Petani K ecil

advertisement
T ERSISIHKAN OLEH PARADIGMA P ERTUMBUHAN
Anton Sulistyo
SEJAK terjadinya krisis ekonomi beberapa bulan yang lalu, hampir semua variabel ekonomi makro
menunjukan gejala yang kurang baik. Salah satu yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat
adalah melemahnya nilai rupiah terhadap dollar, yang memicu membubungnya tingkat inflasi hingga
mendekati nilai 77% tahun 1998. Hal ini menyebabkan nilai absolut harga yang harus dibayar oleh
masyarakat untuk mencukupi kebutuhannya semakin tak terjangkau, apalagi oleh lapisan masyarakat
yang berpenghasilan rendah.
etani gurem adalah salah satu kelompok
masyarakat yang penghasilannya sangat paspasan. Kelompok ini tidak saja miskin asset
tetapi juga miskin akses. Gejolak ekonomi yang
terjadi beberapa bulan terakhir, mengaki-batkan
mereka semakin kesulitan karena pendapatan
usahataninya jauh dari mencukupi kebutuhan pokok
hidupnya. Belum lagi ditambah dengan kegagalan
panen musim tanam yang lalu dan pencabutan
subsidi pupuk akhir tahun ini. Bisa diramalkan,
bahwa sektor pertanian rakyat ini akan memberikan
kontribusi yang cukup besar pada pembengkakan
jumlah penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan.
Ironi Makro v s Mikro Ekonomi
Meski demikian, kajian wilayah mikro ini, pada
tingkat tertentu, ternyata berseberangan dengan
hasil kajian di tingkat makro. Pada saat
sektor
perindustrian
dan
perdagangan
mengalami
pertumbuhan minus, masing-masing minus 15,91%
dan minus 19,28%, sektor pertanian yang pada 30
tahun terakhir menunjukkan penurunan justru
mengalami pertumbuhan positif yaitu sebesar
0,43% (Kompas, 8/12/98).
Kontradiksi ini mengartikan bahwa angka agregat
pada telaah makro ekonomi tidak secara tepat
mengambarkan situasi riil petani di tingkat mikro .
Ini bukan hal yang baru. Pada tahun 1980 hingga
1984 Indonesia berhasil menciptakan rekor pada
produksi beras, namun pada saat yang sama pula
terjadi
masalah kekurangan gizi di beberapa
daerah seperti di Irian Jaya dan Gunung Kidul.
Yang ingin ditekankan adalah bahwa pemenuhan
target makro ekonomi (pertumbuhan ekonomi)
sebagai parameter keberhasilan pembangunan,
sebagaimana yang telah kita lakukan selama ini,
ternyata tidak berkorelasi positif dengan tingkat
pencapaian tujuan pembangunan itu sendiri, yakni
kesejahteraan rakyat yang utuh dan merata.
Masalahnya kemudian adalah salah satu variabel
makro ekonomi, yakni pertumbuhan telah menjadi
roh pembangunan, yang mengarahkan dan memberi
watak pembangunan. Segala sumberdaya, energi,
teknologi dan modal diarahkanuntuk mendukung
pengelolaan usaha-usaha yang berskala besar yang
relatif
cepat
memberikan
kontribusi
pada
pendapatan nasional. Sumberdaya yang ada pada
sektor
usaha
kecil
disedot
dalam
rangka
pengkonsentrasian ini. Akibatnya terjadi polarisasi
yang ekstrim dalam masyarakat, antara yang kaya
dan miskin. Proses pemiskinan pada mereka yang
tidak memiliki aset, semakin lama, apabila dibiarkan
akan semakin menjadi-jadi.
Pertanian : Sektor yang Dikorbankan
Sektor pertanian sebagai sektor andalan pada awal
Orde Baru
adalah salah satu sektor korban
paradigma pertumbuhan ini. Karena dikejar target
peningkatan produksi dan pendapatan sebesar 810% per tahun, pada Pelita I hingga Pelita III,
misalnya,
BIMAS (Bimbingan Massal) yang
seharusnya
dilakukan
dengan
memberikan
penyuluhan, dan pembuatan plot-plot demonstrasi,
berubah menjadi sebuah
program ‘komando’.
Target areal yang direncanakan di tingkat nasional,
direalisasikan ditingkat daerah dengan sistem
perintah, kalau tidak boleh di sebut sistem paksa.
