etika pemasaran tingkat terbawah

advertisement
MARKETING
13
Edisi Minggu Bisnis Indonesia
28 November 2010
Etika pemasaran ke tingkat
terbawah
NTO
IYA
URD
DI P
A
/
NIS
BIS
eningkatnya status Indonesia
menjadi middle-income country
serta keterlibatan negara kita
dalam G-20 menunjukkan bahwa Indonesia kini
semakin menjadi pasar yang semakin diincar
oleh pelaku bisnis global.
Dengan penduduk yang berjumlah hampir
mencapai seperempat miliar jiwa, Indonesia
merupakan tempat yang menggiurkan untuk
memproduksi dan memasarkan produk retail.
Meskipun jumlahnya banyak, sebagian besar
penduduk Indonesia memiliki daya beli yang
rendah, atau yang sering dikelompokkan pada
bagian bawah piramida (bottom of pyramid)
pendapatan. Hampir setengah dari penduduk
Indonesia memiliki pendapatan di bawah $2
setiap harinya. Ini berarti sekitar 125 juta
konsumen potensial dengan daya beli rendah.
Oleh karena itu, produk retail yang dijual di
Indonesia pun harus disesuaikan dengan daya
beli masyarakat. Beberapa brand terkemuka
sudah banyak menyesuaikan strategi marketing
mereka.
Beberapa brand pun juga telah meraup
sukses besar dalam penjualan ke bawah
piramida ini. Antusiasme pasar pun besar,
terlihat dari penerimaan publik atas produkproduk tersebut.
Dus, potensi pasar retail di Indonesia
memang menggiurkan. Sayangnya, perusahaan
yang melakukan pemasaran ke bagian bawah
piramida sering kali mengabaikan etika
pemberdayaan kaum miskin, dan bahkan
memperlakukan pelanggan yang memiliki
penghasilan di bawah US$2 per hari ini sebagai
objek penjualan.
Ini seperti ironi menjadi kaya dari si miskin.
Padahal, C.K Prahalad (2004) menegaskan
dalam buku The Fortune at The Bottom of the
Pyramid bahwa perusahaan dapat ikut
mengentaskan kemiskinan dengan berjualan ke
bawah piramida.
Oleh karena itu, setidaknya ada empat etika
yang bisa dijadikan acuan oleh brand dalam
melakukan pemasaran ke bawah piramida.
Pertama, memperlakukan konsumen sebagai
subjek dan memberdayakan mereka.
Perusahaan bisa mengadopsi berbagai cara
untuk memberdayakan konsumen dan
berjualan pada saat yang bersamaan.
Salah satunya adalah melibatkan mereka di
dalam jalur distribusi. Model pemberdayaan
konsumen di bagian bawah piramida yang
demikian diterapkan oleh Grameen di
M
M. ARI MARGIONO
Konsultan CSR dan
Komunikasi
Alumnus University of Wales,
Aberystwyth dan Binus
Business School
Pertanyaan, saran,
kritik, dan komentar
dapat disampaikan ke
redaksi melalui:
[email protected], dan
www.bisnis.com,
me@arimargiono.
com
Bangladesh.
Masyarakat miskin dilibatkan
dalam salah satu programnya, Village
Phone, untuk menyewakan telepon
kepada rekannya yang tidak memiliki
perangkat komunikasi tersebut.
Dalam model ini, Grameen Telecom
memperoleh keuntungan melalui peningkatan
traffic, sementara masyarakat dapat memperoleh
penghasilan tambahan.
Selain Grameen, perusahaan kacamata Vision
Spring di Amerika Serikat juga menerapkan
model yang hampir serupa untuk meningkatkan
pendapatan dan kapasitas dari kelompok bawah
piramida di beberapa negara berkembang di
dunia.
Model Vision Entrepreneur yang
dikembangkan oleh Vision Spring memberikan
kesempatan kepada konsumen untuk menjadi
sales agent dan staf pemasaran dari produk
kacamata murah mereka.
Vision Spring mengklaim bahwa mereka
berhasil menjual sejumlah kacamata dengan
jumlah yang signifikan ke kelompok bawah
piramida sehingga dapat memperoleh
keuntungan finansial, pemberdayaan
kewirausahaan masyarakat, sekaligus
mengembalikan pengelihatan masyarakat
miskin yang menderita rabun jauh.
