Safe Sex is No Sex, Not Using Condom! Author : GADING EKAPUJA AURIZKI Abstract : Oleh Gading E. Aurizki HIV/AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan belum ditemukan obat yang dapat memulihkannya hingga saat ini (Nursalam, 2007). Mirisnya, penyakit yang menyerang kekebalan tubuh (imunitas) ini terus menyebar dari satu orang ke orang lainnya tanpa bisa dibendung. Di Indonesia saja, pada periode Januari-Juni 2011 secara kumulatif tercatat penderita HIV positif sebanyak 10.639 jiwa, dan AIDS positif 2.352 jiwa (Depkes RI, 2011). Angka-angka tersebut tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, pada tubuh ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) terdapat virus yang tidak bisa dikeluarkan dari dalam tubuh. Virus dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) itu akan terus berada di dalam tubuh ODHA hingga akhir hayatnya. HIV secara aktif menyerang sel-sel darah putih sehingga kekebalan tubuh menurun. Seiring menurunnya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala oportunistik, seperti; penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain (Sudoyo, 2006), bahkan bisa berakhir dengan kematian yang mengenaskan (Hawari, 2005). Selain dikategorikan sebagai virus yang ganas, HIV juga mudah menular melalui berbagai cara. Bisa melalui hubungan seksual, cairan tubuh (darah, cairan vagina, sperma, dll.), jarum suntik, dan dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya. Sehingga tidak berlebihkan jika HIV/AIDS dikatakan sebagai global effect dengan kecepatan penularan penyebaran yang sangat pesat, 1 menit 5 orang tertular di dunia (Hawari, 2005). Peran Perawat dan Analisis Holistik Melihat fakta yang telah dipaparkan pada bahasan pengantar sangat wajar jika muncul kekhawatiran di tengah masyarakat. Tidak ada orang yang ingin dirinya tertular penyakit tanpa obat ini. Namun, di sisi lain HIV/AIDS sudah tersebar di tengah-tengah mereka, dibawa oleh orang yang tidak diduga sebelumnya, dengan cara yang juga tidak dapat disangka-sangka. Untuk itulah dalam kasus HIV/AIDS peran tenaga kesehatan, khususnya perawat, sangat dibutuhkan. Seorang perawat harus cerdas dalam penanganan HIV/AIDS. Perawat tidak hanya membantu dalam usaha kuratif (pengobatan) pada pasien yang berstatus ODHA, namun juga harus total dalam usaha preventif (pencegahan) pada orang-orang yang berpotensial tertular, seperti; pecandu narkoba, keluarga dan partner seks ODHA (istri/suami), Pekerja Seks Komersil (PSK), pelaku seks bebas, dan para remaja. Perhatian lebih tampaknya harus diberikan pada aspek seksual. Tanpa memandang sebelah mata aspek lain, pada kenyataannya memang seksualitas adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Data penyebaran HIV/AIDS yang diambil mulai tahun 1987 hingga Juni 2011 menyebutkan bahwa 54,8% HIV/AIDS tersebar melalui hubungan seksual. Sedangkan sisanya dari Intravenous Drug User (IDU) 36,2%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 2,9%, Perinatal 2,8%, Transfusi Darah 0,2%, dan yang tidak diketahui 3% (Depkes RI, 2011). Memisahkan aktivitas seks dari kehidupan masyarakat memang sulit, bahkan tidak mungkin, karena seksualitas adalah fitrah yang sudah ada dalam diri setiap manusia. Menurut Abraham Maslow dalam teori hierarchy-nya, seksualitas masuk ke dalam kebutuhan fisiologis yang notabene adalah kebutuhan paling dasar dalam diri manusia. Namun melihat angka penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seks yang begitu tinggi, mau tidak mau harus ada alternatif yang diberikan untuk mengatasinya. Salah satu alternatif yang populer adalah kampanye kondomisasi dengan jargonnya yang terkenal, “safe sex use condom.” Tidak lama setelah mengetahui kampanye tersebut, pemerintah langsung merealisasikan pengadaan ATM kondom di beberapa lokasi di Jakarta. Pada Desember 2005, muncul pemberitaan bahwa Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berencana meluncurkan 100 unit ATM kondom baru untuk 33 provinsi (Koran Tempo, 16 Desember 2005). Kita patut mengapresiasi totalitas pemerintah dalam usaha merealisasikan yang otomatis juga melegalisasi penggunaan kondom secara luas di masyarakat. Namun sebagai seorang