Swasembada memang tercapai akhirnya, tetapi
kesejahteraan rakyat tetap masih menjadi sebuah
kesangsian.
Pada Pelita selanjutnya, seiring dengan masuknya
teknologi modern, pemerintah mulai lambat laun
mengubah
orientasi
pembangunannya
ke
sektor industri.
Pertama- Bisa diramalkan, bahwa
tama,
industri
yang sektor pertanian rakyat
dibangun adalah industri
ini akan memberikan
yang mendukung sektor kontribusi yang cukup
pertanian.
Tetapi, pada
besar pada
per-kembangan
selan- pembengkakan jumlah
jutnya,
industri
yang penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan.
WACANA No. 14/ Nopember - Desember 1998
dibangun justru menepikan keberadaan sektor
pertanian, khu-susnya pertanian tanaman pangan.
Gejala ini dapat dicermati dari semakin menurunnya luasan lahan pertanian karena dikonversi
menjadi areal industri. Pada tahun 1984, ketika
terjadi swasembada beras, luasan lahan pertanian
di pulau Jawa sekitar 5,5 juta hektar. Pada tahun
1993, luasan lahan pertanian di pulau ini menyusut
menjadi 4,6 juta hektar.
Terjadi
penyusutan
sebesar 0,9 juta hektar dalam sepuluh tahun. Angka
ini mengandaikan pula, terdapat sekian ratus atau
bahkan juta petani yang harus kehilangan
sebagian/seluruh asetnya, yang pada gilirannya
akan
mengurangi
pendapatan
dan
kesejahteraannya.
Paradigma pertumbuhan dalam beberapa waktu,
mampu mengantar kita meraih
peningkatan
pendapatan secara agregat, tetapi pada saat yang
lain juga mengantarkan kita meraih gelar “negara
miskin”setara negara-negara di Afrika, sebagaimana
yang di katagorikan oleh International Development
Association (IDA).
maka sejak Pelita I hingga Pelita V, pertanian selalu
mendapatkan jatah kredit yang lebih rendah
dibandingkan dengan sektor industri dan jasa.
Sebagai gambaran kondisi perkreditan dari tahun ke
tahun selama ini, dapat dilihat pada tabel.
Kalau tidak boleh dikatakan bahwa sektor pertanian
ditelantarkan, data seperti ini, sebagaimana
Mubyarto menyebutnya, hanya menjelaskan bahwa
sektor pertanian mempunyai daya serap investasi
kredit yang rendah dibanding sektor yang lain.
Maka wajar apabila sektor industri mampu
memberikan kontribusi yang tinggi terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional dibandingkan
dengan sektor pertanian.
Lemahnya sektor
pertanian dalam memberikan devisa kepada negara
inilah yang kemudian hari membuat sektor ini
semakin tersisihkan oleh sektor yang lain. Akibatnya
teknologi menjadi lambat berkembang, terjadi
migrasi sektoral tenaga kerja pertanian dan investasi
kredit tak pernah ditingkatkan.
Kecilnya proporsi kredit yang diberikan kepada sektor
pertanian, sebagaimana digambarkan dari tahun ke
tahun oleh tabel, pada gilirannya justru semakin
menghalangi perkembangan sektor ini. Apalagi jika
alokasi kredit pertanian tersebut dipisahkan lagi
menurut usaha skala besar dan skala kecil, maka
proporsi kredit untuk petani kecil menjadi semakin
sedikit. Padahal untuk membantu mengentaskan
petani
miskin
dibutuhkan
banyak
modal.
Sebagaimana yang diutarakan Boeke, bahwa
Kredit Pertanian : Kasus Kesalahan Paradigmatik
Kredit pertanian merupakan salah satu contoh kasus
korban kesalahan paradigmatik pilihan pertumbuhan
sebagai
motor
pembangunan
dibanding
pemerataan.
Sebagai
salah
satu
cara
pemberdayaan ekonomi petani, mestinya kredit
pertama-tama harus diletakkan dalam rangka usaha
peningkatan
kehidupan
petani
secara utuh, dan bukan demi
peningkatan
produksi
secara
Tahun
Pertanian
nasional
semata.
