BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Upaya pemerintah dalam mengelola masalah-masalah di bidang
ketenagakerjaan selalu berasaskan semangat tripartisme. Semangat ini
diwujudkan dengan membentuk lembaga kerjasama yang bersifat tripartit
yang anggotanya berasal dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan
serikat pekerja/serikat buruh dimana terdapat pada tingkat nasional,
provinsi, maupun kabupaten/kota. Tujuan daripada kelembagaan tersebut
adalah memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah
dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan.
Untuk mencapai tujuan tersebut lembaga kerja sama ini harus1:
1.
Mengadakan konsultasi dengan pemerintah, organisasi pekerja/buruh,
organisasi pengusaha dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya;
2.
Mengolah keinginan-keinginan, saran-saran, usul-usul, dan konsepsi
pemerintah, pekerja/buruh, dan pengusaha;
3.
Membina
kerja
sama
sebaik-baiknya
dengan
pemerintah,
pekerja/buruh, dan pengusaha dalam memberikan bantuan kepada
1
Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.33
2
penyelenggaraan tugas pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan
khususnya dan sosial ekonomi pada umumnya;
4.
Membuat keputusan bersama yang dapat dijadikan pedoman bagi
ketiga pihak.
Sebagai wujud nyata pemerintah kepada masyarakat luas
khususnya untuk unsur pekerja dan unsur pengusaha serta masyarakat
internasional dalam upaya menangani masalah ketenagakerjaan ialah
dengan meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor
144 mengenai Konsultasi Tripartit Untuk Meningkatkan Pelaksanaan
Standar Perburuhan Internasional (International Labour Convention 144
Concerning Tripartite Consultations to Promote the Implementation of
International Labour Standards) melalui Keppres No. 26 tahun 1990.
Salah satu agenda yang rutin dilakukan setiap tahun terkait dengan
kebijakan
dan
masalah
ketenagakerjaan
adalah
membahas
sistem
pengupahan dalam penetapan upah minimum. Proses ini melibatkan unsur
pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan
tinggi, dan pakar yang tergabung dalam lembaga dewan pengupahan. Dalam
perumusan upah minimum sering kali mengalami jalan buntu (deadlock)
dan unjuk rasa di berbagai wilayah untuk menuntut penetapan upah yang
layak selama satu tahun ke depan.
Upah minimum yang telah disepakati bersama ditetapkan oleh
gubernur untuk wilayah provinsi dan oleh bupati/walikota untuk wilayah
kabupaten/kota,
dengan
memperhatikan
rekomendasi
dari
Dewan
3
Pengupahan provinsi atau kabupaten/kota. Penetapan upah minimum
merupakan kebijakan pemerintah yang dimaksudkan untuk melindungi
pekerja, sehingga pengusaha dilarang membayar upah pekerja lebih rendah
dari upah yang telah ditetapkan untuk masing-masing wilayah provinsi atau
kabupaten/kota.
Upah minimun ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak
pekerja di suatu wilayah. Sebagaimana amanah dalam Pasal 88 UU No. 13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
pekerja/buruh
berhak
memperoleh
menyatakan
penghasilan
bahwa
yang
setiap
memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Adapun yang dimaksud dengan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah
penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara
wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan,
pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
Upah minimum sebenarnya hanya berlaku bagi pekerja yang
memiliki masa kerja kurang dari satu tahun.2 Di dalam pelaksanaanya tidak
sedikit pengusaha membayar upah minimum kepada pekerja yang telah
bekerja bertahun-tahun dan sudah berkeluarga. Hal ini sangat memberatkan
beban hidup yang ditanggung oleh pekerja. Pengupahan yang baik adalah
pengupahan yang mampu menghargai orang berdasarkan masa kerjanya dan
berdasarkan prestasinya. Dengan sistem pengupahan yang baik di
2
Asri Wijaya, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.105
4
perusahaan, akan memberikan prospektif kepada pekerja untuk mendorong
mereka untuk bekerja secara produktif, karena adanya jaminan dan harapan
bagi kesejahteraan masa depannya yang sangat jelas.3
Hak untuk menerima upah bagi pekerja timbul pada saat adanya
hubungan kerja dengan pengusaha. Hubungan kerja tersebut direalisasikan
dalam proses memproduksi barang atau jasa di perusahaan. Pengusaha
wajib memberikan upah kepada pekerja paling sedikit upah minimum yang
telah ditentukan oleh peraturan gubernur tadi. Di sisi lain, upah minumum
yang telah ditetapkan terkadang menimbulkan kesulitan bagi pengusaha
yang memiliki tingkat produktivitas rendah. Tidak sedikit pengusaha
terpaksa membayar upah pekerja lebih rendah dari upah minimun sesuai
dengan kemampuan perusahaan.
