KEWENANGAN PENGADILAN MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN: Suatu Kajian Perbandingan di Indonesia dan Malaysia Tata Wijayanta Abstract The research aim toanalyse and compare the authority ofthe court tosettle bankruptcy cases in the judicial system in the two countries. The research ofThe Authority ofThe Courts to Settle Bankruptcy Disputes: a comparative analysis ofthe position in Indonesia and Malaysia is a qualitative research The data is obtained from library research in Indonesia and Malaysia The result demontrates the Malaysian judicial system has no special courts tosettle bankruptcy disputes. Bankruptcy disputes are within the authority the high court in which there is a special department that examines and settles bankruptcy disputes. In Malaysia, the high court has been formed in every states. Moreover, in a state with a large territory, there are two high courts, as consequence, there are twenty one high courts in Malaysia. In Indonesia, on theotherhand, the authority tosettlebankruptcy disputes in within specialcourt calledthe commercial court. The last court is formed within thw district court. Although everydistrict orcity has its own districtcourt, up to now there are only five commercialcourts. Keywords: bankruptcy, commercial court, high court. A. Pendahuluan perusahaan dan individuyang pailit. Ratusan 1. Latar Belakang Masalah Kepailitan menjadi isu yang mengemuka di Indonesia dan Malaysia ketika hampir di bank sebagian besar negara Asia ditimpa krisis ekonomi (Bhagwam Chowdhry dan Amit Goyal, 2000: 135). Krisis yang mulai pada pertengahan tahun 1997 memberikan akibat kepada jatuhnya pasaran saham serta terjadinya ketidakstabilan ekonomi. Keadaan ini mengakibatkan bertambahnya jumlah kasus kepailitan dan tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Internasional (International Monetery Fund (IMF))(Giancario Corsetti, Paolo Pesenti dan Nauriel Roubini, 1999: 305-306, Businessweek, 2001:3). Di Indonesia, krisis ekonomi tersebut telah memperburuk perekonomian negara (Bambang Kesowo, dim A. Rudhy Lontoh, Denny Kailimang & Benny Ponto, 2001: 99, World Bank, 1998:2, Erman Radjagukgukdlm A. Rudhy Lontoh, Denny Kailimang & Benny Ponto, 2001: 181), dan mengakibatkan turunnya nilai tukaran rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, yang awalnya 2.400.00 ru piah per 1 dollarAmerika Serikat (AS) menjadi 15.000.00 rupiah per 1 dollar AS pada waktu itu (Simon Johson, Peter Boone, Alasdair Breach, Eric Friedman, 2000: 152, Rahmi Jened, 2004:2). Krisis tersebut juga menyebabkan bertambahnya jumlah Yustisia Edisi Nomor 77 Mei - Agustus 2009 dan ribuan debitur diambilalih managemennya oleh pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) (S. Radeletdan J. Sachs, 1999:714). Sejumlah 398 perseroan terbatas (PT) yang diantaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak efisien dan selalu mendapatkan proteksi pemerintah jatuh dalam keadaan pailit (Todd Mitton, 2002:215), dan ini berakibat kepada bertambahnya angka pengangguran yang mencapai 40 juta orang (C. Manning, 2000:32). Dalam waktu yang sama, krisisekonomi tersebut juga terjadi di Malaysia. Meskipun efeknya tidak separah dengan yang terjadi di Indonesia, tetapi krisis ekonomi ini juga menyebabkan mata uang ringgitjatuh secara mendadak kepada tingkat yang paling rendah pada waktu itu, yakni 3.50 ringgit Malaysia per 1 dollar AS (Simon Johson, Peter Boone, Alasdair Breach, Eric Friedman, 2000:171, Suara Merdeka, 2002:1). Merosotnya nilai ringgit Malaysia dibandingkan mata uang Amerika Serikat ini terjadi karena desakan kepentingan keuangan dari dalam dan luar negeri. Sebagian besar negara di Asia initelah mengikat mata uang mereka kepada dollarAS. Walaupun nilai ringgit Malaysia konon naik turun mengikuti pasaran, tetapi sebenarnya, nilainya tinggi mengikuti nilai dollar AS sejak tahun 1980-an. Pada saat nilai dollar AS Kewenangan Pengadilan Menyelesaikan... 47