Jadi,
(%)
kesejahteraan petani yang pertama,
1971
8.1
dan pening-katan produk domes-tik
1976
15.5
1980
16.9
bruto pertanian prioritas berikutnya.
Industri
(%)
Jasa
(%)
Pertambangan dll
(%)
Total
(%)
58.5
36.9
34.1
31.2
32.2
42.1
44.7
25.5
1.2
5.5
4.3
35.7
100
100
100
100
1994
7.6
Kredit
dalam
pelak-sanaannya,
Sumber : 1971, 1976, 1980 dari Nota Keuangan 1982/1983, hal 134-135 dalam Mubyarto, 1994 dari
pertama-tama
ditujukan
untuk
data Meninvest dalam Media Indonesia, 24/11/98
kepentingan produksi.
Tujuan ini
konsep perkreditan bagi petani, sebaiknya terdiri dari
merupakan tujuan yang bersifat teknis ekonomis.
dua macam kredit, yaitu kredit ekonomi untuk
Tetapi tujuan teknis ekonomis ini, menjadi tujuan
keperluan
produksi dan kredit sosial untuk keperluan
antara dalam usaha meningkatkan pendapatan
konsumsi.
Ini berarti, bahwa jika jumlah modal yang
petani, dan kesejahteraan petani.
Hal ini seiring
diberikan
hanya
cukup untuk kredit ekonomi saja,
dengan tujuan pendirian kredit pertanian pada
maka kredit tersebut akan habis termakan untuk
awalnya, tahun 1896, untuk membantu petani dan
kepentingan
sehari-hari, bukan untuk produksi. Dan
gologan
berpendapatan
rendah
dalam
yang
tersisa
adalah tunggakan yang membebani
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya.
semua pihak, baik perbankan maupun petani.
Di Indonesia, sejak semula, kredit pertanian
Investasi modal (kredit) yang kecil bagi sektor
diberikan melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI).
pertanian ini, memang tidak pernah mencukupi
Dalam
melaksanakan
tugasnya,
BRI
selalu
kebutuhan
petani.
Sehingga mereka mencari
menghadapi dilema.
Di satu sisi, bank ini
alternatif-alternatif
sistem
kredit informal yang
mempunyai misi untuk menolong petani terutama
sekiranya
mampu
menyediakan
kebutuhannya.
yang berpenghasilan rendah. Tetapi di sisi lain,
Maka lahirlah sistem ijon, meski bunganya sangat
sebagai bank, BRI juga mempunyai tugas untuk
tinggi.
Syarat murah, bagi sistem ini memang tidak
memberikan pinjaman kepada kreditur yang aman
terpenuhi,
tetapi syarat mudah, dan cepat untuk
dan mempunyai jaminan. Karena dilema ini,
WACANA No. 14/ Nopember - Desember 1998
memenuhi
kebutuhan
rupanya
mendominasi pertimbangan petani.
yang
lebih
Mahal dan murahnya kredit bagi petani, tidak
ditentukan oleh ukuran obyektif tingkat suku bunga
dari pinjaman. Bagi petani, mahal atau murahnya
pinjaman diukur dari ketersediaan sumberdaya yang
dengan metode tertentu dapat digunakan untuk
mengembalikan pinjaman.
Meskipun bunga
pinjaman mereka sebesar 60% sebulan, namun
apabila petani memiliki pohon buah-buahan yang
lima bulan lagi panen,
dan pengijon mau
menerima pembayaran berupa pohon yang nyaris
panen itu, maka petani akan mengambil pinjaman.
Oleh karena itulah mengapa, sistem ijon nyaris tidak
dapat diberantas dikalangan petani-petani kecil dan
lembaga kredit formal sulit menyainginya, karena
sistem ini dirasa mampu menjembatani kebutuhan
petani.
Sebenarnya, sistem kredit formal yang dibuat oleh
pemerintah bisa saja mengantikan sistem tradisional
ini. Asal, sistem kredit formal di set-up sedemikian
hingga mampu melayani kebutuhan petani baik
pada dimensi waktu, maupun jumlah. Selain itu,
sistem formal juga harus mampu mengembangkan
cara-cara pembayaran alternatif sebagaimana yang
dilakukan oleh pengijon.
Kalau pengijon
memasang bunga tinggi, maka bunga yang relatif
rendah bisa menjadi keunggulan kompetitif dari
sistem kredit ini.
