WITTGENSTEIN Siska Nurfitri - Afid Burhanuddin

advertisement
WITTGENSTEIN
Siska Nurfitri
Ludwig Josef Johann Wittgenstein dilahirkan di Wina pada tanggal 26 April 1889.
Ayah Ludwig: Karl Wittgenstein adalah seorang insinyur konstruksi baja, konglomerat
keturunan Yahudi, pendiri dan pemimpin industri besi-baja di Austria. Ibunya: Leopoldine
Kalmus adalah anak seorang bankir kota Wina. Leopoldine adalah penganut setia agama
Katolik Roma dan Ludwig pun pernah dibabtis dalam gereja katolik Roma. Keluarga
Wittgenstein sangat kaya dan terpandang di kota Wina.
Ludwig adalah putera bungsu dan memiliki empat saudara dan tiga saudari. Sejak
kecil, Ludwig dan saudara-saudarinya dibentuk dalam suasana paternalistik yang keras,
rigor, dan otoriter. Keluarga ini memiliki tradisi religious dan kehidupan intelektual yang
positif serta minat yang tinggi pada artistik. Mereka semua memiliki bakat musik. Ibunya
menaruh minat yang besar pada musik dan rumah mereka (Alleegasse ) menjadi habitat
musik kota Wina. Johanes Brahms , sering mengunjungi keluarga Wittgenstein dan beberapa
pemusik kota Wina juga sering mengadakan konser di rumah tersebut. Musik menjadi
preferensi keluarga dan salah satu dari saudara Ludwig: Paul Wittgenstein adalah seorang
pianis handal. Ludwig sendiri pandai bersiul dan mampu memainkan clarinet dan saxofon.
Kedekatannya pada musik ini berpengaruh kuat terhadap pemikiran Ludwig Wittgenstein di
kemudian hari. Karya-karyanya memuat banyak kiasan yang diambil dari dunia musik dan
karangannya memiliki ciri komposisi yang harmonis, jernih dan padat sebagaimana ciri
sebuah komposisi lagu.
Ludwig melewati pendidikan dasar di rumahnya sampai berumur 14 tahun. Tiga
tahun berikut dia bersekolah di Linz untuk mempelajari fisika dengan Boltzmann . Dia
sangat tertarik pada ilmu pasti, fisika dan dunia permesinan. Pada tahun 1906, ia
menamatkan sekolahnya di Linz dan melanjutkan ke sekolah tinggi teknik di BerlinCharlottenburg. Wittgenstein juga menaruh minat besar pada aeronautika. Karena itu, ia
lantas mendalami studi teknik pesawat terbang khususnya mesin jet dan baling-baling di
universitas Manchester-Inggris. Dalam rangka mendukung studinya ini, dia mulai
mendalami matematika dan filsafat matematika. Sebuah peralihan penting terjadi di sini.
Atas saran seorang ahli matematika asal Jerman bernama Gottlob Frege, Wittgenstein
melanjutkan petualangan akademisnya pada Akademi Trinity bersama seorang profesor
filsafat dan matematika yang bekerja di universitas Cambridge bernama Bertrand Russell.
Kebersamaan dengan Russell dan Frege ini membuat Wittgenstein makin keranjingan
mendalami filsafat. Pada kesempatan ini pula, ia bertemu dan sering kali bertukar pikiran
dengan G. E. Moore yang kemudian sangat mempengaruhi pemikiran filosofisnya. Selain
mendalami filsafat, Wittgenstein juga melakukan beberapa karya eksperimental di
laboratorium fakultas Psikologi Cambridge terutama untuk menganalisis pengaruh psikis
yang ditimbulkan oleh music.
Ketika berkecamuk Perang Dunia I, Wittgenstein pulang ke tanah airnya dan menjadi
sukarelawan perang. Dalam situasi seperti itu, ia masih berkesempatan menulis naskah
filsafat meskipun kemudian ia ditawan oleh tentara Italia. Naskah tersebut adalah manuskrip
dari Logisch-Philosophische Abhandlung-nya yang kemudian dikenal luas dengan nama
Latin berdasarkan anjuran G. E. Moore: Tractatus Logico Philosophicus. Naskah itu ditulis
sewaktu ia berada dalam penjara di dekat Monte Cassino Italia utara. Naskah itu berhasil
diselesaikan pada bulan agustus 1918. Tiga tahun kemudian, dalam kolaborasi dengan
1
Russell naskah itu berhasil diterbitkan menjadi sebuah buku yang dipersembahkan bagi
sahabatnya David Pinsent. Russell menilai penerbitan karya itu sebagai peristiwa penting
dalam dunia filsafat karena merupakan karya yang elegan, luas dan mendalam. Sementara itu
bagi Wittgenstein sendiri, karya itu dianggap sebagai pemecah seluruh persoalan filosofis
yang ada dan merupakan sebuah kebangkitan dalam filsafat.