perawat profesional, kita juga harus kritis dalam menyikapi kampanye tersebut. Kita tidak boleh menerima begitu saja kampanye kesehatan yang Page 1 Safe Sex is No Sex, Not Using Condom! belum jelas baik buruknya bagi klien kita dan masyarakat. Sebagai wujud kekritisan terhadap kampanye kondomisasi yang mulai digalakkan di masyarakat, kita perlu bertanya, “Benarkah kondom bisa mengatasi permasalahan HIV/AIDS?” Kondom terbuat dari bahan latex (karet) yang merupakan senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi. Semua bahan yang merupakan senyawa karbon dan polimerisasi berserat dan berpori-pori (Hawari, 2005). Besar serat dan pori-pori tergantung dari jalur dan lajur serat. Selain itu, kondom yang dibuat di pabrik juga memungkinkan memiliki cacar mikroskopis (pinholes). Tebal kondom berkisar 1/10 mm atau 100 mikron. Sedangkan rata-rata tebal serat hasil polimerisasi latex kondom diameternya sekitar 0,5-1,5 mikron. Jalur dan lajur serat kondom seperti tenunan kain yang tak berarturan dan saling bertumpuk atau berlapis. Kurang lebih sebanyak 100-200 lapisan hingga mencapai tebal ± 100 mikron. Karena di antara serat-serat itu ada yang memiliki ion sejenis, terjadilah saling tolak-menolak antar ion. Dari ion yang saling tolak-menolak inilah timbul pori-pori. Rata-rata diameter pori-pori adalah 1/30 x tebal minimal serat. Jika tebal minimal serat adalah 0,5 atau ½ mikron, maka dapat dikalkulasi diameter pori-pori adalah 1/30 x 0,5 = 1/60 mikron. Jika dalam kondisi meregang, ukuran bisa mencapai 10 kali lebih besar. (Hawari, 2005). 1/60 mikron adalah ukuran yang sangat besar jika dibandingkan dengan ukuran HIV yang hanya 1/250 mikron. Besar satu pori-pori 4 kali lebih besar dari satu HIV. Apalagi dalam kondisi meregang, lubang pori-pori bisa bertambah sampai 10 kali lipat (ukurannya menjadi 40 kali lebih besar). Sedangkan jumlah pori-pori itu tidak hanya satu, melainkan menyebar di seluruh permukaan kondom. Belum lagi ditambah jumlah pinholes yang mencapai 32.000 dengan ukuran masing-masing pinholes mencapai 1 mikron (Hawari, 2005). Dengan perbandingan ukuran seperti itu sangat memungkinkan bagi virus untuk keluar masuk menembus kondom. Ditinjau dari segi ukuran dan bahan kondom, bisa diambil kesimpulan kalau kondom belum bisa mencegah penyebaran HIV/AIDS. Food Drug Association (FDA) Amerika Serikat menyatakan bahwa kondom dirancang dan digunakan untuk mencegah sperma bukan virus (FDA, 2005). Di Indonesia khususnya, kondom juga tidak digunakan untuk mencegah HIV/AIDS namun untuk program KB (Suyono, 1994). Dari segi pengalaman dan uji coba kondom, kita bisa mengambil contoh pada program Keluarga Berencana (KB) yang digalakkan pemerintah. Kondom dengan spesifikasi yang telah disebutkan di atas, ternyata belum bisa mencegah 100% kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy). Penggunaan kondom hanya mereduksi kehamilan 20% (Affandi, 2000). Untuk mencegah penetrasi sperma saja kondom tidak bisa menjamin 100%, apalagi untuk mencegah lolosnya HIV yang ukurannya jauh lebih kecil. Sekedar membandingkan, jika HIV dengan pori-pori kondom perbandingannya 1:4 (dalam kondisi meregang 1:40), perbandingan kecilnya HIV dengan besarnya sperma adalah 1:450 (Trujillo, 2003). Rentangnya jauh lebih besar daripada HIV dengan pori-pori kondom. Sebagai perawat profesional, kita tidak seharusnya berhenti pada aspek fisik dan kebendaan saja. Kampanye kondomisasi ini juga harus ditinjau secara holistik. Baik dari psikis, sosial, maupun spiritual. Secara psikologis kita akan mendapati fakta, dengan adanya kampanye kondomisasi safe sex use condom ini ternyata semakin mendekatkan masyarakat kepada seks bebas. Bukannya kapok melakukan seks, kebanyakan dari mereka justru lebih ‘merasa aman’ dari bahaya penyakit HIV/AIDS. Sebagai akibatnya semakin banyak orang yang melakukan seks bebas dan tertular HIV/AIDS. Kampanye kondomisasi tidak membuat masyarakat berhenti dari seks bebas, malah membuat mereka berpikiran kalau ‘seks bebas tidak dilarang, asalkan dengan cara yang aman’, salah satunya dengan memakai kondom. Padahal faktanya, kondom tidak menjamin 100% bisa mencegah penularan virus HIV/AIDS. Sedangkan dampak