Pada dasarnya antara pekerja dan pengusaha mempunyai
persamaan
kepentingan
yaitu
kelangsungan
hidup
dan
kemajuan
perusahaan, tetapi dibalik persamaan kepentingan tersebut terdapat maksud
lain yang berpotensi terjadi konflik. Pekerja selalu menuntut kesejahteraan
dari pengusaha melalui pembayaran upah yang tinggi. Pengusaha pun
memperlakukan pekerja seperti sapi perah guna meningkatkan produktivitas
dan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pekerja merasa bahwa hak-haknya sebagai pekerja belum dapat
dipenuhi oleh pengusaha. Pengusaha juga merasa bahwa telah menunaikan
kewajibannya terkait dengan upah sesuai dengan produktivitas dan
3
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.42
5
kemampuan perusahaan. Hal demikian dapat menyebabkan perselisihan
hubungan industrial karena tidak dipenuhinya hak sebagai pekerja. Dalam
kondisi perusahaan yang baik, pengusaha wajib memenuhi setiap hak-hak
pekerja yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Tidak sedikit pula bagi pengusaha yang mengalami masalah
kondisi keuangan yang buruk mengabaikan aturan perundang-undangan
khususnya membayar upah yang disesuaikan dengan kondisi keuangan
perusahaan.
Hak normatif pekerja telah dilindungi dalam undang-undang dan
wajib dipenuhi oleh pengusaha. Setidaknya hak normatif tersebut dapat
diklasifikasikan menjadi:4
1.
Hak yang bersifat ekonomi, misalnya upah, tunjangan hari raya
(THR), tunjangan hari tua, fasilitas perumahan;
2.
Hak yang bersifat politis, misalnya membentuk serikat pekerja/serikat
buruh, hak menjadi atau tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh, hak mogok, hak tidak diskriminatif;
3.
Hak yang bersifat medis, misalnya hak atas keselamatan dan
kesehatan kerja, hak melahirkan, hak istirahat, hak menyusui anak,
hak atas jaminan pemeliharaan kesehatan, larangan mempekerjakan
anak;
4.
Hak yang bersifat sosial, misalnya hak cuti, kawin, libur resmi,
pembatasan pekerjaan anak dan perempuan pada malam hari.
4
Pitaya, 2014, Sistem Peradilan Khusus, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Kampus
Jakarta, hlm.1
6
Penyelesaian perselisihan hak antara pekerja dan pengusaha wajib
terlebih dahulu diselesaikan secara musyawarah. Namun, dalam UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perselisihan hak ini bukan saja
merupakan perselisihan keperdataan antara pekerja dan pengusaha,
melainkan juga menjadi tindak pidana kejahatan manakala pengusaha
membayar upah lebih rendah dari upah minimun.
Pada kasus dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian di
UD Terang Suara yang berlokasi di Surabaya. Penulis mengangkat kasus
pelanggaran hukum oleh pengusaha dalam pembayaran upah di bawah upah
minimum yang diadili oleh Pengadilan Negeri Surabaya.
Kasus ini bermula pada tahun 2008 ketika UD Terang Suara yang
diwakili oleh Tjioe Christina Chandra membayar kepada pekerjanya dengan
upah di bawah upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah
Provinsi Jawa Timur. Hal ini membuat pekerja keberatan dengan upah yang
diterimanya.
Kemudian
Tjioe
Christina
Chandra
mengupayakan
permasalahan tersebut untuk diselesaikan secara musyawarah. Musyawarah
yang dilakukan pun tidak mencapai kesepakatan dan pekerja mengadukan
Tjioe Christina Chandra kepada Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya.