Pasca Tractatus dan oleh pendiriannya yang meyakini buah karya itu sebagai akhir
seluruh kegiatan filosofisnya, Wittgenstein mengungsikan diri ke desa-desa terpencil di
Austria untuk menjadi guru sekolah dasar. Dia menjalani kehidupan sederhana dan tertutup.
Tetapi kemudian ia berhenti mengajar dan menjadi seorang tukang kebun di biara Hütteldorf
dekat Wina. Pada kesempatan ini ia sempat berkeinginan menjadi seorang biarawan tetapi
akhirnya dibatalkan karena ia merasa tidak puas dengan kehidupan dalam biara. Tahun 1926,
Wittgenstein diundang saudarinya untuk membangun rumah megah bagi saudarinya itu
bersama arsitek Paul Engelmann di Wina. Pada kesempatan tinggal di Wina ini,
Wittgenstein menjalin relasi dengan filsuf dan ilmuwan dari lingkaran Wina (Vienna circle)
seperti Moritz Schlick, Friedrich Waismann dan Rudolf Carnap. Dalam perjumpaan dan
persahabatannya dengan filsuf-filsuf lingkaran Wina tersebut, Wittgenstein menemukan
kembali gairah filosofisnya untuk mengkaji ulang karya Tractatus secara mendetail.
Berbekal semangat ini, pada tahun 1929 Wittgenstein kembali ke Cambridge. Di sana ia
meraih gelar doktoral dari disertasinya Tractatus di bawah penguji Moore dan Russell.
Secara intensif dalam rentang waktu antara tahun 1929-1932 pemikirannya mengalami
perkembangan signifikan. Wittgenstein mendalami filsafat matematika dan ekonomi di
samping logika dan psikologi bersama seorang filsuf dan ahli matematika bernama Frank
Ramsey dan seorang ekonom bernama Piero Sraffa. Pada kesempatan ini pula Wittgenstein
menjadi dosen di universitas Cambridge. Wittgenstein kemudian pergi ke Norwegia untuk
menyepi di sebuah pondok yang dia bangun sendiri. Di tempat itu dia terinspirasi untuk
menulis karya kedua yang diterbitkan sesudah kematiannya: Philosophical Investigations.
Kalau dalam Tractatus, Wittgenstein berobsesi membangun suatu bahasa universal yang
didasarkan pada hukum-hukum logika, maka pada karya kedua ini ia menampik secara jujur
usaha tersebut. Tidak ada struktur seragam dalam bahasa. Yang ada adalah beragam bentuk
permainan bahasa yang menggambarkan beragam hubungan keterkaitan. Hubunganhubungan tersebut tercermin dalam penggunaan bahasa sehari-hari (ordinary language).
Kendati kedua karya ini bertentangan satu sama lain dalam segi isi, tetapi memiliki satu
kesamaan untuk menempatkan bahasa sebagai pusat berfilsafat.
Pada tahun 1937 ia kembali ke Cambridge dan dua tahun kemudian ia menggantikan
posisi Moore sebagai ketua majalah Mind dan menjabat profesor filsafat di universitas
tersebut. Ada beberapa murid yang memberikan komentar seputar metode pengajaran
Wittgenstein. Mereka menyebut antara lain bahwa kuliah-kuliahnya terkesan mendalam
tetapi sering menjenuhkan. Ia tidak biasa menyiapkan bahan kuliah sebelum mengajar.
Setiap kuliah merupakan sebuah pekerjaan filosofis baru. Pemikiran Wittgenstein tidak
datang dengan mudah. Dia sering terlihat aneh dengan ekspresi seperti seorang yang terlebur
dalam ide dan pikirannya sementara kuliah berjalan hening. Pendengarnya tahu bahwa pada
saat itu Wittgenstein sedang tercebur (absorbed) dalam lautan ide dan kekuatan intelek yang
mahadahsyat. Seiring dengan hal itu, murid-muridnya menangkap kesan kaku, dingin dan
mudah tersinggung (irritable) pada kepribadian Wittgenstein. Bagi beberapa sahabatnya,
Wittgenstein adalah teman yang menyenangkan, pengertian dan concern terhadap nasib
sahabat-sahabatnya itu. Ia sederhana, jujur dalam segala hal, suka berterus terang dan tidak
2
plin-plan. Tetapi sikap suka berterus terang ini juga sering menimbulkan persoalan dalam
pergaulannya. Ia mudah marah dan pikirannya kerap dipenuhi dengan dugaan, tudingan dan
penyelidikan sehingga tidak mudah untuk mempertahankan relasi persahabatan dengannya.
