glisinat Alkilampodiasetat Aminoalkanoat 2.9. EKSTRAKSI KOMPONEN AKTIF 2.9.1. Jenis-jenis Metode Ekstraksi 2.9.1.1. Penyulingan (distilasi) Secara umum distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Sedangkan secara khusus distilasi (penyulingan) adalah proses pemisahan komponen dari suatu campuran yang berupa larutan cair-cair dimana karakteristik dari campuran tersebut adalah mampu campur dan mudah menguap, selain itu komponen-komponen tersebut mempunyai perbedaan tekanan uap dan hasil dari pemisahannya menjadi komponen-komponennya atau kelompok-kelompok komponen (Sax dan Lewis 1998). Pemisahan komponen-komponen melalui proses penyulingan ini didasarkan pada perbedaan titik didihnya. Pada umumnya ada empat jenis distilasi yaitu distilasi sederhana, distilasi fraksionisasi, distilasi uap, dan distilasi vakum (Harborne 1987; Guenther 2006). 2.9.1.2. Pengepresan (Pressing) Pressing merupakan salah satu proses pemisahan dua atau lebih cairan dengan memberi tekanan terhadap bahan baku (Sax dan Lewis 1998). Tekanan yang diberikan biasanya berasal dari alat pressing sendiri, contohnya Expeller Pressing. Ekstraksi komponen aktif atau minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnyadilakukan terhadap bahan berupa biji-bijian, buah atau kulit luar (khusus famili citrus) (Guenther 2006). Ekstraksi untuk bahan selain minyak atsiri juga dapat dilakukan dengan cara pressing pada tekanan tinggi. Pengepresan mekanis adalah suatu cara pengambilan minyak atau lemak dengan menggunakan tekanan atau di press, terutama puntuk bahan-bahan yang berasal dari biji-bijian denga kadar minyak tinggi (30-70%) (Soerawidjaja dan Tatang 2005). 2.9.1.3. Ekstraksi dengan pelarut menguap (Solvent extraction) Ekstraksi dengan pelarut menguap dalam hal ini diambil contoh dalam ekstraksi minyak atsiri. Prinsip dari ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction) adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap (Guenther 2006). Ekstraksi dengan pelarut organik umumnya digunakan untuk mengekstraksi minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan uap dan air, seperti untuk mengestrak minyak dari bunga-bungaan misalnya bunga cempaka, melati mawar dan bunga lainnya (Guenther 2006). 11 2.9.1.4. Ekstraksi dengan Soxhlet Ekstraksi dengan alat soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor) (Sax dan Lewis 1998). Soxhlet digunakan untuk mengekstrak senyawa yang kelarutannya terbatas dalam suatu pelarut dan pengotor-pengotornya tidak larut dalam pelarut tersebut. Sampel yang digunakan dan yang dipisahkan dengan metode ini berbentuk padatan. Ekstraksi soxhlet ini juga dapat disebut dengan ekstraksi padat-cair (Harborne 1987). Padatan yang diekstrak terlebih dahulu ditumbuh kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam ekstraktor soxhlet, sedangkan pelarut organik dimasukkan ke dalam labu alas bulat kemudian seperangkat ekstraktor soxhlet dirangkai dengan kondensor (Sax dan Lewis 1998). 2.9.1.5. Absorpsi oleh Lemak Padat (Enfleurasi) Proses ini merupakan penyulingan minyak alamiah paling kuno karena menggunakan lemak hewan sebagai penjerab minyak. lemak memiliki daya absorpsi yang tinggi sehingga jika dicampur dengan bunga melati, lemak akan mengabsorpsi minyak yang dihasilkan oleh bunga melati (Guenther 2006). Selain itu, pemrosesan minyak atsiri dengan lemak akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak daripada dengan proses ekstraksi menguap (Harborne 1987; Sax dan Lewis 1998). 2.9.1.6. Ekstraksi dengan Teknik Emulsi Membran Cair Membran cair emulsi (Emulsion Liquid Membrane, ELM) merupakan salah satu jenis membran cair yang sudah banyak digunakan untuk pemisahan di laboratorium maupun industri (Sax dan Lewis 1998). ELM telah berhasil digunakan untuk memisahkan fenol dan senyawa turunannya, yaitu nitrofenol dengan efisiensi lebih dari 98 % (Soerawidjaja dan Tatang 2005). Membran cair merupakan suatu fase cair yang bersifat pemisah semi permeabel yang berada diantara dua fase cair yang sejenis. Membran cair emulsi terdiri dari fase eksternal (mengandung senyawa yang dipisahkan), fase internal (fase penerima spesies yang dipisahkan) dan membran, dimana membran itu sendiri mengandung surfaktan sebagi penstabil emulsi dan carrier sebagai zat pembawa (Sax dan Lewis 1998). 2.9.1.7. Metode Ekstraksi dengan Maserasi Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan, pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan mengalami pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut, selain itu untuk mendapatkan ekstraksi yang sempurna dapat diatur lama perendamannya. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam terhadap pelarut tersebut (Lenny 2006). 12 Maserasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Ferdiansyah 2006). 