BAB II LANDASAN TEORI A. RESILIENSI 1. Definisi Resiliensi

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. RESILIENSI
1. Definisi Resiliensi
Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan
beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat
menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadiankejadian traumatis (O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987).
Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The
Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi
dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich.
K & Shatte. A, 2002 ).
Menurut Jackson (2002) resiliensi adalah kemampuan individu untuk
dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit.
Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memilki makna yang luas dan
beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam
hidup, dan menahan stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan
tugas sehari-hari. Dan yang paling utama, resiliensi itu berarti pola adaptasi yang
positif atau menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (Masten & Gewirtz,
2006).
Universitas Sumatera Utara
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit
kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) dalam bukunya
The Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi
adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level
yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari
keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama
dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan
tanpa melakukan kekerasan.
Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk
menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya.
Grotberg mengatakan bahwa resiliensi bukanlah hal magic dan tidak hanya
ditemui pada orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang
tidak diketahui.
Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat
disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan
tidak menyerah pada keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha
untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari
keadaan tersebut dan menjadi lebih baik.
2. Fungsi resiliensi
Penelitian tentang resiliensi hanya mencakup bidang yang kecil dan
digunakan oleh beberapa profesional seperti psikolog, psikiater, dan sosiolog.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian mereka berfokus pada anak-anak, dan mengungkapkan kepada kita
tentang karakteristik orang dewasa yang resilien (Reivich. K & Shatte. A, 2002).
Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan
resiliensi untuk hal-hal berikut ini (dalam Reivich & Shatte, 2002):
a.
Overcoming
Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan, masalah-
masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh
karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari kerugiankerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang
menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan
kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan
bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.
b.
Steering through
Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah,
tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang
resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi
setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif
terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta
mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan
hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through
dalam stres yang bersifat kronis adalah self-efficacy yaitu keyakinan terhadap diri
Universitas Sumatera Utara
sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan
berbagai masalah yang muncul.
c.
Bouncing back
Beberapa kejadian
merupakan
hal
yang
bersifat
traumatik
dan
menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih
tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang
dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan
resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi
biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri.
Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan
tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka
mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan
mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari
trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk
mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.
d.
Reaching out
Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau
menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman
hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar
pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini
melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang
terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan
tujuan dalam kehidupan mereka.
Universitas Sumatera Utara
3. Aspek-aspek resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :
a.
Emotion Regulation
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi
yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami
kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini
bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana
adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang
marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang
dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin
kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang
yang pemarah (Reivich & Shatte, 2002).
Tidak semua emosi yang dirasakan oleh individu harus dikontrol. Tidak
semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal ini
dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif
maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat, bahkan kemampuan
untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi
(Reivich & Shatte, 2002).
Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang
dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang
(calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini akan membantu
Universitas Sumatera Utara
individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran
individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang
dialami oleh individu.
b. Impulse Control
Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich & Shatte, 2002), penulis dari
Emotional Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam
pengendalian impuls. Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak kecil yang
berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut masingmasing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada masing-masing ruangan
tersebut telah terdapat peneliti yang menemani anak-anak tersebut. Masingmasing peneliti telah diatur untuk meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa
selang waktu. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah
marshmallow untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan
apabila mereka dapat menahan untuk tidak memakan marshmallow tersebut
sampai peneliti kembali ke ruangan , maka mereka akan mendapatkan satu buah
marshmallow lagi.
Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak
tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan
Marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik
dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich & Shatte,
2002).
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri
Universitas Sumatera Utara
(Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan pengendalian
impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya
mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku
mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya
perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang
nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan
orang lain.
Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya
kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada
permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002), pencegahan dapat
dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi
kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya
sendiri, seperti ‘apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi
berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat
permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan
kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor
Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki
skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte,
2002).
Universitas Sumatera Utara
c.
Optimism
Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah
ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002).
Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu
tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan selfefficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia
mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya.
Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi
dengan self-efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang
individu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja
keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).
Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis
(realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan
yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut.
Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang
cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya.
Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi
dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
d.
Causal Analysis
Causal
analysis
merujuk
pada
kemampuan
individu
untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka
hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat
kesalahan yang sama.
Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya
berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis
yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga
dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan
pervasive (semua-tidak semua).
Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan
keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya),
hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta
permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua).
Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak
semua” meyakini bahwa permasahalan yang terjadi disebabkan oleh orang lain
(Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak
Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar
hidupnya (Tidak semua).
Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep
resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua”
tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.
Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selaluTidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan
untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Universitas Sumatera Utara
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibelitas kognitif.
Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan
kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir
explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif.
Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang
mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari
rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar
kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh
pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang
ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich &
Shatte, 2002).
e.
Empathy
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca
tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte,
2005). Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain,
seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa
yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang
memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
positif (Reivich & Shatte, 2002).
Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam
hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu-individu yang tidak
membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut
Universitas Sumatera Utara
tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa
yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain.
Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang
lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun
hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk
dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung
mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu
menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte,
2002).
f.
Self-efficacy
Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-
efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan
masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal
yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).
g.
Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari
sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga
merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah
kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini
dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin
menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah individu-
Universitas Sumatera Utara
individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus
meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan
hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk berlebihlebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat
terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk
mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.
4. Sumber-sumber Resiliensi
Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi
yaitu
sebagai berikut :
a. I Have ( sumber dukungan eksternal )
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu.
Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah
yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga.
Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.
Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan
teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.
Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah
yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak
dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima
konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan
tersebut. Ketika mereka melanggar aturan, mereka butuh seseorang untuk
Universitas Sumatera Utara
memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan
hukuman.
Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan
dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri.
Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan
sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang.
Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan
“berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus
bergantung pada orang lain.
Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini
akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak.
b. I Am ( kemampuan individu )
I am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan
tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.
Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang
menarik dan penyayang sessama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka
untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap
perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.
Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian
yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli
mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan
Universitas Sumatera Utara
ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha
membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka
sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka
mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan
membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka merasa mandiri
dan cukup bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan
kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang
telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.
Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka
percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki
kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.
c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )
I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan
interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan
semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.
Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga
dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka
dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam
perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk
Universitas Sumatera Utara
memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada
hal-hal yang tidak baik.
Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain.
Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan
untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam
situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk
meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara
untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.
B. Penyalahgunaan Zat
1. Defenisi Penyalahgunaan Zat
Menurut DSM, peyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang
yang menghasilkan konsekuensi yang merusak. Konsekuensi yang merusak bisa
termasuk kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab utama seseorang (misalnya:
sebagai pelajar, sebagai pekerja, atau sebagai orang tua), menempatkan diri dalam
situasi di mana penggunaan zat secara fisik berbahaya (contoh mencampur
minuman dan penggunaan obat), berhadapan dengan masalah hukum berulang
kali yang meningkat karena penggunaan obat. Memiliki masalah sosial atau
interpersonal yang kerap muncul karena pengunaan zat (contoh: berkelahi karena
mabuk) (Greene, Rhatus dan Nevid, 2003).
Menurut Sarafino (2006) dalam kata “drug” memiliki pengertian berbagai
macam zat, termasuk obat yang prescription atau nonprescription yang
dikonsumsi individu dalam tubuh mereka.
Universitas Sumatera Utara
Istilah yang berasal dari terjemahan asing seperti substace abuse dan
substance dependence dikalangan awam dikenal dengan istilah narkoba yang
merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Ada istilah lain yaitu
NAPZA yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
Berbagai istilah yang sering digunakan tidak jarang menimbulkan salah
pengertian tidak saja dikalangan medis tapi juga masyarakat awam (Hawari
2005). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah narkoba.