Ketika pecah Perang Dunia II, Wittgenstein bekerja sebagai pengangkut barang pada sebuah
rumah sakit di London. Kemudian ia dikirim untuk bekerja pada rumah sakit Victoria di
New Castle. Usai perang dia melanjutan pengajarannya di universitas Cambridge sampai
mengundurkan diri pada tahun 1947. Pensiun dari tugas ini, Wittgenstein sekali lagi
menjalani kehidupan menyendiri (secluded life) di sebuah desa terpencil dekat pantai barat
Irlandia. Tetapi karena kondisi kesehatan, Wittgenstein akhirnya pindah ke Cambridge dan
tinggal di rumah seorang dokter untuk menjalani perawatan intensif. Meski kesehatan
tubuhnya makin memburuk akibat kanker yang dideritanya, Wittgenstein tidak menyianyiakan waktu yang ada untuk menghabiskan naskah Philosophical Investigations-nya. Pada
tanggal 29 april 1951 dia menghembuskan nafas yang terakhir. Kalimat terakhir
Wittgenstein sebelum kematiannya adalah “Good! Tell them I’ve had a wonderful life!”
“Bagus! Katakan kepada mereka saya telah menjalani sebuah kehidupan yang sangat
menyenangkan!” Kalimat ini menjadi kata penutup rangkaian kisah hidup seorang
intelektual sejati, filsuf dan sang pengembara (a flying doctor): Ludwig Wittgenstein. Ini
adalah amanat terakhir sekaligus pengakuan akhir seorang yang sangat problematis dalam
hidupnya. Ia telah menjalani sebuah kehidupan yang sangat menyenangkan kendatipun
sekian tahun dibina dalam iklim pendidikan keluarga yang sangat otoriter dan kaku. Ia telah
menjalani kehidupan yang sangat menyenangkan meskipun hidup dalam keadaan
membujang, tanpa rumah, tanpa harta walau punya akses besar untuk itu. Nampak dalam
catatan biografisnya bahwa Ia tidak ditakdirkan untuk hidup melarat tetapi ia memilih hidup
dalam kemelaratan di gubuk-gubuk terpencil tanpa bersandar pada bantuan sanak keluarga
dan kerabat kenalan. Bentuk kehidupan seperti ini merupakan sebuah pilihan dan komitmen
hidup Wittgenstein sendiri. Karena itu, ia bahagia. Ia merasa diri perlu untuk memberitakan
kepada orang lain, betapa hidupnya adalah sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan. Ia
tidak menangisi hidupnya tetapi ia memuji hidupnya sebagai sesuatu yang bagus (good)
PEMIKIRAN
TOKOH-TOKOH YANG MEMPENGARUHI PEMIKIRAN FILSAFAT WITTGESTEIN
Sejarah filsafat adalah sejarah dialektika pemikiran. Ide-ide muncul silih berganti
menampilkan sesi pergumulan filosofis yang terangkai dalam bingkai ‘tesis-antitesis dan
sintesis’. Filsafat merupakan wadah pergumulan ide yang seringkali ditandai oleh
perjumpaan dan babak pertarungan ide-ide besar. Dalam filsafat, “independensi” ide seorang
pemikir dari ide pemikir lain sangat minim. Ide tertentu seringkali merupakan tanggapan
terhadap ide yang lain entah dalam rupa afirmasi, negasi atau kombinasi ide-ide yang lain.
Dengan ini filsafat menghadirkan kontinuitas dan diskontinuitas gagasan-gagasan filosofis
dari yang pernah ada menjadi sekarang ada atau sebaliknya. Sering terjadi bahwa gagasan
yang satu merupakan kelanjutan dari gagasan yang lain atau sebaliknya gagasan yang satu
merupakan penyangkalan atas gagasan yang lain. Karena itu, dalam mempelajari gagasan
seorang filosof, gagasan filosofis pendahulunya tidak bias diabaikan begitu saja. Namun
untuk menentukan gagasan filosofis dan tokoh pendahulu yang dianggap berpengaruh
terhadap pemikiran seseorang bukanlah perkara gampangan. Hal ini dikarenakan oleh
3
adanya ”spiral saling pengaruh” antarfilsuf. Memikirkan seorang tokoh sebagai yang
berpengaruh terhadap filsuf tertentu memiliki konsekuensi logis bagi kita untuk menanyakan
tokoh dan gagasan mana lagi yang menjadi referensi pemikiran tokoh bersangkutan. Faktor
lain dari kesulitan ini adalah kehadiran banyak figur yang turut mengambil peran dalam
perkembangan intelektual seseorang. Karena itu, penulis sadar bahwa daftar tokoh dan
gagasan yang diajukan dalam bagian ini tidak pernah lengkap. Menyajikan daftar ini secara
lengkap berarti menampilkan rentetan tak berujung saling pengaruh antarfilsuf.
