Majalah Kesehatan FKUB Vol 3, No 2, Juni 2016 Pengaruh Substitusi Tepung Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) dalam Makanan terhadap Kadar Protein Serum Tikus Putih Galur Wistar yang Diberi Diet Rendah Protein Setyohadi*, Kanthi Permaningtyas T**, Andini Putri R** ABSTRAK Kurang energi protein (KEP) adalah kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga pemenuhannya kurang dari 70 % angka kecukupan gizi (AKG). Salah satu dampak dari KEP adalah turunnya kadar protein serum darah yang berpotensi menimbulkan enzim tubuh tidak terbentuk, albumin dan immunoglobulin akan terganggu. Penanggulangan KEP dapat dilakukan dengan asupan protein yang berasal dari biji kecipir tua (mengandung 30-42 % protein). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung biji kecipir dalam makanan terhadap peningkatan kadar protein serum pada tikus putih yang diberi diet rendah protein. Studi eksperimental ini menggunakan desain post test control group dengan hewan coba tikus wistar jantan. Sampel yang dipilih secara acak dibagi ke dalam empat kelompok: kelompok diet normal (K-), kelompok diet rendah protein (K+), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 10 % (P1), dan dengan substitusi tepung biji kecipir 91 % (P2). Pemberian diet dilakukan selama 28 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kadar protein serum K- dengan P1 dan P2 memiliki perbedaan yang signifikan (ANOVA satu arah, p = 0,000). Berdasarkan data laboratorium diperoleh rata-rata kadar protein serum kelompok P2 lebih tinggi 22,35 % dari kelompok P1. Kesimpulannya adalah pemberian tepung biji kecipir pada kondisi diet rendah protein meningkatkan kadar protein serum pada tikus. Kata kunci: Biji kecipir , Kurang energi protein, Protein serum, Tepung. Effect of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus L.) Seed Flour Substitutions towards Protein Serum Level in Rat with Low Protein Diet ABSTRACT Protein energy malnutrition (PEM) is a condition caused by lack of energy and protein consumption in daily food less than 70 % recommended daily intake (RDI). One of PEM’s effects is low protein serum level which caused malformation of body enzyme and disturbance of albumin and immunoglobulin. The resolution of PEM can be done by increasing protein intake that comes from old winged bean seeds which contain 3042 % of protein. This research aim was to determine the effect of winged bean (Psophocarpus tetragonolobus L.) seed flour substitutions towards protein serum level in rat with low protein diet. This was an experimental study that used posttest control group design. Samples were randomly divided into 4 groups: normal diet group (K-), low protein diet group (K+), group 1 (P1) were fed with 10 % winged bean seed flour, and group 2 (P2) were fed with 91 % winged bean seed flour. The diet was given for 28 days. Results showed that average protein serum level of between K+, P1, and P2 were significantly different (one-way ANOVA, p = 0.000). the protein serum level of P2 was higher than P1 (22,35 %). It can be concluded that winged bean seed flour can increase protein serum level in rat with low protein diet. Keyword: Protein energy malnutrition, Protein serum, Flour, Winged bean seed. * ** Lab Biokimia-Biomolekuler, FKUB Program Studi Ilmu Gizi, FKUB 86 Majalah Kesehatan FKUB Vol 3, No 2, Juni 2016 PENDAHULUAN Untuk itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) dalam makanan terhadap kadar protein serum tikus putih (galur Wistar) yang diberi diet rendah protein. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung biji kecipir terhadap kadar protein serum tikus Wistar yang diberi diet rendah protein. Sehingga untuk selanjutnya dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi salah satu formula alternatif dalam penanggulangan KEP, yang bernilai gizi tinggi dan tentunya mudah diakses karena berbahan dasar lokal. KEP (kurang energi protein) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita di Indonesia yang mengalami gizi kurang adalah 18,4 % sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 % kontribusi masalah gizi dunia.1 Kekurangan energi protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi pada anak yang disebabkan oleh rendahnya asupan energi dan protein.2 Dampak merugikan KEP yaitu merosotnya kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan mental anak, serta merupakan salah satu penyebab dari angka kematian yang tinggi.3 Ada beberapa cara untuk menanggulangi KEP yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Salah satunya ialah pemanfaatan sumber daya alam lokal yang mudah didapat di Indonesia. Salah satu bahan alam yang dapat digunakan untuk menanggulangi masalah KEP di Indonesia adalah kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L) yang merupakan sumber daya alam potensial yang mengandung protein tinggi setelah kedelai, yaitu sekitar 43 % protein dari bobot keringnya.4 Biji kecipir merupakan salah satu bagian dari tanaman kecipir yang mempunyai harapan baik sebagai sumber protein nabati karena kandungan proteinnya yang tinggi sekitar 30-37 %. Protein biji kecipir merupakan protein yang berkualitas tinggi karena mengandung asam amino yang lengkap dengan kadar yang tinggi. Kandungan asam amino esensial penyusunannya setara dengan kedelai, bahkan kandungan asam amino lisin dan sistein lebih tinggi dari pada kedelai.4 Dalam 100 gram berat basah biji kecipir mengandung energi 392,7–461,0 kkal, protein 29,80−39,0 gram, lemak 15,0−20,40 gram, dan karbohidrat 23,90–42 gram.5 BAHAN DAN METODE Penelitian true experimental laboratoric ini menggunakan desain control group post test design dengan 2 jenis perlakuan (P1) dan (P2) dan 2 kelompok kontrol (K-) dan (K+). P1 diberi diet perlakuan dengan substitusi tepung biji kecipir 10 %, P2 diberi diberi diet perlakuan dengan substitusi tepung biji kecipir 91 %. Kelompok kontrol negatif (K-) diberi pakan normal saja dan kelompok kontrol positif K+) diberi diet rendah protein saja. Tikus kelompok K+, P1, dan P2 diberikan diet rendah protein selama 21 hari, sedangkan tikus kelompok K- diberikan diet normal. Pada 28 hari berikutnya, tikus kelompok P1 diberikan diet perlakuan substitusi tepung biji kecipir 10 % dan P2 diberikan diet perlakuan substitusi tepung biji kecipir 91 %, sedangkan kelompok K- dan K+ masing-masing tetap diberikan diet normal dan diet rendah protein. Diet perlakuan merupakan diet normal yang dicampur dengan tepung biji kecipir. Tepung biji kecipir disubstitusi dengan berbagai jumlah, bergantung pada kadar protein yang diinginkan dari kebutuhan energi total tikus. 87 Majalah Kesehatan FKUB Vol 3, No 2, Juni 2016 Tabel 1. Kandungan energi dan zat gizi pakan KK+ P1 P2 Energi (kkal) 102, 8 105,6 104 114,6 Protein (g) 4,9 1 5,4 12,9 Lemak (g) 0,89 1,1 0,73 0,4 Karbohidrat (g) 18,8 22,2 18,8 14,8 Keterangan: Kelompok diet normal (K-), kelompok diet rendah protein (K+), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 10 % (P1), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 91 % (P2). Pengelompokan sampel penelitian menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan jumlah 28 ekor tikus yang harus memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: Tikus jenis Rattus novergicus galur Wistar jantan berusia 8-12 minggu, berat badan 100-200 gram, tikus sehat (anggota badan lengkap dan tidak cacat, gerakan aktif, mata jernih, berbulu