2. Jenis-jenis Zat
Menurut Greene, Rhatus dan Nevid (2003) dalam bukunya yang berjudul
“Psikologi Abnormal” terdapat beberapa jenis obat yang sering disalahgunakan,
yang pada umumnya digolongkan dalam tiga kelompok besar, yaitu:
1. Depresan
Depresan adalah obat yang menghambat atau mengekang sistem saraf
pusat. Obat tersebut mengurangi perasaan tegang dan cemas, menyebabkan
gerakan menjadi lebih lambat, dan merusak proses kognitif. Dalam dosis tinggi
depresan dapat menahan fungsi vital dan menyebabkan kematian. Beberapa tipe
depresan adalah sebagai berikut :
a. Alkohol
Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa alkohol bukanlah obat,
mungkin karena alkohol sangat populer, atau mungkin karena alkohol diminum
bukannya dihisap atau disuntikkan. Namun minuman yang mengandung alkohol
seperti anggur, bir dan minuman keras lain mengadung depresan yang disebut etil
Universitas Sumatera Utara
alkohol (etanol). Konsentrasi obat bervariasi tergantung tipe minuman (anggur
dan bir mengandung lebih sedikit alkohol pada setiap ons-nya dibanding rye, gin,
atau vodka). Alkohol digolongkan sebagai obat depresan karena efek
biokimiawinya serupa dengan golongan obat penenang minor. Kita dapat
menganggap alkohol sebagai tipe obat penenang yang dapat dibeli tanpa resep
dokter.
b. Opioid
Opioid adalah obat narkotik, istilah yang digunakan untuk obat adiktif
yang memiliki kemampuan melepaskan rasa sakit dan menyebabkan tidur. Opioid
terdiri dari opiat yang tumbuh secara alami (morfin, heroin, kodein) yang berasal
dari sari tanaman poppy dan juga obat sintesis (demerol, percodan, darvon) yang
dibuat dilaboratorium sehingga memiliki efek seperti opiat.
Opioid menghasilkan perasaan nikmat yang cepat dan intens, yang
menjadi alasan utama dibalik popularitasnya sebagai obat jalanan. Opioid juga
menumpulkan kesadaran seseorang akan masalah pribadinya, dimana hal tersebut
menarik bagi orang yang mencari pelarian mental dari stres.
c. Morfin
Morfin (morphine) yang memperoleh namanya dari Morpheus, dewa
mimpi Yunani, diperkenalkan pada sekitar perang sipil Amerika Serikat. Morfin,
turunan opium yang kuat, digunakan secara bebas untuk mengurangi rasa sakit
akibat terluka. Ketergantungan fisiologis pada morfin dikenal sebagai “penyakit
tentara”. Hanya ada sedikit stigma yang dilekatkan pada ketergantungan hingga
saat morfin menjadi zat yang dilarang.
Universitas Sumatera Utara
d. Heroin
Heroin, opiat yang paling luas digunakan, merupakan depresan yang kuat
yang dapat menciptakan euforia yang cepat. Pengguna heroin menyatakan bahwa
heroin sangat nikmat sehingga dapat menghilangkan segala pikiran tentang
makanan atau seks.
2. Stimulan
Stimulan adalah zat psikoaktif yang meningkatkan aktivitas sistem saraf.
Efeknya agak berbeda antara obat yang satu dengan obat yang lainnya, namun
sejumlah stimulan menyebabkan perasaan euforia dan self-confidence. Sebagian
dari
stimulan
bahkan
dapat
meningkatkan
tersedianya
neurotransmiter
norepinefrina dan dopamin pada otak. Dengan demikian, neurotransmiter ini tetap
tersedia dalam level yang tinggi dalam simpul sinaptik antara neuron-neuron,
menjaga aktivitas sistem saraf tetap tinggi dan kondisi keterangsangan tinggi.
Beberapa tipe stimulan adalah sebagai berikut :
a. Amfetamin
Amfetamin merupakan golongan stimulan sintesis. Nama jalanan untuk
stimulan ini termasuk speed, upper, bennies, (di Indonesia disebut shabu-shabu).
Amfetamin digunakan dalam dosis tinggi karena menghasilkan euforia secara
cepat. Sering digunakan dalam bentuk pil atau dihisap dalam bentuk murni.