Tentang Wittgenstein, penulis mendasarkan catatan biografis sebagai pedoman untuk
menampilkan tokoh dan pemikiran mereka yang dianggap mempengaruhi pemikiran
Wittgenstein. Tentu dengan daftar ini, penulis tidak bermaksud memberi batasan tegas
tentang jumlah tokoh yang dianggap berpengaruh tersebut, tetapi sekadar menyajikan
sejumlah pemikir dan gagasan tertentu yang kredibel untuk dijadikan titik acuan dalam
ikhtiar mendalami pemikiran Ludwig Wittgenstein.
1. F L Gottlob Frege (1948-1925)
Dalam catatan biografis Wittgenstein, Frege adalah seorang ahli matematika dan logika
simbolik asal jerman yang mengubah kiblat intelektual Wittgenstein ke bidang filsafat. Frege
juga dikenal sebagai partner diskusi Wittgenstein ketika menyusun naskah Tractatus, di
mana Frege sering diminta Wittgenstein untuk memberi koreksi, saran dan kritik terhadap
kopian naskah Tractatus pra-publikasi. Dalam sejarah filsafat, Frege diakui sebagai seorang
yang telah meletakkan dasar-dasar filsafat bahasa modern (filsafat analitika) dan struktur
logika simbolik yang bereferensi pada prinsip-prinsip matematis. Ia adalah seorang yang
memulai revolusi pemikiran di bidang filsafat bahasa dengan penekanan logika bahasa.
Dalam pandangan Frege, logika merupakan dasar bagi filsafat. Dia berkeyakinan bahwa
sesungguhnya bahasa itu dapat diredusir dalam logika dan logika itu dapat diredusir dalam
matematika. Menurutnya, langkah-langkah deduktif yang jelas akan dapat mengungkapkan
realitas dunia secara obyekif dan dengan logika yang tepat akan dapat dikembangkan cara
pengungkapan makna linguistik secara keseluruhan. Salah satu idenya yang paling
berpengaruh adalah membuat perbedaan antara “arti” (sense) proposisi dan “acuan”
(reference)-nya, dengan mengatakan bahwa proposisi hanya memiliki makna apabila
mempunyai arti dan sekaligus acuan. Baginya, suatu proposisi hanya memiliki makna jika
proposisi tersebut mengacu pada realitas dunia empiris. Pemikiran ini kemudian
dikembangkan Wittgenstein dalam teori gambar. Wittgenstein menjelaskan bahwa proposisi
adalah gambaran realitas dunia empiris atau dengan kata lain mengacu pada realitas fakta.
Frege juga mengembangkan metode pengungkapan makna linguistik dengan menggunakan
simbol-simbol logika. Menurut Frege, setiap proposisi dapat dipetakan dalam rupa simbolsimbol logis. Simbol-simbol logis ini merupakan unsur esensial proposisi yang memberikan
pemahaman distingtif dan jelas tentang proposisi. Dalam hal ini ia mengembangkan suatu
konsep notasi untuk mengartikulasikan proposisi dengan menggunakan satuan-satuan
simbolis berbasis prinsip logika. Misalnya proposisi ”Sokrates adalah seorang filsuf” dapat
dipetakan dalam simbol a=b, di mana notasi a mengacu pada ’sokrates’, b mengacu pada
’seorang filsuf’ dan tanda = mengacu pada kata ’adalah’. Contoh lainnya adalah ”Nyosor
berdiri di samping meja” dapat dipetakan dalam simbol aRb, di mana notasi a mengacu pada
’Nyosor’, b mengacu pada meja dan R menjelaskan relasi antara Nyosor dan meja. Dalam
kerangka ini Frege juga menggunakan satuan kuantitas (angkat-angka) sebagai tanda untuk
memetakan unsur simbolis-logis proposisi-proposisi. Misalnya, proposisi ”Sokrates adalah
seorang warga Athena yang bijaksana” dapat dipetakan dalam simbol 2(a=b) di mana angka
4
2 dipakai untuk menjelaskan adanya dua proposisi identis yaitu: ’Sokrates adalah seorang
warga Athena’ (a=b) dan ’Sokrates adalah seorang bijaksana’ (a=b). Penentuan satuan
kuantitas seperti ini terejawantah secara cermat dalam Tractatus, baik menyangkut konsep
logika bahasa maupun notasi (penomoran) Tractatus. Sistem penguraian yang dikembangkan
Wittgenstein dalam Tractatus dengan menggunakan notasi angka desimal untuk menjelaskan
susunan logis dari pemikiran tersebut dalam pengertian tertentu merupakan aplikasi gagasan
Fregez.