Seandainya sistem ini
dilaksanakan, konsekuensinya adalah diperlukannya
investasi yang sangat besar. Memang pengaruhnya
terhadap peningkatan pendapatan nasional belum
tentu tinggi, namun dalam konteks peningkatan
kesejahteraan petani, apabila dilakukan secara
konsisten sistem ini bisa sangat efektif.
Reformasi Paradigma
Selalu dan selalu, masalah pemberdayaan petani
terbentur dengan perhitungan pertumbuhan an sich.
Inilah yang keliru.
Pemerintah kita selalu
mengkaitkan keberhasilan programnya dengan
angka agregat ekonomi saja. Pada hal, bahkan
angka agregat ini, pertumbuhan ekonomi, justru
sesungguhnya tidak hanya dipengaruhi oleh
dimensi ekonomi saja. Douglas C. North, peraih
nobel pada tahun 1993 atas temuan ekonominya,
membuktikan bahwa sistem sosial adalah salah
satu faktor utama dalam membangun pertumbuhan
ekonomi sebagimana halnya dengan alokasi
sumberdaya ekonomi dan nilai tukar. Artinya bahwa
dengan
paradigma
pertumbuhan
pun,
pemberdayaan petani kecil sebagai entitas sosial
menjadi
variabel
yang
sangat
penting.
Terjaminnya kesejahteraan mereka, pada saatnya
akan
mampu
meningkatkan
produktifitas.
Peningkatan
produktifitas berarti peningkatan
pendapatan, dan peningkatan pendapatan berarti
pertumbuhan.
Dengan kata lain kesejahteraan
WACANA No. 14/ Nopember - Desember 1998
rakyat mestinya dipilih menjadi yang utama, dan
niscaya ia akan menjadi landasan yang kokoh bagi
pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengatasi kekeliruan tersebut, pertama-tama
yang perlu dilakukan sebelum merealisasikan
program adalah adanya reformasi paradigma.
Pertumbuhan ekonomi harus ditambah dengan
pemerataan dan keadilan. Bukan hanya angka
angka agregat ekonomi saja yang dikejar, tetapi
juga prioritas pemenuhan “quality of life” dalam
dimensi non ekonomi dari rakyat harus diutamakan.
Penjarahan yang baru saja terjadi di Blora (Kompas,
8/12/98), adalah sebuah akibat dari pilihan
paradigma kita yang salah selama ini. Petani kecil
itu telah termarginalkan oleh pertumbuhan. Mereka
adalah kelompok yang tidak banyak diperhatikan
karena mereka hanya sedikit memberi sumbangan
pendapatan
pada skala makro.
Mereka jatuh
karena harga-harga kebutuhan yang membubung
tak teratasi akibat inflasi. Dan kini mereka tertimpa
tangga dengan mahal dan langkanya pupuk. Padi
yang sudah saatnya ditebar dengan butir-butir
penyubur itu terancam gagal. Terang saja, ketika
perut mereka lapar, padi nyaris gagal dan mereka
merasa tidak diperhatikan, maka kesabaran itu pun
runtuh juga.
Kita tidak bisa memberikan pembenaran dengan
kasus ini, tetapi peristiwa tersebut menjadi sebuah
bahan perenungan tentang kesalahan-kesalahan
paradigmatis sejarah yang semestinya tidak perlu
terjadi.
Obsesi
pencapaian
keberhasilan
pembangunan yang kuantitatif justru membuat kita
meninggalkan segala aspek yang kualitatif. Apabila
hal demikian terus dipertahankan, maka petani kecil
itu akan selalu terpuruk dan tersisih
Pustaka :
1. Muby arto. 1994. Politik Pertanian dan Pemba-ngunan
Pedesaan. Penerbit Sinar Harapan. Jakarta.
2. _______.
Pengantar Ekonomi Pertanian. Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial
(LP3ES). Jakarta.
3. Sjahir, Dr. 1986. Ekonomi Politik Kebutuhan Po-kok :
sebuah tinjauan prospektif .
Lembaga Peneli-tian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES).
Jakarta
4. ________.
Kebijakan Negara : Konsistensi dan
Implementasi. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES). Jakarta.
5. Sekretariat Bina Desa. 1995. Ekonomi Raky at :
Antara Gagasan dan Realita. Sekretariat Bina Desa.
Jakarta.
Download