Beberapa
pengguna
menyuntikkan
mentamfetamin
berhari-hari
untuk
mempertahankan perasaan “melayang” yang lebih lama.
Universitas Sumatera Utara
b. Ekstasi
Obat ekstasi adalah obat terlarang yang keras, tiruan murahan yang
struktur kimianya mirip dengan amfetamin (Braun, 2001). Ekstasi menghasilkan
euforia ringan dan halusinasi dan terus bertambah penggunanya di kalangan anak
muda, terutama di kampus dan klub malam serta pesta-pesta riuh dibanyak kota.
c. Kokain
Kokain adalah stimulan natural yang disuling dari daun tanaman coca.
Telah lama diyakini bahwa kokain tidak menyebabkan adiksi secara fisik. Namun,
bukti-bukti menunjukkan adanya ciri adiktif dari obat tersebut, yaitu
menghasilkan efek toleransi dan sindrom putus zat yang dapat di identifikasi,
yang ditandai oleh mood yang depresif dan gangguan dalam tidur serta selera
makan.
d. Nikotin
Kebiasaan merokok bukan cuma kebiasaan yang buruk, tetapi juga
merupakan bentuk adiksi fisik terhadap obat stimulan, nikotin, yang ditemukan
dalam produk tembakau termasuk rokok , cerutu, dan tembakau tanpa asap.
Merokok atau penggunaan tembakau lainnya merupakan sarana memasukkan obat
ke tubuh.
3. Halusinogen
Halusinogen juga dikenal sebagai psychedelics, merupakan golongan obat
yang menghasilkan distorsi sensori atau halusinasi, termasuk perubahan besar
dalam persepsi warna dan pendengaran. Halusinogen dapat juga memberikan efek
Universitas Sumatera Utara
tambahan seperti relaksasi dan euforia, atau, pada beberapa kasus menyebabkan
panik. Beberapa jenis halusinogen adalah :
a. LSD ( lysergic acid diethylamide)
Merupakan singkatan dari lysergic acid diethylamide, obat halusinogen
sintesis. Sebagai tambahan terhadap munculnya parade warna yang terang dan
distorsi visual yang dihasilkan LSD, pengguna menyatakan LSD “memperluas
kesadaran” dan membuka dunia baru seolah-olah melihat suatu kenyataan yang
melampaui kenyataan yang biasa.
b. Phencylidine
Phencylidine
atau
PCP
yang
dikenal
sebagai
“debu
malaikat”
dikembangkan sebagai anastetik pada tahun 1950-an namun tidak diteruskan
karena efek samping halusinasi obat.
c. Mariyuana
Mariyuana berasal dari tanaman canabis sativa. Mariyuana kadang
menghasilkan halusinasi ringan, sehingga dianggap sebagai halusinogen minor.
3.Faktor- faktor yang Menyebabkan Individu Menggunakan Zat
Sarafino (2002) dalam bukunya “health psychology” penyalahgunaan
drug menjadi salah satu permasalahan yang cukup serius dibanyak Negara didunia
ini. Alasan seseorang dengan orang lainnya dalam mengunakan drug itu berbedabeda. Perbedaan umur, jenis kelamin, dan sosial budaya dalam mengunakan drug.
Jika kita menelusuri mengapa remaja bisa mengunakan drug , alasannya hampir
serupa dengan awal mereka minum minuman keras dan merokok. Mereka
Universitas Sumatera Utara
mungkin saja melihat dari orang tua mereka, teman sebaya, ataupun artis artis
terkenal sehingga mereka juga menjadi tertarik untuk mengunakannya, model
behavior dan attitudes bisa menjadi pemicu penggunaan drug.
Pada awal penggunaan drug dan bila mereka merasa perasaan mereka
lebih baik maka ini bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penggunaan
bisa berkelanjutan pada akhirnya bisa menyebabkan ketergantungan (Barret,
1985), banyak orang-orang mengakui bahwa penggunaan obat itu dapat
mengurangi tegangan dan tekanan. Dengan kata lain drug memiliki efek yang
kuat. Kemudian apabila penggunaan terus dilanjutkan maka akan menghasilkan
kondisi yang membuat pemakai untuk mengunakannya lagi atau kecanduan
(Childress, 1996; Robinson& Berridge, 2003).