2. A W Bernand Russell (1872-1970)
Russell memiliki pengaruh sangat kuat terhadap perkembangan pemikiran filsafat
Wittgenstein terutama dalam karya Tractatus. Hal ini dapat dipahami karena secara biografis
ketika Wittgenstein belajar di Cambridge, Russell (di samping Moore) adalah tokoh yang
sangat dikagumi Wittgenstein. Wittgenstein pernah menjadi murid Russell dan kemudian
menjadi partner diskusi yang secara bersama-sama mengembangkan atomisme logis dalam
tradisi filsafat Inggris. Jika Russell dalam suatu artikelnya berjudul Contemporary British
Philosophy mengembangkan aliran atomisme logis maka karya Tractatus Wittgenstein
merupakan puncak paham atomisme logis yang dipelopori oleh Russell tersebut. Dapat
dikatakan bahwa prinsip-prinsip filosofis yang dikembangkan oleh kedua filsuf ini hampir
mirip walaupun dalam beberapa pandangan terlihat adanya perbedaan kecil (terutama dalam
hal peristilahan). Keakraban Wittgenstein dan Russell ditunjukan pula lewat penulisan kata
pengantar Tractatus oleh Russell menguraikan filsafat atomisme logis bertolak dari prinsip
isomorfi, yaitu kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan struktur logis realitas dunia.
Pengetahuan manusia merupakan pernyataan-pernyataan yang tersusun berdasarkan suatu
sistem logis dan terungkapkan melalui bahasa yang menunjuk kepada suatu entitas atau
unsur pada realitas dunia. Dengan kata lain ada kesamaan antara struktur dunia fakta atau
realitas dan dunia kata; antara unsur realitas dan unsur bahasa. Oleh karena itu, proposisiproposisi yang ada sebenarnya memiliki referensi pada dunia kenyataan. Melalui jalan
analisis terhadap sebuah proposisi, niscaya akan ditemukan proposisi-proposisi atomis yang
mana proposisi atomis ini memiliki kesepadanan dengan unsur terkecil dunia fakta (fakta
atomis). Proposisi atomis ini dinamakan Russel sebaggi Logical proper name (nama dari
yang ingin). Dengan demikian, struktur logis bahasa menunjukkan suatu susunan yang
terdiri atas satuan-satuan bahasa yang mengacu pada satuan-satuan entitas karena struktur
logis bahasa menunjukkan struktur logis dunia. Dalam hal ini logical proper name
merupakan suatu deskripsi minimal yang mengacu pada acuan tunggal atau referensi tunggal
kenyataan. Nama diri yang logis ini memiliki dua macam ciri yaitu: (1) merupakan suatu
yang khas pada objek tertentu yang tidak dapat menunjuk pada dua obyek yang berbeda, (2)
logical proper name menunjuk pada entitas-entitas yang dikenal pada suatu saat. Namun
logical proper name ini bukanlah nama dalam arti nama seseorang atau nama sebuah benda
akan tetapi merupakan suatu deskripsi minimal yang memiliki referensi tunggal pada
kenyataan. Deskripsi minimal itu dijelaskan Russell dengan memetakan referensi tunggal
dalam tiga komponen. Pertama, nama diri misalnya: Napoleon, Kupang, dan batu. Kedua,
kata-kata deiktik misalnya: (kata penunjuk) ini, itu, (kata keterangan) nanti, tadi, kemarin,
(kata ganti orang) aku, dia, mereka. Ketiga, deskripsi penunggal misalnya panglima perang
Prancis, ibu kota propinsi NTT. Contohnya: proposisi ”Napoleon adalah seorang panglima
perang Prancis” dapat dipetakan dalam nama-nama diri yang logis: ”Napoleon” (nama diri),
”adalah” (kata deiktik) dan ”panglima perang prancis” (deskripsi penunggal). Pemetaan
proposisi seperti ini merupakan penjelasan gagasan atomisme logis Russell. Pemikiran
5
Russell ini memiliki kemiripan dan pengaruh terhadap pemikiran Wittgenstein. Keduanya
sama-sama mengakui adanya kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas
dunia. Russell menyebut kesesuaian ini sebagai isomorfi sedangkan Wittgenstein
mendefinisikannya dalam picture theory (teori gambar). Struktur kesesuaian tersebut
didasarkan pada formulasi logika sehingga satuan bahasa yang terkecil disebut sebagai
proposisi dan proposisi tersebut melukiskan data indrawi; dalam pemikiran ini baik Russell
maupun Wittgenstein memiliki kesamaan. Proposisi tersusun atas unsur-unsur atomis bahasa
yang menurut Wittgenstein berhubungan dengan nama atau primitive sign, sedangkan
Russell mengistilahkannya dengan logical proper name.