Melibatkan konsumen
Pemberdayaan dan peningkatan kapasitas
konsumen, terutama pelibatan mereka di dalam
jalur distribusi, akan juga secara langsung
meningkatan kredibilitas produk yang akan
dijual dan pada akhirnya dapat meningkatkan
angka penjualan produk.
Kedua, arahkan dana CSR yang disediakan
oleh brand atau perusahaan untuk membangun
infrastruktur peningkatan kesejahteraan. Tren
yang berkembang belakangan ini, dana CSR
perusahaan sering diberikan dalam bentuk
donasi atau sumbangan, terutama dengan
meningkatnya frekuensi terjadinya bencana
alam di Indonesia.
Sebetulnya, investasi dana CSR untuk
membangun infrastruktur pemberdayaan
masyarakat akan jauh lebih bermanfaat baik
untuk perusahaan maupun masyarakat. Jika
perusahaan ingin memberikan donasi bencana,
usahakan agar juga dialokasikan donasi untuk
pembangunan infrastruktur kewirausahaan.
Sebagai contoh, peningkatan kapasitas
masyarakat atau kelompok wirausaha
masyarakat untuk menjadi pelaku usaha yang
profesional adalah salah satu bentuk program
CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan.
Perusahaan dapat memanfaatkan momentum
ini untuk mempersiapkan distribusi produknya.
Selain itu, aktivitas ini pun bisa dikerjakan
secara bersama-sama secara kolektif oleh
beberapa perusahaan yang terlibat di dalam
value chain.
Dalam contoh ini, sebut saja perusahaan
hipermart bisa bekerja sama dengan para
pemasok untuk mengembangkan program CSR
Jika perusahaan ingin
memberikan donasi bencana,
usahakan…donasi untuk
pembangunan infrastruktur
kewirausahaan.
kolektif untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas infrastruktur kewirausahaan di pasar
tradisional perdesaan.
Ketiga, jangan lakukan program yang bersifat
hit and run. Meskipun banyak pihak yang
menganjurkan perusahaan untuk
mengembangkan program yang bersifat
sustainable, saya lebih senang untuk
menganjurkan perusahaan agar tidak
mengembangkan kampanye yang bersifat hit
and run.
Sustainability sering sulit diukur dan sudah
menjadi istilah yang terlalu banyak artinya.
Dalam terminologi militer, serangan yang cepat
dan mengejutkan, atau yang dikenal blitzkrieg,
atau hit and run, memang dapat memberikan
keuntungan yang maksimal untuk
penyelenggara kampanye.
Namun, aktivitas perusahaan harus dilihat
secara holistik di mana tanggung jawab
operasional tidak hanya mengacu kepada
keuntungan finansial, tetapi juga keuntungan
lingkungan dan sosial.
Program hit and run akan merugikan
lingkungan sekitar karena akan mendorong
munculnya moral hazard dalam bentuk kultur
kebergantungan yang tinggi. Pada akhirnya,
perusahaan juga yang akan dirugikan oleh
karena hal ini.
Keempat, lakukan inovasi dalam kerja sama
dengan institusi pemerintah. Moral hazard lain
yang sering tercipta dari keterlibatan sektor
swasta di bidang pembangunan adalah
meningkatnya kemalasan pemerintah dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai
service provider.
Pejabat pemerintah sering menyambut baik
upaya CSR semata-mata karena perusahaan
mengambil alih kewajiban yang seharusnya
ditunaikan oleh pemerintah.
Pada sisi lain, perusahaan juga sering
mengundang pihak pemerintah semata-mata
sebagai endorser untuk menunjukkan bahwa
programnya didukung oleh pemerintah.
Inovasi dalam hubungan brand dengan
pemerintah dapat dilakukan, misalnya, dengan
ikut mendorong pemerintah untuk lebih
transparan dan akuntabel dan memperkuat
peran pemerintah sebagai pemberi layanan
publik.
Sebagai contoh, brand bisa menggandeng
institusi pemerintah untuk bersama-sama
dengan konsumen di bagian bawah piramida
untuk memerangi korupsi di lingkungan yang
paling dekat dengan konsumen: RT, RW, dan
kelurahan/desa.
Download