SKRIPSI PENGAWASAN PERILAKU HAKIM OLEH MAJELIS KEHORMATAN HAKIM DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Program Strata-1 Pada jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas Oleh : AYU YUSTISIA BP 07 140 205 PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011 PENGAWASAN HAKIM OLEH MAJELIS KEHORMATAN HAKIM DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ABSTRAK (Ayu Yustisia, 07140205 ,Skripsi S-1 Fakultas Hukum Reguler Unand, 85+vii Halaman , 2011) Dosen Pembimbing : H. Ilhamdi Taufik, SH dan Henny Andriani,S.H.,M.H Salah satu persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi, dan peran Hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya. Semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah Aturan-aturan mengenai perilaku dan kode etik hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim demi mewujudkan penegakkan hukum dan keadilan di Negara Republik Indonesia dan Cara pengawasan Majelis Kehormatan Hakim terhadap perilaku hakim dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pada tipe penelitian hukum normatif ( yuridis normatif), yaitu cara pengumpulan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka. Perbedaan antara kode etik dan kode perilaku adalah kode perilaku (code of conduct) menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima dan mana yang dapat diterima. Kode perilaku akan mengingatkan Hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct akan menimbulkan sanksi sedangkan kode etik (code of ethics) berkenaan dengan harapan dan cita-cita. Etik berbeda dengan perilaku yang dilarang. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-pertimbangan etik yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut. Urgensi pengawasan terhadap perilaku hakim merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam membangun peradilan yang dapat dipercaya oleh publik. Pengawasan dan penegakan perilaku hakim tersebut sudah tentu dilihat dari Code of Conduct dan Code of Ethics yang sudah ada dijadikan sebagai ukuran, sehingga akan terhindar dari tumpang tindih dengan pengawasan lain yang berada diluar wilayah etik atau perilaku. Jika melihat dari tujuan hukum itu sendiri untuk menciptakan ketertiban, keteraturan, dan kedamaian di dalam masyarakat, berarti hakim memiliki tanggungjawab besar terhadap terwujudnya dunia yang nyaman bagi seluruh umat manusia, oleh karena itu hakim diwajibkan untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya. BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Perjalanan ketatanegaraan Indonesia sejak merdeka 17 Agustus 1945, telah mengalami pasang surut baik dalam gagasan, tatanan maupun terapannya. Sejarah demokrasi pasca kemerdekaan oleh para ahli sering dibagi kedalam beberapa waktu, yaitu masa demokrasi liberal (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966) dan demokrasi pancasila (1967-sampai tumbangnya kekuasaan orde baru), secara historis dinamika itu dapat dilihat fakta sejarah konstitusionalnya, bahwa di Indonesia pernah diberlakukan beberapa konstitusi UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, UUD 1945 dan sekarang Undang- Undang Dasar 1945 hasil amandemen tahun 1999-2002. Dalam berbagai konstitusi itu Indonesia pernah mengalami atau mencoba menjadi Negara Serikat (RIS) meskipun kemudian kembali menjadi Republik Kesatuan, Indonesia pernah mengalami sistem pemerintahan parlementer, demokrasi terpimpin dan pemerintahan presidensil sampai sekarang. Gambaran dinamis tersebut menunjukkan bahwa konstitusi selalu menjadi dasar dari perubahan ketatanegaraan suatu negara.1 Perkembangan zaman yang diharapkan akan menjadi lebih modern sangat mempengaruhi hampir semua negara, yang akhirnya banyak negara-negara yang mampu mengikuti perkembangan tersebut, namun dampak negatifnya adalah tidak sedikit juga yang malah tertinggal. Dampak positif yang muncul dalam dunia modern tersebut adalah akan mendorong menjunjung tinggi bangunan demokrasi. Menurut Plato seorang filosof besar dunia berbicara tentang demokrasi, mengatakan bahwa “negara yang berjalan di atas bentuk demokrasi akan menuai bentuk kenegaraan yang ideal yang disebut welfare state” karena demokrasi menginginkan peran negara dalam upaya melaksanakan reformasi struktur dan 1 Ma’shum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Total Media, Yogyakarta, 2009, hal. 1 kultur negara berdasarkan konstitusi dan peradilan yang independent, yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.2 Memasuki orde reformasi, tuntutan akan hukum yang berpihak kepada masyarakat menjadi hal utama dari beberapa hal yang lain. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk semakin menegaskan prinsip negara hukum itu, setelah reformasi, ketentuan mengenai negara hukum itu ditegaskan lagi dalam perubahan tahap ketiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung sebagai pelaku Kekuasaan Kehakiman kemudian memperoleh kekuasaan luas dengan peradilan satu atap yang memberikan otoritas administrative dan yudisial kepada Mahkamah Agung.3 Mahkamah Agung menjalankan kekuasaan kehakiman sekaligus melakukan pengawasan terhadap tubuhnya sendiri. Keadaan seperti ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan tindakan abuse of power yang menyebabkan tumbuh suburnya judicial corruption (mafia peradilan), disebabkan kekuasaan tersebut tidak disertai mekanisme kontrol yang baik.4 2 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 3-4 3 Bunga Rampai Komisi Yudisial, Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 117 4 Ibid Di Indonesia Kekuasaan Kehakiman sejak awal kemerdekaan juga di niatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR / DPR dan Presiden. Dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan, ditentukan :5 “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undangundang tentang kedudukan para hakim” Korupsi di lembaga-Lembaga peradilan adalah suatu kenyataan yang sangat sulit dibuktikan melalui prosedur yang telah disediakan oleh sistem hukum pidana. Bukan saja karena praktik korupsi itu dilakukan oleh orang-orang yang menguasai seluk-beluk peradilan, tetapi juga karena praktik korupsi tersebut terjadi di institusi yang memiliki otoritas untuk menentukan sebuah tindakan dapat dikategorikan sebagai kejahatan atau bukan. Praktik korupsi di lembaga peradilan menjadi semakin tak terkontrol ketika internal control dan social control terhadap kinerja lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi dengan baik, sehingga praktek penyalahgunaan wewenang di badan peradilan cenderung menguat dan merusak seluruh sendi peradilan, mengakibatkan menurunnya kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap badan peradilan.6 Pembaharuan badan peradilan merupakan sebuah kemestian yang harus dilakukan secara terus menerus yaitu agar hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik dari hari ini, sampai terwujud kembali badan peradilan yang dipercaya, berwibawa terhormat dan dihormati. Salah satu usaha penting yang harus dilakukan yaitu “membangun dan membentuk hakim yang baik”. 5 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer , Jakarta, 2007, hal. 512 6 Susanti Adi Nugroho, Eksaminasi Publik : Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, Indonesia Corruption Whatch (ICW), Jakarta, 2003, hal. iii Bagir Manan menguraikan sedikitnya ada 5 (lima) perspektif untuk menjadi hakim yang profesional, yaitu :7 1. Dalam perspektif intelektual sebagai perspektif pengetahuan dan konsepkonsep baik ilmu hukum maupun ilmu-ilmu atau konsep-konsep ilmu lain terutama ilmu sosial; 2. Dalam perspektif etik, berkaitan dengan moral; 3. Dalam perspektif hukum, sehubungan dengan ketaatan hakim pada kaidahkaidah hukum baik bersifat administratif maupun pidana; 4. Dalam perspektif kesadaran beragama, berkenaan dengan hubungan seorang hakim dengan Tuhannya; 5. Dalam perspektif teknis peradilan dimana penguasaan terhadap hukum acara (hukum formil) mutlak diperlukan Karena pentingnya upaya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, perilaku hakim dan kekuasaan kehakiman yang merdeka itu maka diperlukan lembaga yang tersendiri yang bersifat mandiri agar pengawasan bersifat efektif seperti Majelis Kehormatan Hakim. Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sebagai satu-satunya wadah profesi hakim di Indonesia mengeluarkan salah satu keputusan dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) XIII di Bandung untuk membentuk Komisi Kehormatan Hakim. Komisi yang di masa lalu bernama Majelis Kehormatan Hakim ini bertujuan untuk menegakkan kode etik hakim agar ketentuan di dalamnya dapat terlaksana sekaligus mengawasi pelaksanaannya tersebut. Selain itu, Majelis Kehormatan Hakim juga berwenang memberikan pertimbangan dan sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik sebagai tindak lanjut fungsi pengawasan. Dengan adanya Majelis Kehormatan Hakim sebagai forum pembelaan diri bagi Hakim yang akan diusulkan untuk diberhentikan tidak dengan hormat atau diberhentikan sementara, majelis ini akan mampu menjaga kode etik hakim merupakan sesuatu yang tidak bisa disentuh oleh lembaga lain, diharapkan bahwa infra struktur sistem etika perilaku di semua sektor dan lapisan supra truktur dan infra struktur bernegara Indonesia dapat ditumbuh 7 Bagir Manan, Menjadi Hakim Yang Baik, dalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXII No. 255, Februari 2007, Jakarta, hal. 7 kembangkan sebagaimana mestinya dalam rangka mewujudkan gagasan negara hukum dan prinsip good governance di semua bidang. Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam skripsi dengan judul : “PENGAWASAN PERILAKU HAKIM OLEH MAJELIS KEHORMATAN HAKIM DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perlu kiranya penulis melakukan pembahasan permasalahan antara lain : 1. Bagaimana aturan-aturan mengenai perilaku dan kode etik hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim demi mewujudkan penegakkan hukum dan keadilan di Negara Republik Indonesia? 2. Bagaimanakah cara pengawasan Majelis Kehormatan Hakim terhadap Perilaku Hakim dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah seperti yang diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui aturan-aturan mengenai perilaku dan kode etik dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim demi mewujudkan penegakan hukum dan keadilan di Negara Republik Indonesia. 2. Untuk mengetahui cara pengawasan Majelis Kehormatan Hakim terhadap perilaku hakim dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut : A. Manfaat Teoritis a. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut ke dalam bentuk tulisan. b. Menerapkan teori-teori yang telah di peroleh dari bangku perkuliahan dan menghubungkan dengan praktik di lapangan. c. Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan di bidang hukum pada umumnya maupun bidang ketatanegaraan pada khususnya yakni dengan mempelajari literatur yang ada di kombinasikan dengan perkembangan hukum yang timbul dalam masyarakat. B. Manfaat Praktis Agar penelitian yang dilakukan ini dapat berguna bagi para pihak yang terkait dalam pelaksanaan tugasnya masing-masing. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perbedaan antara code of ethics (kode etik) dan code of conduct (kode Perilaku) adalah: code of conduct menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima dan mana yang dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan Hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct mungkin akan menimbulkan sanksi. Code of conduct merupakan satu standar. Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah standar yang ditetapkan. Code of ethics (kode etik) berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-pertimbangan etik yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut. Dengan suatu code of conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat untuk dapat mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan hakim. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode etik yang akan memberi motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, lebih baik, lebih efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of law. Jadi setelah dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun benar bahwa code of conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi code of ethics merupakan sumber nilai dan moralitas yang akan membimbing hakim menjadi hakim yang baik, sebagaimana kemudian dijabarkan ke dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian dirumuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh hakim di dalam maupun di luar kedinasan. Hakim Indonesia telah mempunyai pengalaman memiliki kode etik yang pertama dengan nama Panca Dharma Hakim Indonesia Tahun 1966, yang kedua Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI) tahun 2002, dan yang terakhir Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor : 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Pedoman perilaku hakim tersebut dimaksudkan untuk mengatur perilaku hakim yang diperkenankan, yang dilarang, yang diharuskan, maupun yang dianjurkan atau yang tidak dianjurkan, baik di dalam maupun di luar kedinasan, untuk membentuk hakim sebagai pejabat kekuasaan kehakiman (ambtsdrager van rechtelijkemacht) yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela dan adil untuk dapat menjadi benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. 