3. G E Moore (1873-1958)
Moore adalah seorang tokoh filsafat analitik yang kerap dijuluki sebagai the founder of
analitical philosophy (pendiri filsafat analitis). Sebagai seorang analis ia berpendapat bahwa
tugas filsafat adalah memberikan analisis yang tepat tentang konsep atau proposisi dengan
menyatakan secara jelas dan tepat apa yang dimaksudkan dengan konsep-konsep atau
proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat. Ia mendasarkan analisis atas filsafat berdasarkan
akal sehat (common sense). Atas dasar common sense ini Moore berusaha mengajak orang
untuk menyadari bahwa ungkapan-ungkapan metafisika itu merupakan tipuan belaka yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akal sehat, karena akal sehat tidak bisa sampai
pada pengetahuan apakah hal-hal metafisis ada atau tidak ada. Dengan ini ia melancarkan
kritik keras terhadap aliran filsafat idealisme yang berkembang pesat di Inggris saat itu di
bawah pengaruh F. Bradley dan J. M. Mc Taggart. Dalam karyanya refutation of Idealism, ia
menunjukkan bahwa titik utama kelemahan filsafat Idealisme terlihat jelas pada pernyataan
filsafat mereka yang tidak didasarkan atas logika sehingga tidak terpahami oleh common
sense 9akal sehat). Kritik Moore ini berhasil menghapus bayang-bayang kebesaran kaum
idealisme sekaligus menjadi titik awal pertumbuhan gerakan yang dikenal dengan istilah
Analytical philosophy atau Linguistic Analysis atau Logical Analysis. Tetapi filsafat analitik
yang dibangun Moore berbeda dengan Russell. Moore mendasarkan analisis filosofisnya atas
bahasa biasa sehari-hari (ordinary language) bukan atas konsep-konsep filosofis yang tertata
secara logis dalam rangkaian proposisi atomis sebagaimana Russell dan Wittgenstein I.
Russell dan Wittgenstein I tidak menyetujui penggunaan bahasa sehari-hari dalam filsafat
karena menurut mereka, bahasa sehari-hari itu tidak memadai untuk bahasa filsafat karena
mengandung banyak kelemahan antara lain kekaburan, makna ganda dan bersifat
kontekstualistis atau tergantung pada konteks. Singkatnya Russell dan Wittgenstein menolak
bahasa sehari-hari karena banyak mengandung kekeliruan. Analisis bahasa seperti ini
diterapkan Moore dalam Principia Ethica yang berusaha menyelidiki arti dari istilah-istilah
etika. Menurut Moore, di dalam masyarakat telah berkembang apa yang disebut dengan
naturalistic fallacy, yaitu sebuah bentuk reduksionisme yang mencoba mengidentifikasikan
sesuatu yang baik (good) dengan salah satu kenyataan fisik ataupun metafisik misalnya baik
(good) didefinisikan sebagai yang menyenangkan (pleasure). Moore tidak sependapat
dengan pendefinisian seperti itu karena dua alasan. Pertama, kalau seandainya baik dan
menyenangkan itu sama artinya, maka akan timbul masalah tentang bagaimana sesuatu yang
menyenangkan tetapi tidak baik sebab dalam kenyataannya hal itu sering terjadi. Kedua,
kalau seandainya pengertian baik dan menyenangkan sama artinya maka pertanyaan ”apakah
yang menyenangkan itu baik?” seharusnya sama artinya juga dengan pertanyaan ”apakah
yang baik itu baik?” dalam kedua pertanyaan ini menurut Moore, pertanyaan pertama itu
benar-benar memiliki arti tetapi tidak setara dengan pertanyaan kedua sebab kata baik tidak
6
mungkin diasalkan kepada sesuatu yang lebih jelas lagi. Kata baik tidak terdiri atas bagianbagian sehingga menyamakan arti kata baik dengan salah satu keadaan tertentu merupakan
sebuah kekeliruan naturalistic. Dalam teori Wittgenstein, dikenal adanya”nama” yang
merupakan komponen paling mendasar sekaligus paling akhir dari sebuah analisis terhadap
proposisi. Nama ini tidak dapat didefinisikan lagi dan merupakan unsur atomis sebuah
proposisi. Nama merupakan komponen pembentuk proposisi yang sudah jelas dengan
sendirinya sehingga kepadanya tidak dapat diasalkan sesuatu yang lain. Dalam pengertian
ini, kita dapat melihat korelasi antara analisis kata ”baik” Moore dalam ranah etika praktis
dan arti nama dalam filsafat analitis Wittgenstein. Istilah ’baik’ menurut Moore merupakan
sesuatu yang sudah jelas dengan sendirinya, tidak terbagi dan tidak dapat didefinisikan lagi.