putih bersih). Sementara kriteria ekslusinya adalah sebagai berikut: tikus yang selama penelitian tidak mau makan, tikus yang sakit selama penelitian berlangsung. Kriteria eksklusi menyebabkan tikus dikeluarkan sebagai sampel penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan Januari–Februari 2013 di Laboratorium Farmakologi FKUB untuk pemeliharaan hewan coba dan Laboratorium Biokimia FKUB untuk uji kadar protein serum tikus. Uji kadar protein serum darah tikus menggunakan metode biuret spektrofotometri. Hasil pengukuran protein serum dikumpulkan, diolah dengan cara tabulasi. Berdasarkan tabulasi tersebut, dilakukan uji statistik yaitu rata-rata dari perlakuan dengan menggunakan ANOVA satu arah (one-way ANOVA), untuk melihat perubahan kadar protein serum pada tiap taraf perlakuan. Analisis terhadap hubungan sebelum dan sesudah diberikan perlakuan dilakukan dengan paired t-test. Analisis terhadap hubungan antar kelompok perlakuan dilakukan dengan independetsamples t-test. Uji statistik dilakukan pada derajat kepercayaan 95 %. Seluruh teknis pengolahan data dianalisis secara komputerisasi.. Uji statistik dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % dan perbedaan dikatakan bermakna jika p < 0,05. HASIL Seluruh sampel telah memenuhi kriteria inklusi penelitian. Berat Badan Berat Badan Sampel penelitian mengalami perubahan selama penelitian berlangsung, terdapat penurunan serta peningkatan berat badan yang berbeda antar kelompok penelitian, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2. 88 Majalah Kesehatan FKUB Vol 3, No 2, Juni 2016 Tabel 2. Perbandingan berat badan awal dan akhir K- Berat badan awal Berat badan akhir Berat badan awal Berat badan akhir Berat badan awal Berat badan akhir Berat badan awal Berat badan akhir K+ P1 P2 Rerata ± SD P value 139,71 ± 3,15 238,57 ± 17,89 192,57 ± 16,82 119,57 ± 14,98 167 ± 9,03 237,57 ± 18,65 172,71 ± 11,02 172,71 ± 11,02 0,000 0,000 0,000 0,006 Keterangan: Kelompok diet normal (K-), kelompok diet rendah protein (K+), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 10 % (P1), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 91 % (P2). Dari hasil uji statistik one way ANOVA diketahui perbandingan rata-rata berat badan awal dan akhir pada keempat kelompok perlakuan menunjukkan adanya perbedaan secara signifikan dengan nilai p value < 0,05. Kadar Protein Serum Tabel 3. Kadar protein serum K- K+ P1 P2 P value 4,34± 0,7 3,27± 0,35 4,92± 0,87 6,02± 0,44 0,000 Keterangan: Kelompok diet normal (K-), kelompok diet rendah protein (K+), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 10 % (P1), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 91 % (P2). Analisis terhadap rerata kadar protein serum yang dilakukan menggunakan uji one way ANOVA menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata pada keempat kelompok perlakuan. Hasil uji t tidak berpasagan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Uji t tidak berpasangan kadar protein serum Kelompok n Rerata ± SD KK+ K+ P1 K+ P2 P1 P2 7 7 7 7 7 7 7 7 4,34±0,7 3,27±0,35 3,27±0,35 4,92±0,87 3,27±0,35 6,02±0,44 4,92±0,87 6,02±0,44 89 p 0,003 0,002 0,000 0,017 Majalah Kesehatan FKUB Vol 3, No 2, Juni 2016 Keterangan: Kelompok diet normal (K-), kelompok diet rendah protein (K+), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 10 % (P1), kelompok diet substitusi tepung biji kecipir 91 % (P2). PEMBAHASAN kebutuhan pokok atau energy.8 Karbohidrat dipakai seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk menyimpannya sangat sedikit sehingga setelah 25 jam dapat terjadi kekurangan. Jika tubuh kekurangan, maka katabolisme protein akan terjadi beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah menjadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Jika terjadi terus menerus dalam jangka waktu lama, tubuh akan mengalami defisiensi protein tingkat berat.9 Hasil analisis uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan. Rata-rata kadar protein serum pada kelompok K-, K+, P1, dan P2 adalah 4,3 g/dl , 3,3 g/dl , 4,9 g/dl, dan 6,02 g/dl. Terlihat bahwa kelompok P2 yang mendapat normal parsial substitusi tepung biji kecipir 91 % memiliki kadar protein serum yang paling tinggi, sedangkan kelompok K+ yang mendapatkan diet rendah protein memiliki kadar protein serum yang paling rendah. Kadar total protein darah ditentukan oleh besar nilai kandungan protein pada makanan yang dikonsumsinya.10 Jika terjadi kekurangan protein dalam makanan, akan terjadi kekurangan berbagai asam amino essential dalam serum (plasma darah) yang diperlukan untuk pembentukan sel (sintesis) dan untuk proses metabolisme tubuh. Makin berkurangnya asam amino dalam serum ini akan menyebabkan berkurangnya produksi albumin (protein) hati, yang berakibat timbulnya pembengkakan atau edema.11 Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Anida (2009) yang meneliti kadar total protein darah tikus putih wistar yang diberi tepung bekicot menunjukkan bahwa kadar protein darah tertinggi didapat pada kelompok tikus yang diberi diet protein paling tinggi (50 %) dan kelompok tikus yang memiliki kadar total protein terendah adalah Berat badan menggambarkan keseimbangan antara asupan energi dan zat gizi dengan penggunaan zat gizi tersebut di dalam tubuh, baik untuk mencukupi kebutuhan metabolisme basal, aktivitas, spesific dynamic action (SDA) maupun untuk kebutuhan khusus seperti adanya stres/injuri/sepsis dan masa pertumbuhan.6 Salah satu indikator kurangnya energi protein dapat dilihat melalui berat badannya. Sehingga berat badan sampel penelitian perlu ditinjau perubahannya dan dibandingkan berat badannya antara berat badan pada awal penelitian dan akhir penelitian. Hasil yang didapat menunjukkan adanya peningkatan kenaikan berat badan yang siginifikan antar kelompok perlakuan baik perlakuan 1 (P1) dan perlakuan 2 (P2). Kenaikan berat badan terbesar terjadi pada kelompok perlakuan 1 (P1) walaupun kelompok perlakuan 2 (P2) memiliki kandungan protein yang lebih tinggi. Faktor yang mempengaruhi kenaikan berat badan pada kelompok P1 adalah berkaitan dengan keseimbangan energi dan zat gizi.7 Kandungan pakan kelompok perlakuan 1 (P1) memiliki komposisi zat gizi yang seimbang. Sementara itu, komposisi pakan kelompok perlakuan 2 (P2) memiliki kandungan protein yang sangat tinggi (45 %) tetapi memiliki kandungan lemak (2,9 %) dan karbohidrat (51,6 %) yang lebih sedikit dibandingkan pakan kelompok perlakuan 1 (P1). Hal ini menjelaskan bahwa peningkatan berat badan pada kelompok P1 lebih baik daripada kelompok P2 walaupun rata-rata asupan protein pada kelompok P2 lebih tinggi daripada P1. Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi 90 Majalah Kesehatan FKUB Vol 3, No 2, Juni 2016 kelompok tikus yang diberi diet rendah protein (4 %). Terdapat suatu keseimbangan konstan antara protein darah, asam amino darah, dan protein jaringan. Bahkan selama kelaparan atau selama penyakit berat yang melemahkan, rasio protein plasma total dalam tubuh tetap relative konstan yaitu 33:1.12 Kelompok kontrol negatif (K-) memiliki kadar protein serum yang hampir sama dengan kelompok perlakuan 1 (P1), hal ini disebabkan oleh kadar protein dalam pakan kelompok K- dan P1 hampir sama yaitu 19 % dan 21 %. Karena kandungan protein dalam pakan kelompok K+ yang paling sedikit, hanya 4 %, maka kadar protein serum kelompok K+ yang paling rendah sebaliknya, kadar protein serum kelompok