Mengapa seseorang yang awalnya hanya menggunakan drug bisa menjadi
pecandu? Menurut Brook (1986) kepribadian seseorang juga berpengaruh dalam
hal ini, dibandingkan dengan individu yang tidak mengunakan drug biasanya
mereka suka menentang, menuruti kata hati, menerima perlakuan yang tidak layak
mereka berorientasi dengan cara mencari sensasi dan mereka cenderung kurang
bersosialisasi dan kurang memiliki komitmen dalam hal keagamaan.
Menurut Buntje Harboenangin (dalam Yatim, 1986) ada beberapa faktor
yang menyebabkan individu mengkonsumsi narkoba. Pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Pertama, sebab-sebab yang berasal dari
faktor individual dan kedua sebab-sebab yang berasal dari lingkungannya. Faktor
individual yaitu meliputi :
Universitas Sumatera Utara
a. Kepribadian
Kepribadian individu memiliki peranan yang besar dalam penyalahgunaan
narkoba. Individu yang memiliki kepribadian yang lemah (mudah kecewa, tidak
mampu menerima kegagalan) lebih rentan terhadap penyalahgunaan narkoba
dibandingkan dengan individu yang memilki kepribadian yang kuat (individu
yang mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, berani mengatakan
tidak, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain).
b. Inteligensi
Dalam konseling sering dijumpai bahwa kecerdasan pemakai narkoba
lebih banyak berada pada taraf rata-rata dan dibawah rata-rata kelompok
seusianya.
c. Usia
Mayoritas pemakai narkoba adalah kaum remaja. Hal ini disebabkan
karena kondisi sosial psikologis yang butuh pengakuan, identitas dan kelabilan
emosi sementara individu yang berada pada usia lebih tua menggunakan narkoba
sebagai penenang.
d. Dorongan kenikmatan
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Perasaan
enak mulanya diperoleh dari mulai coba-coba lalu lama-lama akan menjadi suatu
kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
e. Perasaan ingin tahu
Rasa ingin tahu adalah kebutuhan setiap orang. Proses awal terbentuknya
seorang pemakai diawali dengan coba-coba karena rasa ingin tahu, kemudian
menjadi iseng, menjadi pemakai tetap dan pada akhirnya akan menjadi seorang
pemakai tergantung.
f. Memecahkan persoalan
Kebanyakan para pemakai menggunakan narkoba untuk menyelesaikan
persoalan. Pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran pemakai dan
membuatnya lupa pada persoalan yang dialaminya.
Faktor lingkungan :
a. Ketidakharmonisan keluarga
Banyak pemakai yang berasal dari keluarga yang broken karena
keputusasaan dan kecewa maka pemakai terdorong untuk mencari dunianya yang
lain yaitu menggunakan narkoba sebagai pelarian.
b. Pekerjaan
Pada umumnya pemakai mengunakan narkoba karena mereka lebih mudah
memperoleh narkoba tersebut mengggunakan uang yang mereka peroleh dari hasil
mereka bekerja.
c. Kelas sosial ekonomi
Umumnya pemakai berasal dari sosial ekonomi menengah ke atas. Hal ini
mungkin terjadi karena mereka mudah mendapatkan informasi dan relatif
memiliki uang yang cukup untuk membeli narkoba.
Universitas Sumatera Utara
d. Tekanan kelompok
Kebanyakan pemakai mulai mengenal narkoba dari teman sekelompoknya.
Bila kelompok pemakai narkoba menekankan anggotanya berbuat hal yang sama
maka penolakan terhadap tekanan tersebut dapat mengakibatkan anggota yang
menolak akan dikucilkan dan akan dikeluarkan dari kelompok.
C. Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam
Hal Penyalahgunaan Zat
Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The
Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi
dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich.