Dalam hal ini, kata baik dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk nama dalam filsafat
analitis Wittgenstein mengembangkan filsafat analitik yang telah digagas awal oleh Moore.
Baik Moore maupun Wittgenstein sama-sama berpandangan bahwa tugas pokok filsafat
adalah melakukan suatu analisis. Karenanya, Moore dan Wittgenstein sama-sama
mendasarkan filsafatnya pada analitika bahasa. Perbedaannya, jika Moore melakukan
analisis terhadap bahasa biasa (ordinary language), Wittgenstein pada periode I
mempraktekkan analisis untuk mencari kebenaran atas realitas dunia berdasarkan atom-atom
logis. Moore melakukan penjelasan melalui common sense dan lebih banyak membahas
masalah-masalah bidang etika sedangkan Wittgenstein I melakukan analisis untuk suatu
kebenaran dengan mengembangkan bahasa ideal sesuai struktur logika. Bagi Moore,
common sense merupakan dasar kebenaran dan akal sehatlah yang akan melihat kebenaran
realitas dunia itu. Bagi Wittgenstein, sesuai dengan teori gambar, kebenaran realitas itu dapat
terungkap lewat jalan analisis proposisi. Karena realitas dunia itu dapat digambarkan melalui
bahasa, maka struktur logis dunia pun dapat terungkap melalui struktur logis bahasa.
Dalam Philosophical Investigations, Wittgenstein mengikuti jejak Moore yang melakukan
analisis terhadap bahasa biasa sehari-hari (ordinary language). Melalui language game-nya,
Wittgenstein II mengungkapkan bahwa dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, manusia
menggunakan ordinary language dalam berbagai konteks dan aktivitas yang masing-masing
menggunakan aturan-aturan tertentu.
PENUTUP
Positivisme logis menerima pandangan-pandangan filosofis atomisme logis tentang
logika dan cara atau teknik analisisnya tetapi menolak metafisika atomisme logis.
Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuan yaitu:
menghilangkan metafisika dan mengklarifikasi bahasa ilmiah. Menurut kaum positivisme
logis, metafisika itu tidak berarti dan tidak menjelaskan apa pun yang dapat diklarifikasi
secara jelas karena itu harus dihilangkan dari ilmu pengetahuan modern.
Positivisme logis memiliki konsep-konsep dasar yang sangat diwarnai oleh logika,
matematika serta ilmu pengetahuan alam yang bersifat positif dan empiris. Dalam hal ini,
analisis logis tentang pernyataan-pernyataan ilmiah maupun pernyataan filsafat sangat
ditentukan oleh metode ilmu pengetahuan positif dan empiris tersebut. Menurut mereka
suatu ungkapan atau proposisi dianggap bermakna apabila dapat diuji dengan prinsip
verifikasi (verifiable). Memverifikasi berarti menguji, membuktikan secara empiris. Setiap
ilmu pengetahuan dan filsafat senantiasa dirumuskan baik dalam rupa aksioma, teori atau
dalil yang dianggap bermakna jika dan hanya jika dapat diverifikasi atau dikonfirmasi secara
7
empiris. Misalnya suatu pernyataan: ”Di dalam dompet terdapat uang sejumlah 2000
rupiah.” Pernyataan ini bermakna walaupun setelah dilakukan pembuktian (verifikasi)
ternyata hanya terdapat sejumlah uang Rp. 500,00. Dalam hal ini prinsip verifikasi tidak
harus dijamin dengan kebenaran hasil dari verifikasi tersebut tetapi dari adanya
kemungkinan (possibility) untuk mengadakan verifikasi secara empiris karena itu prinsip
teori ini adalah verifiable yang berarti dapat diverifikasi. Konsekuensinya, setiap pernyataan
atau proposisi yang tidak dapat diverifikasi tidak bermakna. Pernyataan seperti ”realitas pada
hakikatnya bersifat absolut” dan pernyataan metafisis lainnya menurut mereka merupakan
pernyataan yang tidak bermakna. Dalam pernyataan-pernyataan metafisis, tidak terdapat
kemungkinan untuk dilakukan pembuktian secara empiris karena itu pernyataan seperti itu
berarti Positivisme logis secara ambisius mengembangkan kesamaan bahasa bagi seluruh