P2 memiliki kadar protein serum yang paling tinggi, dikarenakan kandungan protein pada pakan P2 juga yang paling besar yaitu 45 %. Tepung biji kecipir dapat meningkatkan kadar protein serum tikus yang diberi diet rendah protein. Tepung biji kecipir yang paling efektif untuk meningkatkan kadar protein adalah tepung biji kecipir 91 % dengan kandungan protein paling tinggi. Peneliti menyarankan dalam aplikasi pemberian makanan untuk penderita KEP, diperlukan keseimbangan antara zat gizi makro. Karbohidrat dan lemak juga harus diberikan dalam jumlah cukup. Untuk penelitian selanjutnya, diet perlakuan untuk penanganan KEP tidak hanya diberikan tinggi protein. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai pengaruh pemberian diet tinggi protein dan tinggi lemak pada penanganan KEP. Perlu dilakukan sosialisasi kepada LSM, masyarakat dan praktisi mengenai manfaat tepung biji kecipir untuk diaplikasikan sebagai sumber protein nabati dan intervensi terhadap masalah gizi buruk 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. DAFTAR PUSTAKA 91 Bapenas. Rencana Aksi Nasional Pangan (Online). 2011. http://bappenas.go.id/getfileserver/node /10655/. Diakses 15 September 2012, pukul 08.56. (Depkes RI) Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk. 2008. Sihadi S, Suhartanto, Latifah T. Gambaran Perubahan Status Gizi Anak Balita Gizi Buruk Pengunjung Klinik Gizi Bogor. Buletin Penelitian Kesehatan. (online). 2000; 28(1):392398.http%3A%2F%2Fpersagi.org%2Fd ocument%2Fmakalah%2F147_makala h.doc. Diakses 23 Juli 2012. Okezie BO and Bello AB. Phsycochemical and Functional Properties of Winged Bean Flour and Isolate Compared with Soy Isolate. J of Food Sci. 1988; 53:(2)450-455. Setiadarma AN. Mempelajari Cara Pembuatan Tepung Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) sebagai Bahan Substitusi pada Pembuatan Produk Bubur Susu. Skripsi. 2001. (Online). http://repository.ipb.ac.id/bitstream/han dle/123456789/24402/A01ans.pdf?seq uence=1. Diakses 29 Juli 2012. Kurnia P dkk. Efek Fortifikasi Fe dan Zn pada Biskuit yang Diolah dari Kombinasi Tempe dan Bekatul untuk Meningkatkan Kadar Albumin Anak Balita Kurang Gizi dan Anemia. Eksplanasi. 2010; 5(2). Lipoeto N, Megasari N dan Putra A. Malnutrisi dan Asupan Kalori pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Majalah Kedokteran Indonesia. (Online) 2006; 56(11). http://repository.unand.ac.id/26/1/konsu msi_kalori-bb_imt.pdf. Diakses 17 Februari 2013. Majalah Kesehatan FKUB Vol 3, No 2, Juni 2016 8. Setiadi AK. Pengaruh Pemberian Tepung Bekicot (Achatina fulica) terhadap Peningkatan Kadar Leptin Tikus Wistar dengan Kondisi Defisiensi Protein. Jurnal Infokes. (Online) 2011; 1(1).http://www.stikessurabaya.net/file manager/eLearning/Artikel%20Infokes %20Vol%201-2011%20baru%20fix.pdf, Diakses 17 Februari 2013. 9. Rakhmawati Y. Pengaruh Pemberian Tepung Bekicot (Achatina fulica) terhadap Peningkatan Kadar Hemoglobin Tikus Wistar yang Diberi Diet Non Protein. Jurnal Infokes. 2011; 1(1). 10. Sediaoetama. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat. 1999. 11. Ulandari A, Dedy K, Putri A. Potensi Protein Ikan Gabus dalam Mencegah Kwashiorkor pada Balita di Provinsi Jambi. 2012. (Online). https://docs.google.com/viewer?a=v&q =cache:hQiWJy6jn0YJ:litbangjambi11.fi les.wordpress.com/2011/11/potensiprotein-ikan-gabus-dalam-mencegahkwashiorkor-pada-balita-di-provinsijambi2.pdf+&hl=en&pid=bl&srcid=ADG EESgmFJWdpTCL7ezFtsRNHJ9Md0bWAsojS1u0qQhpQwFB08N5s ti_KKlKWZGWLHqakZcMUOltTSfNl4Ll8D6WihJkYNXtCLAdIsVtGzxEk ZZYXiImaG9XRu4McbqpNERDQe1MO z&sig=AHIEtbR3DHafocYSdBTd_IT4W h5UCWWcvw. Diakses 9 Maret 2013. 12. Guyton A. Buku Ajar Fisologi Kedokteran. Edisi ke-11. Jakarta: EGC. 2007. 92