K & Shatte. A, 2002 ). Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan
untuk bangkit kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005)
dalam bukunya The Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud
dengan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan
hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan,
bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara
yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi
permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Universitas Sumatera Utara
Mahasiswa dalam menjalani tahun pertama masa perkuliahan dihadapkan
dengan berbagai persoalan yang menyebabkan stres. Dimana hal ini bisa menjadi
pemicu bagi mahasiswa untuk terjerumus kedalam penggunaan narkoba..
Transisi seseorang dari SMA kemudian masuk kedunia kampus atau
menjadi seorang mahasiswa dapat menimbulkan stres bagi individu tersebut.
Mereka yang biasanya tinggal bersama dengan keluarga, budaya yang dianut sejak
kecil, bahasa sehari-hari, dan dengan komunitasnya. Harus pindah kelingkungan
yang baru, jauh dari keluarga, bergabung dengan budaya yang mereka belum tahu
aturan yang terdapat didalamnya, yang mereka temukan ditempat tinggalnya yang
baru. Ditambah lagi mereka harus meninggalkan lingkungan akademisnya, yang
dimana mereka telah sukses, dan kemudian bergabung dengan komunitas pelajar
yang baru, yang menuntut skill akademik dan dasar pengetahuan yang sangat
berbeda dengan apa yang mereka jalani dibangku SMA (Magolda dalam
Mc.Gillin, 2003).
Hal tersebut tentunya memberi tekanan terhadap mahasiswa. Sehingga
menuntut mereka untuk mencari kelompok yang baru. Presley, Leichliter, &
Meilman
(1999)
mengatakan
bahwa
hasil
survey
nasional
terhadap
penyalahgunaan alkohol dan narkoba pada tahun pertama masa perkuliahan
adalah dikarenakan faktor stres yang dialami oleh mahasiswa tersebut, sehingga
mereka menggunakan alkohol dan narkoba untuk mencari dan membangun
dukungan sosial dengan teman (dalam Mc.Gillin, 2003).
Tentu saja, tidak semua mahasiswa di kampus atau mahasiswa yang
tinggal bersama dengan mahasiswa lain, akan berpikir untuk menggunakan
Universitas Sumatera Utara
narkoba. Pengaruh teman sebaya tidak selalu menjadi hal yang negatif. Tekanan
dari teman sebaya untuk menggunakan narkoba atau tidak, tergantung pada posisi
seseorang dalam kelompok, atau orientasinya berada dikelompok tersebut
(Oetting & Beauvais,1986).
Dari sekian banyak mahasiswa yang terhanyut dalam narkoba, masih
banyak juga mahasiswa yang bertahan untuk tidak sama sekali bersentuhan
dengan narkoba. Dillon et all (2007), dalam penelitiannya menemukan bahwa
masih banyak remaja yang duduk dibangku SMA dan Universitas, yang memiliki
akses untuk memperoleh narkoba, tetapi sama sekali tidak pernah mencoba atau
bersentuhan dengan barang haram tersebut.
Jessor dan Jessor (1978), mengatakan bahwa perilaku untuk menolak dan
membuat keputusan untuk tidak menggunakan narkoba, meskipun dengan
ketersediaan akses yang cukup mudah untuk mendapatkannya, dikatakan sebagai
resiliensi. Resiliensi merupakan aksi atau tindakan untuk menjadi resilien.
Mahasiswa yang berhasil untuk menjadi resilien terhadap penggunaan
narkoba, bukanlah mahasiswa yang hanya dihadapkan kepada faktor resiko atau
mudahnya untuk terjerumus kedalam penggunaan narkoba tersebut. Tetapi lebih
dari itu mereka juga memiliki protective factor yang menjadikan mereka lebih
kuat untuk menghindar dari penggunaan narkoba (Dillon et all, 2007).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi terhadap
penggunaan narkoba pada mahasiswa adalah kemampuan mahasiswa tersebut
untuk menolak mengunakan narkoba, walaupun dalam keadaan tekanan stres
(masalah akademik serta tekanan dari teman sebaya).
Universitas Sumatera Utara
Download