Kemudian Dinas Tenaga Kerja Kota Surabaya melakukan penyidikan
terhadap kasus tersebut dan setelah berkas dinyatakan lengkap kemudian
diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk melakukan penuntutan.
Tjioe Christina Chandra telah didakwa melakukan tindak pidana
dengan cara membayar upah di bawah upah minimum kepada pekerjanya
7
sehingga perbuatannya melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 90
ayat (1) jo Pasal 185 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
Atas perkara tersebut, pada tanggal 31 Januari 2011, Pengadilan
Negeri
Surabaya
mengeluarkan
putusan
dengan
nomor
1397/Pid.B/2010/PN.Sby yang amar putusannya sebagai berikut:
1.
Terdakwa Tjioe Christina Chandra, tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan
bersalah
melakukan
tindak
pidana
sebagaimana
didakwakan jaksa penuntut umum pada dakwaan kesatu dan kedua;
2.
Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari seluruh dakwaan jaksa
penuntut umum (vrijspraak);
3.
Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya;
4.
Membebankan biaya perkara kepada Negara.
Sebagaimana isi putusan Pengadilan Negeri Surabaya di atas,
akhirnya jaksa penuntut umum mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung. Atas pemeriksaan kasasi tersebut, pada tanggal 05
Desember 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan dengan nomor
687K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan bahwa Tjioe Christina Chandra
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“membayar upah lebih rendah dari upah minimum” berdasarkan pada
wilayah kota atau provinsi dan menjatuhkan pidana terhadap Tjioe Christina
8
Chandra dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun serta menjatuhkan
pidana denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
Dari uraian kronologi kasus tersebut, penulis melihat adanya
dualisme dalam proses penyelesaian perselisihan hak di UD Terang Suara
terkait dengan permasalahan upah minimum sehingga mengakibatkan
kurang terciptanya kepastian hukum dan merugikan salah satu pihak.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji kasus ini
lebih dalam sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan yang
terjadi dalam penyelesaian perselisihan hak di UD Terang Suara Surabaya.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
penulis membatasi perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1.
Apa yang menjadi penyebab timbulnya perselisihan hak antara pekerja
dan pengusaha di UD Terang Suara?
2.
Bagaimana upaya penyelesaian perselisihan hak antara pekerja dan
pengusaha di UD Terang Suara?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan daripada penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui dan mengkaji penyebab timbulnya perselisihan hak
antara pekerja dan pengusaha di UD Terang Suara.
2.
Untuk mengetahui dan mengkaji upaya penyelesaian perselisihan hak
antara pekerja dan pengusaha di UD Terang Suara.
9
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat daripada penelitian ini adalah:
1.
Dari segi teoritis diharapkan penelitian ini akan menambah dan
memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum,
khususnya dalam bidang hukum ketenagakerjaan
2.
Dari segi praktis, sebagai masukan kepada pelaku hubungan industrial
dan para penegak hukum dalam penyelesaian perselisihan hubungan
industrial berupa perselisihan hak antara pekerja dan pengusaha.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengetahuan dan penelurusan kepustakaan yang
dilakukan di Universitas Gadjah Mada bahwa ada beberapa penelitian lain
yang dilakukan sebelumnya membahas masalah penyelesaian perselisihan
hubungan industrial sebagai contoh penelitian dengan judul Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Yogyakarta oleh Mishbahul Munir pada tahun
2007. Penelitian tersebut mengambil permasalahan tentang:
1)
Bagaimana pelaksanaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Yogyakarta?
2)
Hambatan/kendala
apa
saja
yang terjadi
dalam
pelaksanaan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Yogyakarta?
10
3)
Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan/kendala
yang terjadi dalam pelaksanaan penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Yogyakarta?
Penelitian sebagaimana disebut di atas tidak secara spesifik
membahas tentang penyelesaian perselisihan hak antara pekerja dan
pengusaha khususnya penyelesaian perselisihan hak antara pekerja dan
pengusaha yang terjadi di UD Terang Suara Surabaya sehingga penelitian
mengenai Penyelesaian Perselisihan Hak Antara Pekerja dan Pengusaha di
UD Terang Suara sampai sekarang belum pernah dilakukan oleh peneliti
lain. Dengan demikian, penelitian ini dianggap dapat memenuhi kaedah
keaslian penelitian.
Download