2.9.2. Jenis Pelarut Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses ekstraksi, sehingga banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut (Guenther 2006). Terdapat dua pertimbangan utama dalam memilih jenis pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat melarutkan ekstrak yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Guenther 2006). Menurut Heath dan Reinessius (1987), yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah daya melarutkan komponen yang diinginkan, titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi. Untuk titik didih dari berbagi macam pelarut dan komponen terlarut dapat dilihat pada Tabel 2. Di antara pelarut-pelarut tersebut yang paling sering digunakan adalah air, etanol, etil asetat, petroleum eter, kloroform, dan heksana. Tabel 2. Jenis pelarut dan komponen terlarut serta titik didihnya Jenis pelarut Air Etanol Etil asetat Petroleum eter Kloroform Heksana Asam askorbat Flavanoid Karotenoid Alkaloid Steroid Titik didih (0C) 100 78,4 77 70 61,7 71 > 190 > 160 > 580 >100 > 135 Sumber : Anonim (2009); Scheflan dan Morris (1983); Weissenberg, (2001) 2.9.2.1. Air (aquades) Aquades berasal dari istilah latin aquadestilata yang berarti air suling. Air suling merupakan air yang diperoleh dari pengembunan uap air akibat penguapan atau pendidihan air (Ham 2006). Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom oksigen yang berikatan kovalen dengan dua atom hidrogen. Hidrogen dan oksigen mempunyai daya padu yang sangat besar antara keduanya. Kemampuan molekul air membentuk ikatan hidrogen menyebabkan air mempunyai sifat-sifat yang unik. Ikatan hidrogen air pada tekanan atmosfer bersifat mengalir (flow) pada suhu 0-100 ºC, dan densitsasnya 1 g/ml (Winarno 2002). 13 2.9.2.2. Etanol 70 % Etanol biasa disebut etil alkohol, hidroksietan atau alkohol diproduksi melalui fermentasi gula, karbohidrat dan pati, biasa digunakan sebagai pelarut, antiseptik, obat penenang, industri parfum dan obat-obatan. Etanol merupakan pelarut organik (Lewis 1993 diacu dalam Ferdiansyah 2006). Sifat-sifat etanol dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sifat-sifat etanol Nama lain Rumus bangun Sifat Berat molekul (BM) Titik leleh Titik didih Berat jenis Kelarutan : Etanol, hidroksi ethan, metil karbinol, ansol : C2H5OH : Mudah menguap berbau khas, tidak beresidu : 46,7 : - 117, 3 – 112 % : 78,4 0C : 0,789 g/ml : Dalam air, eter, kloroform, dan metil alkohol Sumber : Scheflan dan Morris (1983) Etanol merupakan senyawa alkohol dengan formula C2H5OH yang berbentuk cair, tidak berwarna, larut dalam air, eter, kloroform dan aseton. Dihasilkan dari peragian kanji, hidrolisis bromoetana dengan kalium hidroksida (Basri 1996). Adanya gugus hidroksil (OH) pada alkohol memberikan sifat polar, sedangkan gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari kedua gugus tersebut merupakan faktor yang menentukan sifat alkohol (Kurniawan 2006). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan terlarut. Etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal. Digunakan etanol bukan metanol karena antioksidan yang hendak diekstrak diharapkan dapat diaplikasikan pada produk makanan, minuman dan obat-obatan sehingga aman untuk dikonsumsi sedangkan metanol bersifat toksik (Voight 1994). Etanol biasanya digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa aktif yang bersifat antioksidan dan antibakteri pada suatu bahan. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa pelarut etanol lebih baik dari pada air, metanol maupun pelarut lain dalam mengekstraksi senyawa antioksidan maupun antibakteri (Hirasawa 1999). 2.9.2.3. Etil Asetat Etil asetat/etiletanoat/C2H5OOCCCH3 adalah suatu zat cair tak berwarna dengan bau buah yang semerbak bertitik didih 77°C dan d = 0,9 g/ml (Arsyad 2001). Viskositas etil asetat 0,46 pada 20 oC, boiling point 76,5 oC, dan flash point -3 oC (Scheflan dan Morris 1983). Dalam penelitian gandapura, pelarut yang digunakan adalah metanol, etil asetat dan heksana, ternyata hasil ekstraksi dari masing-masing pelarut menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan ekstrak metanol yang bersifat polar, diikuti oleh etil asetat dan heksan (Hermani 2004). 14 2.9.2.4. Kloroform Kloroform (triklorometana) merupakan salah satu senyawa haloform yang mempunyai rumus kimia CHCl3; zat cair mudah menguap, sukar terbakar (tetapi uapnya mudah terbakar), tidak larut dalam air tetapi larut dalm alkohol dan eter; uapnya bersifat membius dan bila terkena udara dan cahaya dapat membentuk gas fosgen yang beracun. Kloroform digunakan untuk pembuatan senyawa fluorokarbon, sebagai pelarut (cat), dan sebagai anastetik. Kelarutan dalam air pada suhu 25 oC (Ham 2006). 2.9.2.5. Petroleum Eter Petroleum eter merupakan campuran hidrokarbon berupa cairan jernih, mudah menguap, mudah terbakar. Diperoleh dari pengolahan minyak bumi, dan digunakan sebagai pelarut di laboratorium (Ham 2006). Petroleum eter merupakan campuran hidrokarbon (bukan eter sebenarnya) yang atsiri dan mudah terbakar, tidak berwarna, terutama terdiri dari pentana dan heksana. Bahan ini mendidih dalam rentang 30-70 oC dan digunakan sebagai pelarut. Petrolum eter mempunyai densitas sebesar 0,625 sampai 0,660 g/ml (Daintith 1994). 2.9.2.6. Heksana Nama lain dari Heksana (Hexane) adalah kaproil hidrida, metil n-butil metan dengan rumus molekul CH3(CH2)4CH3. Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul heksana adalah 86,2 dengan titik leleh 94,3 sampai -95,3 °C. Titik ddih heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 66 sampai 71°C . Densitas heksana pada suhu 20 oC sebesar 0,6603 g/ml (Scheflan dan Morris 1983). 15