sosial dari kampanye kondom ini adalah seks bebas tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu di kalangan masyarakat. Sekitar bulan Juli 2011 lalu, polisi berhasil menggerebek pasangan yang berbuat cabul di warnet, di salah satu daerah di Surabaya. Hanya berbekal uang Rp 2.000,- pasangan mesum tersebut bisa menikmati fasilitas private di balik bilik yang berukuran hanya 2m x 1,5m. Saat ditemukan pasangan laki-laki dan perempuanyang masih tergolong remaja itu tengah dalam posisi tiduran, dengan si wanita hanya Page 2 Safe Sex is No Sex, Not Using Condom! memakai bawahan sarung (Jawa Pos, Juli 2011). Karena zaman semakin edan, maka perilaku orang-orang di dalamnya pun juga ikut-ikutan edan. Kalau tidak edan, maka tidak ada ceritanya orang berani berbuat mesum di warnet. Seperti yang kita ketahui kalau warnet adalah tempat umum. Bahkan tidak dipungkiri, jarak satu bilik dengan bilik lain hanya dibatasi sekat triplek setinggi 2-2,5 meter. Barangkali dulu masih jarang remaja yang melakukan seks bebas. Karena selain seks bebas masih dianggap tabu, mereka juga belum memiliki uang untuk menyewa hotel atau penginapan. Sekarang, ketika suasana sudah ‘kondusif’, mereka tidak malu lagi melakukan seks bebas di tengah-tengah masyarakat. Apalagi sekarang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk menyewa hotel, karena sudah tersedia warnet-warnet mesum yang murah meriah yang bisa mereka gunakan sebagai tempat bercumbu. Sedangkan dampak spiritualnya adalah jauhnya masyarakat dari moral agama. Ketika orang menerapkan safe sex use condom tanpa filter moral dan agama, mereka akan cenderung mengartikannya sebagai legalisasi atas perzinaan. Ketika seseorang sekali saja melakukan zina, maka akan cenderung ingin melakukannya lagi. Sehingga rantai seks bebas tidak akan terputus, justru bertahan dan cenderung meningkat. Imbasnya, bukan pencegahan HIV/AIDS didapat, melainkan penyebaran HIV/AIDS secara besar-besaran. Menuju Solusi Dari semua sudut pandang yang telah diulas, mulai dari segi biologis, psikis, sosial, dan spiritual, akan menjurus pada satu kesimpulan bahwa penyebaran dan kampanye kondom bukanlah solusi yang tepat dalam menangani kasus HIV/AIDS yang ada di tanah air maupun dunia internasional. Justru dengan adanya penyebaran dan kampanye itu membuat semakin maraknya seks bebas, perselingkuhan, pelacuran, pornografi dan pornoaksi, yang memicu HIV/AIDS tersebar luas. Solusi paling tepat dan paling konkret untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS adalah tidak melakukan seks bebas, perselingkuhan, dan pelacuran, serta menghindari hal-hal yang berbau pornografi dan pornoaksi. Semboyan yang dulunya berbunyi ‘safe sex use condom’ telah diganti menjadi ‘safe sex is no sex’ dan ‘mutually faithful monogamy’ (J. Mann, 2005). Perkembangan terakhir dalam upaya pencegahan penularan/penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat adalah yang dikenal dengan program “A”, “B”, dan “C”. penjelasan program “A-B-C” tersebut adalah “A” singkatan dari Abstinentia sexual (yang artinya puasa seks), “B” singkatan Be faithful (yang artinya setia pada pasangan/tidak selingkuh). Bila program “A” dan “B” gagal maka program berikutnya adalah “C” singkatan dari Condom (Hawari, 2005). Agar sukses, tahapan A-B-C ini harus dijalankan berurutan. Melakukan C tanpa melakukan A dan B maka akan sama saja. Kondom hanya sebagai ‘alat jaga-jaga’, dan hanya untuk pasangan yang sah. Melihat beberapa fakta yang cukup mengejutkan dan berbagai alternatif yang disarankan, perawat profesional harus selektif dalam mengolah informasi. Jargon-jargon kampanye yang digembar-gemborkan tidak semuanya benar dan aman. Harus ada filter yang jelas dan selektif dari perawat, karena perawatlah yang nantinya akan berhubungan langsung dengan klien, baik yang sudah terjangkit HIV/AIDS maupun yang belum. Sehingga perawat bisa memberikan informasi secara benar, tepat prosedur, aman, dan tentunya tidak menyebabkan tersebarnya HIV/AIDS yang sampai sekarang belum ada obatnya. ____________________________________________________________________ Author Gading Ekapuja Aurizki | [email protected] | Ners Unair 2010 (end) Page 3