2. Pengawasan dan penegakan perilaku hakim sudah tentu dilihat dari ukuran Code of Conduct dan Code of Ethics yang sudah ada yang dijadikan sebagai ukuran, sehingga akan terhindar dari tumpang tindih dengan pengawasan lain yang berada di luar wilayah etik atau perilaku. Urgensi pengawasan terhadap perilaku hakim merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam membangunan peradilan yang dapat dipercaya oleh publik. Selain menyeleksi hakim agung, berdasarkan undang-undang memiliki fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim. Secara normatif, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang, mekanisme pengawasan perilaku hakim melalui (a) laporanlaporan dari masyarakat, (b) meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim, (c) melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim, (d) memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim dan (e) membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung serta tindasannya kepada Presiden dan DPR. Dalam hal pelanggaran perilaku hakim yang serius dengan ancaman hukuman pemecatan, disediakan forum pembelaan diri melalui Majelis Kehormatan Hakim yang terbuka untuk publik. Sidang Majelis Kehormatan Hakim yang terbuka pada saat ini merupakan suatu kemajuan jika dibandingkan dengan proses serupa pada masa lampau yang tertutup dan didominasi oleh Mahkamah Agung. Melalui majelis ini, hakim bisa diberhentikan dengan hormat dan secara tidak hormat apabila memenuhi syarat-syarat pemberhentian sesuai Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. B. Saran 1. Jika melihat dari tujuan hukum itu sendiri untuk menciptakan ketertiban, keteraturan dan kedamaian di dalam masyarakat, berarti hakim memiliki tanggung jawab besar terhadap terwujudnya dunia yang nyaman bagi seluruh umat manusia, karena palu godam Tuhan untuk menentukan benar dan salah ada di dalam tangannya. Oleh karena itulah hakim diwajibkan untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya. Dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim yang dikeluarkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam pembukaannya yang tercantum dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 disebutkan bahwa kehormatan hakim adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus diajaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang melandasi, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat.8 Dengan demikian keluhuran martabat merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, 8 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Jakarta, 2010, hal 3 tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. 2. Idealnya dalam demokrasi seluruh hakim harus tunduk pada prinsip persamaan (kedudukan yang setara), termasuk dalam aspek pengawasan hakimnya. Oleh karenanya, hakim mutlak harus diawasi karena menyangkut pertaruhan atas independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri. Penerapan konsep independensi kekuasaan kehakiman tidak boleh absolut tetapi harus diletakkan dalam konteks akuntabilitas (tidak bebas mutlak dan harus tetap dipertanggungjawabkan). Untuk mencapai hasil yang ideal, maka dalam melakukan pengawasan tidak dapat hanya mengandalkan pada orang, tetapi harus dibentuk suatu sistem pengawasan yang jelas dan tegas berdasarkan Undang-Undang Nomoor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang tercantum dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 44. Sistem pengawasannya tetap harus dalam koridor konsep yang menjaga independency of judiciary (kekuasaan kehakiman yang merdeka / mandiri). 3. Ada sejumlah reasoning / alasan yang mendasari pentingnya penegasan gagasan untuk menerapkan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman (baik hakim MA maupun hakim MK), yaitu: (1) Ada realitas sosial berupa situasi hukum dan penegakan hukum yang telah melahirkan ketidak percayaan masyarakat secara luas (social distrust) terhadap kinerja penegakan hukum terutama oleh hakim melalui putusan-putusannya yang “janggal” atau bernuansa ketidakadilan. (2) Khusus pentingnya pengawasan terhadap hakim MK, adalah dilatar belakangi oleh dimilikinya kekuasaan kehakiman secara absolute konstitusional (dalam arti putusannya bersifat pertama dan terakhir). Padahal setiap manusia (termasuk hakim MK) mempunyai peluang salah, tidak adil, tidak fair, tidak obyektif dan tidak profesional untuk meletakkan kehormatan dan martabat hakim MK sebagai penjaga konstitusi. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdulkadir Muhammad. 2001. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Amirudin dan Zainal Asikin. 