ilmu pengetahuan terutama dalam meletakkan dasar-dasar epistemologis. Mereka
berpendapat bahwa seluruh pernyataan ilmu pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam satu
bahasa universal sehingga ilmu pengetahuan memiliki dasar-dasar yang universal dalam
metodenya. Dengan ini mereka berambisi membentuk satu ilmu pengetahuan
(Einheitswissenschaft) yang dibangun di atas satu logika dan bahasa universal yaitu bahasa
dan logika fisika. Moritz Schlick dan Neurath menjelaskan konsep Einheitswissenschaft ini
berdasarkan teori kalimat protokol (protocol sentences) yang dianggap mereka basis dari
setiap ilmu pengetahuan. Menurut mereka, setiap teori ilmu pengetahuan tertata dalam
kalimat-kalimat protokol yaitu kalimat yang dapat diperiksa salah-benarnya melalui
pengamatan empiris secara langsung sehingga dapat dikontrol oleh semua orang. Pemikiran
filsafat Wittgenstein I menekankan adanya satu bahasa ideal yang didasarkan pada prinsipprinsip logika. Hakikat bahasa merupakan gambaran realitas dunia sehingga struktur logis
bahasa menggambarkan struktur logis realitas dunia. Pandangan ontologis ini memberikan
inspirasi yang kuat terhadap perkembangan filsafat positivisme logis. Dalam karya
Tractatus, Wittgenstein berobsesi menjadikan logika sebagai bahasa universal. Menurut
Wittgenstein realitas dunia dapat digambarkan dalam struktur logis bahasa yaitu melalui
proposisi. Proposisi ini tersusun dari proposisi-proposisi elementer yang disebut nama-nama.
Nama-nama ini memiliki referensi terhadap realitas dunia yang menjadikan nama tersebut
gambaran struktur elementer realitas dunia. Karena itu dapat dikatakan bahwa nama-nama
ini dapat diverifikasi. Dengan demikian, proposisi-proposisi dalam pengertian Witgenstein
dapat dipahami sebagai kalimat protocol dalam pengertian filsuf filsuf Wina. Seperti
dikatakan sebelumnya, filsuf dan ilmuwan lingkaran Wina memiliki pengaruh sangat kuat
terhadap momen kebangkitan (baca: peralihan) berfilsafat Ludwig Wittgenstein ketimbang
sebaiknya Grayling berpendapat What indeed the evidence suggests is that it was
Wittgenstein who was influenced by the Circle’s ideas rather more than the converse-not in
the sense that he came to be, except rather briefly, something of a Positivist himself, but
negatively, in that he came to put progressively greater distance between himself and those
tenets in the Tractatus which were, however superficially, similar to the Positivist’s outlook,
as if a greater realization of its Positivistic elements persuaded him that the Tractatus was in
important respects mistaken. Meskipun Wittgenstein bukan anggota lingkaran Wina, tetapi
dalam sebuah fase yang dinamakan masa peralihan ini (transitional period), Wittgenstein
sangat dipengaruhi oleh pemikiran positivisme logis tentang prinsip verifikasi. Jika
kebermaknaan suatu proposisi ditentukan oleh pembuktiannya dalam pengalaman empiris,
maka pemaknaan terhadap proposisi tersebut hanya dapat ditentukan oleh penggunaannya
dalam konteks berbahasa (meaning in use). Dengan demikian, perhatian filsafat analitika
8
bahasa Wittgenstein mulai diarahkan pada analisis terhadap penggunaan bahasa sehari-hari
(ordinary language) Hal ini menginspirasikan Wittgenstein untuk memulai proyek
investigasi filosofis terhadap karya Tractatus dengan penekanan terhadap teori permainan
bahasa (language game). Menurutnya, kebermaknaan sebuah proposisi ditentukan oleh
penggunaannya dalam konteks (meaning in use), yang dalam bahasa biasa sehari-hari
(ordinary language) kebermaknaan itu dikondisikan oleh aturan-aturan permainan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
http://teosophy.wordpress.com/category/sejarah-dan-tokoh-filsafat/
http://my.opera.com/Nyocor/blog/show.dml/1779850
Yuwana, Kumara Ati, 2010, Greatest Philosophers, Yogyakarta, Pustaka ANDI
9
Download