2010. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 1996. Jakarta: Pradnya Pramita. Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum. Henry P.Panggabean. 2001. Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Ibnu Khaldun. 1992. Kekuasaan dan Negara – Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Jimly Asshiddiqie. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. PT. -------------------------. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. Ma’shum Ahmad. 2009. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Yogyakarta: Total Media. M. Yahya Harahap. 2008. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta. Ni’matul Huda, 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta: Rajawali Pers. Ronny Hanitijo Soemitro. 1982. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia. Supriadi. 2006. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum. Bandung: Refika Aditama. Sudikno Mertokusumo. 1998. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, Yogyakarta, 1988. Sri Soemantri. 1993. Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Sri Soemantri Martosoewignjo. 1993. Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Susanti Adi Nugroho. 2003. Eksaminasi Publik : Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan. Jakarta: Indonesia Corruption Whatch (ICW). Sri Mamudji. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Suhrawardi K. Lubis. 2006. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, Titik Triwulan Tutik. 2007. Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial. Jakarta: Prestasi Jakarta Publisher. B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstistusi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengawasan Hakim Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009, 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor: 129/KMA/SKB/IX/2009, 04/SKB/P.KY/IX/2009 Tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan Tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim A. Website Arifin Debu Kosmik, Pedoman Perilaku Hakim (sebuah ikhtiar suci), tersedia di http//www.Google.com. Frans Hendra Winarta, Sistem Pengawas Pengadilan yang Efektif Sejak Rekrutmen Sampai Penugasan, tersedia di http//www.Google.com. Http://www.kompas.com/berita/hukum/MK-belum-sikapi-mundurnya-Arsyad Sanusi. Http://Layanandata.blogspot.com/2010/12/10/Arsyad-Sanusi,html. Http://www.Tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/05/03/brk/20100503-245034.id.html. Http://nasional.kompas.com/read/2011/06/06/MA.terpukul.dengan.kasus.Hakim.Syarifud din. Http://www.Tempointeraktif.com/hg/Hukum/2011/06/03/Brk,20110603-338398.id.html. Http://www.Trimaironline.com/Berita/Opini/115476/Kasus-Hakim-SyarifuddinLingkaran-Setan-Korupsi-Peradilan. Http://Nasional.Kompas.com/read/2011/01/19/11221962/Gayus.Akan.Bicara.Usai.Vonis. Http://www.Wartakota.co.id/detil/berita/28996/Ketua-Majelis-Hakim-Kasus-GayusDinonpalukan. Http://Nasional.Kompas.com./Read/2011/06/13/16285938/Pelajaran.dari. Kasus Syarifuddin. Http://www.Tribunnews.com/2010/08/25/Rekomendasi-KY-Kurang-Mendapat-Responsdari-Mahkamah-Agung. Http://www.Google.com. Laporan Tahunan Pelanggaran Kode Etik Hakim. Mahkamah Agung Tahun 2010 tentang Http://id.voi.co.id/voi-dignitorial/7190. Perlukah Majelis Kehormatan Hakim? D. Makalah, Artikel, Jurnal, Majalah, Surat Kabar Bagir Manan, Pedoman Perilaku Hakim, Varia Peradilan No. 251 Oktober 2006 -----------------, Menjadi Hakim Yang Baik, dalam Majalah Varia Peradilan Tahun ke XXII No. 255, Februari 2007 Bunga Rampai Komisi Yudisial Republik Indonesia Refleksi, “Satu Tahun Komisi Yudisial Republik Indonesia”, 2006 Ilhamdi Taufik (Staf Pengajar pada bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Makalah disajikan pada acara diskusi publik dengan tema “Memperkuat Fungsi Komisi Yudisial dalam Menjaga Martabat Hakim” 2011 Komisi Yudisial, 4 Tahun Komisi Yudisial RI 2005-2009, Komisi Yudisial, 2009 P.E Lotung, Makalah disampaikan dalam Seminar dengan tema : “Sistem Pengawasan dan Kode Etik Hakim Konstitusi di Jerman dan Indonesia”, di Hotel Saphire, Yogyakarta, Senin 21 Maret 2011 Rifqi S. Assegaf dan Nur Syarifah, “Membandingkan Komisi-Komisi Pengawas Lembaga Peradilan dan Penegak Hukum”, Jurnal Jentera, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2005 Sekotjo Soeparto. “Peranan Komisi Yudisial Dalam Mewujudkan Lembaga Peradilan Yang Bersih dan Berwibawa”. Makalah disampaikan dalam Seminar Penegakan Hukum di Indonesia.